terjemahan kitab
ar-Risalatul-Qushayriyya (imam al-qushayri)
bab 3: tahapan para penempuh jalan sufi
judul: 31 Futuwuwah
Allah swt. berfirman:
“Sesungguhnya mereka itu adalah pemuda-pemuda yang beriman kepada Tuhan mereka dan Kami tambahkan kepada mereka petunjuk.”
(Qs. Al-Kahfi :13).
Rasulullah saw. bersabda:
“Allah swt. memberikan perhatian kepada seorang hamba selama hamba itu memperhatikan kebutuhan saudaranya yang Muslim.”
(Hr. Thabrani, riwayat dari Abu Hurairah dan Zaid bin Tsabit).
Menurut Syeikh ad-Daqqaq: “Futuwwah pada prinsipnya adalah kepedulian secara terus menerus yang di lakukan seorang hamba kepada orang lain.”
Syeikh berkomentar : “Tidak ada kesempurnaan sifat Futuwwah. Kecuali hanya ada pada diri Rasulullah saw. saja, sebab pada hari Kebangkitan semua orang akan mengatakan: “Nafsi, nafsii, (aku hanya mengurus diriku, aku hanya mengurus diriku), sementara Rasulullah saw. akan mengatakan: “Ummati. Ummati. (ummatku. ummatku)”
Al Junayd mengatakan: “Futuwwah dapat ditemukan di Syam, kefasihan bahasa di Iraq, dan kejujuran di Khurasan.”
Al-Fudhail menegaskan: “Futuwwah berarti memaafkan kesalahan sesama manusia.”
Dikatakan pula: “Futuwwah berarti seseorang tidak menganggap dirinya lebih tinggi dan orang lain.”
Abu Bakr al-Warraq menegaskan: “Orang yang bersifat Futuwwah adalah mereka yang tidak punya musuh.”
Muhammad bin Ali at-Tirmidzy menjelaskan: “Futuwwah berarti engkau adalah musuh bagi dirimu sendiri, demi Tuhanmu.”
Dikatakan: “Manusia yang memiliki sifat Futuwwah tidak akan pernah memusuhi siap pun.”
Syeikh Abu Ali ad-Daqqaq mendengar an-Nashr Abadzy mengatakan: “Ashabul Kahfi (Mereka meninggalkan keluarganya, menuju kepada Tuhannya. Mereka kontra duniawinya, sehingga mereka dipuji karena meninggalkan duniawi demi Allah swt. Karenanya, mereka menentang arus kebiasaan, dan lelap di gua selama 309 tahun, sama sekali tidak ada perubahan fisiknya). Mereka disebut fitrah karena mereka beriman kepada Allah tanpa perantara.”
Dikatakan: “Manusia yang futuwwah adalah orang yang menghancurkan berhala, sebab Allah swt. berfirman:
“Kami dengar ada seorang pemuda yang mencela berhala-berhala ini, yang bernama Ibrahim"(Qs. Al-Anbiya :60) dan “Maka Ibrahm membuat berhala-berhala itu hancur berpotong-potong"
(Qs. Al-Anbiya :58).
Berhala setiap manusia adalah hawa nafsunya sendiri. Jadi, orang yang melawan hawa nafsunya sendiri adalah orang yang benar-benar futuwwah.
Al-Harits al-Muhasiby berkata: “Futuwwah menuntut agar engkau berlaku adil kepada orang lain, tapi juga mau diadili oleh orang lain.”
Amr bin Utsman al-Makky mengatakan:”Futuwwah adalah memliki akhlak yang baik.”
Ketika al-Junayd ditanya tentang futuwwah, dijawabnya, “Futuwwah artinya engkau tidak membenci orang miskin tapi juga tidak konfontrasi dengan orang kaya.”
AN-Nashr Abadzy berkomentar: “Muru’ah merupakan bagian dari futuwwah. Ia berarti berpaling dari dunia dan akhirat, dengan bangga menjauhi keduanya.”
Muhammad bin Ali at-Tirmidzi mengatakan: “Futuwwah berarti bahwa ha-hal yang langgeng maupun yang musnah sama saja bagi diri Anda.”
Ahmad bin Hambal ditanya: “Apakah futuwwah itu?” dan beliau menjawab : “Futuwwah artinya meninggalkan apa yang engkau inginkan demi apa yang engkau takuti.”
Ditanyakan kepada salah seorang Sufi: “Apakah futuwwah itu?” Ia menjawab: “Futuwwah artinya engkau tidak membedakan makan bersama dengan seorang wali ataukah seorang kafir.”
Saya mendengar salah seorang ulama mengabarkan: “Sorang Majusi mengundang Ibrahim as. Makan. Ibrahim menjawab: “Aku mau menerima undangan mu dengan satu syarat, yaitu bahwa engkau memeluk Islam.” Mendengar jawaban demikian, si orang Majusi itu lalu pergi. Kemudian Allah swt. menurunkan wahyu kepada Ibrahim: “Selama lima puluh tahun Kami telah memberinya makan sekalipun ia kafir. Apa salahnya jika engkau menerima seporsi makanan darinya tanpa menuntutnya mengganti agama? Ibrahimm lalu mengejar si orang Majusi itu sampai tersusul, lalu minta maaf kepadanya. Ketika si Majusi bertanya kepadanya mengapa meminta maaf, Ibrahim menceritakan kepadanya apa yang telah terjadi, dan orang Majusi itu pun akhirnya masuk Islam.
Al-Junayd mengatakan: “Futuwwah artinya menahan diri dari menyakiti hati orang dan menawarkan kemurahan hati.”
Sahl bin Abdullah menjelaskan: “Futuwwah artinya mengikuti sunnah.”
Dikatakan: “Futuwwah artinya setia dan menjaga ketetapan Allah.”
Dikatakan juga: “Futuwwah adalah perbuatan bijak yang engkau lakukan tanpa melihat dirimu dalam perbuatan itu.”
Dikatakan: “Futuwwah artinya engkau tidak berpaling manakala seorang yang membutuhkan datang mendekatimu.”
Ada yang berpendapat: “Futuwwah artinya engkau tidak menutup diri dari orang yang mencari mu”
Pendapat lain: “Futuwwah artinya engkau tidak menumpuk-numpuk harta kekayaanmu dan tidak mencari-cari alasan (jika diminta).”
Dikatakan: “Futuwwah artinya menampakkan nikmat, dan menyembunyikan cobaan.”
Yang lain berkata: “Futuwwah artinya bahwa jika engkau mengundang sepuluh orang tamu, maka engkau tidak akan terpengaruh jika yang datang sembilan atau pun sebelas orang.”
Dikatakan: “Futuwwah artinya meninggalkan segala bentuk perbedaan.”
Ahmad bin Khadhrawaih berkata kepada isterinya: “Aku ingin mengadakan pesta dengan mengundang seorang luntang-lantung yang terkenal di daerahnya dengan sebutan ‘pemimpin orang-orang muda.” Isterinya berkeberatan, ‘Itu tidak benar, mengundang seorang preman muda datang ke rumah.” Ahmad bersikeras. “Keinginanku mesti dilaksanakan!.” Istrinya berkata: “Jika demikian, maka sembelihlah kambing, sapi dan keledai, dan lemparkan saja dagingnya dari pintu orang itu ke pintu rumahmu!.” Ahmad bertanya: “Aku mengerti apa yang engkau maksudkan dengan kambing dan sapi, tapi apa maksudmu dengan menyembelih keledai?” Istrinya menjawab: “Engkau mengundang seorang preman muda ke rumah kita, maka paling tidak, lebih baik engkau membuat pesta bagi anjing-anjing di tempat ini.
Dalam suatu kisah diceritakan, pada sebuah perjamuan yang dihadiri oleh beberapa orang Sufi, termasuk seorang Syeikh dari Syiraz. Ketika acara penyimakan (ceramah) di mulai, tamu-tamu tertidur. Syeikh dan Syiraz bertanya kepada tuan rumah: “Mengapa mereka tertidur?” Si tuan rumah menjawab: “Aku tidak tahu. Aku telah bertindak cermat dan memastikan semua makanan, kecuali terung.” Keesokan paginya mereka pergi mencari tahu tentang terung itu kepada pedagang sayuran, yang mengatakan kepada meraka: “Aku tidak punya sayuran. Maka aku lalu mencurinya dari kebun si Fulan dan menjualnya.” Mereka lalu membawa si pedagang ke pemilik kebun untuk menebus halalnya. Si pemilik kebun berkata dengan heran: “Anda bersusah paya mendatangiku hanya untuk urusan seribu biji terung?” Baiklah, aku hadiahkan kepada pedagang ini kebunku ini, ditambah dua ekor sapi, seekor keledai dan bajak, agar ia tidak perlu mencuri terung lagi.”
Dikatakan, bahwa seorang laki-laki menikahi seorang wanita. Sebelum bersetubuh, ia melihat adanya cacar pada tubuh istrinya itu. Laki-laki itu berseru kepada orang banyak: “Mataku terkena penyakit. Aku telah menjadi buta!” Pengantin wanita itu pun lalu dibawa ke rumah suaminya. Setelah dua puluh tahun berselang wanita itu meninggal. Laki-laki itu mendadak membuka matanya. Ketika seseorang bertanya kepadanya apa yang telah terjadi, ia menjelaskan,: “Aku sesungguhnya tidak pernah buta. Aku berpura-pura buta agar istriku tidak merasa malu.” Seseorang berkata kepadanya: “Engkau telah melampaui semua orang dalam hal futuwwah!.”
Dzun Nuun al-Mishry mengajarkan: “Orang yang menginginkan perilaku yang utama hendaklah mencontoh para pemikul air dari Baghdad!” Seseorang bertanya kepadanya: “Bagaimana mereka itu?” Ia menjawab: “Ketika aku dibawa ke hadapan khalifah atas tuduhan sebagai zindiq, aku melihat seorang pemikul air yang memakai sorban, berpakaian kain Mesir yang bagus, membawa kendi-kendi tanah liat yang bagus.
Aku berkata kepada seseorang: Ini pasti pelayan minum Sutan!” Ia berkata kepadaku: “Bukan, ini adalah pelayan minum orang banyak>” Aku mengambil sebuah cangkir, minum darinya dan menyuruh sahabat-sahabatku: Berilah ia satu dinar!” Pembawa air itu menolaknya seraya berkata: “Anda adalah seorang tahanan. Bukanlah sikap futuwwah bila menerima sesuatu dari Anda.”
Dikatakan oleh sebagian teman-teman kami: “Tidak ada tempat dalam futuwwah bagi tindakan mengambil keuntungan dari sahabat sendiri.” Ia adalah seorang pemuda bernama Ahmad bin Sahl si pedagang, dan saya membeli sepotong jubah linen darinya. Ia hanya memintaku membayar seharga modal yang dikeluarkannya untuk membeli jubah itu. Saya bertanya kepdanya: “Apakah Anda tidak mau mengambil sedikit keuntungan?” Ia menjawab: “Tentang harga jubah itu, aku mau menerima pembayaran Anda, tapi aku tidak mau membebankan kewajiban apa pun terhadap Anda. Aku tidak akan mengambil keuntungan, sebab tidak ada tepat dalam futuwwah bagi tindakan mengambil keuntungan dari sahabat sendiri.”
Dikisahkan, seorang laki-laki yang mengaku futuwwah datang dari Naisabur ke Nasa, dimana seseorang mengundangnya makan bersama sekelompok orang yang memiliki sifat futuwwah. Ketika mereka selesai makan, seorang budak wanita datang untuk menuangkan air guna membasuh tangan mereka.
Laki-laki dari Naisabur itu menarik tangannya dan berkata: “Berdasarkan aturan futuwwah, tidaklah diperbolehkan seorang gadis menuangkan air untuk laki-laki.” Tetapi orang lainnya yang hadir di sana berkata,: “Aku telah datang ke sini selama bertahun-tahun tanpa mengetahui apakah laki-laki atau wanita yang menuangkan air untuk membasuh tangan kita?”
Manshur al-Maghriby menuturkan: “Seseorang ingin menguji Nuh al-Ayyar an-Naisabury. Ia menjual kepada Nuh seorang budak wanita yang di beri pakaian laki-laki, dengan pernyataan tersirat bahwa budak itu adalah budak laki-laki. Budak itu mempunyai wajah rupawan yang bersinar cemerlang. Nuh membelinya dengan perkiraan bahwa budak itu laki-laki. Budak itu tinggal bersamanya selama berbulan-bulan.
Seseorang bertanya kepadanya: “Apakah tuanmu tahu bahwa engkau adalah seorang gadis?” Ia menjawab : “Tidak, ia belum pernah menyentuhku, karena mengira bahwa aku laki-laki”
Dikatakan, seorang laki-laki beringas diperintahkan untuk menyerahkan seorang budak laki-laki miliknya kepada sulan, tapi ia menolak. Ia lalu dihukum dera seribu kali, namun demikian masih tetap menolak menyerahkan budaknya. Malam itu udara sangat dingin dan ia terkena junub. Setelah bangun, ia pun segera mandi dengan air yang sangat dingin. Seseorang mengatakan kepadanya: “Engkau mengambil resiko mati dengan dengan mandi air dingin ini.” Dijawabnya: “Aku malu kepada Allah swt. karena aku rela menderita seribu kali pukulan cambuk demi seorang makhluk, tapi tidak bersedia menahan dinginnya mandi demi Dia.”
B Sekelompok ahli ahli futuwah pergi mengunjungi seorang laki-laki yang terkenal karena futuwwahnya. Laki-laki itu menyuruh pelayannya membawa tilam makanan. Si pelayan tidak mengerjakan perintahnya, maka orang itu lalu memanggilnya hingga berulang-ulang. Para tamu saling berpandangan seraya berkata: “Ini tidak benar. Dala aturan futuwwah, seseorang tidak boleh mempekerjakan perintahnya, maka orang itu lalu memanggilnya sekali lagi dan sekali lagi.”
Laki-laki itu bertanya kepda pelayannya: “Mengapa begitu lama engkau baru datang membawakan tilam itu?” Si pelayan menjawab: “Ada seekor semut pada tilma itu. Tidaklah patut menurut futuwwah, membentangkan tilam untuk para tamu yang ahli futuwwah manakala ada semut di atasnnya, sebalikya, tidaklah benar pula mencampakkan semut dari kain tilam itu. Jadi, saya menunggu sampai semut itu merayap meninggalkan tilam.” Para tamu berkata kepada pelayan itu: “Engkau telah menunjukkan pemahaman yang tinggi. Orang sepertimu patut dilayani para ahli futuwwah.”
B Suatu ketika ada seorang jamaah haji yang bermalam di Madinah. Ia mengira kantong berisi uangnya dicuri orang. Ia keluar, melihat Ja’far ash-Shadiq dan memegang tangannya serta bertanya: “Apakah engkau yang mencuri kantongku?” Ja’far bertanya: “Apakah isi kantongmu itu?” Laki-laki itu menjawab: “Uang sebanyak seribu dinar!” Ja’far lalu membawa laki-laki itu ke rumahnya dan memberinya uang seribu dinar.
B Laki-laki itu kembali ke penginapan dan menemukan pundi-pundi yang dikiranya hilang tadi. Lalu ia pun pergi menemui Ja’far ash-Shadiq dan minta maaf kepdanya serta mengembalikan uangnya. Tapi Ja’far menolak mengambil uangnya kembali dan berkata: “Aku tidak pernah menuntut kembali barang yang telah aku berikan.” Orang itu bertanya kepda seseorang yang ada di tempat itu: “Siapa laki-laki itu?” Yang ditanya menjawab: “Ja’far ash-Shadiq.”
Diriwayatkan bahwa Syaqiq al-Balkhy bertanya kepada Ja’far bin Muhammad (ash-Shadiq) tentang futuwwah. Kata Ja’far balik bertanya: “Apakah pendapatmu?” Syaqiq menjawab: “Futuwwah, jika kita diberi sesuatu, kita bersyukur dan jika tidak diberi, kita bersabar.” Ja’far berkata: “anjing-anjing kita di Madinah juga bersikap begitu.” Syaqiq bertanya: “Wahai cucu Putri Rasulullah, kalau begitu apakah futuwwah itu dalam pandangan Anda?” Ja’far menjawab: “Futuwwah adalah, jika kita diberi sesuatu, kita berikan kepada orang lain, dan jika tidak diberi, kita bersyukur.”
Al-Murta’isy mengabarkan: “Kami bersama Abu Hafs menjenguk seorang yang sedang sakit, dan kami berangkat serombongan. Abu Hafs bertanya kepada si sakit: “Apakah engkau ingin sembuh?” Ia menjawab: “Ya, Maka si sakit lalu bangkit dan berjalan bersama kami, demi kami semua lalu jatuh sakit dan dikunjungi orang-orang lain.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar