Minggu, 07 November 2021

0326. Ikhlas

 terjemahan kitab

ar-Risalatul-Qushayriyya (Abul Qasim Abdul Karim bin Hawazin al- Qusyairy)

bab 3: tahapan para penempuh jalan sufi

judul: 26 Ikhlas



Allah SWT berfirman:


“Ingatlah, hanya kepunyaan Allah-lah agama yang bersih (dari syirik).”

(Qs. Az-Zumar :3).


Anas bin Malik r.a menuturkan bahwa Rasulullah saw. bersabda:


“Belenggu tidak akan masuk ke dalam hati seorang Muslim jika ia menetapi tiga perkara. Ikhlas beramal hanya bagi Allah swt. memberikan nasihat yang tulus kepada penguasa, dan tetap berkumpul dengan masyarakat Muslim.”

(Hr. Ahmad, dikategorikan shahih oleh Ibnu Hibban dan Ibnu Hajar).


Ikhlas berarti bermaksud menjadikan Allah set. Sebagai Satu-satunya sesembahan. Sikap taat dimaksudkan adalah taqarrub kepada Allah swt. mengesampingkan yang lain dari makhluk, apakah itu sifat memperoleh pujian atau pun penghormatan dari manusia. Ataupun konotasi kehendak selain taqarrub kepada Allah swt. semata.


Dapat dikatakan:

“Keikhlasan berarti menyucikan amal-amal perbuatan dari campur tangan sesama makhluk.”


Dikatakan juga “Keikhlasan berarti melindungi diri sendiri dari urusan individu-individu manusia.”


Nabi saw. ditanya, apakah ikhlas itu? Nabi saw. bersabda:

“Aku bertanya kepada Jibril as. Tentang ikhlas, apakah ikhlas itu? Lalu Jibril berkata:

“Aku bertanya kepada Tuhan Yang Maha Suci tentang ikhlas, apakah sebenarnya? Allah swt. menjawab “Suatu rahasia dari rahasia-Ku yang Aku tempatkan di hati hamba-hamba-Ku yang kucintai.”

(Hr. Al-Qazwini, riwayat dari Hudzaifah).


Syeikh Abu Ali ad-Daqqaq berkata:

“Keikhlasan adalah menjaga diri dari campur tangan makhluk, dan sifat shidq berarti membersihkan diri dari kesadaran akan diri sendiri. Orang yang ikhlas tidaklah bersikap riya’ dan orang yang jujur tidaklah takjub pada diri sendiri.”


Dzun Nuun al-Mishry berkomentar: “Keikhlasan hanya tidak dapat dipandang sempurna, kecuali dengan cara menetapi dengan sebenar-benarnya dan bersabar untuknya. Sedangkan jujur hanya dapat dipenuhi dengan cara ikhlas secara terus menerus.”


Abu Ya’qub as-Susy mengatakan: “Apabila mereka melihat keikhlasan dan dalam keikhlasannya, maka keikhlasan mereka itu memerlukan keikhlasan lagi.”


Dzun Nuun al-Mishry menjelaskan:

“Ada tiga tanda keikhlasan. Manakala orang yang bersangkutan memandang pujian dan celaan manusia sama saja melupakan amal ketika beramal dan jika ia lupa akan haknya untuk memperoleh pahala di akhirat karena amal baiknya.”


Mengenai ikhlas manusia pilihan (khawwash), keikhlasan datang kepada mereka bukan dengan perbuatan mereka sendiri. Amal kebaikan lahir dari mereka tetapi mereka menyadari perbuatan baiknya bukan dari diri sendiri, tidak pula peduli terhadap amalnya. Itulah keikhlasan kaum pilihan.”


Abu Bakr ad-Daqqaq menegaskan:

“Cacat keikhlasan dari masing-masing orang yang ikhlas adalah penglihatannya akan keikhlasannya itu. Jika Allah swt. menghendaki untuk memurnikan keikhlasannya. Dia akan menggugurkan keikhlasannya dengan cara tidak memandang keikhlasannya sendiri dan jadilah ia sebagai orang yang diikhlaskan Allah swt. (mukhlash) bukannya berikhlas (mukhlish).”


Sahl berkata:

“Hanya orang yang ikhlas (mukhlish) sajalah yang mengetahui riya.”


Abu Sa’id al-Kharraz menegaskan:

“Riya kaum ‘arifin lebih baik daripada ikhlas para murid.”


Dzun Nuun berkata:

“Keikhlasan adalah apa yang dilindungi dari kerusakan musuh.”


Abu Utsman mengatakan:

“Keikhlasan adalah melupakan pandangan makhluk melalui perhatian yang terus menerus kepada khalik.”


Huszaifah al-Mar’asyi berkomentar:

“Keikhlasan berarti bahwa perbuatan-perbuatan si hamba adalah sama, baik lahir maupun batinnya.”


Dikatakan:

“Keikhlasan adalah sesuatu yang dengannya Allah swt. berkehendak dan dimaksudkan tulus dalam ucapan serta tindakan.”


Dikatakan pula:

“Keikhlasan berarti mengikat diri sendiri pada kesadaran akan perbuatan baik.”


As-Sary mengatakan:

“Orang yang menghiasi dirinya di hadapan manusia dengan sesuatu yang bukan miliknya, berarti jatuh dari penghargaan Allah swt.”


Al-Fudhail berkata:

“Menghentikan amal-amal baik karena manusia adalah riya’, dan melaksanakannya karena manusia adalah musyrik. Ikhlas berarti Allah menyembunyikan dari dua penyakit ini.”


Al-Junayd mengatakan:

“Keikhlasan adalah rahasia antara Allah dengan si hamba. Bahkan malaikat pencatat tidak mengetahui sedikit pun mengenainya untuk dapat dituliskannya, setan tidak mengetahuinya hingga tidak dapat merusaknya, nafsu pun tidak menyadarinya sehingga ia tidak mampu mempengaruhinya.”


Ruwaym menjelaskan:

“Ikhlas dalam beramal kebaikan berarti bahwa orang yang melakukannya tidak menginginkan pahala baik di dunia maupun di akhirat.”


Dikatakan kepada Sahl bin Abdullah:

“Apakah hal terberat pada diri manusia? Ia menjawab : “Keikhlasan, sebab diri manusia tidak punya bagian di dalamnya.”


Ketika ditanya tentang ikhlas, salah seorang Sufi menjawab:

“Ikhlas berarti engkau tidak memanggil siapa pun selain Allah swt. untuk menjadi saksi atas perbuatanmu.”


Salah seorang Sufi menuturkan:

Aku menemui Sahl bin Abdullah pada hari Jum’at di rumahnya sebelum shalat. Ada seekor ular di rumahnya, hingga aku ragu-ragu berdiri di pintu. Ia berseru : Masuklah! Tidak seorang pun dapat mencapai hakikat iman jika ia masih takut pada sesuatu pun di atas bumi.” Kemudian ia bertanya. “Apakah engkau hendak mengikuti shalat Jum’at? Aku menjawab “Jarak dari sini ke masjid di depan kita adalah sejauh perjalanan sehari semalam.


Maka Sahl lalu menggandeng tanganku, dan sesaat kemudian kami telah berada di masjid itu. Kami masuk ke dalam dan shalat, kemudian keluar. Sahl berdiri di sana, melihat ke arah orang banyak, dan berkata : Banyak orang mengucapkan “Laa ilaaha Illallaah”. Tapi yang ikhlas amatlah sedikit.”


Makhul berkata:

“Tidak seorang pun hamba yang ikhlas selama empat puluh hari, kecuali akan mendapatkan sumber hikmah memancar dari hati pada lisannya.”


Yusuf bin al Husain berkomentar:

“Milikku yang paling berharga di atas dunia ini adalah keikhlasan. Betapa seringnya aku telah berjuang untuk membebaskan hatiku dari riya’ namun setiap kali aku berhasil, ia muncul dalam warna yang lain!.”


Abu Sulaiman berkata:

“Jika seorang hamba berikhlas, maka terpotonglah waswas dan riya”.





Tidak ada komentar:

Posting Komentar