Senin, 08 November 2021

002 Tajrid dan kasab

🎵 📄


إِرَ ادَ تُــكَ الـتَّجْرِ يْدَ مَـعَ إِقَامَـةِ اللَّهِ إِ يَّـاكَ فيِ اْلأَسْبَابِ مِنَ الشَّـهْـوَ ةِ الْخَفِـيـَّةِ.

وَ إِرَادَ تُـكَ اْلأَسْبَابَ مَعَ إِقَامَةِ اللَّهِ إِ يَّـاكَ فيِ الـتَّجْرِ يْدِ اِنحِطَاطٌ مِنَ الْهِمَّةِ الْعَـلِـيـَّةِ


Hima mu atau Keinginanmu yang tinggi untuk tajrid (yaitu hanya beribadat saja tanpa berusaha untuk dunia) padahal Alloh masih menempatkan engkau pada golongan orang-orang yang harus berusaha atau kasab di alam asbab maka keinginanmu itu termasuk nafsu syahwat yang samar, halus, atau tersembunyi.

Sebaliknya keinginanmu untuk berusaha atau kasab, padahal Alloh telah menempatkan dirimu pada golongan orang yang harus beribadat tanpa berusaha atau di golongan orang orang tajrid, maka keinginan yang demikian berarti menurun dari semangat yang tinggi”


Syara':


Dalam pasal ini, Ibnu Atha'illah menggunakan beberapa istilah baku dalam khazanah sufi, yang harus di pahami terlebih dahulu agar mendapatkan pemahaman yang utuh. Istilah-istilah itu adalah:

👉tajrid,

👉asbab atau kasab

👉syahwah

👉himmah


Tajrid secara bahasa memiliki arti: penanggalan, pelepasan, atau pemurnian. Secara maknawi adalah penanggalan aspek-aspek dunia dari jiwa (nafs), atau secara singkat bisa di katakan sebagai pemurnian jiwa.


Asbab atau kasab secara bahasa memiliki arti: sebab-sebab atau sebab-akibat. Secara maknawi adalah status jiwa (nafs) yang sedang Allah tempatkan dalam dunia sebab akibat. Contoh: Iskandar Zulkarnain yang Allah tempatkan sebagai raja di dunia, mengurusi dunia sebab-akibat.


Syahwah (atau syahwat) secara bahasa memiliki arti: tatapan yang kuat, atau keinginan. Secara maknawi merupakan keinginan kepada bentuk-bentuk material dan duniawi, seperti harta, makanan dan lawan jenis. Berbeda dari syahwat, hawa-nafsu adalah keinginan kepada bentuk-bentuk non-material, seperti ego, kesombongan, dan harga diri.


Himmah merupakan lawan kata dari syahwat, yang juga memiliki arti keinginan. Namun bila syahwat merupakan keinginan yang rendah / (tarikan ke bawah bagaikan grafitasi bumi) (menuju nafsu) maka himmah adalah merupakan tarikan ke atas atau keinginan yang tinggi, keinginan menuju Allah

Adakalanya Allah menempatkan seseorang dalam dunia asbab dalam kurun tertentu-misalnya, untuk mencari nafkah, mengurus keluarga, atau memimpin negara. Bila seseorang sedang Allah tempatkan dalam kondisi asbab itu, namun dia berkeinginan untuk tajrid (misalkan dengan ber-uzlah), maka itu di katakan sebagai syahwat yang samar. Sebaliknya, saat Allah menempatkan seseorang dalam tajrid, namun dia justru menginginkan asbab, maka itu berarti menurun dari keinginan yang tinggi (keluar dari hima)

Inilah pentingnya untuk berserah diri dalam bersuluk, agar mengetahui kapan seseorang harus tajrid dan kapan seseorang harus terjun dalam dunia asbab. Semua kehendak seorang salik haruslah sesuai dengan Kehendak Allah.

https://zhuull-islami.blogspot.com

Sebagai seorang yang beriman, haruslah berusaha menyempurnakan imannya dengan berfikir tentang ayat-ayat Alloh, dan beribadah dan harus tahu bahwa tujuan hidup itu hanya untuk beribadah(menghamba) kepada Alloh,sesuai tuntunan Al-qur'an.

Tetapi setelah ada semangat dalam ibadah, kadang ada yang berpendapat bahwa salah satu yang merepotkan / mengganggu dalam ibadah yaitu bekerja (kasab). Lalu berkeinginan lepas dari kasab/usaha dan hanya ingin melulu beribadah.

Keinginan yang seperti ini termasuk keinginan nafsu yang tersembunyi/samar.

Sebab kewajiban seorang hamba, menyerah kepada apa yang di pilihkan oleh majikannya. Apa lagi kalau majikan itu adalah Alloh yang maha mengetahui tentang apa yang terbaik bagi hambanya.


Dan tanda-tanda bahwa Alloh menempatkan dirimu dalam golongan orang yang harus berusaha (kasab), apa bila terasa ringan bagimu, sehingga tidak menyebabkan lalai menjalankan suatu kewajiban dalam agamamu, juga menyebabkan engkau tidak tamak (rakus) terhadap milik orang lain.

Dan tanda bahwa Allah mendudukkan dirimu dalam golongan hamba yang tidak berusaha (Tajrid). Apabila Tuhan memudahkan bagimu kebutuhan hidup dari jalan yang tidak tersangka, kemudian jiwamu tetap tenang ketika terjadi kekurangan, karena tetap ingat dan bersandar kepada Tuhan, dan tidak berubah dalam menunaikan kewajiban-kewajiban.


Syeikh Ibnu 'Atoillah berkata : "Aku datang kepada guruku Syeikh Abu Abbas al- mursy. Aku merasa, bahwa untuk sampai kepada Allah dan masuk dalam barisan para wali dengan sibuk pada ilmu lahiriah dan bergaul dengan sesama manusia (kasab) agak jauh dan tidak mungkin. tiba-tiba sebelum aku sempat bertanya, guru bercerita: Ada seorang ahli di bidang ilmu lahiriah, ketika ia dapat merasakan sedikit dalam perjalanan ini, ia datang kepadaku sambil berkata: Aku akan meninggalkan kebiasaanku untuk mengikuti perjalananmu. Aku menjawab: Bukan itu yang kamu harus lakukan, tetapi tetaplah dalam kedudukanmu, sedang apa yang akan di berikan Allah kepadamu pasti sampai kepadamu.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar