Minggu, 31 Oktober 2021

0210 Ghaibah Dan Hudhur

 terjemahan kitab

ar-Risalatul-Qushayriyya (Abul Qasim Abdul Karim bin Hawazin al- Qusyairy)

bab 2: makna rahasia istilah dalam tasawuf

judul 10 Ghaibah Dan Hudhur



🇬 🇦 🇮 🇧 🇦 🇭 

Ghaibah berarti kegaiban kalbu dari segala apa yang di ketahui, berkaitan dengan apa yang berlaku pada tingkah laku makhluk, karena adanya faktor yang datang padanya, sehingga perasaannya tersibukkan oleh kegaiban yang tiba itu.

Kemudian rasa itu, dengan sendirinya dan yang lainnya, menjadi gaib, karena faktor yang tiba, akibat mengingat pahala atau memikirkan ancaman siksa.


Diriwayatkan bahwa Rabi’ bin Haitsam pergi ke ruah Ibnu Mas’ud r.a. kemudian ia melewati kedai tukang pande (besi). Ia melihat bara yang menganga di perapian pande itu. Tiba-tiba ia pingsan (karena membayangkan akibat-akibat pelaku dosa yang di bakar api). Ketika siuman, ia di tanya. “Aku ingat bagaimana keadaan ahli neraka di neraka nanti” Demikian katanya.


Di riwayatkan dari Ali bin al-Husain. Ketika ia sedang sujud, tiba-tiba terasa ada jilatan panas api yang tersulut di dalam rumahnya, dan ia sama sekali tidak bepaling dari shalatnya. Lantas di tanya tentang keadaannya yang demikian itu. “Aku tercengang oleh nyala api besar, lebih dari kobaran api itu” Jawabnya.


Manakala ghaibah rasa yang muncul oleh faktor yang di bukakan Al-Haq seperti itu, maka derajat mereka berbeda-beda menurut tingkah laku kondisinya.


Kisah yang populer, bahwa awal mula perilaku Abu Hafs an-Naisabury al-Haddad meninggalkan pekerjaan di kedainya, yaitu ketika muncul seseorang yang membaca ayat Al-Qur’an. Lalu ia menjadi lupa dari rasanya karena adanya sesuatu yang datang menyelusup. Lalu ia menyusupkan tangannya pada bongkahan bara api, dan menariknya kembali sambil memegang bara api yang menyanla (sama sekali tidak merasa panas). Muridnya, saat melihat kejadian itu pun berkata. “Wahai guru, apa ini? Seketika itu pula Abu Hafs memandang apa yang tampak padanya, lalu meninggalkan pekerjaannya dan segera pergi berlalu dari kedai.


Saya mendengar Abu Nashr, muadzin di Naisabur. Ia di kenal sebagai laki-laki saleh. Ia mengisahkan, “Aku sedang membaca Al-Qur’an di majelis Ustadz Abu Ali Ad-daqqaq di Naisabur. Dan Ustadz sendiri sedang membahas soal haji, sampai hatiku terpengaruh karenanya. Pada tahun ini pula aku pergi haji, dan meninggalkan kedai serta pekerjaan. Sementara Ustadz Abu Ali r.a. juga pergi menunaikan haji pada tahun yang sama. Ketika di Naisabur aku menjadi pelayannya dan ikut membaca Al-Qur’an di majelisnya. Suatu hari di desa, aku melihatnya sedang bersuci dan lupa akan kendil bawaannya. Aku pun membawanya. Sesampai di tempat tujuan ku letakkan di sisinya. Ia berkata, “Semoga Allah membalas kebaikan kepadamu, ketika kamu membawa ini.” Lalu ia menatapku dalam-dalam, seakan-akan itu sebagai tatapan terakhir. Tiba-tiba ia berkata, “Pernah sekali, aku bertemu denganmu, siapa kamu? Aku menjawab, “Aku adalah orang yang memohon pertolongan kepada Allah swt, aku menyertaimu sekedarnya, dan ku tinggalkan hunian ku, karena mu. Aku merasa terputus oleh kemenangan dan waktu, ketika engkau berkata, “Pernah sekali, aku bertemu denganmu!”


🇭 🇮 🇩 🇭 🇺 🇷 

Hudhur berarti, seseorang sebagai pihak yang hadir bersama Al-Haq. Sebab ketika ia ghaib dari makhluk maka ia hadir bersama Al-Haq. Artinya, seakan-akan ia hadir, karna limpahan dzikir pada yang haq di dalam kalbunya, yang berarti ia hadir dengan kalbunya, di antara sisi Tuhannya. Dalam batas kegaibannya dari makhluk, maka kehadirannya di kategorikan bersama Al-Haq. Namun apa bila ia gaib secara universal, maka kehadiran tersebut menurut kegaibannya.


Manakala di katakan “ Si Fulan hadir. Berarti, ia hadir dengan kalbunya untuk Tuhannya. Ia tidak lupa dari-Nya dan tidak pula alpa. Lalu ia mukasyafah dalam hudhur-nya menurut derajatnya, dengan segala makna yang di khusukan oleh Al-Haq kepadanya.

Kadang-kadang hudhur di katakan, karena kembalinya hamba pada dimensi rasa terhadap perilaku dirinya dan makhluk lainnya. Ia kembali pada kesadaran dari kegaibannya. Ini di sebut hadir bersama makhluk. Yang pertama di sebut hadir bersama Al-Haq, dan frekuensi kegaibannya beragam. Ada yang pendek gaibnya, ada pula yang abadi.


Di riwayatkan bahwa Dzun Nuun mengutus salah seorang muridnya ke Abu Yazid al-Bisthamy, untuk menyampaikan pesan agar Abu Yazid mengubah sifatnya.


Ketika murid Dzun Nuun telah sampai di daerah Bau Yazid, ia menanyakan rumah Abu Yazid, lalu ia pun menuju ke rumah yang di maksud. “Apa maksud kedatanganmu?” tanya Abu Yazid. “Aku ingin menemui Abu Yazid.” Kata orang itu. “Siapa Abu Yazid? Di mana Abu Yazid? Aku juga sedang mencari Abu Yazid.” Kata Abu Yazid. Orang itu pun segera pergi berlalu sambil bergumam, “Laki-laki itu pasti gila!” Kemudian ia kembali pulang ke rumah Dzun Nuun, mengabarkan apa yang di saksikan. Tiba-tiba Dzun Nuun menangis, sambil berkata, “Saudaraku Abu Yazid benar-benar telah pergi bersama mereka yang pergi kepada Allah swt”


berarti ciri has bagi orang yang hudhur itu adalah merasa hilang dirinya.

sehingga tidak bisa mengenali dirinya.

karna merasa dirinya tidak ada.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar