terjemahan kitab
ar-Risalatul-Qushayriyya (Abul Qasim Abdul Karim bin Hawazin al- Qusyairy)
bab 3: tahapan para penempuh jalan sufi
judul: 32 Firasat
Allah berfirman:
“Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat anda-tanda bagi orang-orang yang memperhatikan tanda-tanda (firasat)”
(Qs. Al-Hijr :75).
Dikatakan bahwa yang dimaksud dengan: “Orang-orang yang memperhatikan tanda-tanda” adalah orang-orang yang mempunyai firasat.
Diriwayatkan oleh Abu Sa’id al-Khurdy, bahwa Rasulullah saw. bersabda:
“Waspadalah terhadap firasat seorang Mukmin, sebab ia melihat dengan nur Allah swt.”
(H.r. Bukhari dan Tirmidzi).
Firasat adalah nuansa yang datang menyelusup secara tiba-tiba ke dalam hati, yang menafikan segala sesuatu yang berlawanan dengannya; dengan demikian ia memiliki ketentuan hukum dalam hati. Firasat mempunyai akar kata yang sama dengan kata farisah, yang berarti mangsa binatang buas. Jiwa si hamba tidak dapat menentang firasat, yang merupakan kriteria potensi keimanan. Siapa pun yang lebih kuat imannya, lebih tajam pula firasatnya.
Abu Sa’id al-Kharraz berkomentar: “Seseorang yang melihat dengan cahaya firasat identik melihat dengan cahaya Al-Haq muatan ilmunya datang dari Al-Haq, tidak bercampur dengan kealpaan ataupun kelalaian. Bahkan, ketentuan Allah mengalir melalui lisan si hamba.”
Adapun perkataan al-Kharraz: “Ia melihat dengan cahaya Al-Haq.” Adalah cahaya yang dikhususkan Allah kepadanya.
Muhammad al-Wasithy mengatakan: “Firasat terdiri dari cahaya yang cemerlang dalam hati, yang membuat si ahli ma’rifat mampu membawa rahasia-rahasia dari satu alam ghaib lainnya, sedemikian rupa, hingga ia dapat melihat hal-hal dengan cara dimana Allah swt, memperlihatkan kepdanya, hingga ia dapat berbicara melalui sukma budinya..”
Diriwayatkan bahwa Abul Hasan ad-Dailamy menuturkan: “Aku pergi ke Anthakia karena mendengar keberadaan seorang kulit hitam yang berbicara tentang hal-hal rahasia. Aku tinggal di sana sampai ia turun dari Gunung Lukam. Ia membawa barang-barang halal yang dijualnya. Aku lapar karena sudah dua hari tidak makan.
Maka aku lalu bertanya kepadanya; Berapa harganya ini?” Ku buat ia percaya bahwa aku akan membeli barang dagangannya. Ia berkata kepadaku, ‘Duduklah di situ, jika barang-barang ini sudah terjual aku akan memberimu uang yang dengannya engkau dapat membeli makanan!” Maka aku lalu meninggalkannya dan pergi ke pedagang yang lain untuk membuatnya mengira bahwa aku sedang menawar dagangannya.
Kemudian aku kembali kepadanya dan berkata: “”Jika engkau bermaksud menjual barang ini, maka katakanlah kepadaku berapa harganya!.” Ia menjawab :“Engkau sudah dua hari kelaparan. Duduklah! Jika barang ini telah terjual, aku akan memberimu uang untuk membeli sesuatu.” Maka ku pun duduk, dan ketika barangnya telah terjual, ia memberiku uang dan pergi meninggalkanku. Aku mengikutinya, dan ia berpaling kepadaku serta berkata: “Jika engkau membutuhkan sesuatu, mintalah kepada Allah swt! Tetapi bila hawa nafsumu memperoleh sesuatu dari terpenuhinya kebutuhan itu, maka engkau terhijab dari Allah swt.”
Muhammad al-Kattany berkata: “Firasat adalah mukasyafah dalam tahap yakin, dan menyatakan kegaiban. Ia adalah salah satu tahapan keimanan.”
Dikatakan bahwa asy-Syafi’y dan Muhammad bin al-Hasan – semoga Allah swt. merahmati mereka – sedang berada di Masjidil Haram ketika seseorang masuk ke Masjid.
Muhammad bin al-Hasan berkata: “Aku punya firasat bahwa ia adalah seorang tukang kayu.”
Dan asy-Syafi’y berkata: “Aku punya firasat bahwa ia adalah seorang tukang besi.” Ketika mereka bertanya kepada orang itu, ia menjawab, “Dahulu, aku pernah menjadi tukang besi, namun sekarang aku adalah tukang kayu.”
Abu Sa’id al-Kharraz berkata: “Orang yang mampu menyimpulkan (al-mustanbith) adalah orang yang selalu menaruh perhatian kepada yang gaib. Tiada sesuatu pun yang tersembunyi atau terjaga dari pandangannya.
Ia adalah orang yang ditunjuk dalam firman Allah swt.
“......tentulah orang-orang yang mampu menemukan kebenaran akan mengetahui persoalannya.”
(Qs. An-Nisa’ :83).”
Orang yang membaca firasat, akan mengetahui intuisi dan juga mengetahui apa yang ada di lubuk hati yang dalam dengan cara menyimpulkan dan melalui alamat-alamat.
Allah SWT berfirman:
“Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang memperhatikan tanda-tanda (firasat).”
(Qs. Al-Hijr :75)
, yakni bagi orang-orang ma’rifat terhadap tanda-tanda yang diungkapkan Allah mengenai dua kelompok manusia, yaitu wali-wali Allah dan musuh-musuh-Nya.
Seseorang yang memiliki firasat, melihat dengan cahaya Allah swt, yang hendaklah kamu menjadi orang-orang yang mengenal Tuhan (rabbaniyyin)” (Qs. Ali Imran :9), yakni para ulama ahli hikmah yang berakhlak dengan Allah swt. Yang Haq, baik secara ideologis maupun moral. Mereka bebas dari apa yang telah dikatakan orang lain, atau memberi perhatian kepada mereka, atau dipedulikan oleh mereka.
Dalam suatu riwayat disebutkan, Abdul Qasim al-Munady sedang menderita sakit. Ia adalah syeikh besar di kalangan syeikh di Naisabur. Maka Abul Hasan al-Busyanjy dan al-Hasan al-Haddad pun pergi menjenguknya. Di tengah jalan mereka membeli sebutir apel setengah dirham dengan menghutang. Ketika mereka telah sampai ke rumahnya, Abul Qasim bertanya: “Kegelapan apa lagi ini?” Mereka lalu pergi ke luar dan saling bertanya, kesalahan apa yang telah mereka lakukan. Mereka berpikir dan kemudian menyimpulkan, barangkali kesalahan itu adalah bahwa mereka belum membayar harga apel itu.
Maka mereka pun lalu pergi kepada si penjual buah, membayar apel itu dan kembali ke rumah Abul Qasim. Ketika Abul Qasim melihat mereka, ia berkata: “Aneh sekali. Orang dapat keluar dari kegelapan dengan begitu cepat. Ceritakan kepadaku apa yang telah kalian lakukan!” Ketika mereka telah menceritakan apa yang telah terjadi. Abul Qasim membenarkan, Ya” masing-masing dari kalian berdua mengharapkan yang lain membayar apel itu, tapi malu memintanya. Jadi pembelian apel itu tidak tuntas. Alasan pembelian apel itu adalah karena diriku, dan hanya aku saja yang melihat kegelapan itu pada diri kalian berdua.” Sementara Abul Qasim sendiri pun biasa pergi ke pasar setiap hari untuk berjualan. Apabila ia telah memperoleh keuntungan yang cukup baginya, antara seperenam hingga setengah dirham, maka ia akan pulang dan kembali pada kesibukan utamanya, yaitu waktu utama dan mewaspadai hatinya.”
Al Husain bin Manshur berkata: “Apabila Allah berkehendak untuk melimpahkan rahasia maka, Dia akan mengamanatkan rahasia-rahasia kepada hati, yang kemudian dipahaminya dan di makluminya.”
Ketika salah seorang Sufi ditanya tentang firasat, ia menjawab, “Firasat berarti ada ruh-ruh yang berkeliling di dalam langit dan mengamati makna hakiki dari masalah-masalah gaib. Mereka berbicara tentang rahasia-rahasia penciptaan dengan bahasa nyata, bukan kata-kata yang bersifat speklulasi atau dugaan.”
Diceritakan bahwa Zakariya asy-Syikhtany terlibat perselingkuhan dengan seorang wanita sebelum ia bertobat. Suatu ketika setelah menjadi salah seorang murid terkemuka Abu Utsman al-Hiry, ia berdiri di depan gurunya sambil berpikir tentang si wanita itu. Abu Utsman mengangkat dan memandangnya sambil bertanya: “Apakah engkau tidak merasa malu.”
Pada awal hubungannya saya dengan Syeikh Abu Ali ad-Daqqaq Semoga Allah merahmatinya sebuah majelis pengajian diadakan untuk diri saya di Masjid al-Mutarriz. Suatu ketika saya minta izin untuk pergi selama beberapa waktu ke Nasa, dan beliau mengizinkan. Suatu hari saya berjalan dengan beliau ke tempat pengajiannya, tiba tiba saya berpikir : “Seandainya beliau mau menggantikan saya mengajar di pengajian-pengajianku ketika saya pergi.”
Beliau berpaling kepada saya dan berkata : “Aku akan menggantikanmu di pengajian selama engkau pergi.” Saya terus berjalan. Sejenak terlintas dalam pikiran bahwa beliau sakit, dan akan menyusahkan jika beliau mengajar dua hari dalam seminggu. Saya ingin agar beliau mengurangi kelas dan dan mengajar menjadi sekali (sehari) seminggu> Beliau berpaling kepada saya dan berkata: “Kalau aku tidak dapat menggantikan mu mengajar dua kali seminggu, aku hanya akan melakukannya sekali seminggu.” Selagi saya berjalan terus, sejenak pikiran lain terlintas dalam hati, dan beliau pun berpaling kepada saya dan mengatakan masalahnya sebagaimana yang sedang saya pikirkan. Syah al-Kirmany memiliki firasat sangat tajam dan tidak pernah keliru. Beliau mengatakan: Firasat akan selalu benar bagi orang yang merendahkan pandangannya dari keinginan hawa nafsu, membiasakan wujud batinnya dari keinginan hawa nafsu, membiasakan wujud batinnya dengan muraqabah yang terus menerus dan lahiriahnya selaras denga Sunnah, dan membiasakan diri makan makanan yang halal saja.”
Abul Husain an-Nury ditanya: “Darimana datangnya firasat ahli firasat? Ia menjawab, dengan menyebut firman Allah swt. ini, ?“Maka apabila Aku telah menyempurnakan kejadiannya dan telah meniupkan ke dalamnya ruh-Ku.”
(Qs. Al-Hijr :29).
Jadi, bagi orang yang jatah cahayanya lebih besar, maka musyahadahnya lebih kuat, dan penilaian firatsatnya pun lebih dapat dipercaya. Apakah engkau tidak melihat bagaimana ruh ditiupkan ke dalam tubuh Adam menjadi sebab sujudnya para malaikat kepadanya dalam firman-Nya: “Maka apabila Aku telah menyempurnakan kejadiannya dan telah meniupkan ke dalamnya ruh-Ku, maka tunduklah kamu kepadanya dengan bersujud.”
(Qs. Al-Hijr :29).”
Pendapat Abul Husain an-Nury ini mengundang kesamaran. Ia menyebutkan peniupan ruh oleh Allah swt. ke dalam tubuh Adam bukan untuk mendukung pendapat mereka yang mempercayai qadimnya ruh, bukan pula seperti yang tampak bagi orang-orang berhati lemah. Apa pun yang dibenarkan adalah peniupan ruh, pertemuan dan perpisahan, maka ia juga dapat dikenai pengaruh dan perubahan yang pada gilirannya merupakan sifat-sifat makhluk. Allah swt. menganugerahi orang-orang beriman dengan kemampuan penglihatan batin dan firasat, yang sesungguhnya adalah ma’rifat.
Inilah maka sabda Nabi saw: “Sebab ia (orang beriman) melihat dengan nur Allah swt.” yaitu dengan pengetahuan dan kearifan. Dia memberikan kepada Mukmin kedudukan yang unik dan berbeda dari semua makhluk lainnya. Penamaan ilmu pengetahuan dan kearifan hati ini bisa disebut dengan “Cahaya-cahaya.” Bukanlah suatu yang bid’ah. Juga, diskripsi cahaya tersebut sebagai “peniupan ruh.”, bukanlah hal yang mengada-ada, yang dimaksudkan adalah penciptaan.
Al-Husain bin Manshur mengatakan: “Orang yang mempunyai firasat dapat mengenai sasarannya dengan panah pertama yang di lepaskanya. Ia tidak pernah berpaling pada penafsiran, spekulasi, ataupun dugaan.”
Dikatakan: “Firasat para murid adalah spekulasi yang menghasilkan keyakinan, dan firasat ahli ma’rifat adalah pembenaran yang melahirkan hakikat.
Ahmad bin Ashim al-Anthaky mengajarkan: “Jika engkau bermajelis dengan orang-orang jujur, maka berlaku jujurlah terhadap mereka, sebab mereka adalah mata-mata hati. Mereka masuk ke dalam hatimu dan meninggalkannya tanpa engkau sadari.”
Abu Ja’far al-Haddad berkata: “Firasat adalah kilasan pertama intuisi tanpa kontra hati. Jika suatu intuisi datang kemudian dan berlawanan, itu tidak lebih dari kata hawa nafsu.”
Diceritakan bahwa Abu Abdullah a-Razy an Naissabury mengabarkan: “Ibnu Anbary memberi pakaian wol untukku. Kulihat asy-Syibly memakai sebuah sorban yang sangat serasi dengan wolku. Diam-diam aku menginginkan agar dapat memiliki jubah dan sorban itu sekaligus. Ketika asy-Syibly meninggalkan kumpulan pengajiannya, ia berpaling padaku, Aku pun mengikutinya, sebab sudah menjadi kebiasaannya untuk berpaling kepadaku jika menginginkan agar aku ikut dengannya.
Ketika ia masuk ke dalam rumahnya, aku mengikutinya. “Lepaskan wol itu” katanya. Aku pun melepaskan wolku, yang kemudian dilipatnya. Setelah itu dilemparkan sorbannya ke atas wolku, disuruhnya orang menyalakan api, lalu dibakarnya wol dan sorban itu.”
Abu Hafs an-Naisabury menegaskan: “Adalah keliru bagi siapa pun untuk mengikuti orang yang memiliki firasat. Tetapi maksudnya adalah berwaspada kepada orang yang memiliki firasat, sebab Rasulullah saw. telah bersabda. “Waspadalah terhadap firasat orang Mukmin.” Beliau tidak bersabda: “Gunakanlah firasat kamu sekalian!.” Bagaimana mungkin dibenarkan pengakuan firasat, bagi orang yang berada pada tahap waspada terhadap firasat.?”
Abul Abbas bin Masruq menuturkan: “Ketika aku pergi menjenguk seorang tua yang merupakan salah seorang sahabat kami, kutemukan ia tinggal di lingkungan yang kumuh. Aku bertanya kepada diri sendiri, “Bagaimana orang tua ini menolong dirinya?” Si orang tua itu lalu berkata kepadaku:
“Wahai Abul Abbas, campakkanlah bisikan kotor itu! Allah memiliki kebaikan-kebaikan lembut yang tersembunyi.”
Az. Zubaidy mengabarkan: “Aku sedang berada di dalam sebuah masjid di Baghdad bersama sekelompok fakir, sudah berhari-hari kami tidak menerima sesuatu pun. Aku datang kepada al-Khawwas untuk meminta sesuatu. Ketika pandangannya jatuh kepadaku, ia bertanya: “Kebutuhan yang membawamu ke sini, diketahui Allah atau tidak?” Aku menjawab: “Tentu saja Dia mengetahuinya.” Maka al-Khawwas pun memerintahkan: Kalau begitu, jagalah ketenanganmu dan jangan perlihatkan kebutuhanmu kepada sesama makhluk! Aku pun pergi, dan tidak alma kemudian kami diberi makanan yang melebihi kebutuhan kami.”
Dikatakan, “Suatu hari Sahl bin Abdullah sedang berada di dalam masjid jami.” Ketika seekor burung merpati jatuh dari angkasa karena panas dan lelah. Sahl berseru: “Syeikh al-Kirmany baru saja wafat atas kehendak Allah swt. Orang-orang yang berada di tempat itu menuliskan ucapannya, dan memang benarlah apa yang dikatakannya itu.”
Dikatakan : “Abu Abdullah at-Targhundy, salah seorang pembesar pada masanya, bepergian ke Thous. Sesampai di kHarwa, ia menyuruh temannya: “Belilah sedikit roti!.” Temannya itu pun membeli roti secukupnya untuk merek berdua, tetapi Abu Abdullah berkata kepadanya: “Belilah lebih banyak lagi!.” Temannya dengan segera membeli roti lagi sekiranya cukup untuk sepuluh orang, seolah-olah ia sengaja menganggap ucapan Abu Abdullah sebagai isapan jempol semata. Ketika mereka tiba di atas gunung, bertemulah dengan sekelompok orang yang telah diikat oleh kawanan penyamun. Karena sudah agak lama mereka tidak menelan sesuap makanan, orang-orang tersebut pun meminta makanan kepada mereka berdua. Abu Abdullah berkata: “Bentangkanlah tilam untuk mereka!.”
Aku berada bersama Syiekh Imam Abu Ali ketika orang-orang yang hadir mulai membicarakan tentang bagaimana Syeikh Abu Abdurrahman as-Sulamy bangkit dari tempat duduknya ketika acara penyimakan, sebagaimana layaknya para fakir. Syeikh Abu Ali berkata,: “Mengenai prilaku Abu Abdurrahman, apakah diam tidak lebih baik baginya?” Barang kali beliau memerintahkan kepadaku: “Pergilah kepada as-Sulamy! Engkau akan menemukannya sedang duduk di perpustakaannya. Di atas buku-buku itu ada sebuah buku empat persegi yang kecil berwarna merah berisi puisi-puisi karya al-Husain bin Manshur. Ambillah buku itu, tanpa berkata apapun kepadanya dan bawalah kepadaku!” Waktu itu siang hari. Ketika aku pergi kepada as-Sulamy, ia sedang berada di perpustakaannya, dan buku yang disebutkan Abu Ali ada di tempat yang beliau sebutkan.
Ketika aku duduk, Syeikh Abu Abdurrahman as-Sulamy mulai berkata, Suatu ketika ada seseorang yang mencela salah seorang ulama karena perilakunya dalam penyimakan. Orang yang sama ini pada suatu hari terlihat sedang berada sendirian di rumahnya, menari berputar-putar seperti halnya orang yang sedang mengalami keleburan ruhani. Ketika seseorang bertanya kepadanya mengapa ia berlaku demikian, ia menjawab: “Aku menemui sebuah masalah yang membingungkan. Tiba-tiba penyelesaiannya diungkapkan kepadaku. Aku begitu gembira sehingga tidak mampu menguasai diri dan mulai menari berputar-putar.
Mereka berkata tentang orang ini: “Seorang dengan kedudukan seperti itu bertindak seperti biasanya.”
Ketika ku perhatikan apa yang diperintahkan oleh Syeikh Abu Ali kepadaku dan semuanya dalam keadaan seperti yang beliau gambarkan, maka aku menyadari apa yang di katakan Apa yang harus kulakukan, dalam keadaan terjepit di antara mereka begini?” Aku berpikir-pikir dan memutuskan bahwa tidak ada pandangan lain selain kejujuran.”
Syeikh Abu Ali mengabarkan sebuah buku tertentu kepadaku dan menyuruhku mengambilnya tanpa meminta izin kepada Anda. Aku takut kepada Anda. Tapi juga tidak mau menurut Anda. Apa yang harus aku lakukan?”
As-Sulamy mengambil jilid keenam dari buku wacana al-Husain dimana terdapat juga sebuah bab karangannya sendiri yang diberi judul Ash-Shayhur fi Naqdid Duhur dan berkata: “Bahwalah ini kepadanya dan katakan: “Saya menelaah buku ini, dan saya menyalin beberapa baris darinya ke dalam tulisan saya.” Maka aku pun pergi dari hadapannya.”
AL-Hasan al-Haddad menuturkan: “Aku sedang berada bersama Abul Qasim al-Munady dan sekelompok fakir (Sufi) yang sedang menjadi tamunya ketika ia menyuruhku pergi ke luar dan mencarikan makanan untuk mereka. Aku merasa senang menerima tugas ini, sekalipun Abul Qasim tahu bahwa bila aku adalah seorang yang sangat miskin. Aku membawa sebuah keranjang besar dan pergi ke luar.
Di jalan menuju ke pasar Sayyar, aku berjumpa dengan seorang syeikh yang berpakaian sangat bagus. Aku mengucapkan salam kepadanya dan berkata:
Ada sekelompok sufi yang sedang berkumpul di dekat sini. Mungkin anda punya sesuatu untuk diberikan kepada meraka?” Syeikh itu lalu menyuruh pelayannya membawa keluar persediaan makanannya berupa roti, daging dan anggur. Ketika aku kembali ke rumah Aul Qasim al-Munady, ia menghambur dari dalam rumah sambil berseru kepadaku: “Kembalikan makanan itu ke asalnya di mana engkau memperolehnya tadi!”
Aku kembali dan meminta maaf kepada syeikh yang memberi makanan itu dan berkata: “Saya tidak menemukan Sufi-sufi itu. Mungkin mereka sudah pergi.” Ku kembalikan makanan itu kepadanya dan ku teruskan langkahku pergi ke pasar. Aku berhasil memperoleh sedikit makanan, yang segera ku bawa ke rumah Abul Qasim. Ia menyuruhku masuk ke dalam. Ketika aku menceritakan kepadanya semua yang terjadi, ia berkata: “Ya itulah Ibnu Sayyar, seorang pecinta dunia yang dekat dengan penguasa, Kalau engkau mencari makanan untuk para Sufi, carilah seperti ini, bukan seperti tadi itu.”
Abul Husain al-Qarafi mengisahkan: “Aku mengunjungi Abul Khayr at-Tinaty, dan ketika aku berpamitan kepadanya, ia mengantarku sampai ke pintu masjid dan berkata: “Wahai Abul Husain, aku tahu engkau tidak membawa bekal, karenanya bawalah dua butir apel ini!” Ku terima apel itu, ku masukan ke dalam saku, lalu aku berangkat. Tiga hari lamanya aku tidak memperoleh makanan, karena itu kuambil satu apel dan ku makan. Kemudian aku berpikir-pikir mau memakan apel yang kedua, dan ku dapati kedua apel itu masih ada dalam kantongku. Aku terus memakan apel-apel itu, dan kedua apel itu ada terus dalam kantongku sampai aku tiba di pintu gerbang kota Mosul.
Aku berkata dalam hati: “Kedua apel ini telah merusak kondisi tawakalku kepada Allah, karena keduanya telah menjadi semacam bekal bagiku.” Maka aku terakhir kalinya kuambil kedua apel itu dan melihat sekelilingku. Tiba-tiba kulihat seorang fakir memakai jubah sedang meratap.” Aku sangat menginginkan apel itu.” Maka kuberikan kedua apel itu kepadanya. Ketika aku merenung masalah apel tersebut, terlintas dalam pikiranku bahwa Syeikh Abu Khayr mungkin telah mengirim kedua apel itu kepada orang ini, dan aku hanya menjadi perantara kebaikannya itu. Kucari orang kafir itu, tapi ia sudah lenyap.
Ada seorang pemuda yang belajar kepada Junayd. Ia mampu membaca pikiran orang . Al-Junayd diberitahu akan hal ini, dan ia lalu bertanya kepada pemuda itu :Benarkah apa yang dikatakan orang tentang dirimu?” Pemuda itu lalu berkata kepada al-Junayd: “Yakinlah tentang sesuatu.” Al-Junayd menjawab: “Aku telah yakin.” Pemuda itu berkata: “Anda sedang meyakini ini dan itu.” AL-Junayd berkata, “Bukan.” Pemuda itu meminta al-Junayd mengulangi keyakinannya dua kali lagi, dan setiap kali Al-Junayd mengatakan bahwa tebakan si pemuda salah, dan saya yakin akan hati saya.” Al-Junayd mengakui: “Kamu memang benar ketika tiga kali kamu mengatakan apa yang sedang ku yakini, tetapi aku ingin menguji apakah hatimu akan berubah atau tidak.”
Ibrahim ar-Raqqy jatuh sakit. Di bawakanlah obat kepadanya dalam sebuah mangkok, yang lalu diminumnya. Kemudian ia berkata: “Sebuah insiden yang besar telah terjadi di kerajaan hari ini. Aku tidak akan makan atau minum sebelum aku tahu insiden apa itu.” Setelah beberapa hari datanglah kabar bahwa al-Qurthuby telah memasuki Mekkah al-Mukarramah pada saat itu, dan ia terbunuh pada perang besar-besaran tersebut.
Diriwayatkan dari Anas bin Malik r.a. bahwa ia mengabarkan: “Aku datang kepada Utsman bin Affan r.a. Setelah aku melihat seorang wanita di jalan. Aku telah membayangkan wajahnya yang cantik. Utsman berkata: “Salah seorang di antara kamu telah datang kepadaku hari ini dengan bekas-bekas zina di matanya” Aku bertanya kepadanya: Apakah mungkin ada wahyu setelah Rasulullah saw. wafat?” Beliau berkata: “Tidak, tapi ada kemampuan mata hati, bukti dan firasat yang benar”
Ahmad al-Kharraz mengatakan: “Aku masuk ke Masjidil Haram di mana aku melihat seorang fakir yang memakai dua potong jubah, sedang meminta-minta kepada orang banyak. Aku berkata dalam hati: “Orang seperti ini merupakan beban bagi orang banyak.” Si fakir itu melihat kepadaku dan berkata:
“Ketahuilah bahwa Allah mengetahui semua yang ada di dalam jiwamu, karena itu berhati-hatilah terhadap-Nya.”
(Qs. Al-Baqarah: 235).
Setelah aku minta maaf kepadanya di dalam hati, lantas ia berkata: “Dan Dia-lah yang menerima tobat dari hamba-hamba-Nya.”
(Qs. Asy-Syuura :25).”
Ibrahim al-Khawwas berkata: “Suatu hari ketika aku sedang berada di masjid besar Baghdad, ada sekelompok fakir di sana. Tiba-tiba,seorang pemuda gagah perkasa dengan keharumannya yang menyebar di samping juga sanat ramah serta tampan rupawan datang kepada kami sambil tersenyum. Aku berkata kepada sahabat-sahabatku: “Pikiran kau mengatakan bahwa anak muda ini seorang Yahudi.” Mereka semua tidak setuju dengan ucapan ku itu. Aku keluar dan begi juga pemuda itu. Kemudian ia kembali kepada mereka dan bertanya: “Apa yang dikatakan syeikh itu tentang diriku?” Mereka semua merasa malu untuk mengatakan kepadanya, tetapi pemuda itu terus mendesak hingga akhirnya mereka mengungkapkan.: “Ia mengatakan bahwa engkau seorang Yahudi.” Setelah itu anak muda itu datang kepadaku, membungkuk di hadapanku, dan berikrar masuk Islam.”
Ketika seseorang bertanya tentang perbuatannya tadi, ia berkata, “Kami membaca dalam kitab suci kami bahwa firasat orang-orang yang jujur tidak pernah keliru.” Lalu aku berkata: “Sebenarnya, aku menguji orang-orang Islam. Aku mencari-cari di antara mereka dan memutuskan, jika ada seorang yang jujur di antara mereka, maka ia adalah seorang Sufi, sebab para Sufi berbicara dengan firman Allah swt. Aku menyembunyikan identitasku dan mengelabui mereka. Ketika Syeikh ini mengetahui siapa diriku sebenarnya dengan firasatnya, maka tahulah aku bahwa ia adalah penegak kebenaran yang jujur.” Dan pemuda ini kemudian menjadi salah seorang Sufi besar.”
Ahmad al-Jurairy bertanya: “Adakah di antara kalian yang tahu apabila Allah berkehendak membuat peristiwa besar di kerajaan memberitahunya, sebelum kejadian itu terjadi?” Kami menjawab: “Tidak”. Ia berkata: “Menangislah kamu sekalian karena adaya hati yang belum pernah menemukan sesuatu dari Allah swt!.”
Abu Musa ad-Dailamy mengatakan: “Ketika aku bertanya kepada Abdurrahman bin Yahya tentang tawakkal, ia menjelaskan, Tawakkal berarti bahwa jika engkau memasukan tanganmu sebatas pergelangan tangan ke dalam mulut ular, engkau tidak merasa takut kepada apa-pun selain Allah swt. Kemudian aku pergi kepada Abu Yazid untuk bertanya kepadanya tentang tawakkal. Aku mengetuk pintu rumahnya, dan dari balik pintu ia menjawab: “Apakah kata-kata Abdurrahman tidak cukup untukmu?” Aku meminta: “Bukakan pintu!.” Ia menjawab: “Engkau tidak datang untuk mengunjungiku, dan jawabannya sudah ada di balik pintu.” Pintu pun tidak dibukakan untuk-ku. Aku lalu pergi dan menunggu hingga satu tahun lamanya. Kemudian aku ingin pergi kepadanya lagi dan ia berkata. “Selamat datang. Sekarang engkau datang kepadaku sebagai tamu. “ Aku tinggal bersamanya selama sebulan, dan tidak ada bisikan hatiku yang tertuang, melainkan ia selalu mengatakannya kepadaku. Ketika mengucapkan selamat berpisah kepadaku, aku meminta kepadanya: “Berikanlah sepatah kata lagi yang bermanfaat!” Ia berkata: Ibuku mengatakan kepadaku bahwa ketika ia mengundang aku, setiap kali ada makanan halal yang disuguhkan kepadanya, maka tangannya dapat mengambil makanan itu, tetapi jika ada sesuatu yang syubhat di dalamnya, tangannya tidak mau diulurkan.”
Ibrahim al-Khawwas mengabarkan: “Aku pergi ke padang pasir, di mana kau mengalami banyak cobaan. Ketika tiba di Mekkah, aku menemukan keajaiban. Secara tidak terduga ada seorang tua berseru kepadaku: “Wahai Ibrahim, aku ada bersamamu ketika engkau di Padang pasir, tetapi aku tidak berbicara kepadamu karena takut kalau-kalau aku menggangu keadaan batinmu. Sekarang, keluarlah waswas dari dirimu!.”
Di kabarkan bahwa meskipun a-Furghani al-Murghinany pergi setiap tahun menunaikan ibadat haji, melewati Naisabur tanpa singgah ke kediaman Abu Utsman al-Hiry. Ia menjelaskan: “Suatu ketika aku pergi menjenguknya dan memberi salam kepadanya, tetapi ia tidak membalas salamku. Aku bertanya kepadanya: “Seorang Muslim datang menemui seorang Muslim lainya dan mengucapkan salam, namun tidak memperoleh balasan? Abu Utsman menjawab, “Apakah seperti itu, seseorang yang melakukan ibadat haji, meninggalkan ibunya dan tidak memperlakukannya dengan penuh hormat? Mendengar ucapannya itu, aku kembali ke Furghanah dan tinggal di sana menemani ibuku hingga akhir hayat beliau. Kemudian aku pergi menemui Abu Utsman, dan ketika masuk ke rumahnya, ia menerimaku dan menyuruhku duduk.” Setelah itu, al-Furghani tinggal bersamanya terus menerus. Ia meminta agar ditugaskan merawat piaraannya, yang menjadi pekerjaannya sampai Abu Utsman wafat.”
Khayr an-Nassaj berkata: “Suatu hari aku sedang duduk-duduk di rumahku ketika instinkku mengatakan bahwa al-Junayd sedang berada di depan pintu. Tapi aku mengingkari instinkku itu. Untuk kedua dan ketiga kalinya instinkku itu muncul lagi, hingga akhirnya aku berjalan ke arah pintu, dan benarlah ia ada di sana. Al-Junayd bertanya: “Mengapa engkau tidak datang pada instink yang pertama?”
Muhammad ibnul Husain al-Bisthamy mengabarkan: “Ketika aku pergi menjenguk Abu Utsman al-Maghriby, aku berkata dalam hati: “Barangkali ia menginginkan sesuatu dariku.” Abu Utsman berkata: “Manusia tidak cukup puas bahwa aku menerima pemberian mereka. Sehingga mereka menambah permintaanku pada diri mereka,”
Salah seorang fakir menuturkan: “Aku sedang berada di Baghdad. Terketuk olehku bahwa al-Murta’isy akan datang kepadaku dengan membawa uang lima belas dirham hingga aku dapat membeli kantong makanan, tali dan sandal yang dapat ku pergunakan untuk pergi ke padang pasir. Tiba-tiba kudengar pintu diketuk orang. Aku membukanya, dan kulihat al-Murtha’isy berdiri di sana, membawa sebuah pundi-pundi kain. Ia memerintahkan “Ambillah ini” Aku berkata: “Wahai syeikh, aku tidak menginginkannya.” Ia bertanya, Lantas mengapa engkau mengganggu aku? Berapa uang yang engkau inginkan? Aku menjawab: “Lima Belas dirham.” Ia berkata: “Inilah uang itu, lima belas dirham.”
Salah seorang Sufi berpendapat mengenai firman Allah swt. “Dan apakah orang-orang yang sudah mati kemudian ia Kami hidupkan?”
(Qs. Al-An’am :122), dimaksudkan adalah mati hatinya. Kemudian Allah menghidupkannya melalui cahaya firasat, dalam hati itu pula ditampakkan cahaya musyahadah, yang tentu tidaklah sama dengan orang yang berjalan dalam keadaan alpa dengan kealpaannya.
Dikatakan: “Firasat seseorang benar, berarti ia telah naik ke tahapan musyahadah.”
Abul Abbas Ahmad bin Masruq berkata: “Seorang yang cukup tua datang kepada kami. IA berbicara tentang tasawuf secara menawan, dan instinknya sangat bagus. Ia menyuruh kami, dalam suatu ucapannya: “Katakanlah kepadaku apa yang ada dalam benak kalian!.” Pikiranku mengatakan bahwa ia adalah seorang Yahudi. Pikiran itu seakan-akan merupakan peringatan yang mendesak, maka aku pun mengungkapkannya kepada al-Jurairy. Ungkapanku itu membuat perasaannya tertekan, tetapi aku menegaskan: “Aku tidak punya pilihan lain, kecuali mengatakannya kepada orang ini.” Maka aku pun berkata kepadanya: “Engkau menyuru kami mengatakan kepadamu apa pun yang ada dalam pikiran kami. Pikiranku mengatakan bahwa engkau adalah seorang Yahudi.”
Sesaat ia menundukkan kepala, lalu mengangkatnya, dan mengaku: “Engkau benar, dan aku sekarang bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah dan Muhammad adalah utusan Allah.” Ia menjelaskan: “Aku telah mencoba menempuh jalan semua agama, dan aku berkata dalam hati “Jika berada dengan suatu kaum, diantaranya memiliki suatu kebenaran, maka kebenaran aan bersamanya. Maka aku lalu bergaul dengan kalian untuk menguji kalian. Ternyata kalian berada dalam kebenaran. “ Ia kemudian menjadi Muslim yang sangat baik.
Diriwayatkan oleh al-Junayd bahwa as-Sary suka mendorong al-Junayd agar berceramah kepada orang banyak. Al-Junayd berkata: “Aku merasa takut berbicara di depan mereka? Pada suatu malam jum’at aku bermimpi bertemu dengan Nabi saw. Beliau memerintahkan kepadaku “Berkhutbahlah kepada orang banyak!” Aku terbangun, lalu pergi ke rumah as-Sary sebelum subuh, dan mengetuk pinta rumahnya. Ia bertanya: “Engkau tidak percaya kepadaku, hingga Nabi sendiri yang mengatakannya kepadamu?” Pagi itu al-Junayd duduk di depan orang banyak di masjid, dan tesebarlah kabar bahwa al-Junayd sedang berceramah.
Seorang pemuda Nasrani yang menyamar datang kepada al-Junayd dan bertanya: “Katakanlah kepadaku, wahai syeikh, apa makna perkataan Rasulullah : “Waspadalah terhadap firasat orang Mukmin, karena ia melihat dengan cahaya Allah swt?” LA- Junayd mendundukan kepalanya, kemudian mengangkatnya dan berkata “Masuklah ke dalam Islam. Saat keislaman mu telah tiba.” Si Pemuda Nasrani itu pun masuk Islam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar