Senin, 31 Januari 2022

07. MEMANDANG / MEYAKSIKAN ALLAH (LIQO).

kajian kitab barencong (datu sanggul)


pertama : SYUHUDUL WAHDAH FIL KASRAH artinya: memandang yang satu kepada yang banyak. Di mana pokok pandangan di mulai dari syuhud bathin, naik kepada Nur bathin, dan kepada ilmu bathin. Dan akhirnya sampai kepada ujud bathin. 


Pandangan kedua ialah : SYUHUDUL KASRAH FIL WAHDAH, Artinya : memandang banyak kepada yang satu. Pandangan ini di mulai pada pangkal pertama yakni ujud bathin yang hakikatnya Zat semata-mata dan Zat yang satu itulah yang menerbitkan ilmu bathin ; yakni Sifat. Dan juga Nur bathin yakni Asma. Bahkan syuhud bathin yakni Af’al. maka apa bila yang banyak itu berasal dari yang satu akhirnya akan kembali juga kepada yang satu. Dan apa bila sekarang kita sudah kembalikan, maka tidak ada lagi ujud kecuali Allah semata. Tamsil, cahaya terang itu adalah permulaan dari sinar matahari,yang di sebut siang (terangnya batin atau terbukanya mata batin). Sebelum itu di dapat, lebih dahulu yang di pandang itu adalah cahayanya yang terang tersebut. Kemudian baru sinar yang menerangi itu, sinar itu menyatakan cahaya matahari. Meskipun tidak tampak, karena sinar itu tidak lepas dari matahari. Bahkan cahaya terang itu juga menyatakan adanya matahari, karena datang dari sinar yang ada pada matahari tersebut. Maka apa bila sudah lenyap dan fana segala yang lain dari Allah Ta’ala dan sudah lenyap segala sifat-sifat kejadian, yakni majhor kenyataan, maka akan tercapailah makam baqa ; yang di sebut juga makam tajali atau Nampak, makam Zuhur atau nyata; yang menghasilkan pandangan: 


MA RAYTU SYAI’A ILLA WAROITULLAH MA’AH 

Artinya : tidak aku lihat sesuatu, yang Nampak bagiku Allah besertanya. 


MA RAYTU SYAI’A ILLA WAROITULLAH QABLAH 

Artinya : tidak aku lihat sesuatu, kecuali yang Nampak bagiku Allah sebelumnya. 


MA RAYTU SYAI’A ILLA WAROITULLAH BA’DAH 

Artinya : tidak aku lihat sesuatu, yang Nampak bagiku Allah sesudahnya. 


MA RAYTU SYAI’A ILLA WAROITULLAH FI’IH 

Artinya : tidak aku lihat sesuatu, kecuali yang Nampak bagiku Allah dalamnya. 


Demikianlah makam yang di cari setelah melewati fana dan fana ul fana. Adapun yang di maksud dengan fana oleh ahli tasawuf ialah : lenyapnya perasaan hamba dari nafsu basyariah, yakni segala sifat-sifat ke-aku-an atau dari kemanusiaan, sudah takluk pada tuhannya, maka jadilah ia baqa dengan Allah Ta’ala. 


Pertanyaan yang kedua adalah tentang diri. Kapankah datangnya dan kapan pula kembalinya? Jawabnya ialah : bahwa diri bathin itu datang kedunia ini adalah setelah adanya jasad,sesuai dengan firman Allah : yang artinya ; kemudian kami sempurnakan jasad itu, lalu ditiupkan roh kepadanya. Dan pertanyaan yang ketiga dan yang ke-empat ialah : Darimana diri itu datangnya den kemana pula kembalinya, serta apa maksud datang kedunia ini? Jawabnya ialah : datangnya dari Allah dan kembalinya kepada Allah,adapun maksud datang kedunia ini adalah dengan jasad sebagai alatnya. Karena sudah dijelaskan fasal yang lewat : yaitu laksana kuda tungganganya dengan penunggangnya. Kuda ditamsilkan sebagai jasad. Dan Roh sebagai penunggangnya. Pada fasal yang lalu sudah kita jelaskan bahwa perjalanan salik dalam mencari dan mengenal Zat Allah itu adalah dimulai dari bawah hingga kepada keatas atau yang disebut TARRAQI : misalnya dimulai dari tauhidul asma, tauhidul sifat, tauhidul af’al dan tauhidul Zat sampai kepada 


LA’MAUJUDA BIHAQQIN ILLALLAH, artinya : Tidak ada yang ada kecuali dia jua yang ada. 


Sekarang kita mengambil dalil dari pada kaum sufi yaitu sudah di sepakati ber-sama bahwa : segala sesuatu selain Allah pada hakikatnya tidak ada, dengan kata lain semua itu tidak dapat di katakan ada, sebagai adanya tuhan. bahwa semua itu Allah dan Allah itulah semuanya. Ujud alam ain ujud Allah dan Ujud Allah ain ujud alam. Allah itulah hakikat Alam: maka wajarlah kita ini dengan Zat Allah atau Ujud Allah (rahasia Allah). 


Berkata ABU HASSAN AS SYAZALI r.a Bahwa; melihat Allah itu dengan penglihatan iman dan yakin, ini lebih kaya (atau lebih utama) dari pada melihat dalil-dalil. Lebih baik kita katakan bahwa, kita tidak akan melihat alam, dan andai kata ada juga, maka penglihatan itu atau penglihatan aribillah itu tak ubahnya laksana melihat debu terbang di angkasa yang pada penglihatan ada, tapi/namun di cari tak ada, artinya : tak dapat menangkapnya. Itulah perjalanan aribillah atau wali Allah ; yang telah sampai kepda makam fana dan makam baqa

Tidak ada komentar:

Posting Komentar