Terjemahan kitab Al-mashaya Lil Ibnu arobi
(Wasiat / pesan pesan Ibnu arobi)
Bab 11 Membiasakan Melakukan Yang Diwajibkan
Hendaklah engkau tetap melakukan apa yang diwajibkan Allah kepadamu dalam bentuk yang Dia perintahkan untuk engkau tegakkan. Jika engkau menyempurnakan kewajibanmu, dan engkau wajib menyempurnakannya, maka – saat itu – luangkanlah di antara kedua kewajiban itu untuk melakukan berbagai ibadah sunnah (al-nawafil). Jangan sekali-kali engkau meremehkan dan meanggap kecil amal perbuatanmu.
Sebab Allah tidak meremehkannya ketika Dia menciptakannya. Dia tidak membebankan sesuatu di atas pundakmu tanpa memberikan penjagaan dan pertolongan-Nya hingga Dia membebanimu dengan keberadaanmu dalam tingkatan yang paling agung di sisi-Nya, karena engkau adalah tempat wujud buat apa yang dibebankan kepadamu. Oleh karenanya,pembebanan (taklif) itu hanya berkaitan dengan perbuatan-perbuatan mukallaf, yakni mereka yang dikenai kewajiban. Maka, taklif itu pun berkaitan dengan mukallaf dalam hal perbuatannya, dan bukan dalam hal dirinya.
Ketahuilah bahwa jika engkau terus menerus menunaikan berbagai kewajiban, maka engkau pun dekat kepada Allah dengan kedekatan yang lebih dicintai-Nya. Jika engkau memiliki sifat ini, maka engkau pun menjadi telinga dan mata Al-Haqq. Dia mendengar dan melihat hanya dengan dirimu. Maka , tangan Al-Haqq pun menjadi tanganmu:
Orang yang berjanji setia kepadamu sesungguhnya berjanji setia kepada Allah. Tangan Allah di atas tangan mereka
(QS. Al-Fath, 48 : 10).
Tangan mereka, yakni tangan Allah, ada di atas mereka. Itulah tangan-tangan yang mengucapkan janji setia atau baiat. Pelakunya adalah Allah. Karena itu, tangan mereka adalah tangan Allah. Dengan tangan mereka pula Allah membaiat. Merekalah yang dibaiat. Semua sebab itu adalah tangan Al-Haqq yang memiliki kekuasaan untuk menciptakan berbagai akibat. Inilah kecintaan paling agung diungkapkan oleh teks (an-Nashsh) mulia, sebagaimana – di dalamnya – diungkapkan juga berbagai ibadah sunnah. Mengerjakan berbagai ibadah sunnah secara terus menerus akan melahirkan kecintaan Illahi yang terpelihara.
Sebab, Al-Haqq mendengar dan melihat hamba-Nya, sebagaimana pula keadaan sebaliknya, dalam kecintaan menunaikan berbagai kewajiban (al-fara’idh). Kewajiban adalah ibadah paksaan, dan memang begitu pada prinsipnya. Sementara itu, bagian (al-far) – yaitu, tambahan (an-nafl) – adalah ibadah pilihan. Di dalam berbagai ibadah sunnah, Al-Haqq mendengar dan melihatmu. Ia dinamakan an-nafl karena merupakan tambahan, persisi seperti halnya engkau – pada dasarnya (bi-al-ashalah) – adalah tambahan dalam eksistens, sehingga (pada mulanya) yang ada hanyalah Allah dan engkau tidak ada. Kemudian, engkau menjadi ada. Maka, eksistensi yang baru pun bertambah. Engkau adalah tambahan dalam eksistensi Al-Haqq.
Karenanya, engkau harus mengerjakan apa yang disebut an-nafl, sebab itulah asal-usulmu. Dan engkau harus mengerjakan apa yang dinamakan al-farde, sebab itu adalah asal-usul wujud dan berada lama wujud Al-Haqq. Dalam menunaikan al-fard, engkau adalah milik-Nya. Dan dalam mengerjakan al-nafl, engkau adalah milikmu sendiri. Cintanya kepadamu dalam hal bahwa engkau adalah milik-Nya lebih agung dan lebih besar ketimbang cinta-Nya kepadamu dalam hal bahwa engkau adalah milikmu sendiri.
Diungkapkan di dalam hadis sahih dari Alalh SWT:
“Tidak henti-hentinya hamba-Ku mendekat kepada-Ku dengan sesuatu yang lebih Aku cintai ketimbang apa yang telah aku wajibkan kepadanya, dan hambaku masih mendekat kepada-Ku dengan an-nawafil hingga Aku mencintainya. Jika Aku mencintainya, Aku akan menjadi telinganya yang dengan itu ia mendengar. Aku menjadi matanya yang dengan itu ia melihat, Aku menjadi tangannya yang dengan itu ia bertindak, dan Aku menjadi kakinya yang dengan itu ia berjalan. Jika ia memohon kepada-Ku, pasti Aku akan mengabulkannya. Dan jika ia mencari perlindungan-Ku, pasti Aku akan melindunginya. Aku tidak pernah merasa ragu-ragu dalam sesuatu yang Akulah sendiri pelakunya. Aku hanya ragu-ragu kepada hamba-Ku yang Mukmin yang membenci kematian, dan Aku membenci kejahatannya.”
Lihatlah apa yang dihasilkan dari kecintaan Allah ini. Olehkarenanya, tetaplah engkau menunaikan apa yang dibenarkan oleh eksistensi kecintaan Ilahi ini. Dan ibadah-ibadah sunnah tidak sah dilakukan kecuali setelah berbagai ibadah wajib ditunaikan. Di dalam ibadah-ibadah sunnah itu sendiri terdapat kewajiban dan tambahan. Maka, dengan apa yang di dalamnya terdapat kewajiban, yang wajib itu menjadi sempurna. Disebutkan di dalam hadis sahih bahwa Allah berfirman:
“Perhatikan shalat hamba Ku, apakah ia menyempurnakannya atau menguranginya. Apabila shalatnya sempurna, maka Aku tuliskan baginya kesempurnaan, walau pun ia menguranginya sedikit.”
Dia berfirman: “Perhatikan apakah hamba-Ku mengerjakan tathawu’ (ibadah tambahan)!”
Jika mia mengerjakan ibadah tambahan itu, maka Allah berfirman: “Sempurnakan bagi hamba-Ku kewajibannya dengan ibadah tambahannya.”
Kemudian perbuatan-perbuatan itu diambil dalam keadaan demikian. An Nawafil itulah yang memiliki asal dalam yang wajib. Dan ada pula an-Nawafil yang tidak memiliki asal dalam yang fardhu. Ini menjadi ibadah tersendiri, dan para ulama menamainya bid’ah.
Allah SWT berfirman:
....... Mereka mengada-adakan ruhbaniyah (QS. Al-Hadidi, 57:27), dan Rasulullah saw., menyebutnya sunnah hasanah (sunnah yang baik).
Orang yang menciptakannya mendapatkan ganjaran dari ibadah sunnah ini dan ganjaran orang yang mengamalkannya hingga Hari Kiamat, tanpa dikurangi sedikit pun. Ketika di dalam kekuatan ibadah sunnah itu tidak menghentikan tempat ibadah fardhu, maka ia menjadikan di dalam ibadah sunnah itu sendiri kewajiban-kewajiban untuk menyempurnakan ibadah fardhu dengan ibadah fardhu, seperti shalat sunnah dengan hukum asal.
Kemudian shalat itu mencakup kewajiban-kewajiban seperti zikir, rukuk dan sujud dengan keberadaan shalat itu pada asalnya adalah sunnah. Perkataan-perkataan dan perbuatan-perbuatan ini (yakni zikir, rukuk, sujud) adalah wajib di dalam salat sunnah itu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar