terjemahan kitab
ar-Risalatul-Qushayriyya (Abul Qasim Abdul Karim bin Hawazin al- Qusyairy)
bab 2: makna rahasia istilah dalam tasawuf
judul 9 Fana’ Dan Baqa’
Sejumlah Sufi mengisyaratkan Fana’ pada gugurnya sifat-sifat tercela,
sementara baqa’ di isyaratkan sebagai kejelasan sifat-sifat terpuji. Kalaupun seorang hamba tidak terlepas dari salah satu sifat tersebut , maka dapatlah di maklumi, karna sebenarnya jika salah satu bagian apa bila tidak di jumpai dalam diri manusia, maka dapatlah di temui sifat satunya lagi. Barang siapa fana’ dari sifat-sifat tercela, maka yang tampak adalah sifat-sifat terpuji. Sebaliknya, jika yang mengalahkan adalah sifat-sifat yang hina, maka sifat-sifat yang terpuji akan tertutupi.
Dengan kata lain:
Fana dan Bako itu bergandengan
Jika fana maka dia juga Baqo
Jika tidak fana maka dia juga tidak Baqo.
Siapa yang berupaya meninggalkan perbuatan hina, maka ia telah fana’ dari syahwatnya. Jika telah fana’ dari syahwatnya, akan kekallah bangunan dirinya serta keikhlasan dalam ubudiyahnya.
Siapa yang zuhud dengan hatinya, maka ia telah fana’ dari kesenangannya. Dan jika telah fana’ kesenanganya, berarti telah kekal melalui kejujuran.
Barang siapa memperbaiki akhlaknya dan menghilangkan penyakit kalbu seperti dengki, angkuh, bakhil, sangat bakhil, marah, sombong dan sebagainya, maka berarti telah fana’ dari kebejatan akhlak. Kalau sudah demikian, yang kekal dalam dirinya adalah ketidakpeduliannya kepada kepentingan pribadinya (futuwwah) dan kejujuran pada diri sendiri.
Barang siapa menyaksikan berlakunya qudrat dalam penerapan hukum dan aturan allah, maka dapat di katakan Ia telah fana’ dari tanggungan perkara pertama dari perkara kemakhlukan.
Jika ia fana’ dari pengaruh-pengaruh kemakhlukan, maka ia kekal bersama sifat-sifat Al-Haq. Dan siapa yang terlimpahi kerajaan hakikat, sehingga tiada sedikitpun menyaksikan, baik perkara keduniaan yaitu: pengaruh, rumus, atau penundaan, maka ia telah fana’ dari makhluk, dan abadi bersama Al-Haq.
Ke-fana’-an pada diri sendiri dan dari makhluk lainnya bisa di mulai dengan cara menghilangkan rasa untuk diri sendiri dan mahluk lainya
Kalau telah fana’ dari perbuatan, akhlak dan tingkah laku, maka subyek ke-fana’an dari semua itu tidak boleh di anggap ada.
Terkadang Anda melihat seseorang memasuki tempat penguasa atau orang yang kejam, lalu orang tersebut merendahkan diri atau merendah pada majelis di sana. Alangkah jauh hati itu, juga dirinya, dari sifat orang fana yang tak mungkin untuk mengatakan sesuatu.
Allah berfirman:
“Maka tatkala wanita-wanita itu melihatnya, mereka kagum kepada (keelokan)nya, dan mereka melukai jari-jari tangannya”
(Qs. Yusuf 31).
Suatu gambaran ketika mereka sama sekali tidak menemukan rasa sakit ketika (pertama kali menyaksikan raut muka Yusuf a.s.). Mereka adalah wanita-wanita yang lemah berkata:
“Maha Sempurna Allah, ini bukanlah manusia. Sesungguhnya ini tidak lain, hanyalah malaikat yang mulia.”
(Qs. Yusuf : 31).
Inilah kealpaan makhluk pada dirinya sendiri dan fana dari perilakunya sendiri ketika bertemu dengan sesamanya.
siapa fana’ dari kebodohannya, yang kekal adalah ilmunya.
Siapa yang fana’ dari kesenangannya, yang kekal adalah zuhudnya.
Siapa yang fana’ dari angan-angannya, yang kekal adalah kehendaknya. Demikian juga seluruh konotasi kiprahnya. Apa bila hamba fana’ dari sifatnya yang bisa di ingat, kemudian menaiki tahap lebih tinggi dengan fana’nya dari melihat ke-fana’-an itu sendiri. (Inilah yang disebut Fana ’ul Fana’ ).
Sebagaimana di gambarkan penyair:
Ada kaum yang tersesat di padang gersang
Ada pula yang tersesat di padang cintanya
Mereka fana’, kemudian fana’ lalu fana’
Lantas mereka kekal dengan kekal dari kedekatan Tuhan-nya.
Yang pertama adalah fana’ dari dirinya, fana’ dari sifatnya karena Baqa’-Nya Sifat-sifat Al-Haq.
Kemudian fana’nya dari sifat-sifat Al-Haq karena penyaksiannya Al-Haq itu sendiri, kemudian fana’-nya dari melihat penyaksian fana’, melalui keleburan dirinya dalam Wujud Al-Haq.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar