terjemahan kitab
ar-Risalatul-Qushayriyya (Abul Qasim Abdul Karim bin Hawazin al- Qusyairy)
bab 3: tahapan para penempuh jalan sufi
judul: 27 Kejujuran
Allah SWT berfirman:
“Wahai orang-orang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah kamu bersama orang-orang yang jujur.”
(Qs. At-Taubah :19).
Di riwayatkan oleh Abdullah bin Mas’ud bahwa Rasululah SWT bersabda:
“Jika seorang hamba tetap bertindak jujur dan berteguh hati untuk bertindak jujur, maka ia akan ditulis di sisi Allah sebagai orang yang jujur, dan jika ia tetap berbuat dusta dan berteguh hati untuk berbuat dusta, maka ia akan ditulis di sisi Allah sebagai pendusta.”
(Hr. Abu Dawud dan Tirmidzi).
Kejujuran (shidq) adalah tiang penopang segala persolan, dengannya kesempurnaan dalam menempuh jalan ini tercapai, dan melaluinya pula ada tata aturan. Kejujuran mengiringi derajat kenabian, sebagaimana di firmankan Allah swt:
“Maka mereka itu akan bersama-sama dengan orang-orang yang dianugerahi nikmat oleh Allah yaitu para Nabi dan orang-orang yang menetapi kejujuran (Shiddiqin) para syuhada’ dan orang-orang saleh.”
(Qs. An-Nisa’ :69).
Kata Shidq (orang yang jujur) berasal dari kata Shidq (kejujuran). Kata Shiddiq adalah bentuk penekanan (mubalaghah) dari shadiq, dan berarti orang yang didominasi oleh kejujuran. Demikian juga halnya dengan kata-kata lain yang bermakna penekanan, seperti sikkir dan pemabuk, yang penuh anggur (khimmir). Derajat terendah kejujuran adalah bila batin seseorang selaras dengan perbuatan lahirnya. Shadiq adalah orang yang benar dalam kata-katanya. Shiddiqy adalah orang yang benar-benar jujur dalam semua kata-kata, perbuatan dan keadaan batinnya.
Ahmad bin Khadhrawaih mengajarkan:
“Barangsiapa ingin agar Allah bersamanya, hendaklah ia berpegang teguh pada kejujuran, sebab Allah swt. bersama-sama orang yang jujur.”
Al-Junayd berkata:
“Orang yang jujur berubah empat puluh kali dalam sehari, sedangkan orang riya’ tetap berada dalam satu keadaan selama empat puluh tahun.”
Abu Sulaiman ad-Darany mengatakan:
“Jika orang yang jujur ingin menggambarkan apa yang ada dalam hatinya, maka lisannya tidak akan mengatakannya.”
Dikatakan:
“Bersikap jujur berarti menegaskan kebenaran, meskipun terancam kebinasaan.”
An-Naqqad mengatakan:
“Sikap jujur berarti mencegah kedua rahang (syidq) dari mengucapkan apa yang terlarang.”
Abdul Wahid bin Zaid berkomentar:
“Sikap benar adalah setia kepada Allah swt. dalam tindakan,”
Sahl bin Abdullah mengatakan:
“Seorang hamba yang menipu diri sendiri atau orang lain tidak akan mencium harum semerbaknya kebenaran.”
Abu Sa’id al-Qurasyi mengatakan:
“Orang yang jujur adalah orang yang siap mati dan tidak akan malu jika rahasianya diungkapkan. Allah swt. berfirman:
“Maka, inginkanlah kematian, jika kamu orang-orang yang jujur.”
(Qs. Al-Baqarah :94).
Syeikh Abu Ali ad-Daqqaq menuturkan:
“Suatu hari Abu Ali ats-Tsaqafy sedang memberikan pelajaran, tiba-tiba Abdullah bin Munazil berkata kepadanya: “Wahai Abu Ali, siapkanlah diri Anda untuk mati, sebab tidak ada jalan untuk lari darinya. “Abu Ali menjawab : “Dan Anda, wahai Abdullah, siapkanlah diri untuk mati, sebab tidak ada jalan lari darinya. ‘Maka disaat itulah Abdullah merebahkan diri, membentangkan kedua tangannya, menundukkan kepalanya dan mengatakan : “Aku mati sekarang.” Abu Ali pun diam terpaku karenanya, dimana dirinya tidak mampu menandingi apa yang dilakukan Abdullah, karena Abu Ali masih terpaut pada dunia, sedangkan Abdullah telah terbebas dari ikatan dunia.”
Ahmad bin Muhammad ad-Dainury sedang berbicara di hadapan sekumpulan orang ketika seorang wanita di antara mereka berteriak, Abu Abbas memarahinya dengan kata-kata:
“Matilah engkau!” Wanita itu bangkit, maju beberapa langkah, berpaling kepadanya dan berkata, “Aku telah mati.” Kemudian ia jatuh ke tanah dan mati.”
Al-Wasithy berkata:
“Kejujuran adalah keyakinan yang kokoh terhadap tauhid bersama-sama dengan niat.”
Dikatakan:
“Abdul Wahid bin Zaid memandang kepada seorang pemuda di antara para sahabatnya, yang bertubuh kurus kering, dan Abdul Wahid bertanya kepadanya: “Apakah engkau telah terlalu lama memperpanjang puasamu?” Pemuda itu menjawab: “Aku juga bukan memperpanjang berbuka.
Kemudian Abdul Wahid bertanya:
Apakah engkau telah memperpanjang waktu bangun untuk shalat malammu?” Pemuda itu menjawab: Bukan, bukan pula aku telah memperpanjang tidur.” Lalu Abdul Wahid pun bertanya: Apakah yang telah membuatmu begitu kurus?” Pemuda itu menjawab: “Hasrat yang selalu berkobar dan rahasia terpendam yang abadi.” Abdul Wahid berseru, Dengarlah! Betapa beraninya pemuda ini!. Pemuda itu lalu berdiri, maju dua langkah dan berteriak: “Ya Allah, jika aku memang tulus, ambillah nyawaku sekarang juga!” lalu ia pun jatuh dan meninggalkan dunia ini.”
Abu Amr az-Zajjajy menuturkan:
Ibuku meninggal, dan aku mewarisi sebuah rumah beliau. Aku menjualnya dengan harga limapuluh dinar dan kemudian berangkat menunaikan ibadah haji. Setiba di Babilonia, seorang penggali saluran air bertanya kepadaku: “Apa yang engkau bawa ?” Aku berkata dalam hati: “Kejujuran adalah yang terbaik.” Dan aku menjawab: “Uang lima puluh dinar.” Ia berkata: “Serahkanlah kepadaku!” Maka akupun memberikan kantong uangku kepadanya. Dihitungnya jumlah semua uang di dalamnya, dan ternyata memang ada limapuluh dinar. Berkatalah ia: “Ambillah kembali uangmu!” Kejujuranmu menyentuh hatiku.” Lalu ia turun dari kudanya dan berkata: “Naiklah kudaku” Aku balik berkata: Aku tidak menginginkannya.” Ia berkata: “Harus...!” dan terus memaksaku menaiki kudanya. Akhirnya setelah aku bersedia naik di atasnya, ia berkata: Aku di belakangmu.” Satu tahun kemudian ia berhasil menyusulku, dan tinggal bersamaku hingga akhir hayatnya.”
Ibrahim al-Khawwas menjelaskan:
“Orang jujur tidak memandang kecuali kewajiban yang harus ditunaikan, atau ibadat utama bagi Allah swt.”
Al-Junayd berkata:
“Inti kejujuran adalah bahwa engkau berkata jujur di wilayah yang, apabila seseorang berkata jujur tidak akan selamat kecuali berdusta.”
Dikatakan:
“Tiga hal tidak pernah lepas dari seorang jujur ucapannya, kehadiran yang kharismatis dan pancaran taat di wajahnya.”
Dikatakan pula “Allah swt. bersabda kepada Daud as.:
“Wahai Daud, barangsiapa menerima apa yang kukatakan dengan sejujurnya dalam hatinya niscaya Aku akan mengukuhkan sifat jujur di kalangan makhluk manusia dalam lahiriahnya.”
Dikatakan Ibrahim bin Dawhah memasuki padang pasi bersama Ibrahim bin Sitanbah. Kata Ibnu Dawhah:
“Ibnu Sitanbah mengatakan kepadaku : “Campakanlah segala apa yang mengikatmu!.” Aku melemparkan segala sesuatu yang ada padaku, kecuali uang satu dinar. Lalu ia berkata : “Wahai Ibrahim, janganlah engkau membebani pikiranku!. Campakkanlah keterikatan mu! Maka dinar itu pun lalu ku lemparkan. Tapi lagi-lagi ia mengatakan. Wahai Ibrahim, campakanlah keterikatan mu!” Lalu aku ingat bahwa aku masih memiliki beberapa tali sandal cadangan, yang lalu ku lemparkan juga. Selanjutnya, dalam perjalananku, setiap kali aku memerlukan tali sandal, maka muncullah seutas tali sandal di hadapanku. Ibrahim bin Sitanbah mengatakan : “Inilah orang yang beramal dengan Allah swt. secara jujur.”
Dzun Nuun al-Mishry berkata:
“Kejujuran adalah pedang Allah, tidak satu pun di letakkan padanya, kecuali akan terpotong.
Sahl bin Abdullah mengatakan:
“Awal penghianatan orang-orang jujur adalah munculnya keraguan dengan dirinya.”
Ketika ditanya tentang kejujuran, Fath al-Maushaly memasukkan tangannya ke dalam bara api seorang tukang besi. Mengambil sebatang besi yang merah membara, meletakkannya di telapak tangannya dan berkata: “Inilah kejujuran!”
Yusuf bin Asbat berkata:
“Aku lebih suka menghabiskan waktu semalam bersama Allah swt. dalam kejujuran jiwa daripada berperang dengan pedangku di Jalan-Nya.”
Abu Ali ad-Daqqaq menegaskan:
“Kejujuran adalah seperti engkau menganggap dirimu sebagaimana adanya, atau engkau dilihat seperti apa adanya dirimu.”
Ketika al-Harits al-Muhasiby ditanya tentang tanda-tanda kejujuran, ia menjawab:
“Orang yang jujur adalah orang yang manakala tidak peduli akan ketergantungan kalbu manusia kepada dirinya, tidak pula senang atas ketergantungan kalbu manusia kepada dirinya, tidak pula senang atas jasanya kepada manusia untuk dilihat, dan juga tidak peduli apakah popularitasnya di antara manusia akan lenyap. Ia bahkan tidak membenci bila perbuatan buruknya dilihat oleh orang banyak, Jika ia benci, ia perlu menambah imannya. Dan yang demikian itu bukanlah ciri akhlak orang-orang jujur.”
Salah seorang Sufi berkomentar:
“Jika seseorang tidak memenuhi satu kewajiban agama yang abadi, maka pelaksanaan keajaiban-kewajiban agamanya sesuai dengan waktu yang telah di tetapkan, “Apakah kewajiban agama yang abadi itu?” Ia menjawab: “Kejujuran.”
Di katakan:
“Jika engkau mencari Allah swt. dalam kejujuran, niscaya Dia akan memberimu cermin yang di dalamnya engkau akan melihat semua keajaiban dunia dan akhirat.”
Dikatakan:
“Engkau harus berlaku jujur ketika merasa takut bahwa hal itu akan mencelakakanmu, padahal itu akan bermanfaat bagimu. Janganlah menipu ketika engkau mengira hal itu akan menguntungkanmu, padahal pasti ia akan merugikanmu.”
Dikatakan juga:
“Tiap-tiap sesuatu punya arti, tapi persahabatan seorang pendusta tidak berarti apa-apa.”
Dikatakan:
“Tanda seorang pendusta adalah kegairahannya untuk bersumpah sebelum hal itu dituntut darinya.”
Ibnu Sirin mengatakan:
“Lingkup pembicaraan itu demikian luas hingga (sebetulnya) orang tidak perlu berdusta.”
Dikatakan:
“Seorang pedagang yang jujur tidak pernah melarat.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar