Selasa, 09 November 2021

009. Ahwal menentukan a'maal

 📓Terjemahan kitab alhikam

📄hikmah 9. Ahwal menentukan a'maal


تَـنَوَّعَتْ أَجْنَاسُ اْلأَعْمَالِ لِـتَـنَوُّعِ وَارِدَاتِ اْلأَحْوَالِ


”Beraneka macam jenis amal perbuatan, karena bermacam-macam pula pemberian karunia Allah yang di berikan kepada hamba-Nya (atau yang di sebut Hal).”


hal atau ahwal adalah pengalaman rohani berupa rasa atau zauk dalam menuju gerbang makripat.

ahwal itu di bagi 2 yaitu:

1 hal

2 wisol



Syarah


Warid adalah terminologi suluk yang banyak di temukan dalam kitab Al-Hikam. Makna sederhana warid adalah karunia Allah yang turun kepada seorang hamba. Proses turunnya warid terkait dengan kesiapan qalb , dalam hal ini adalah kadar ahwal si hamba. Sebagai contoh, dalam Al-Quran Allah berfirman:


وَمَا يُلَقَّاهَا إِلَّا الَّذِينَ صَبَرُوا ...


Tidak di anugerahkan (al-hasanah) itu melainkan kepada orang-orang yang sabar ... - Q.S. Al-Fushilat [41]: 35


Dalam ayat di atas, sabar adalah ahwal si hamba, dan al-hasanah yang di anugrahkan merupakan warid yang Allah karuniakan.


Namun dalam hikmah ini Ibnu Athaillah tidak hanya berbicara tentang ahwal dan warid  namun juga berbicara keterkaitan antara warid dan amal. Bahwa warid yang di terima seorang hamba terkait dengan amal hamba tersebut. Amal yang di maksud di sini adalah berupa amal yang khusus, yakni amal atau dharma yang terkait dengan misi hidup atau jatidiri seseorang.


Dalam pandangan tasawuf, Hal atau ahwal di artikan sebagai pengalaman rohani dalam proses mencapai hakikat dan makrifat. Hal merupakan zauk atau rasa yang berkaitan dengan hakikat ketuhanan yang melahirkan makrifatullah (pengenalan tentang Alloh). tanpa Hal tidak ada hakikat dan tidak di peroleh makrifat. Ahli ilmu membina makrifat melalui dalil ilmiah tetapi ahli tasawuf bermakrifat melalui pengalaman tentang hakikat.


Sebelum memperoleh pengalaman hakikat, ahli kerohanian terlebih dahulu memperoleh kasyaf yaitu terbuka keghoiban kepadanya. Ada orang mencari kasyaf yang dapat melihat makhluk ghaib seperti jin. Dalam proses mencapai hakikat ketuhanan kasyaf yang demikian tidak penting. Kasyaf yang penting adalah yang dapat mengenali tipu daya syaitan yang bersembunyi dalam berbagai bentuk dan suasana dunia ini.


Rasululloh saw. sendiri sebagai ahli kasyaf yang paling unggul hanya melihat Jibril a.s dalam rupanya yang asli dua kali saja, walaupun pada setiap kali Jibril a.s menemui Rasululloh saw. dengan rupa yang berbeda-beda, Rasululloh tetap mengenalinya sebagai Jibril a.s.


Bila seseorang ahli kerohanian memperoleh kasyaf maka dia telah siap untuk menerima kedatangan Hal atau zauk yaitu pengalaman kerohanian tentang hakikat ketuhanan. Hal tidak mungkin di peroleh dengan beramal dan menuntut ilmu. Sebelum ini pernah di nyatakan bahwa tidak ada jalan untuk masuk ke dalam gerbang makrifat. Seseorang hanya mampu beramal dan menuntut ilmu untuk sampai pintu gerbangnya. Apabila sampai di situ seseorang hanya menanti karunia Alloh, semata-mata karunia Alloh yang membawa makrifat kepada hamba-hamba-Nya. karunia Alloh yang mengandung makrifat itu di namakan Hal.


Ada orang yang memperoleh Hal sekali saja dan di kuasai oleh Hal dalam waktu yang tertentu saja dan ada juga yang terus-menerus di dalam Hal. Hal yang terus-menerus atau berkekalan di namakan wishol yaitu penyerapan Hal secara terus-menerus, kekal atau baqo'. Orang yang mencapai wishol akan terus hidup dengan cara Hal yang terjadi. Hal-hal (ahwal) dan wishol bisa di bagi menjadi lima macam

1 abid

2 asyikin

3 muttaholik

4 muwahid

5 mutahaqqik


1. Abid:

Abid adalah orang yang di kuasai oleh Hal atau zauk yang membuat dia merasakan dengan sangat bahwa dirinya hanyalah seorang hamba yang tidak memiliki apa-apa dan tidak mempunyai daya dan upaya untuk melakukan sesuatu. Kekuatan, usaha, bakat-bakat dan apa saja yang ada dengannya adalah daya dan upaya yang dari Alloh. Semuanya itu adalah karunia Allohsemata-mata. Alloh sebagai Pemilik yang sebenarnya, apabila Dia memberi, maka Dia berhak mengambil kembali pada masa yang Dia kehendaki. Seorang abid benar-benar bersandar kepada Allah s.w.t sekiranya dia melepaskan sandaran itu dia akan jatuh, kerana dia benar-benar melihat dirinya kehilangan apa yang datangnya dari Allah s.w.t.


2. Asyikin:

Asyikin ialah orang yang memandang sifat Keindahan Allah s.w.t. Rupa, bentuk, warna dan ukuran tidak menjadi soal kepadanya kerana apa saja yang di lihatnya menjadi cermin yang dia melihat Keindahan serta Keelokan Allah s.w.t di dalamnya. Amal atau kelakuan asyikin ialah gemar merenungi alam dan memuji Keindahan Allah s.w.t pada apa yang di saksikannya. Dia bisa duduk menikmati keindahan alam beberapa jam tanpa merasa jemu. Kilauan ombak dan tetesan hujan memukau pandangan hatinya. Semua yang kelihatan adalah warna Keindahan dan Keelokan Allah s.w.t. Orang yang menjadi asyikin tidak memperdulikan lagi adab (sebab akibat) dan peraturan masyarakat. Kesedarannya bukan lagi pada alam ini. Dia mempunyai alamnya sendiri yang di dalamnya hanyalah terdapat Keindahan Alloh s.w.t.


3. Muttakholiq:

Muttakholiq adalah orang yang mencapai yang Haq dan bertukar sifatnya. Hatinya di kuasai oleh suasana Qurbi Faroidh atau Qurbi Nawafil. 


Dalam Qurbi Faroidh, muttakholiq merasakan dirinya adalah alat dan Allah s.w.t menjadi Pengguna alat. Dia melihat perbuatan atau kelakuan dirinya terjadi tanpa dia merancang dan campur tangan, bahkan dia tidak mampu mengubah apa yang akan terjadi pada kelakuan dan perbuatannya. Dia menjadi orang yang berpisah dari dirinya sendiri. Dia melihat dirinya melakukan sesuatu perbuatan seperti dia melihat orang lain yang melakukannya, yang dia tidak berdaya mengawal atau mempengaruhinya. 

Hal Qurbi Faraidh adalah dia melihat bahwa Allah s.w.t melakukan apa yang Dia kehendaki. Perbuatan dia sendiri adalah gerakan Allah s.w.t, dan diamnya juga adalah gerakan Allah s.w.t. Orang ini tidak mempunyai kehendak sendiri, tidak ada ikhtiar dan tadbir. Apa yang mengenai dirinya, seperti perkataan dan perbuatan, berlaku secara spontan. Kelakuan atau amal Qurbi Faroidh ialah bercampur-campur di antara logika dengan tidak logika, mengikut adat dengan merombak adat, kelakuan alim dengan jahil. Dalam banyak perkara penjelasan yang boleh diberikannya ialah, "Tidak tahu! Allah s.w.t berbuat apa yang Dia kehendaki".


Dalam suasana Qurbi Nawafil, muttakholiq melihat dengan mata hatinya sifat-sifat Allah s.w.t dan dia menjadi pelaku atau pengguna sifat-sifat tersebut, yaitu dia menjadi khalifah dirinya sendiri. Hal Qurbi Nawafil ialah berbuat dengan izin Allah s.w.t kerana Allah s.w.t memberikan kepadanya untuk berbuat sesuatu. 

Contoh Qurbi Nawafil adalah kelakuan Nabi Isa a.s yang membentuk rupa burung dari tanah liat lalu menyuruh burung itu terbang dengan izin Allah s.w.t, juga kelakuan beliau a.s menyeru orang mati supaya bangkit dari kuburnya. Nabi Isa a.s melihat sifat-sifat Allah s.w.t yang di izinkan menjadi kemampuan beliau, sebab itu beliau tidak ragu-ragu untuk menggunakan kemampuan tersebut menjadikan burung dan menghidupkan orang mati dengan izin Allah s.w.t.


4. Muwahhid:

Muwahhid fana' dalam dzat, dzatnya lenyap dan DZat Mutlak yang menguasainya. bagi muwahhid ialah dirinya tidak ada, yang ada hanya Alloh s.w.t. Orang ini telah putus hubungannya dengan kesedaran basyariah dan sekalian maujud. Kelakuan atau amalnya tidak lagi seperti manusia biasa karena dia telah terlepas dari sifat-sifat kemanusiaan dan kemakhlukan. Misalkan dia bernama Abdullah, dan jika di tanya kepadanya di manakah Abdullah, maka dia akan menjawab Abdullah tidak ada, yang ada hanyalah Allah! Dia benar-benar telah lenyap dari ke'Abdullah-an' dan benar-benar di kuasai oleh ke'Allah-an'. Ketika dia di kuasai oleh hal dia terlepas dari beban hukum syarak. Dia telah fana dari keakuanya dan di kuasai oleh kewujudan 'Aku Hakiki'. Walau bagaimanapun sikap dan kelakuannya dia tetap dalam ridho Allah s.w.t. Apa bila dia tidak di kuasai oleh hal, kesedarannya kembali dan dia menjadi ahli syariat yang taat. Perlu di ketahui bahwa hal tidak boleh di buat-buat dan orang yang di kuasai oleh hal tidak boleh berupaya menahannya.

Orang-orang sufi bersepakat mengatakan bahwa siapa yang mengatakan, "Ana al-Haq!" sedangkan dia masih sadar tentang dirinya maka orang tersebut adalah sesat dan kufur 


5. Mutahaqqiq:

Mutahaqqiq ialah orang yang setelah fana dalam dzat turun kembali kepada kesedaran sifat, seperti yang terjadi kepada nabi-nabi dan wali-wali demi melaksanakan amanat sebagai khalifah Alloh di muka bumi dan kehidupan dunia yang wajib di urusi.


Dalam kesadaran dzat seseorang tidak keluar dari khalwatnya dengan Alloh s.w.t dan tidak peduli tentang keruntuhan rumah tangga dan kehancuran dunia seluruhnya. Sebab itu orang yang demikian tidak bisa di jadikan pemimpin. Dia mesti turun kepada kesedaran sifat barulah dia bisa memimpin orang lain. Orang yang telah mengalami kefanaan dalam zat kemudian di sadarkan dalam sifat adalah benar-benar pemimpin yang di lantik oleh Alloh s.w.t menjadi Khalifah-Nya untuk memakmurkan makhluk Alloh s.w.t dan memimpin umat manusia menuju jalan yang di ridhoi Alloh s.w.t. Orang inilah yang menjadi ahli makrifat yang sejati, ahli hakikat yang sejati, ahli thorikoh yang sejati dan ahli syariat yang sejati, berkumpul padanya dalam satu kesatuan yang menjadikannya Insan Robbani. Insan Robbani peringkat tertinggi ialah para nabi-nabi dan Alloh karuniakan kepada mereka maksum, sementara yang tidak menjadi nabi di lantik sebagai wali-Nya yang di beri perlindungan dan pemeliharaan.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar