Minggu, 31 Oktober 2021

0208. Jam' dan farq

 terjemahan kitab

ar-Risalatul-Qushayriyya (Abul Qasim Abdul Karim bin Hawazin al- Qusyairy)

bab 2: makna rahasia istilah dalam tasawuf

judul ke 8. Jam’ Dan Farq



Dua kata tersebut cukup populer di kalangan ahli tasawuf. Syeikh Abu Ali ad-Daqqaq berkata: 

“Al-farq, suatu kondisi yang di hubungkan kepada diri sendiri, dan al-Jam’, berkaitan dengan hal yang menyirnakan diri sendiri. Artinya, Segala upaya hamba seperti menegakkan ubudiyah dan hal-hal yang layak dengan tingkah laku manusiawi, di sebut al-Farq. Sementara jika datang dari arah Al-Haq (Allah swt.) seperti mucnulnya makna-makna dan datangnya kelembutan serta ihsan, maka di sebut al-Jam’.


Definisi ini merupakan kondisi paling sederhana dalam konteks jam’ dan farq. Sebab, kondisi tersebut merupakan bagian dari penyaksian segala bentuk perbuatan. Siapa yang menyaksikan dirinya di hadapan Al-Haq dalam perbuatan-perbuatannya seperti ketatan dan pegingkaran dirinya, maka hamba tersebut di golongkan dalam pemisahan (tafriqah). Sedangkan yang menyaksikan dirinya di hadapan Al-Haq melalui perbuatan yang didelegasikan dari Af’al Allah swt, maka sang hamba telah menyaskikan al-Jam’. Penetapan makhluk merupakan pintu tafriqah, dan penetapan al-Haq merupakan predikat al-jam’.


Bagi hamba, haruslah berkondisi jam’ dan farq. Sebab siapa yang tidak berposisi farq, ia tidak memiliki penghambaan (ubudiyah), dan siapa pun yang tidak berposisi jam’, ia tidak pernah ma’rifat kepada-Nya. 

Di dalam doa ifita dalam solat terdapat arti:

"Hanya Kepadamu Kami menyembah), merupakan isyarat terhadap al-farq. Sedangkan firman-Nya (dan hanya kepada-Mu kami memohon pertolongan), merupakan isyarat al-jam’.


Apa bila hamba berbicara kepada Tuhannya, melalui munajat, memohon berdoa, memuji, bersyukur, menyucikan diri atau pun meminta, maka ia telah menempati tahap berpisah (tafriqah). Namun apa bila ia telah terpesona melalui sirri-nya terhadap apa yang di munajatkanya kepada Tuhan, kemudian mendengarkan melalui kalbunya apa yang telah di katakan lewat munajat itu, hal-hal yang di mohonkan atau di munajatkan kepada-Nya, ataupun yang di kenalkan oleh-Nya, maka makna-Nya, atau bahkan yang di hamparkan dalam hatinya dan di perlihatkan oleh-Nya, maka ia telah menyaksikan dalam al-jam’.


Saya mendengar Syeikh Abu Ali ad-Daqqaq r.a. berkata: 

“Aku menguraikan beberapa ucapan di sisi Ustadz Abu Sahl ash-Sha’luky r.a. (Engkau buat menjadi bersih pandanganku ke padamu’). Ketika itu Abul Qasim an- Nashr Abadzy hadir di sana. Lalu Ustadz Abu Sahl berkata: “(huruf ta’ dinashab’), Maka Abu Nashr Abadzy, berkata : (Huruf ta’ di dhammah’).”

Artinya, barang siapa mengucapkan perkataan (“ku jadikan”), berarti mengabarkan sikap perilakunya sendiri, seakan-akan sang hamba berkata, “ini”!.


Jika ia berkata (“engkau jadikan”), seakan-akan mengatakan, bebas dari beban. Bahkan ia berkata kepada Tuhan-nya, “Engkau-lah yang mengkhususkan kepadaku dengan ini, bukan aku, melalui kemampuanku.” Yang pertama, berkaitan dengan bisikan do’a, dan yang ke dua, dengan sifat bebas dari upaya dan ikrar melalui keutamaan dan sariguna. Maka, bedakan antara orang yang mengatakan, “Melalui jerih payahku, aku menyembah-Mu” dan ucapan orang : “Melalui keutamaan dan kelembutan-Mu, aku menyaksikan-Mu”


Adapun jam’ul jam’i di atas semua itu. Manusia memiliki frekuensi masing-masing sesuai dengan manifestasi perilaku dan keterpautan derajat mereka. Barang siapa menetapkan atas dirinya, berarti menetapkan kemakhlukan, namun menyaksikan keseluruhan, berarti ia telah mandiri kepada Yang Haq, dan inilah al-Jam’. Tetapi jika yang terlibas dari penyaksian terhadap kemakhlukan, lebur dari dirinya, dan teraih universalitas, dari segala hal yang tampak dan terdelegasi dari kekuasaan hakikat, maka tahap inilah yang di sebut jam’ul jam’i”


Tafriqah adalah penyaksian terhadap makhluk, hanya untuk Allah swt. Al-jam’ adalah penyaksian terhadap makhluk bersama Allah swt. dan jam’ul jam’i, berarti sirna dengan univeraslitas, dan fana’-nya rasa kepada selain Allah swt. ketika terlanda hakikat. Jam’ul jam’i merupakan kondisi mulia. Sebagian kaum menamakan tahap ini sebagai al-farq kedua. Yaitu di kembalikan pada tahap rasa pasca sirna, pada saat menjalani waktu-waktu fardhu, agar tetap konsisten terhadap kefarduan dengan segenap waktunya, sehingga ia kembali, hanya untuk dan bersama Allah swt, bukan bagi hamba bersama hamba. Sang hamba melihat dirinya pada kondisi seperti itu dalam perbuatan Al-Haq. Ia menyaksikan awal Zat-nya dan kenyataannya bersama Qudrat-Nya. Sedangkan tempat pijakan ketika menjalankan perbuatan dan tingkah lakunya hanya bersama Ilmu dan Kehendak-Nya.


Sebagian Sufi mengisyaratakan kata al-Jam’ dan al-farq kepada Perbuatan Al-Haq atas seluruh makhluk. Maka globalitas dari keseluruhan dalam proses bolak balik dan perbuatan, harus dilihat dari satu arah, bahwa sebenarnya Allah-lah yang memunculkan substansi-substansi mereka itu.


Allah-lah yang menjalankan sifat-sifat mereka. Kamudian Allah swt. memisahkan dalam ragam: Satu kelompok, Allah swt. membahagiakan mereka, dan kelompok lain Allah swt. menjauhkan dan menyengsarakan mereka. Satu kelompok lagi Allah swt. menarik hati mereka, dan kelompok yang lain di lupakan dan di putus-asakan dari rahmat-Nya, dan satu golongan lagi Allah swt, memutus kehendak mereka untuk menyatakan Diri pada-Nya. Ada kelompok yang di sadarkan pada tahap rasa mereka dan ada yang di sirnakan.


Ada kelompok yang di dekatkan dan di hadirkan, Kemudian Allah meminumkan karunia hingga mereka di mabukkan ruhaninya, namun juga ada golongan yang di celakakan dan di akhirkan, kemudian di jauhkan dan di singkirkan. Ragam Af’al-Nya tidak bisa di jangkau oleh batasan, sementara rinciannya tidak dapat di uraikan dan di ingat.


Para Sufi pernah melantunkan syair bagi al-Junayd, mengenai makna jama’ dan farq yaitu:

Engkau telah membuat nyata-Mu

Dalam rahasiaku

Lalu lisanku munajat pada-Mu

Kita berkumpul bagi makna-makna

Dan berpisah bagi makna-makna pula

Jika Gaib-Mu adalah

Keagungan dari lintasan mataku

Tapi Engkau buat keserasian dari dalam

Yang mendekatku.


Mereka bersyair lagi:

Jika telah tampak padaku

Keagungan, lalu keluar dalam tingkah orang Yang tidak di kehendaki

Maka aku berkumpul dan berpisah dengan allah

Sedangkan ketunggalan yang saling bertemu Adalah dua dalam satu bilangan.




Tidak ada komentar:

Posting Komentar