terjemahan kitab
ar-Risalatul-Qushayriyya (Abul Qasim Abdul Karim bin Hawazin al- Qusyairy)
bab 2: makna rahasia istilah dalam tasawuf
judul 7 Twajud, Wujd Dan Wujud
Tawajud adalah upaya memohon ekstase ruhani (wujd), melalui salah satu dari banyak jenis ikhtiar. Orang yang memiliki tawajud tidak dapat kategorikan sempurna wujd-nya. Sebab, kalau ia sempurna, pasti di sebut wajid.
Dalam bab wazan Tafa’ul lebih banyak menampakkan sifat. Padahal bukan demikian, seperti dalam syair:
Bila kelopak mata menjadi sempit
Dan padaku tiada lagi sulit membuka
Lalu ku robek mata, tanpa cela.
Ada pandangan yang mengatakan, “Tawajud tidak terpasrahkan kepada pemangkunya karena adanya beban dan masih jauh dari tahqiq”
Ada pula yang mengatakan: “Tawajud di serahkan kepada para fakir yang secara internal mengintai untuk menemukan makna-makna tersebut.”
Hakikat yang bisa di kenal, muncul dari kisah Abu Muhammad al-Jurairy, r.a. bahwa ia berkata:
“Ketika aku di sisi al-Junayd, di sana ada Ibnu Masruq. Tiba-tiba Ibnu Masruq dan yang lain berdiri sementara al-Junayd tetap saja diam. Aku berkata, “Tuanku, tidakkah Anda mempunyai suatu pengalaman dalam penyimakan?" Al-Junayd menjawab:
“Dan kamu lihat gunung-gunung itu, kamu sangka ia tetap di tempatnya, padahal ia berjalan seperti jalannya awan” (Alqur-an surat. An-Naml ayat 88).
Lalu al-Junayd pun bertanya:
“Anda, wahai Abu Muhammad, tidakkah Anda berpengalaman juga dalam penyimakan?"
Aku katakan: “Tuanku, ketika aku hadir di suatu tempat yang di dalamnya sedang berlangsung penyimakan, tiba-tiba di sana ada orang-orang yang bersenang-senang dengan rasa malu, maka aku mengekang diri dan wujd-ku. Ketika aku menghindar, aku mengirimkan wujd-ku, lalu aku ber-tawajud”
Kemudian kata tawajud di sebut dalam hikayat tersebut, sedangkan al-Junayd tidak mengingkarinya.
Saya mendengar Syeikh Abu Ali al-Daqqaq r.a. berkata:
“Apabila manusia menjaga etika keutamaan dalam penyimakan, maka Allah menjaga diri dan waktunya, karena berkat etikanya.”
Sedangkan ekstase ruhani (wujd) itu sendiri merupakan sesuatu yang bersesuaian dengan hati Anda, yang datang tanpa kesengajaan ataupun di upayakan. Karena itu para Syeikh mengatakan:
“Wujd adalah persesuaian hati, sedangkan al-mawajid (jama’ al-wujd) merupakan bauh dari wirid. Setiap orang yang bertambah upaya ruhaninya, Allahpun akan menambah kelembutannya”
Saya mendengar Syeikh Abu Ali ad-Daqqaq r.a. berkata:
“Sesuatu yang sempit di dalam hati itu, muncul dari sisi wirid. Siapa yang tidak wirid dengan lahiriahnya, maka tidak wirid pula dalam sirr-nya. Setiap ada sesuatu di dalam diri pelaku al-wujd, maka tidak dapat di kategorikan sebagai wujd. Seperti suatu yang di lakukan melalui muamalat lahriah akan menemukan manisnya ketaatan, dan apa yang mualamat lahriah akan menemukan manisnya ketaatan, dan apa yang turun dalam batin hamba seputar hukum-hukum batin, akan menemukan al-mawajid. Kemanisan adalah buah dari mualamat, dan mawajid merupakan produk dari karunia yang turun”
Sedangkan wujud, merupakan suatu kondisi setelah menapaki tahap wujd. Wujud Al-Haq tidak dapat di capai kecuali setelah memadamkan unsur manusiawinya. Karena kemanusiawian tidak akan baqa’ ketika muncul kekuasaan Hakikat. Inilah arti dari ucapan Husain annury yang berkata; “Sejak dua puluh tahun aku berada antara Ada dan tiada, yakni: Ketika ku temui Tuhanku, sirnalah hatiku, dan ketika ku temui hatiku, aku kehilangan Tuhan-ku”
Pernyataan ini relevan pula dengan ucapan al-Junayd, “Ilmu Tauhid merupakan wahana penjelasan bagi wujud-nya, dan wujud-nya merupakan wahana bagi ilmunya”
Dalam konteks artian ini, penyair berkata:
Wujud-ku ada ketika aku gaib dari wujud
Karena yang tampak padaku
Adalah syuhud (penyaksian).
Tawajud merupakan permulaan, dan wujud adalah tujuan akhir. Sedangkan wujd sebagai perantara antara permulaan dan tujuan akhir.
Saya mendengar Syeikh Abu Ali ad-Daqqaq berkata:
“Tawajud mengharuskan adanya kecelaan hamba. Sedang wujd mengharuskan ketenggalaman hamba"
Demikian pula wujud mengharuskan kesirnaan mengarungi lautan itu, lantas tenggelam di dalamnya. Struktur persoalan ini di katakan secara berurutan, mulai dari:
Qusyud (bermaksud),
wurud (sampai),
kemudian Syuhud (penyaksian),
lalu Wujud,
terakhir Khumud (sirna).
Dengan kadar kriteria wujud-lah, khumud dapat di capai.
Bagi orang yang ber-wujud memiliki kesadaran (shahw) dan ketidaksadaran (mahw).
Kondisi shahw adalah keabadiannya dengan Al-Haq,
sedang kondisi mahw-nya adalah kefana’annya dengan Al-Haq.
Keduanya saling berkaitan selamanya. Apa bila shahw dengan Al-Haq yang lebih unggul, ia telah sampai wushul).
Karena itu, Rasulullah saw. bersabda (hadis Qudsi), “Dengan-Ku ia mendengar dan dengan-Ku ia melihat”
Manshur bin Abdullah berkata : “Seseorang berada dalam halaqah asy-Syibly, dan orang itu kemudian bertanya. “Apakah pengaruh keabsahan wujd itu tampak pada diri orang-orang yang mencapai al-wujud? Benar. Cahaya yang memancar, bersama dengan sinar kerinduan, sehingga pengaruhnya mewarnai lubuk hatinya.” Demikian jawab asy-Syibly.”
Gambaran ini jelas dalam syair Ibnul Mu’tazz:
Gelas yang di basai air karena cemerlang beningnya,
Lalu mutiara tumbuh dari bumi emas,
Sedang kaum menyucikan karena kagum
Pada cahaya air di dalam api dari anggur yang ranum,
Di warisi ‘Aad dari negeri Iram
Sebagai simpanan Kisra, mulai dari nenek moyangnya.
Suatu kisa berkenaan dengan Abu Bakr ad-daqqy: “jahm ad-Duqqy mengambil kayu di tanganya ketika sedang menyimak dalam gairahnya, kemudian ia mencabut dari akarnya. Kemudian keduanya berkumpul ketika secara bersamaan saling memanggil. Ad.-Duqqy sendiri sorang yang buta, lalu Jahm berdiri sambil berkeliling dengan penuh emosi.
Abu Bakr ad-Duqqy berkata: “Jika mendekat kepadaku, ulurkan kayu itu!’ Sementara Jahm ad- Duqqy adalah manusia lemah, lantas ia menemukan sepotong kayu di dekatnya, seraya berkata, ‘Ini ia!’ Lalu ad-Duqqy memegang kaki Jahm, hingga membuatnya tidak dapat bergerak lagi. “Wahai Syeikh, tobat! Tobat!” teriak Jahm ad-Duqqy. Barulah kemudian Abu Bakr ad-Duqqy melepaskannya”
Semangat Jahm benar, dan pengekangan ad-Duqqy juga benar. Ketika Jahm menyadari bahwa tindakan ad-Duqqy di atas kondisi ruhaninya, seketika itu pun ia insaf dan berdamai.
Begitu pula orang yang tidak berbuat maksiat, ia benar. Namun demikian, apabila yang mengalahkan dirinya adalah kesirnaan diri, maka ia tidak berilmu dan tidak pula berakal, tidak paham serta tidak merasa.
Isteri Abu Abdullah at-Targhundy berkata: “Ketika bencana kelaparan sedang melanda, sementara manusia dijemput maut karena paceklik itu, tiba-tiba Abu Abdullah at-Targhundy masuk ke dalam rumah. Ia melihat ada dua kilogram gandum. Berkatalah ia, ‘Orang-orang mati karena kelaparan, sedang aku masih mempunyai simpanan gandum di rumah.’ Lalu ia pun kehilangan akal. Dan sejak saat itu ia tidak pernah bangkit, kecuali pada waktu-waktu shalat fardhu. Usai shalat kembali pada tingkah laku semula, dan begitu seterusnya sampai ia meninggal dunia.”
Kisah ini menunjukkan, bahwa laki-laki tersebut selalu menjaga diri dalam adab syariat, ketika dilanda oleh hukum-hukum hakikat. Demikian sifat ahli hakikat. Mengenai faktor penyebab hilangnya akal pada dirinya, dikarenakan kepeduliannya (syafaqah) terhadap nasib semua kaum Muslimin. Ini derajat yang lebih kuat dalam sikap perilakunya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar