kajian kitab barencong (datu sanggul)
Meesakan Allah Ta’ala pada zat adalah jalan yang terakhir dari perjalan seorang salik. Di sinilah titik terahir bagi arifibillah untuk menuju Allah dan di sini perhentian perjalanan kaum sufi dan para wali-wali. Dan di sinilah batasnya mi’rojnya orang-orang mukmin sejati. Apa bila sudah mencapai kepada makam tauhidul zat ini, maka di perolehnya kelezatan dan kenikmatan yang tiada taranya. Hanya dengan itulah yang dapat memuaskan dahaga jiwanya, menenangkan qalbunya, nikmat nikmat yang tak dapat di peroleh orang lainnya. Inilah puncak rasa menikmati ridhonya, puncak kebahagiaan yang kekal dan abadi sepanjang masa.
cara meng-esakan Allah Ta’ala pada zatnya, yaitu : engkau pandang dengan mata hatimu dan curahkan seluruh perhatianmu itu semata-mata kepada Tuhan seru sekalian alam. Karena sudah nyata kepada kita bahwa : TIADA YANG MAUJUD DALAM ALAM INI, KECUALI ALLAH. DAN TIADA MAUJUD YANG DALAM UJUD INI, HANYA ALLAH.
TIADA APAPU DALAM JUBAH MELAINKAN ALLAH. DAN TIDAK ADA DI DALAM YANG ADA INI, KECUALI DIA.
Karena sudah jelas bagi arifibillah, bahwa : AL HAK ADA PADA NABI KITA MUHAMMAD S.A.W. Kalau al-hak ada pada nabi, demikianlah ada pada kita.
Firman Allah Ta’ala:
AL INSANU SIRRI WA ANA SIRROHU.
Artinya: "insan itu rahasiaku dan akupun rahasianya"
Dan lagi firmannya:
"AL INSANU SIRRI WA ANA SIRRI WASIFATIN WA SIFATUN LAGOIRIH.
Artinya: "insan itu rahasiaku, rahasiaku itu sifatku, dan sifatku itu tiada lain dari ku.
Jadi jelas bahwa memang:
LA MAUJUDA BIHAQQIN ILALLAH.
Artinya: "tiada yang maujud di dalam alam ini melainkan Allah. Karna:
1. Semua zat mahluk itu nampak di lihat dengan mata ini, itu bukan hakiki. Dan itu hanya ujud hayali dan wahmi jua, yaitu sangka-sangka saja, dengan tidak beralasan, karena wujudnya berada antara dua ADAM. Sedang wujud yang berada antara dua itu, hukumnya ADAM, yaitu wujud hayal.
2. Adam itu tiada maujud pada hakikatnya, hanyalah ia maujud kepada Allah Ta’ala yang hakiki dan fana di bawah wujud allah. wujud yang lain dari ujud Allah semuanya qaim artinya berhajat kepada Allah Ta’ala. Jadi jelasnya begini dia tidak akan wujud, kalau tidak di wujudkan oleh Allah Ta’ala. inilah lenjelasan yang biasanya di sebut dengan istilah majhor atau kenyataan ujud Allah Ta’ala.
3. semua wujud alam ini adalah hanya sekedar dalil untuk memandang kepada zat Allah Ta’ala.
4. sifat-sifat yang ada pada mahluk ini nyata sifat-sifat Allah s.w.t. Jadi kalau demikian jelas dan nyata bahwa zat mahluk ini berarti juga sesungguhnya nyata sifat dan af’al, tidak lepas dari zat.
5. Ujud semesta alam ini tak ubahnya laksana debu yang terbang atau di terbangkan oleh angin di angkasa, pada penglihatan mata ada, tapi kalu di cari tak ada. Kalau sekiranya ada ujud alam ini pada hakikatnya, maka pasti pula ada sifat-sifat atau af’al yang memberi bekas itu. Sedangkan semua itu sifat dan af’al yang memberi bekas itu tidaklah ada, selain dari sifat dan af’al Allah Ta’ala semata.
6. SYEH SIDIK IBNU UMAR KHAN berkata: "Semua ujud lain selain dari Allah Ta’ala, laksana ujud sesuatu yang kita lihat dalam mimpi. Tidak ada baginya hakikat apa bila kita terbangun dari tidur, maka hilanglah semua itu"
Begitulah hendaknya pandangan kita terhadap wujud alam iini sesuai dengan hadist yang berbunyi:
FALANNASU NIYA’AFAIJA MA’ATU INTABAHUA.
Artinya: "manusia adalah tidur apa bila mereka mati, barulah mereka bangun.
maksud hadist ini ialah: orang yang hidup dengan hawa nafsunya sendiri, bagaikan orang yang tidur, walaupun ia dalam keadaan bangun. Mereka berbangga dengan nafsunya sendiri dan dengan akuanya, tetapi orang yang telah sampai kepada rahasia yang satu itu, itulah orang yang bangun dari tidurnya.
Jadi siapapun yang masih tidur, maka mereka itu tetap betah pada nafsunya sendiri, yaitu yang belum mengembalikan hak Allah Ta’ala, mereka itu tetap dalam hak Adam.
yang di maksud mati di sini ialah : mati ma’nawi atau mati ma’na saja. Itu sesuai dengan hadist nabi s.a.w. yang berbunyi: ANTAL MAUTU QOBLAL MAUTU.
Artinya: matikan dirimu sebelum engkau mati.
Jadi di sini adalah mati nafsu saja. Maka dari itu untuk mematikan nafsu itu maka jalannya ialah melepaskan diri dari belenggu penjajahan hawa nafsu. Jalannya ialah mengikuti jalan sufiah, yang mereka itu telah berada di puncak.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar