terjemahan kitab
ar-Risalatul-Qushayriyya (Abul Qasim Abdul Karim bin Hawazin al- Qusyairy)
bab 3: tahapan para penempuh jalan sufi
judul: 28 Malu
Allah SWT berfirman:
“Tidakkah ia mengetahui bahwa sesungguhnya Allah melihat segala perbuatannya?”
(Qs. Al-‘Alaq :14).
Diriwayatkan oleh Abu Hurairah r.a. bahwa Rasulullah saw. telah bersabda:
“Malu adalah sebagian dari iman.”
(H.r. Tirmidzi).
Juga sabda beliau suatu hari kepada para sahabatnya:
“Malulah kamu sekalian di hadapan Allah dengan malu yang sebenar-benarnya.” Mereka berkata: “Tapi kami sudah merasa malu, wahai Nabi Allah, dan segala puji bagi-Nya!.”
Beliau bersabda:
“Itu bukanlah malu yang sebenarnya. Orang yang ingin malu dengan sebenar-benarnya di hadapan Allah swt. hendaklah menjaga pikiran dan bisikan hatinya, hendaklah ia menjaga perutnya dan apa yang di makannya, hendaklah ia mengingat mati dan fitnah kubur. Orang yang menghendaki Akhirat hendaklah meninggalkan perhiasan-perhiasan kehidupan duniawi. Orang yang melakukan semua ini. Berarti ia memiliki rasa malu yang sebenarnya di hadapan Allah.
” (H.r. Tirmidzi dan Hakim dan di shahihkan oleh Al-Hakim).
Sebagian hukama’ mengajarkan:
“Jagalah agar malu tetap hidup dalam hatimu dengan cara berteman dengan orang yang di permalukan orang lain”
Ibnu Atha’ menegaskan:
“Bagian terbesar dari ilmu adalah rasa gentar dan malu. Jika yang dua ini lenyap, tiada lagi kebaikan.”
Dzun Nuun al-Mishry berkata:
“Malu berarti bahwa engkau merasakan gentar dalam hatimu, sangat takut akan masa lalu yang telah engkau lakukan di hadapan Allah swt.” Ia juga mengatakan: “Cinta membuat orang berbicara, malu membuat orang terdiam, dan takut membuat orang gelisah”
Abu Utsman mengatakan:
“Orang yang berbicara tentang malu, namun tidak merasa malu di hadapan Allah swt, berarti telah terkena istidraj.”
Abu Bakr bin Asykib menuturkan bahwa al-Hasan bin al-Haddad datang kepada Abdullah bin Munazil, yang menanyakan kepadanya, “Anda datang dari mana?” Ia menjawab: “ Dari majelis Abul Qasim sang pengingat.” Abdullah bertanya kepadanya: “Apa topik pembicaraannya?” Di jawabnya: “Tentang malu.” Abdullah berkomentar: “Menajubkan sekali, bahwa orang yang belum pernah merasa malu di hadapan Allah dapat berbicara tentang malu?”
As-Sary berkata:
“Malu dan suka cita ruhani masuk ke dalam hati seseorang. Jika keduanya menemukan wara’ dan zuhud, maka mereka akan menetap. Jika tidak, mereka akan meneruskan perjalanan (hilang dari hati)”
Al-Jurairy mengabarkan:
“Pada generasi pertama Kaum Muslimin, orang mengamalkan agama sampai agama menjadi lemah. Pada generasi kedua, mereka menekankan kesetiaan, sampai kesetiaan lenyap. Pada generasi ketiga, mereka menekankan kekesatriaan (muru’ah) sampai ia lenyap. Pada generasi keempat, mereka menekankan rasa malu sampai malu itu lenyap. Sekarang orang beramal karena hasrat dan takut”
Di katakan tentang firman Allah swt:
“Dia (istri al-Aziz) telah bermaksud (melakukan perbuatan itu) dengan Yusuf, dan Yusuf pun bermaksud (melakukannya pula) dengan wanita itu andai kata ia tidak melihat tanda (dari) Tuhannya”
(Qs. Yusuf :24)
Pengertian:
“Tanda” di sini adalah, bahwa di saat wanita itu menutupkan selembar kain ke wajah patung yang ada di sudut ruangan. Ketika Yusuf bertanya: “Apa yang engkau lakukan?” Ia menjawab: “ “Aku merasa malu di hadapannya.” Yusuf berkata: “Aku lebih punya alasan lagi untuk malu di hadapan Allah swt.”
Di katakan mengenai firman Allah swt:
“Kemudian datanglah kepada Musa salah seorang dari kedua wanita itu berjalan malu-malu.”
(Qs. Al-Qashash :24)
Bahwa ia malu Kepada Musa karena menawarkan jamuan malu seandainya Musa tidak menjawab salamnya. Malu sebagai sifat tuan rumah, adalah jenis malu yang muncul dari penghormatan kepada tamu.
Abu Sulaiman ad-Darany berkata: “Allah swt. berfirman: “Wahai hamba-Ku, selama engkau malu di hadapan-Ku, Aku akan membuat manusia lupa akan kekuranganmu, Aku akan membuat muka bumi lupa akan dosa-dosamu. Aku akan menghapus kesalahan-kesalahanmu dan buku catatan induk, dan Aku tidak akan meneliti amalanmu pada Hari Kebangkitan”
Seseorang bertanya kepada seorang laki-laki yang terlihat shalat di luar masjid. “Mengapa engkau tidak masuk dan shalat di dalam?” Laki-laki itu menjawab:
“Saya malu memasuki rumah Allah karena telah bermaksiat kepada-Nya”
Salah satu tanda bahwa seseorang memiliki rasa malu adalah, bahwa ia tidak pernah terlihat dalam situasi yang membuatnya malu.
Sebagian Sufi menuturkan:
“Suatu malam kami keluar dan melewati rimba. Tiba-tiba mendapati seseorang tidur di tempat itu, sedang kudanya memakan rumput dekat kepalanya. Kami membangunkan orang itu dan bertanya kepadanya. “Tidakkah engkau takut tidur di tempat yang mengerikan dan penuh binatang busa ini?” Ia mengangkat kepalanya dan menjawab : “Di hadapan-Nya, aku malu menakuti apa pun selain Dia.” Kemudian di letakkan kembali kepalanya dan meneruskan tidurnya.”
Allah swt. mewahyukan kepada Isa as:
“Nasihatilah dirimu. Jika engkau menghiraukan nasihat itu, maka nasihatilah manusia. Jika tidak, maka malulah kepda-Ku untuk menasihati manusia.”
Di katakan bahwa ada beberapa macam malu. Yang pertama adalah malu di karenakan pelanggaran, seperti malu Nabi Adam as. Ketika di tanya: “Apakah engkau berniat lari dari Kami?” Beliau menjawab: “Tidak, karena malu di hadapan-Mu.” Yang kedua adalah malu karena terbatas, seperti malu para malaikat yang mengatakan: “Maha Suci Engkau! Kami telah menyembah-Mu tidak sebagaimana layaknya Engkau di sembah.” Yang ketiga adalah malu karena mengagungkan, seperti malu Israfil as. Yang menutupkan sayapnya ke tubuhnya karena malu kepada Allah, Yang ke empat adalah malu karena kemuliaan hati, seperti malu rasulullah saw. ketika malu untuk mempersilahkan pergi tamu-tamu beliau, dan Allah swt. lalu berfirman :
“dan jika kamu selesai makan, keluarlah kamu semua tanpa asyik memperpanjang percakapan”
(Qs. Al-Ahzab :53).
Yang kelima adalah malu karena enggan, seperti malu Ali bin Abu Thalib ra. Ketika menyuruh Miqdad bin al-Aswad untuk menanyakan kepada Nabi saw. tentang hukumnya madzy (lendir yang kental tapi bening yang mengalir dari alat kelamin laki-laki) karena mengenai Fatimah r.a. Yang ke enam adalah malu karena terlalu remeh untuk di ungkapkan, seperti malu Musa as. Ketika munajat : “Aku mengajukan suatu kebutuhan dari dunia ini, dan aku malu meminta kepada-Mu, wahai Tuhanku.” Dan Allah lalu menjawab kepadanya : “Mintalah kepada-Ku, bahkan untuk adonan roti dan jerami untuk domba-dombamu.” Akhirnya, ada malu karena sifat pemberi kenikmatan, yang merupakan malu Allah swt. Dia memberikan buku yang distempel kepada seorang hamba setelah melewati Jembatan di akhirat. Di dalam buku itu tiba-tiba tertulis : “Engkau telah melakukan (dosa) ini dan itu. Aku malu menunjukkannya kepadamu, karena itu pergilah; Aku telah mengampuni mu.”
Syeikh Abu Ali ad-Daqqaq saya dengar berkata:
“Yahya bin Muadz berkata, Maha Suci Dzat Yang di dustai hamba, sedang Dia merasa mau, padahal dosa itu datang dari sang hamba.”
Al-Fudhail bin ‘Iyadh menjelaskan:
“Ada lima tanda celaka seorang manusia. Kerasnya hati, bengisnya mata, tiadanya rasa malu, hasrat terhadap dunia, dan lamunan yang tiada terbatas.”
Dalam salah satu kitab, Allah swt. berfirman:
“Hamba-Ku telah mempermalukan Aku dengan tidak adil. Ia berdoa kepada-Ku dan Aku merasa malu jika tidak mengabulkan doanya, tapi ia bermaksiat kepada-Ku tanpa merasa malu kepada-Ku.”
Yahya bin Muadz mengatakan:
“Bagi manusia yang malu di hadapan Allah swt. ketika ia taat, maka Allah akan malu ketika ia melakukan dosa.”
Syeikh Abu Ali ad-Daqqaq berkata:
“Ketahuilah, bahwa malu menyebabkan pencairan, sebab dikatakan bahwa rasa malu adalah mencairnya organ-organ tubuh manusia sebelah dalam ketika ia menyadari tatapan Tuhan kepadanya.
Dikatakan:
“Malu adalah mengkerutnya hati manusia untuk mengagungkan kebesaran Tuhan.”
Dikatakan juga: “Manakala seseorang duduk di hadapan sekumpulan manusia, memperingatkan dan menasihati mereka, maka kedua malaikatnya berseru kepadanya: “Peringatkanlah dirimu sebagaimana engkau memperingatkan saudaramu. Jika tidak, maka malulah engkau di hadapan Tuhanmu, sebab Dia melihatmu.”
Al-Junayd ditanya tentang malu, ia menjawab:
“Penglihatan pada rahmat Allah swt. terus tercurah dan penglihatan terhadap keterbatasan diri. Di antara keduanya kemudian melahirkan apa yang disebut “malu”.
Muhammad al-Wasithy berkomentar:
“Orang tidak akan pernah merasakan sengatan malu, yang memakai robekan batas-batas yang ditetapkan Allah atau merusak janji.”
Dikatakannya pula:
“Keringat mengalir keluar dari orang yang merasa malu. Ia adalah anugerah yang ditempatkan di dalam dirinya. Selama nafsu rendah masih ada dalam dirinya, maka ia akan dijauhkan dari malu.”
Syeikh Abu Ali ad-Daqqaq mengatakan:
“Malu berarti meninggalkan semua tendensi di hadapan Allah swt.
Abu Bakr al- Wasithy bertutur:
“Ketika aku shalat dua rakaat kepada Allah swt. Tiba-tiba kau membatalkannya karena merasa malu seperti seorang pencuri (yang tertangkap basah).”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar