Minggu, 14 November 2021

Bab 15 Nabi Muhammad Ibarat Kaca Pelindung Cahaya

 Terjemahan Syajaratul–Kaun

(Ibnu ‘Arabi)

Bab 15

Nabi Muhammad Ibarat Kaca Pelindung Cahaya



Cahaya’ Allah adalah seperti sebuah lubang yang tak tembus, yang di dalamnya ada lampu besar. Lampu itu di dalam kaca” (QS. An-Nur:35).

Lampu tersebut adalah lampu cahaya Nabi kita Muhammad saw. Allah menjadikannya sebagai lampu dalam ceruk wujud. Maka alam ini di ibaratkan sebagai ceruk, sementara Nabi Muhammad saw. di ibaratkan kaca pelindung sumber cahaya. Sedangkan cahaya, di mana ia adalah hati nuraninya ibarat lampu.


Maka cahaya batinnya memancarkan cahaya ke bagian luarnya, seperti cahaya lampu yang memancarkan ke kaca pelindung. Cahaya lampu tersebut adalah api yang bersinar, sementara kaca pelindung menyerap cahaya dari dalam, dan karena bersihnya sehingga menjadi cahaya yang memancar. Sedangkan bagian setiap makhluk dari sinar tersebut adalah sesuai dengan kadar kedekatannya, mengikuti jejaknya, masuk dalam golongannya dan menjalankan syariatnya.


Inilah makna firman Allah swt.


“Dan yang menurunakn air dari langit menurut kadar (yang diperlukan) lalu kami hidupkan dengan air itu negeri yang mati.”

(Qs. Az-Zzukhruf: 11)


Nabi Muhammad saw. oleh Allah diibaratkan air hujan yang turun dari langit sesuai dengan akdar dan ketentuan Allah, sebab air adalah Rasulullah saw. yang menjadi kehdiupan setiap hati nurani, sementara wujudnya menjadi rahmat untuk segala sesuatu. Lalu Allah menjelaskan penyerapan dan pemanfaatan manusia tehadap cahaya Rasulullah saw. dan apa yang diperoleh dari keberkahannya dengan ibarat lembah.


Hati nurani adalah ibarat berbagai lembah, ada yang kecil, adapula yang besar, ada yang sangat besar, ada pula yang sangat kecil. Maka setiap hati akan menampung air sesuai daya tampung dan aliran yang menuju kepadanya. Sementara setiap manusia telah mengetahui tempat minum masing-masing.


Jasmaniah Rasulullah diibaratkan buih yang terus berkembang dan melap di permukaan air yang jernih. Ibarat buih karen ia dibina secara lahiriah dari makan, minum, menikah dan hal-hal yang sama dengan umumnya manusia dalam perbuatan dan kondisi mereka. Namun semua itu akan hilang dan lenyap sebagaimana buih, sementara apa yang dapat dimanfaatkan oleh manusia dari kenabian, kerasulan, hikmah, ilmu, ma’rifat dan syafaatnya akan tetap tinggal di bumi.


Perlu Anda ketahui, bahwa hikmah diciptakannya dari kelembutan dan kepadatan adalah agar menjadi sempurna ciptaan dan sifatnya, karena Allah menciptakannya dari dua hal yang berlawanan: Jasmaniah dan ruhaniyyah, Jasmaniah dan basyiriyyah (kemanusiaan) nya diciptakan agar ia bisa bertemu dengan manusia dan berbagai hal yang punya dimensi bentuk dan rupa.


Sehingga dijadikan ssuatu potensi (kekuatan) yang sanggup menerima manusia, uantuk membantu mereka dengan materi kemanusiaan, sehingg ia bersma mereka dan semangatnya pun bersamanya.


“Sesungguhnya saya hanya manusia yang sama dengan kalian.”

(Qs. Al-Kahfi :110).


Yakni dia sejenis dan sama dengan mereka. Sebab kalau dia muncul kepada mereka dalam kondisi ruhaniyyah malaikat yang jauhar-nya dari cahaya, tentu mereka tidak sanggup menerimanya, tidak mungkin daapt menambutnya.


Oleh karenanya Allah berfirman:

“Sesungguhnya telah datang kepadamu seorang Rasul dari kaummu sendiri, berat terasa olehnya penderitaanmu, sangata menginginkan (keimanan dan keselamatan) bagimu, amat bels kasihan lagi penyayang terhadap oeng-orang mukmin.”

(Qs. A.Taubah : 128).


Kemudian Allah menjadikan dalam dirinya suatu poensi dan ruhaniah yang akan sanggup menghadapi alan ruhaniah dan malakut alam atas, agaar keberkahannya menjadi sempurna dan rahmatnya menjadi merata. Sementara para ruhaniah dapat menyaksikan jasmaniahnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar