Kamis, 12 Mei 2022

AQABAH 1. TAHAPAN ILMU DAN MA'RIFAT


AQABAH 1. TAHAPAN ILMU DAN MA'RIFAT 

Terjemahan kitab minhahul ambidin (imam gazhali)


"Wahai orang-orang yang ingin terbebas dari 

segala mara bahaya dan yang ingin beribadah dengan benar, semoga Allah 

melimpahkan taufik-Nya kepada kita. Untuk itu, kita harus membekali diri dengan 

ilmu. Sebab, beribadah tanpa bekal ilmu adalah sia-sia, karena ilmu adalah pangkal 

dari segala perbuatan." 

Perlu diketahui, ilmu dan ibadah adalah dua mata rantai yang saling berkait. 

Karena, pada dasarnya segala yang kita lihat, kita dengar, dan kita pelajari adalah 

untuk ilmu dan ibadah. 

Dan untuk ilmu dan ibadah itulah al-Qur'an diturunkan. 

Juga Rasul dan Nabi-nabi, diurus Allah hanya untuk ilmu dan beribadah. 

Bahkan, Allah menciptakan langit, bumi dan segenap isinya hanya untuk ilmu dan 

ibadah. 

Renungkanlah firman Allah di bawah ini: 

Allah-lah yang menciptakan tujuh langit dan seperti itu pula 

bumi. Perintah Allah berlaku padanya agar kamu mengetahui 

bahwasanya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu, dan sesungguhnya 

Allah, ilmu-Nya benar-benar meliputi segala sesuatu (atb-Tbalaq. 12)

Dengan merenungkan keberadaan langit dan bumi, diharapkan kita akan 

memperoleh ilmu darinya. Dengan menyimak ayat di atas, kiranya sudah cukup 

menjadi bukti bahwa ilmu itu mulia. Lebih-lebih ilmu tauhid. Sebab, dengannya kita 

dapat mengenal Allah dan sifat-sifat-Nya. 

Juga renungkanlah firman Allah di bawah ini: 

Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya 

mereka menyembah-Ku. (adz-Dzariyat: 56). 

Hal itu menunjukkan betapa mulianya ibadah. Ayat di atas cukup menjadi bukti 

kemuliaannya, dan bahwasanya kita. harus senantiasa menjalankan ibadah. Sungguh 

besar arti ilmu dan ibadah bagi kehidupan di dunia dan akhirat. Maka, wajiblah bagi 

kita hanya mengejar ilmu dan menjalankan ibadah, sedangkan memikirkan yang 

lainnya adalah bathil. Sebab, dalam ilmu dan ibadah sudah tercakup segala urusan 

dunia dan akhirat. 

Membangun negara, menciptakan kemakmuran, jika semuanya dilaksanakan 

karena Allah, itu pun termasuk ibadah. Jadi, dengan ilmu dan ibadah dapat tercipta 




kebahagiaan dunia, akhirat dan kemajuan dunia yang sehat, bukan kemajuan yang 

menyesatkan. 

Hendaknya kita memusatkan perhatian dan pikiran hanya untuk ibadah dan 

ilmu. Jika sudah demikian, kita akan menjadi kuat dan berhasil. Karena, berpikir 

selain untuk ibadah dan ilmu adalah bathil dan sesat, serta hanya akan 

menghancurkan dunia. 

Kesimpulannya, tidak ada yang lebih baik dari ilmu dan ibadah. 

Sehubungan dengan mulianya itu, Nabi SAW. pernah bersabda: 

Kelebihan orang yang berilmu atas orang yang menjalankan 

ibadah, ibarat kelebihanku atas orang yang paling rendah di antara

umatku. (H.R. al-Haris bin Abu Uzamab dari Abu Said al-Kbudri, 

diperkuat riwayat Turmudzi dari Abu Umamab). 

Juga, perhatikan sabda Rasulullah berikut ini: 

Sekali melihat wajah orang berilmu, bagiku lebih suka daripada 

beribadah satu tahun, rajin berpuasa, dan menjalankan shalat malam. 

Tentunya, adalah orang berilmu yang mau mengamalkannya. 

Sabda Rasulullah SAW. yang lain: 

Apakah kalian tahu, siapakah yang paling mulia di antara 

penghuni surga? 

Para sahabat menjawab, "Bahkan kami ingin mengetahui hal itu, 

ya Rasulullah!" 

Rasulullah menjawab, "Yaitu para ulama, orang-orang berilmu, 

dan umatku." 

Jelas sudah, bahwa ilmu itu ibarat permata, dan lebih utama dari ibadah. 

Namun demikian, tidak boleh meninggalkan ibadah, kita harus beribadah dengan 

disertai ilmu. 

Seumpamanya sebuah pohon, ilmu ibarat pohonnya, dan ibadah ibarat 

buahnya. Maka, jika kita beribadah tanpa dibekali ilmu, ilmu tersebut akan lenyap 

bagaikan debu ditiup angin. 

Di sini, kedudukan pohon lebih utama, sebab pohon merupakan intinya. Akan 

tetapi, buah mempunyai fungsi yang lebih utama. Oleh karena itu, kita harus 

memiliki keduanya, yakni ilmu dan ibadah. 

Sehubungan dengan itu berkatalah Imam al-Hasanul Basri: 

Tuntutlah ilmu dan tanpa. melalaikan ibadah. Dan beribadahlah 

dengan tidak lupa menuntut ilmu




Semakin jelas kini, bahwasanya manusia harus memiliki ilmu dan beribadah, 

dan ilmu adalah lebih utama. Sebab, ilmu merupakan inti dan petunjuk dalam 

menjalankan ibadah. Bagaimana mungkin kita menjalankan ibadah jika tidak tahu 

caranya? 

Perhatikan sabda Rasulullah SAW.: 

Ilmu adalah imamnya amal, dan amal adalah makmumnya. 

Alasan bahwa ilmu adalah inti atau pokok yang harus di dahulukan daripada 

ibadah ada dua. Pertama, agar berhasil dan benar dalam beribadah. Harus diketahui 

terlebih dahulu siapa yang. harus disembah, baru kemudian kita menyembahnya. 

Apa jadinya. Jika kita menyembah, sedangkan yang kita sembah ltu belum kita 

ketahui asma dan sifat-sifat dzat-Nya, serta sifat waJib dan mustahil bagi-Nya? 

Sebab, kadang-kadang seseorang mengitikadkan sesuatu yang tidak layak bagi-Nya. 

Maka, ibadah yang demikian itu akan sia-sia. 

Dikisahkan, ada dua orang, yang seorang adalah orang berilmu yang tidak 

pernah beribadah, dan seorang lagi orang yang tidak benlmu tetapi menjalankan 

ibadah. 

Kemudian, keduanya diuji oleh seseorang, berapa kadar kejahatan kedua orang 

tersebut. Lantas, Si penguji mendatangi keduanya dengan mengenakan pakaian 

yang megah. 

Ia berkata kepada orang yang rajin beribadah, "Wahai hamba-Ku, aku telah 

mengampuni seluruh dosamu. Maka, sekarang kau tidak usah beribadah lagi." Ahli 

ibadah menjawab, "Oh, itulah yang kuharapkan darimu ya Tuhanku." 

Ahli ibadah menganggap si penguji sebagai Tuhan, sebab ia tidak mengetahui 

sifat-sifat Tuhannya. 

Selanjutnya, sang penguji mendatangi orang yang berilmu, yang waktu itu ia

sedang minum arak. Penguji berkata, "Wahai manusia, Tuhanmu akan mengampuni 

dosamu!" Dengan geram ia menjawab, "Kurang ajar! (seraya mencabut pedangnya), 

engkau kira aku tidak tahu Tuhan?!" 

Demikianlah, bahwa orang yang berilmu tidak akan mudah tertipu, dan 

sebaliknya orang yang tidak berilmu akan mudah tertipu. 

Kini semakin jelas, setiap hamba Allah harus memiliki ilmu dan menjalankan 

ibadah. Dengan ilmu sebagai inti atau pokok harus diutamakan. 

Rasulullah SAW. bersabda: 




Ilmu adalah pemimpin amal, dan amal sebagai makmum. 

Selanjutnya Nabi SAW, bersabda: 

Allah memberikan ilmu kepada orang-orang yang berbahagia, 

tidak kepada orang-orang celaka. (H.R. Abu Nuaim, Abu Thalib alMakki, al-Khatib, dan Ibnu Qayyim).

Itulah sebabnya ilmu merupakan inti (pokok) yang harus didahulukan dan 

diikuti oleh ibadah. Hal ini berdasar atas: 

Pertama: Agar berhasil dalam menjalankan ibadah. Sebab, ibadah tanpa ilmu 

akan dihinggapi banyak penyakit yang dapat merusaknya. Mengetahui dulu dzat 

yang harus disembah, baru kemudian menyembahnya. Tanpa mengetahui itu dapat 

menimbulkan suul khatimah (mati tidak dengan beriman kepada Allah), dan itu 

membuat ibadahnya sia-sia belaka . 

Mengenai hal itu, sudah penyusun terangkan dalam buku al-Kbaul yang 

terdapat dalam kumpulan buku yang berjudul Ihya' Ulumuddin. 

Sekarang, marilah kita bahas buku Ihya' Ulumuddin, guna mengetahui bahayabahaya yang dapat ditimbulkan oleh sifat suul khatimah, secara ringkas. 

Kebanyakan orang saleh sangat takut dengan suul khatimah. Dan suul 

khatimah itu ada dua tingkatan, yang keduanya sangat besar bahayanya. Kedua 

tingkatan tersebut adalah: 

Pertama: Yaitu hati dan perasaan seseorang ketika sakratul maut segera 

merenggutnya. Maka, hatinya akan menjadi ragu-ragu dan tidak percaya lagi kepada 

Allah, hingga ia mati dalam keadaan ndak benman. Na'udzu billah! 

Dalam hal ini, sifat kufur-lah yang menghalangi dirinya dengan Tuhannya, yang 

akan membuatnya berpaling dari Allah untuk selamanya. Maka, adzab yang sangat 

pedih dan kekal akan menimpanya. 

Kedua: yaitu seseorang yang ditunggangi oleh kecintaan terh.adap urusan 

duniawi yang tidak ada hu bungan nya dengan kehidupan akh.irat. Misalnya, 

seseorang sedang membangun rumah, kemudian sakratul maut akan segera 

menjemputnya. Dalam keadaan seperti itu, ia tidak ingat apa-apa melainkan hanya 

memikirkan pembuatan rumahnya yang belum selesai. Maka, JIka ia mati dalam 

keadaan demikian, berarti ia mati dalam keadaan jauh dari Allah SWT. 

Hatinya tenggelam dalam kecintaan terhadap harta dan dunia, bahkan 

berpaling dari Allah SWT. Dan jika seseorang sudah berpaling dan Allah, maka adzab 

dan siksa Allah balasannya! 




Di antara dua tingkatan dari sifat suul khatimah tersebut, tingkatan pertama 

lebih besar bahayanya. Sebab, seperti yang diterangkan al-Qur'an, bahwa. api 

neraka hanya akan menimpa orang-orang yang tertutup hatinya terhadap Allah 

SWT. 

Sedang orang Mukmin yang bersih hatinya, tidak bersifat hubbud-dunya (cinta 

dunia), dan selalu ingat kepada Allah SWT., adalah yang disebut dalam firman Allah 

Ta'ala: 

(yaitu) di hari harta dan anak-anak laki-laki tidak. berguna 

kecuali orang-orang yang menghadap Allah dengan hati yang bersih. 

(asy-Syu'ara: 87-88). 

Kepada golongan itu api neraka berkata: 

Silakan kalian berlalu wahai orang Mukmin, karena cahaya yang 

ada di hatimu telah memadamkan nyala apiku. (H. R. Ya'la bin 

Munabbih). 

Sangat berbahaya, jika seseorang mati dalam keadaan dikuasai oleh sifat 

hubbud-dunya- Karena, matinya manusia adalah sebagaimana hidupnya. Demikian 

pula, bangkitnya dari kubur sebagaimana ia mati. Jadi, saling bersesuaian. 

Ada beberapa sebab yang membuat seseorang bersifat suul khatimah, yang 

garis besarnya telah penyusun terangkan di atas. 

Seseorang dapat menjadi bersifat suul khatimah, walaupun ia seorang yang 

sangat berhati-hati, zuhud dan saleh. Ini disebabkan karena dalam niatnya 

terkandung bid'ah, bertentangan dengan sifat yang 'ditekankan oleh Rasulullah 

SAW., para sahabat, dan tabi'in. 

Rasulullah SAW. pernah berkata kepada para sahabatnya tentang Khawarij 

yang rajin shalat dan membaca al-Qur'an, "Ia lebih rajin dari kalian dalam hal shalat 

dan membaca al-Qur'an, hingga jidatnya kehitam-hitaman. Akan tetapi, ia membaca 

al-Qur'an tidak sampai ke dalam lubuk hatinya, dan shalatnya tidak diterima oleh 

Allah SWT." 

Jika demikian, bid'ah adalah sifat yang sangat membahayakan, karena dapat 

menyesatkan keyakinannya, bahwa Allah itu seperti makhluk. Misalnya, 

menganggap Allah benar-benar duduk di atas 'arasy (singgasana gaib), padahal Allah 

itu laisa kamitslihi syai'un. 

Kelak, jika pintu hijab telah terkuak, akan diketahui bahwa Allah tidaklah 

sebagaimana yang digambarkannya. Dan akhir'nya, ia akan ingkar terhadap Allah. 

Saat seperti itulah ia akan mati dalam keadaan suul khatimah. Dan kelak, jika




seseorang sudah dekat sakratul maut dan terkuak hijab, baru akan sadar bahwa 

masalah ini demikianlah kenyataannya. Ia akan kebingungan, karena tidak sesuai 

dengan anggapannya. 

Dalam keadaan seperti itulah ia mati dengan sifat suul khatimah, meskipun 

amalannya baik. Na'udzu billah! Maka, dalam ibadah yang paling penting adalah 

iktikad. 

Seseorang yang salah iktikad dikarenakan pemikirannya, atau ikut-ikutan orang 

lain, berarti terjerumus dalam bahaya ini. Kesalehan dan kezuhudan serta tingkah 

laku yang baik. juga tidak akan mampu menolong dari bahaya ini. Yang akan 

menyelamatkan hanyalah iktikad yang benar. 

Oleh karena itu, perhatikanlah hal-hal yang baik dari Nabi Muhammad SAW., 

yang semuanya didasari oleh iktikad yang baik pula. 

Orang yang pemikirannya sederhana akan lebih selamat. Sederhana, berarti

tidak berpikir secara mendalam, walaupun ia tidak begitu pandai. Tetapi ia akan 

lebih selamat daripada orang yang berlagak berilmu tetapi dasar iktikadnya tidak 

benar. 

Orang yang sederhana pemikirannya itulah sesungguhnya yang beriman 

kepada Allah kepada Rasul-Nya, dan kepada akhirat. Dia adalah orang-orang yang 

selamat. 

Jika seseorang tidak mempunyai waktu untuk memperdalam ilmu tauhid, maka 

usahakan agar tetap yakin dan percaya, karena dengan begitu ia sudah selamat. 

Cukup ia berkata dalam hati, "Aku beriman kepada Allah, dan aku berserah diri 

kepada Allah. Dan aku beriman kepada akhirat."

Apalagi jika ia rajin beribadah dan mencari rezeki yang halal, serta menuntut 

ilmu yang berguna bagi sesamanya. Ia lebih selamat daripada orang yang tidak 

sempat memperdalam ilmu pengetahuan. 

Tetapi, orang yang beriman pada garis besarnya saja harus benar-benar kuat. 

Misalnya, para petani yang tinggal jauh dari keramaian kota, dan orang-orang yang 

tidak pernah turut berkecimpung dalam forum diskusi dan perdebatan.

Pada suatu saat, Rasulullah memperingatkan aning yang sedang berdebat 

masalah takdir. Rasulullah SAW. sangat marah dan mukanya merah padam, lantas 

berkata, "Orang-orang yang terdahulu sesat, karena, antara lain. suka berdebat 

masalah qadha dan qadar. " 




Kemudian beliau bersabda: 

Orang-orang yang pada mulanya benar, tetapi kemudian sesat 

disebabkan karena mereka suka berbantah-bantahan. Berbantahbantahan kadang-kadang memperebutkan sesuatu yang tidak berguna. 

Selanjutnya Rasulullah SAW, bersabda: 

Kebanyakan penghuni surga adalah orang-orang yang berfikir

sederhana. (H.R. Imam Baihaqi dalam Syu 'abul Iman). 

Hendaknya tidak ragu-ragu dan cukup pada garis besarnya saja dalam 

beriktikad. Oleh sebab itu, Rasulullah melarang memperbincangkan orang lain. 

Pikirkan. saja bagaimana agar ibadahnya sah dan diterima, serta bagaimana mencari

rezeki yang halal. Bekerja apa saja asal halal, misalnya saja tukang sepatu, bertani, 

dokter, atau yang lainnya, selama tidak mempersoalkan sesuatu yang bukan ahlinya. 

Rasulullah SAW. sering memberikan nasihat demikian, karena merasa iba 

terhadap orang yang berbuat seperti Itu. Belum jelas kegunaannya, tetapi sangat 

jelas bahayanya. 

Pada dasarnya, memang percaya kepada isi al-Qur'an dan Sunnah Nabi. Jika 

terdapat ayat al-Qur'an yang tidak mengerti, maka serahkan kepada Allah SWT. Dan 

bagi orang awam yang tidak begitu mengetahui, cukup menerima apa adanya, 

selama tidak menyekutukan Allah dengan apa pun juga. Sebab, AIlah laisa kamitslihi 

syai'un. Bagaimana dan seperti apa Allah itu, Wallahu a'lam. Hanya Allah yang 

tahu, terhadap diri sendiri pun kadang-kadang kita tidak tahu, lebih-lebih tentang 

dzat Allah. 

Rasulullah SAW. melarang orang menta'wilkan sesuatu yang disitu diselipkan 

ayat-ayat al-Qur'an dengan tujuan agar dapat diterima akal sehat guna mencari 

kesesuaian hukum alam padahal teori selalu berubah. ' 

Pada zaman dahulu, orang suka mencocokkan ayat-ayat al-Qur'an dengan teori 

ilmu fisika dan ilmu lainnya. Kemudian, teori Itu mengalami perubahan, padahal 

orang itu telah mati. Maka, tafsirannya pun hanya akan menjadi sampah. Itulah 

kenyataannya, teori manusia akan selalu mengalami perubahan. Sedang dia 

mendasarkan tafsirannya pada al-Qur'an bagi teori-teorinya, kemudian dibawa mati. 

Hal ini sangat berbahaya. 

Oleh karena itu, janganlah sekali-kali menafsirkan al-Qur'an hanya dengan 

meraba-raba saja. Sebab, ilmu pengetahuan, baik klasik maupun modern, pada 

dasarnya hanyalah berupa pengalaman dan percobaan-percobaan yang merupakan 

perhitungan belaka. 




Pada hakikatnya, mereka belum mengetahui, apa sebenarnya hakikat 

elektrisitet, demikian pula apa sebenarnya hakikat aether. Oleh sebab itu, janganlah 

sekali-kali mendasarkan Iktikad hanya pada hasil perhitungan. Seyogyanya, kita 

mengetahuinya secara global, karena hal tersebut ada orang yang melarang agar 

pintu tidak dibuka sama sekali. 

Kadang-kadang, ada orang yang mendapat ilham dari Allah dengan. dibersihkan 

hatinya dan inkisyaf Sebelum mati, ia sudah inkisyaf, dan nanti setiap orang juga 

akan inkisyaf walaupun bukan seorang wali. Tetapi, wali pun kadang-kadang sudah 

inkisyaf semasa hidupnya. 

Para wali mengerti adab kesopanan. Mereka hanya terdiam, karena tidak dapat 

dilukiskan dengan kata-kata. Dan jika hal Itu dibahas, akan menimbulkan banyak 

bahaya. Permasalahann.ya sangat sulit, sehingga akal manusia tidak mampu 

menelaah sifat-sifat dan dzat Allah. Untuk mendekatkan diri kepada-Nya, cukup 

dengan perasaan, tidak perlu dengan akal. Dan dengan keyakinan dalam hati itu, 

para wali kadang-kadang membuat peristilahan yang hanya dapat dimengerti oleh 

mereka. Inilah sebab yang pertama.

Sebab yang kedua dari sifat suul khatimah, dikarenakan iman yang lemah, yang 

sebagian besar disebabkan karena pergaulan. Jika seseorang bergaul dengan orangorang yang lemah imannya, maka ia pun akan semakin lemah imannya. Juga 

dikarenakan sering membaca buku yang dapat membuat iman lemah. Bahkan orang 

akan menjadi atheis dan kufur. 

Kedua sebab yang membuat lemah iman itu ditambah lagi dengan sifat 

hubbud-dunya. Jika iman sudah lemah, maka kecintaan terhadap Allah pun akan 

lemah. Akibatnya, ia akan mementingkan diri sendiri dan kecintaan terhadap urusan 

duniawi yang semakin kuat. 

Akhirnya, ia benar-benar dikuasai oleh sifat hubbud-dunya, tidak punya waktu 

lagi untuk mencintai Allah. Ia mencintai Allah dan mengakui bahwa Allah Yang 

Menciptakannya. Namun, itu hanyalah pengakuan lahiriah. Dan hal itulah yang 

membuatnya senantiasa melampiaskan nafsu syahwatnya, hingga hatinya mengeras 

dan tertimbun kegelapan dosa. Lama kelamaan, imannya semakin surut, hingga 

hilang sama sekali dan jadilah ia kufur. 

Sehubungan dengan hal itu Allah SWT. berfirman: 

.....dan hati mereka telah dikunci mati, maka mereka tidak 

mengetahui (kebahagiaan dan berjihad). (at- Taubah: 87). 




Dosanya tidak dapat lagi dihapuskan dari hatinya. Jika sakratul maut telah 

datang, kecintaan mereka terhadap dunia semakin kuat, dan kecintaan kepada 

Allah semakin lemah. Sebab, mereka merasa sedih dan berat meninggalkan 

kesenangan dunia, sebab sifat hubbud-dunya benar-benar telah menguasai dirinya. 

Setiap orang yang harus meninggalkan sesuatu yang dicintai pasti akan merasa 

sedih. Kemudian, timbul pertanyaan, mengapa Allah mencabut nyawaku? Lantas 

imannya menjadi luntur, sehingga membenci takdir Allah. Mengapa Allah mencabut 

nyawaku dan tidak memperpanjang umurku? Jika dalam keadaan seperti itu ia mati, 

berarti ia mati dalam keadaan suul khatimah. Na 'udzu billah! 

Demikianlah penjelasan singkat Imam Ghazali dalam bukunya. Ihya'. Kemudian, 

kerjakanlah shalat, puasa, dan sebagainya seperti diperintahkan Allah SWT. 

sebanyak mungkin. Di samping itu, jauhilah segala hal yang menjadi larangan Allah 

SWT., seperti riya', ujub, dan sebagainya, yang merupakan sifat: sifat tercela. 

Mengenai hal itu, akan diterangkan dalam buku ini, agar sifat-sifat demikian terjauh 

dari kita. 

Seseorang tidak mungkin berlaku taat apabila ia belum mengetahui apa-apa 

yang harus dikerjakan dan segala yang harus ditinggalkan. Apakah taat? Bagaimana 

cara mengerjakan? Bagaimana kita bisa menjauhi perbuatan maksiat, sedang kita 

belum mengetahui jenisnya? Jika seseorang mengetahui bahwa berdusta adalah 

haram, maka ia akan meninggalkannya. Untuk itu, kita harus belajar, apa yang 

diwajibkan dan apa yang diharamkan bagi kita, agar kita tidak terjerumus ke dalam 

perbuatan dosa dan durhaka. 

Jadi, kita wajib mengaji dan mempelajari ibadah syar'i. Seperti, bersuci, mandi 

dan wudhu', shalat, puasa, dan sebagainya, karena ibadah-ibadah ini fardhu 'ain 

hukumnya. Selain itu, setiap insan Muslim wajib pula mempelajari ilmu fiqih beserta 

hukum dan syarat-syaratnya, agar dapat menjalankannya dengan sebenar-benarnya. 

Ada kalanya seseorang terus-menerus melakukan perbuatan yang dianggapnya 

baik, padahal perbuatan tersebut dapat merusak kesucian, shalat, dan sebagainya. 

Pernah pada suatu saat, seseorang berada di dalam masjid. Tetapi ia tidak 

mengetahui bagaimana cara sujud, ruku', dan sebagainya. Niatnya sudah baik, tetapi 

belum mempelajari bagaimana cara melakukan shalat. Sehingga, shalatnya tidak 

sesuai dengan yang diajarkan oleh Rasulullah SAW. Sedang la sendiri tidak merasa 

bersalah, karena shalat adalah wajib 'ain hukumnya, dan akan lebih baik lagi jika 

ditambah dengan ibadah-ibadah sunat. 




Kadang-kadang, kita menemui kesulitan bagaimana menJalankan shalat ketika 

bepergian. Bagi yang belum pernah mengaji dan belajar agama, tentu akan 

kebingungan untuk melakukannya. . 

Oleh sebab itu, belajar mengaji adalah sangat penting. Juga memperdalam ilmu 

taSAWuf, yaitu ibadah batin. Jika menjalankan shalat, puasa, menunaikan Ibadah 

haji, dan mengeluarkan zakat termasuk ibadah lahir, maka yang termasuk ibadah 

batin di antaranya adalah menjauhkan diri dan sifat takabbur. Lawan dari takabbur 

adalah tawadhu'. Dzikrul minnah, lawan dari ‘ujub, Kisarul 'amal, lawan tulil 'amal. 

Yang disebutkan di atas juga termasuk ibadah batin. 

Dalam menjalankannya, ibadah lahir maupun ibadah batin harus seimbang, 

agar tidak berat sebelah dan pincang. Dan ibadah-ibadah batin, yaitu ibadah yang 

dilakukan oleh hati, harus pula kita ketahui dan pelajari. Untuk mempelajarinya, 

pembaca bisa membaca buku Minhajul 'Abidin ini, dan untuk mempelajari ibadah 

yang bersifat lahiriah, pembaca dapat mempelajari lewat buku Bidayatul Hidayah 

atau Fathul-Qarib. 

Bentuk ibadah batin yang lain adalah tawakkal, yang artinya percaya dan 

pasrah kepada Allah dalam segala urusan yang kita khawatirkan. Karena, manusia 

tidak lepas dari rasa khawatir. Misalnya, dalam mencari rezeki yang halal, kadangkadang kita khawatir kalau dagangan kita rugi, jangan-jangan SAWah kita diserang 

hama, dan sebagainya. Nah, dalam kekhawatiran seperti itu, selayaknya kita 

kembalikan dan serahkan kepada Allah SWT. 

Insya Allah, dalam hal itu, akan penyusun nukilkan dari keterangan panjang 

lebar Imam Ghazali dalam bukunya, Minhajul 'Abidin, dan lainnya. 

Kita tidak boleh menentang dan harus ikhlas menerima takdir Allah. Harus 

sabar dalam menghadapi cobaan, tahan uji, tahan derita, dan tabah dalam taat 

kepada. Allah. Itulah orang yang kuat imannya. Sebab, sabar Itu sendiri berarti tahan 

uji.

Dan Insya Allah, perihal taubat juga akan penyusun terangkan dalam buku 

Minhajul 'Abidin ini ditambah dari buku-buku lain karangan Imam Ghazali. 

Kita sudah begitu mengenal kata ikhlas, tetapi perlu penyusun jelaskan bahwa 

ikhlas berarti meninggalkan sifat riya’ dalam beramal dan beribadah. 

Dalam menjalankan ibadah batin, terdapat pula larangan-larangannya, yang hal 

itu harus diketahui oleh setiap Muslim. Sebab, apa artinya beragama Islam jika tidak 

mengetahui larangan-larangan dan kewajiban-kewajibannya? Hati akan menjadi




kosong, penuh dengan sifat jahat dan busuk, dan Islam berfungsi untuk 

membersihkan sifat-sifat buruk tersebut. 

Apa artinya kita beragama Islam jika hatinya kotor dan tidak saleh, hanya 

disunat dan membaca syahadat sewaktu akan nikah. Shalatnya didasari sifat riya' 

dan ‘ujub, tidak ada artinya semua itu. Islam adalah menjalankan amalan-amalan 

batin serta menjauhi larangan-larangan batin. Larangan batin di antaranya tidak 

ikhlas menerima takdir Allah SWT. 

Penyusun pernah membaca suatu kisah, ada seorang yang ditinggal mati istri 

dan anak-anaknya, kemudian orang tersebut mengumpat Tuhan. Nah, perbuatannya 

itu merupakan dosa besar, karena tidak mau menerima takdir Allah. 

'Amal yang ditulis dengan 'ain mempunyai arti perbuatan. Sedang amal yang 

ditulis dengan hamzah, artinya merasa tidak akan mati, dan itu dosa besar. Sebab, 

jika seseorang merasa tidak akan mati, ia akan menunda-nunda ketaatan kepada 

Allah SWT. 

Riya' adalah perbuatan yang tidak ikhlas, pura-pura, beribadah hanya agar 

dipuji orang. J adi, bukan karena Allah. 

Adapun kibir, adalah merasa dirinya besar atau sombong. Pada hakikatnya, 

tiada manusia yang besar. Kebesaran dan baiknya seseorang akan diketahui jika 

pada ajalnya kelak ia husnul khatimah. Tetapi, jika ia matinya suul khatimah, berarti 

ia seorang yang kerdil, meskipun merasa dirinya besar. Untuk itu, jauhilah sifat-sifat 

buruk tersebut. 

Dengan jelas, dalam al-Qur'an nash-nash dan ayat-ayatnya mewajibkan kita 

agar menjalankan Ibadah batin, dan menjauhi maksiat-maksiat batin. Ayat-ayat alQur'an yang membicarakan hukum lahir kurang lebih hanya lima ratus ayat, sedang 

yang membicarakan badah batin hampir dari awal hingga akhir, termasuk di 

dalamnya membahas masalah maksiat batin. 

Allah memerintahkan umatnya menjalankan ibadh batin, berlaku sabar, 

tawakkal, ikhlas dalam menerima takdir. selalu ingat kepada karunia Allah, dan 

sebagainya. Jika Ibadah batin seperti tersebut di atas nyata-nyata dipenntahkan oleh 

al-Qur'an dan Hadits, maka tidak ada artmya ke-Islam-an seseorang jika ia masih 

suka menggunjingkan orang. berbohong, durhaka terhadap kedua orangtua, 

su'uzhan terhadap sesama Muslim, dan sifat-sifat tercela lainnya. Orang Muslim

yang demikian tidak ada bedanya dengan orang non-Muslim. Ia tahu bahwa Tuhan 

ada, tetapi hatinya busuk. seperti halnya Iblis, Ia tahu bahwa Tuhan itu ada, tetapi 




hatinya busuk. 

Jadi, ibadah hati itu sangatlah penting. 

Allah, dengan tegas melarang perbuatan-per?uatan maksi at batin. Juga hadits 

Nabi (sebagian besar hadits mutawatir). Sehubungan dengan hal itu Allah 

berfirman: 

... Dan hanya kepada Allah hendaknya kamu bertawakkal, jika 

kamu benar-benar orang yang beriman. (al-Matdah: 23).

Tawakkal menunjukkan kuatnya iman, dan hukumnya wajib seperti halnya 

ibadah shalat, puasa, menunaikan haji, dan zakat. Allah berfirman: 

.. , dan bersyukurlah kepada Allah, jika benar-benar kepadaNya saja kamu menyembah. (al-Baqarah: 172). 

Jadi, jika kita tidak bersyukur kepada Allah, berarti tidak berbadah kepada Allah 

SWT. Bersyukur adalah menggunakan nikmat Allah guna berlaku taat kepada-Nya. 

Keterangan lebih Jelas akan penyusun berikan dalam bagian lain dari buku ini. 

MIsalnya begini. Ayah memberikan sejumlah uang kepada anaknya, kemudian sang 

anak memanfaatkannya untuk hal-hal yang baik dan yang disukai oleh ayahnya. 

Berarti, anak Itu bersyukur kepada ayahnya. Tetapi, jika uang itu dipergunakan 

untuk hal-hal yang tidak disukai ayahnya, berarti ia tidak bersyukur terhadap 

pemberian ayah. 

AIlah memberikan akal kepada kita untuk berpikir. Tetapi manusia senng 

mempergunakan akalnya untuk memikirkan yang bukan-bukan, hingga akhirnya ia 

kufur dan ingkar terhadap Allah SWT. 

Ibarat seorang raja menghadiahkan, pedang kepada prajuritnya yang dianggap 

berjasa, Setelah menerima pedang tersebut, si prajurit rnenjadi berubah, bahkan

pedang pemberian raja itu dipergunakannya untuk membunuh sang raja. 

Hal itu sama halnya dengan Allah memberikan akal kepada kita. Jika kita 

menggunakan akal itu hingga mengatakan bahwa Allah Itu tidak ada, berarti kita 

tidak bersyukur atas nikmat Allah. 

Allah SWT. berfirman: 

Bersabarlah (hai Muhammad) dan tiadalah kesabaranmu itu 

melainkan dengan pertolongan Allah. (an-Nahl: 127). 

Ini menunjukkan bahwa Allah SWT. memerintahkan kita berlaku sabar, dan 

sabar berarti bersama Allah SWT. 

Berlakulah ikhlas secara benar karena Allah.




Dan ini menunjukkan bahwa ikhlas adalah wajib. Hal itu dikuatkan oleh sabda 

Rasulullah SAW: 

Barangsiapa ikhlas kepada Allah dengan sebenar-benarnya, 

niscaya akan ditanggung segala urusannya dan diberi rezeki dari jalan 

yang tidak disangka-sangka. 

Dan masih banyak lagi ayat-ayat al-Qur'an dan hadits Nabi yang menguatkan 

hal itu, seperti firman Allah dalam memerintahkan shalat dan puasa. Jika demikian, 

mengapa manusia hanya mau menerima perintah shalat dan puasa, tetapi meninggalkan perintah menjalankan tawakkal, sabar, dan sebagainya. Padahal, semuanya 

adalah Allah yang memerintahkan, dan dengan kitab. yang sama, yakni al-Qur'an. 

Bahkan, orang melupakan fardhu-fardhu tersebut. Sehingga, ia tidak mengerti 

segala dari fardhu-fardhu itu karena terpengaruh oleh orangorang yang bersifat 

hubbud-dunya, yang terbalik pandangannya, sehingga yang baik dianggap buruk dan 

yang buruk dikatakan baik. Juga berkat hasutan orang-orang yang meremehkan dan 

meninggalkan ilmu yang bermanfaat, yang dalam al-Qur'an, oleh Allah manfaat ilmu 

itu disebut nur, hikmah, dan huda. Dan berkat hasutan orang-orang yang mengejar 

ilmu haram guna mengejar kesenangan dunia, yang pada akhirnya akan mengalami 

kehancuran. 

Hai orang-orang yang menginginkan petunjuk dan kebenaran, tidakkah kalian 

takut menjadi perusak dari kewajiban: kewajiban tersebut. Hanya mementingkan 

shalat, puasa, tetapi meninggalkan kewajiban tawakkaI. Jika demikian, apa yang 

kalian kerjakan tidak ada artinya, bahkan kalian akan tenggelam dalam perbuatan 

maksiat, seperti riya', takabbur, yang semuanya itu menyebabkan kalian masuk 

neraka. 

Dan apakah kamu tidak takut jika segala amalanmu tidak berarti, meskipun 

kamu berhati-hati dalam mengerjakannya, dikarenakan kamu meninggalkan hal-hal 

yang hukumnya mubah dengan maksud mencari keridhaan Allah, tetapi tidak 

tercapai, disebabkan kamu meninggalkan kewajiban tawakkal dan sebagainya? 

Dan akan lebih parah lagi jika kamu terperangkap dalam angan-angan dan 

lamunan yang mendorongmu ingin hidup kekal, bersatu dan berfoya-foya dengan 

kesenangan dunia. Padahal, angan-angan itu pada dasarnya maksiat. Karena kamu 

tidak mengetahui perbedaan antara niat baik dengan 'angan-angan, sehingga kamu 

menganggap bahwa angan-angan, adalah mat baik, karena memang keadaannya 

ada yang hampir sama. 

Demikian pula kepanikan dan rasa gelisah, dianggapnya rendah hati dan Ikhlas 




dalam berdoa kepada Allah. Riya' dan sum'ah dianggapnya sebagai ajakan kebaikan 

terhadap manusia, dan berbuat maksiat dianggapnya taat. Ia beranggapan bahwa 

dirinya banyak mendapatkan pahala. padahal bagiannya adalah siksa. 

Jika demikian, maka kamu dalam kekeliruan yang besar, dan kekosongan 

pikiran yang teramat buruk. Sebagian ulama berpendapat, kekosongan pikiran 

timbul karena kurang berhatihati dan kurangnya kesadaran. Maka, kekosongan 

pikiran merupakan petaka yang keji, dan sia-sialah beramal tanpa dilandasi ilmu. 

Orang-orang yang terpedaya oleh dirinya terbagi menjadi empat bagian. Tiaptiap bagian mempunyai cabang dan membentuk kelompok pula. 

Imam Ghazali dalam Ihya'-nya telah membahas masalah itu dengan panjang 

lebar, dan di sini akan dijelaskan secara singkat. 

Bagian pertama, ahli ilmu yang terpedaya oleh golongan ini adalah beberapa. 

macam. Di antaranya, orang-orang yang hanya memikrkan llmu lahir dan berpikir 

terlampau mendalam, tetapi mereka melupakan dan tidak memelihara ilmu batin. 

Mereka merasa bangga dengan ilmu lahir yang dimilikinya, dan dengan berpikir 

berlebihan menganggap dirinya telah mendapatkan tempat di sisi Allah. Bahkan 

menganggap dirinya telah mampu membebaskan diri dari siksa Allah dan 

menganggap dirinya mampu memberikan syafaat dan tidak akan dituntut dosanya. 

Orang-orang yang demikian itu terpedaya oleh dirinya sendiri. Kalau saja 

mereka sadar, maka akan tahu bahwa ilmu terbagi menjadi dua, yakni ilmu 

mu'amalab dan ilmu Ma 'rifah. 

Ilmu Mu'amalah, di antaranya mengetahui mana yang halal dan mana yang 

haram, mana akhlak yang baik dan mana yang buruk, serta mengetahui bagaimana 

cara menghilangkan sifat-sifat buruk itu dan menjauhinya. 

Mengetahui semuanya itu tidak akan ada artinya jika tidak untuk diamalkan. 

Apa gunanya seseorang mengetahui suatu ilmu dan cara-cara beribadah jika tidak 

mengerjakannya. Mengetahui macam-macam maksiat dan cara menjauhinya, jika ia 

sendiri tidak berusaha menjauhinya. Menguasai ilmu akhlak dan dapat membedakan 

mana yang baik dan yang buruk, tetapi perbuatannya bertolak belakang. 

Allah Ta'ala berfirman: 

Sesungguhnya beruntunglah orang yang mencucikan jiwa. (asySyam: 9). 

Dan Allah tidak berfirman: 




Sesungguhnya beruntunglah orang yang mempelajari cara

membersihkan jiwa. 

Sehubungan dengan itu, setan akan selalu berupaya membujuk kita agar 

menjauhi ayat di atas. Setan akan berkata, janganlah kamu keliru, maksudmu adalah 

menginginkan dekat kepada Allah dan memperoleh pahala. Maka, semuanya akan 

tercapai hanya dengan ilmu. Ingatlah sabda Rasulullah dalam beberapa hadits, 

bahwa seseorang yang berilmu itu sangat agung. 

Jika seseorang lemah imannya, mudah terbujuk, dan kurang berpikir, maka 

akan membenarkan perkataan setan itu dan merasa tenteram dengan hanya 

memiliki ilmu tanpa berbuat amal. Inilah yang dinamakan ghurur. 

Lain halnya dengan orang yang tidak mudah terbujuk dan selalu waspada. 

Bujukan setan itu akan ia jawab, hai setan, engkau hanya mengemukakan hadits 

yang menerangkan keagungan ilmu dan tidak mengingatkanku akan keburukan--

keburukan orang alim yang enggan mengamalkan ilmunya, yang derajatnya sama 

dengan anjing dan himar, dan engkau tidak mengemukakan kepadaku hadits yang 

berbunyi:

Barangsiapa bertambah ilmunya, tetapi tidak bertambah amalannya. berarti ia 

bertambah jauh dari Allah. 

Dan masih banyak lagi hadits yang senada dengan hadits di atas. 

Orang ghurur hanya mempercantik lahiriahnya dan mengabaikan batinnya. 

Nabi SAW. bersabda: 

Bahwasanya Allah tidak akan memandang rupa dan harta-mu, 

melainkan hati dan amalanmu, 

Mereka hanya memperbanyak ibadah lahir dengan mengabaikan pemeliharaan 

hati, padahal hati adalah pangkal dari segala ibadah. Dan seseorang tidak akan 

selamat kecuali menghadap Allah dengan hati yang tulus. 

Bagian kedua, golongan ahli ibadah dan ahli beramal. Ini juga banyak 

macamnya, antara lain orang-orang yang hanya mementIngkan fadbilab dan 

sunnah, tetapi fardhu mereka abaikan. Mereka bahkan jauh sekali tenggelam dalam 

keadaan seperti itu. Mereka mengejar fadhilah dan sunnah hingga timbul 

pertentangan berlarut-larut. Misalnya ada orang yang selalu ragu-ragu dalam 

berwudhu', mereka sangat berhati-hati dalam menggunakan air, menginginkan 

kesempurnaan yang amat, sehingga hatinya tidak tenteram dalam berwudhu' yang 

telah ditetapkan sucinya oleh syara'. Mereka. menentukan ihtimal-ihtimal dalam




bentuk najis, yang jauh dikatakan dekat, hingga akhirnya ia bersusah payah mencari 

air, dan kadang-kadang lalai mengerjakan yang fardhu. 

Ada juga orang yang ragu-ragu dalam berniat melakukan shalat. Setan tidak 

membiarkannya memperoleh niat yang sah, bahkan selalu mengganggunya hingga 

ia tidak berjamaah atau sampai keluar dari waktu shalat: Dan kalaupun la dapat 

berniat, masih juga ragu-ragu, sah apa ndak niatnya. 

Terdapat pula orang ragu-ragu ketika mengucapkan takbir, sampai kadangkadang ia merubah bunyinya. Dan keragunnnya itu menjalar hingga seluruh bagian 

shalat. Mereka mengira, dengan niat yang susah payah telah mendapatkan 

kelebihan dibandingkan orang lain, dan menyangka perbuatan seperti Itu dianggap 

baik oleh Allah. Padahal, yang demikian itu adalah perbuatan ghurur semata. 

Juga terdapat orang yang merasa ragu ketika membaca al-Fatihah dan bacaan 

lainnya. Perasaannya selalu tertuju pada pengamatan tasydid. Perhatiannya tertuju 

pada perbedaan bunyi dha dan zha yang membuatnya lupa memperhatikan dan

menjaga syarat-syarat dan rukun lainnya. Apalagi mengetahui arti bacaannya serta 

hikmah-hikmah dan asrar shalat. 

Hal yang demikian juga termasuk ghurur. Sebab, yang diperintahkan dalam 

membaca ayat adalah bunyi-bunny tulisan seperti halnya yang dipakai dalam 

berbicara bahasa Arab, tidak berlebih-lebihan dari yang seharusnya. . 

Bagian ketiga adalah ahli taSAWuf. Ghurur dan golongan ini banyak pula 

macamnya, terutama para ahli taSAWuf di masa sekarang, kecuali yang dipelihara

oleh AIIah. Antara lain, orang yang merasa dirinya memiliki Ilmu ma’rifat dan telah 

mampu melihat Tuhan dengan hatinya, telah melalui beberapa tingkatan ahwal dan 

menggunakan istilah yang berlainan dengan ilmu taSAWuf. Mereka menganggap 

dirinya dekat dengan Allah, padahal mereka hanya mengetahui nama-Nya, yang 

mereka dengar dari lafazh-Iafazh yang dapat menjadikannya sesat dan keliru. 

Dengan semua itu, mereka menganggap memiliki ilmu tertinggi dari umat sejak 

awal hingga akhir. Mereka memandang rendah dan hina para faqih, ahli tafsir, ahli 

hadits dan ulama, lebih-lebih kepada orang awam. Manusia awam dipandangnya 

sebagai hewan piaraan. Disebabkan ghurur-nya itulah mengakibatkan petani awam 

meninggalkan SAWahnya, penenun meninggalkan garapannya. Setiap hari mereka 

hanya bergaul dengan para ahli taSAWuf palsu itu, dan mendengarkan ucapanucapannya yang tidak ada artinya sama sekali. Kata-kata itu, seolah-olah wahyu dari 

langit, rahasia-rahasia yang tersembunyi. Ucapannya pun merendahkan para ahli 




ibadah dan ahli ilmu. 

Terhadap ahli ibadah, ia mengatakan bahwa mengerjakan ibadah hanya 

membuat tubuh kepayahan. Terhadap ahli ilmu, ia mengatakan bahwa orang-orang 

yang memperbincangkan ilmu adalah orang-orang yang tertutup dari Allah. 

Selanjutnya mereka mengaku, hanya merekalah yang telah sampai kepada 

Allah dengan mencapai tingkatan muqarrabin. Sedangkan sesungguhnya, Allah 

memandang mereka sebagai golongan fujjar dan munafik. Dan bagi orang-orang 

yang bersih hatinya dan pandai, mereka dipandang sebagai manusia dungu, tidak 

waras, tertipu, sama sekali tidak memiliki ilmu tauhid fiqh, dan taSAWuf yang benar. 

Mereka benar-benar tidak memiliki didikan untuk ber-mujahadah, dan tidak. 

beramal mencari keridhaan Allah serta melupakan dzikir, yang membuatnya selalu 

menuruti keinginan nafsu syahwat dan menerima ucapan-ucapan yang tidak berarti. 

Terdapat pula golongan yang menghabiskan waktunya untuk mengajarkan 

akhlak dan membersihkan diri dari segala macam celaan. Akan tetapi, terlalu 

berlebihan sehingga secara terus menerus mereka mencari keaiban dirinya dan 

mengkaji tipu dayanya, sehingga menjadi pekerjaan sehari-hari. Segala perbuatan 

mereka amati terlalu mendetail: itu aib, ini buruk dan sebagainya. Orang-orang yang 

hanya menghabiskan waktunya untuk hal-hal seperti itu, sama halnya dengan orang 

yang selalu membayangkan dan menghitung bahaya-bahaya dalam menunaikan 

ibadah haji, yang kemudian ia tidak jadi melaksanakannya. 

Golongan keempat yang terkena ghurur adalah golongan hartawan. Dan ini pun 

banyak macamnya, antara lain orang yang suka bersedekah terhadap fakir miskin, 

tetapi menginginkan kesaksian orang banyak. Dan fakir miskin yang disenangi adalah 

yang mau menceritakan dan memujinya. Mereka tidak mau bersedekah dengan 

diam-diam. Tetapi, bersedekah di hadapan orang banyak dengan maksud memberi 

teladan dan untuk mengetuk hati orang lain adalah baik. Karena, dalam hal seperti 

itu yang penting adalah niatnya. 

Ada juga golongan yang gemtlr mempergunakan harta kekayaannya untuk 

menunaikan ibadah haji. Berulang kali mereka menunaikan ibadah haji, sedang 

tetangganya banyak yang kelaparan. Dalam kaitannya dengan hal itu, Ibnu Mas'ud 

berkata, "Kelak pada akhir zaman banyak orang melakukan ibadah haji dengan 

mudah. Tetapi, mereka tidak akan mendapatkan pahala, sebab tidak 

memperdulikan tetangganya yang kesulitan, bahkan menyapa pun tidak." Sebab, 

dasar hukumnya, menolong kesusahan. tetangga terdekat adalah wajib, dan

menunaikan ibadah haji untuk yang kedua kali dan seterusnya adalah sunnah. 




Terdapat pula golongan yang mempunyai banyak uang. Ia kewalahan menjaga 

dan menahan uangnya agar tidak dibelanjakan, karena sayangnya kepada uang 

tersebut. 

Dalam beribadah, mereka memilih ibadah yang dapat dikerjakan oleh anggota 

badan, enggan mengeluarkan uang. Mereka banyak berpuasa sunat dan 

mengerjakan shalat sunat pada malam hari, dan kadang-kadang khatam membaca 

al-Qur'an. Akan tetapi, mengeluarkan uang untuk jihad, membantu masjid dan 

madrasah, membantu rumah yatim, mereka sangat kikir. Mereka itu termasuk 

ghurur, sebab meninggalkan amalan yang lebih penting dan dibutuhkan. 

Sebagian lagi, ghurur dari golongan awam, hartawan dan fakir, menganggap 

bahwa hadir dalam majlis ilmu telah memenuhi kewajiban. Mereka menjadikannya 

sebagai kebiasaan, dan mengira hanya dengan mendengarkan tanpa mengamalkannya sudah mendapat pahala dari Allah SWT. Ini pun termasuk ghurur. Karena, 

menghadiri majlis ilmu sebenarnya dimaksudkan untuk membangkitkan niat guna 

melakukan amal. 

Adapun yang dimaksud dengan ilmu Ma'rifat adalah, orang harus mengenal 

empat perkara: 

1. Mengenal dirinya. 

2. Mengenal Tuhannya.

3. Mengenal dunia. 

4. Mengenal akhirat. 

Mengenal dirinya, maksudnya merasa bahwa dirinya adalah hamba Allah yang 

lemah dan membutuhkan. 

Arti mengenal Tuhannya ialah, mengetahui dengan sebenarbenarnya dan 

yakin, bahwa hanya Allah yang berhak disembah, Yang Agung dan Yang Berkuasa. 

Selanjutnya, ia merasa bahwa dunia ini hanyalah padang pengembara menuju 

tempat kembali, yakni akhirat, dan ia jauh dari nafsu binatang. 

Sebagai seorang Muslim, ia harus mengenal Tuhannya, tetapi perasaan Itu 

tidak akan pernah ada jika ia tidak mengenal dirinya. 

Oleh sebab itu, hendaknya mencari petunjuk guna sampai ketujuan dengan 

membaca buku Mahabbah, Syarh Ajaibul Qalb, Kitabut tafakkur, dan Ihya 

'Ulumuddin. Dalam buku-buku tersebut, akan pembaca jumpai petunjuk-petunjuk 

tentang keadaan diri, keagungan Allah, dan setiap orang akan dapat mengoreksi 




dirinya. Sedang untuk mengenal dunia dan akhirat, pembaca dapat mengetahuinya 

dari buku Kitabuzammid (celaan dunia), dzikrul maut (ingat akan maut), dan dalam 

Ihya 'Ulumuddin. Dalam buku-buku tersebut diterangkan dengan Jelas perbedaan 

antara dunia dan akhirat. 

Bila seseorang telah mengenal diri dan Tuhannya, dunia dan akhirat, tentu akan 

timbul kecintaan terhadap Allah, sebagai hasil ma'rifah kepada-Nya. Dengan 

mengenal akhirat, akan. menimbulkan rasa rindu terhadap akhirat. Dengan mengetahui duma, seseorang tidak akan tertarik olehnya. Kemudian, bagi mereka, yang 

terpenting adalah segala yang dapat menga ntarkan mereka kepada keridhaan dan 

rahmat Allah, dan segala yang bermanfaat untuk hidup di akhirat.

Bila yang demikian telah terpatri di hatinya, tentu niatnya dalam segala urusan 

akan menjadi baik, niat untuk menempuh jalan akhirat. Maka, niatnya sah dan 

terpuh dan berbuat kesalahan. Karena, yang merusak niatnya adalah ghurur yang 

tumbuh dari kecenderungan terhadap dunia, kemegahan dan harta. 

Sedangkan yang dimaksud dengan ilmu adalah cara-cara menempuh jalan 

menuju keridhaan Allah, dan yang dapat mendekatkan seseorang kepada-Nya, serta 

segala yang menjauhkan seseorang kepada-Nya. Di samping itu, mengetahui pula 

halangan-halangan, tingkatan-tingkatan, dan bahaya dalam perjalanan tersebut, 

yang semua itu banyak dibahas dalam buku ini. 

Selanjutnya, perlu diketahui pula mengenai ibadah lahir, shalat, puasa, dan 

sebagainya. Semua itu berhubungan dengan ibadah batin yang akan memperbaiki 

atau merusak Ibadh lahir. Seperti misalnya ikhlas. Ikhlas menjadikan ibadah lahir itu 

baik. Sedangkan riya', merusak ibadah lahir. Juga ‘ujub, dzikrul minnah, dan 

sebagainya. Masing-masing akan penyusun terangkan dalam bab-bab tersendiri.

Barangsiapa tidak mengetahuI Ibadah batin dan pengaruhnya terhadap ibadah 

lahir serta cara-cara menjauhinya, sedikit sekali di antara mereka yang selamat, dan 

mereka kehilangan pahala ibadah lahir dan batin. Mereka hanya akan mendapat 

kecelakaan dan kesulitan, dan yang demikian Itu merupakan kerugian yang nyata. 

Sehubungan dengan hal itu, Rasulullah SAW. bersabda: 

Bahwasanya tidurnya orang berilmu lebih baik daripada 

shalatnya orang bodoh. 

Sebab, beramal tanpa ilmu akan banyak merusak. 

Rasulullah SAW. juga bersabda:

Ilmu diberikan kepada orang-orang yang beruntung, bukan 




kepada orang-orang yang celaka. 

Maksud hadits di atas adalah menjelaskan salah satu kecelakaan yang dialami 

orang-orang yang beramal tanpa ilmu, yaitu tidak belajar ilmu, sehingga merasa 

payah dan lelah dalam menjalankan ibadah yang telah rusak, dan hasilnya hanyalah 

kepayahan belaka. Semoga Allah menjauhkan kita dari ilmu dan amalan yang tidak 

bermanfaat. 

Oleh sebab itulah, para ulama, orang saleh lagi zuhud, dan orang yang 

mengamalkan ilmunya, sangat besar perhatiannya terhadap ilmu. Sebab, ilmu 

adalah inti dari ibadah, dan pangkal taat kepada Allah Rabbul 'Alamin. Orang-orang 

yang berpengetahuan dan para ahli yang mendapat petunjuk juga menaruh 

perhatian besar terhadap ilmu. 

Jika semuanya telah diketahui - bahwa taat tidak akan tercapai tanpa ilmu -

maka sebelum beribadah hendaklah mendahulukan ilmu. 

Sebab kedua, mewajibkan mendahulukan ilmu karena ilmu akan menimbulkan 

rasa takut kepada Allah SWT. ' 

Allah Ta'ala berfirman: 

... Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hambahamba-Nya, hanyalah ulama (yang mengetahui kebesaran dan 

kekuasaan Allah) .... (Fathir: 28). 

Tanda bahwa ilmu dapat menimbulkan rasa takut kepada Allah adalah, orang 

yang tidak mengenalAllah dengan sebenarbenarnya pasti tidak takut dengan benarbenar takut terhadapNya, tidak dapat mengagungkan Allah dan menghormati-Nya. 

Hanya dengan ilmu seseorang bisa mengenal dan mengagungkan dengan sebenarbenarnya. 

Jadi, ilmu yang diberkati Allah akan membuahkan ketaatan dan mampu 

mencegah perbuatan maksiat. Juga tidak ad.a lagi yang dituju dalam beribadah 

selain menjalankan segala perintahNya dan menjauhi segala larangan-Nya. 

Oleh sebab itu, bagi yang menginginkan kehidupan akhirat, akan 

mendahulukan menuntut ilmu sebelum mengerjakan urusan lainnya. Semoga Allah 

memberikan petunjuk kepada kita, karena sesungguhnya Allah Maha Memberi dan 

Maha Pemurah. 

Nabi Muhammad SAW. bersabda: 

Menuntut ilmu adalah wajib bagi setiap Muslim. 

Dan ilmu yang diwajibkan itu adalah: 




1. Ilmu ma 'rifat, yakni ilmu untuk mengenal Allah.

2. Ilmu taSAWuf, yaitu ilmu yang berhubungan dengan ibadah batin, seperti 

ikhlas, tawakkal, dan sebagainya. 

3. Ilmu syara', yaitu masalah halal dan haram yang merupakan rubu' ibadah, 

muamalah, munakahat, dan jinayat. 

Ilmu yang wajib diketahui, menurut Ibnu Qayyim ada beberapa macam. 

Pertama: Rukun Iman, yaitu iman kepada Allah, kepada malaikat-Nya, kepada 

kitab-Nya, kepada Rasul-Nya, dan kepada hari kiamat. 

Orang yang tidak beriman kepada lima hal di atas. bukanlah orang yang 

beriman, dan bukan termasuk orang Mu’min. 

Allah 'Azza wa Jalla berfirman: 

... akan tetapi sesungguhnya kebaktian itu lalah kebaktian 

orang yang beriman kepada Allah, hari kemudian, malaikat-malaikat, 

kitab-kitab, Nabi-nabi .... (al-Baqarah: 177). 

Dan firman-Nya pula: 

..... Barangsiapa yang kafir kepada Allah, malaikat-malaikatNya, kitab-kitab-Nya, Rasul-rasul-Nya dan hari kemudian, maka

sesungguhnya orang itu telah sesat sejauh-jauhnya. (an-Nisa. 136). 

Berarti, beriman kepada lima hal di atas adalah dasar untuk mengenal dan 

mengetahui-Nya. 

Kedua: Ilmu mengenai hukum Islam yang harus diketahui oleh setiap Muslim. 

Misalnya, cara-cara berwudhu, shalat, berpuasa, menunaikan ibadah haji, 

mengeluarkan zakat, beserta masalah-masalahnya, syarat-syaratnya, dan hal-hal 

yang membatalkannya.

Ketiga: Ilmu haram yang lima, yang telah disepakati para Rasul, syari'at-syari'at, 

dan kitab-kitab Allah. 

Allah berfirman: 

Katakanlah, “Tuhanku hanya mengharamkan perbuatan yang 

keji, baik yang nampak maupun yang tersembunyi dan perbuatan dosa; 

melanggar hak manusia tanpa alasan yang benar, (mengharamkan) 

mempersekutukan Allah dengan sesuatu yang Allah tidak menurunkan 

hujjah untuk itu dan (mengharamkan) mengada-adakan terhadap 

Allah apa yang tidak kamu ketahui". (al-A'raf. 33). 

Selain lima perkara di atas, ada juga yang haram hukumnya, tetapi pada saat 

tertentu dihalalkan. Misalnya darah, bangkai, dan daging babi, adalah haram. Tetapi 




jika terpaksa, dalam keadaan tidak ada makanan yang halal, maka memakan ketiga 

makanan tersebut dihalalkan. 

Jadi, makanan yang diharamkan tidak berarti diharamkan untuk selamanya. 

Tetapi, sudah barang tentu tidak termasuk hal-hal yang diharamkan secara mutlak, 

seperti lima perkara yang telah penyusun sebutkan di atas. Sebab, yang lima perkara 

itu tidak dapat lagi ditawar, dengan alasan apapun. 

Keempat; ilmu tentang hukum pergaulan dan ilmu mu'amalah antar individu. 

Yang wajib dalam ilmu ini berbeda-beda menurut tingkah laku dan kedudukannya. 

Misalnya, antara pimpinan dengan rakyat, antara individu terhadap keluarga dani. 

tetangganya. Kewajibannya pun berlainan. Kewajiban pemimpin terhadap rakyatnya 

tidak sama dengan kewajiban individu terhadap keluarganya. Karena, kewajiban 

seorang pemimpin terhadap rakyatnya lebih berat, dan pahalanya pun lebih besar. 

Rasulullah SAW. bersabda: 

Adilnya seorang pemimpin atau ayah, meskipun hanya satu jam, 

pahalanya lebih besar daripada beribadah selama enam puluh tahun, 

karena tugasnya sangat berat. 

Juga kewajiban pedagang, berbeda dengan kewajiban petani. Pedagang, 

hendaknya mempelajari ilmu dagang dari segi hukum agama. Misalnya, pedagang 

kain sarung, ia harus memberitahukan cacatnya kepada calon pembeli; jika memang 

ada cacatnya. Contohnya begini: harga sebuah sarung X rupiah; lebih murah dari 

harga umum, sekalipun jenis dan kualitasnya sama. Hal itu disebabkan karena 

terdapat cacat, dan sebagainya. 

Ada orang yang beranggapan, jika terlalu jujur dalam berniaga, maka 

dagangannya tidak akan laku. Padahal, justru sebaliknya, konsumen akan menyerbu 

dagangan itu karena kejujurannya. Sebab, modal penting dalam berniaga adalah 

kejujuran.

Seorang petani, mempunyai kewajiban pula. Misalnya, adil dalam mengairi

SAWahnya, seperti yang tercantum dalam peraturan zira’ah, muzara'ah, dan 

musaqah. Jadi,semuanya harus dikembahkan kepada tiga peraturan tersebut. Soal 

i'tikad pembuatan, dan soal menjauhi larangan, itulah yang harus digali Ilmunya. 

Dalam soal i'tikad, yang wajib adalah harus sesuai dengan hak, dan tidak 

dibenarkan i'tikad hanya dengan bertaklid. Sedang yang wajib dalam soal 

pembuatan, adalah mengetahui perbuatan-perbuatan yang wajib atas dirinya. Dan 

kewajiban dalam menjauhi larangan, adalah mengetahui ilmu tentang segala 




sesuatu yang harus ditinggalkan menurut hukum syara '. 

Pendapat para ulama mengenai ilmu yang wajib itu berbeda-beda. Tetapi, yang 

pahng mendekati adalah ulama yang mengatakan bahwa kita harus mengetahui 

segala yang dipenntahkan dan segala yang dilarang. 

Adapun batasan wajib bagi ketiga ilmu di atas, yang fardhu ‘ain dan Ilmu 

tauhid, adalah agar mengetahui inti dari agama Islam, yaitu mengenai Ketuhanan, 

kenabian dan mengenai mahsyar. 

Mengenai Ketuhanan, maksudnya kita harus mengetahui bahwa kita 

mempunyai Tuhan yang wajib disembah, Tuhan Yang Maha Mengetahui, 

Mahakuasa, Maha Berkehendak Mahahidup, berfirman, Maha Mendengar, 

Mahaesa dan Maha Melihat, serta segala Sifat sempurna ada pada-Nya. Maha suci 

dari sifat kekurangan, seperti dari tidak ada, dari segala yang menunjukkan ke-baruan, seperti misalnya, dari tidak ada menjadi ada. Hal Itu, meskipun berjalan ribuan 

tahun, tetap dikatakan baru. 

Allah bersifat qidam dan baqa', karena selain Allah pasti ada awalnya dan ada 

akhirnya. 

Selain itu, kita harus mengetahui dan yakin, bahwa Nabi Muhammad SAW. 

hamba Allah dan utusan-Nya yang selalu benar dalam menerangkan masalah 

akhirat, nikmat kubur dan siksanya, dan sebagainya. 

Kemudian, wajib pula diketahui beberapa masalah yang dii'tikadkan oleh para 

ahli Sunnah wal Jama'ah, yang merupakan golongan terbesar pengikut Nabi, yang 

disebut AsSAWadul A'zbam. Dalam ahli sunnah, terdapat golongan ahli ilmu syari'at, 

misalnya Hanafi, Hambali, Syafi'i, Maliki. Dan di antara mereka tidak saling mencela, 

karena mereka sadar bahwa masalah ijtihad, dasarnya adalah dugaan kuat. Dan jika 

Allah telah membuka pintu ijtihad atas lisan Nabi Muhammad SAW., tidak dapat 

dielakkan lagi akan terjadi beda pendapat di antara para mujahidin. Namun 

demikian, perbedaan pendapat tersebut tidak akan membahayakan. Untuk 

menghilangkan kekhawatiran, Rasulullah SAW. mengatakan, barangsiapa salah 

dalam berijtihad, berilah ia satu pahala, dan berilah dua pahala bagi yang benar 

dalam berijtihad. Rasulullah SAW. juga menganjurkan kepada para sahabatnya agar 

melakukan ijtihad. "Kau menjadi gubernur di negeri Yaman dan jauh dariku, maka 

berijtihadlah jika tidak menemukan nash dalam al-Qur'an dan Sunnah," itulah katakata Rasulullah ketika memerintahkan agar berijtihad kepada Syaikh Mu'adz bin 

Jabal. 




Dengan dibolehkannya melakukan ijtihad, lahirlah bermacam-macam madzhab. 

Ada mazhab Mu'adz bin Jabal, madzhab Abdullah bin Umar, madzhab Abdullah bin 

Abbas, madzhab Abdullah bin Amr bin Ash, dan lain-lain dari para sahabat Rasul 

yang mulia. 

Berlainan pendapat, tetapi mereka tidak saling mencela. Itulah sebabnya umat 

lslam pada zaman itu sangat kompak dan harmonis. Masalah madzhab dan ikhtilaf 

selesai sejak abad pertama Khairul qurun. Dan masalah itu telah diteladankan oleh 

Rasulullah SAW. agar umat lslam di akhir zaman tidak lagi memperdebatkan 

masalah itu. 

Imbauan penyusun, janganlah kita mencela orang yang berbeda madzhab

dengan kita. 

Sebagaimana keadaan para sahabat dan tabi'in. 

Demikianlah keadaannya, para sahabat dan tabi'in senantiasa memberikan 

fatwa yang berbeda-beda. Namun demikian, mereka tidak saling mencela, masingmasing memegang hasil ijtihadnya. 

Oleh sebab itu, sekali lagi saya mengimbau, janganlah kita saling mencela. 

Adapun semua dalil tentang ilmu tauhid dan pokok-pokoknya, sudah tercantum

di dalam al-Qur'an. Jadi, tidak perlu lagi kita. mencari-cari dengan akal, meski 

memang kadangkadang kita harus memberikan hukum penalaran jika berhadapan

dengan orang yang belum beriman. Semuanya sudah diterangkan dengan jelas oleh 

guru-guru penyusun dalam kitab-kitabnya tentang Ushuluddin. 

Ringkasnya, jika kita merasa sesat karena tidak tahu akan sesuatu hal, wajiblah 

bagi kita menggali ilmunya, tidak boleh meninggalkannya. Misal, kita tidak 

mengetahui sifat-sifat Allah, sifat-sifat wajib bagi-Nya dan sebagainya. Berarti, kita 

akan celaka. untuk itu, wajib bagi kita mempelajarinya, dan ilmu tauhid tidak sesulit 

ilmu yang berhubungan dengan fardbu kifayah. Sekali lagi, tidak dlbenarkan kita 

meninggalkan belajar llmu tauhid. Semoga Allah melimpahkan taufik-Nya. 

Sedangkan yang fardbu 'ain dapat dipelajari dari ilmu Sir, yakni ilmu taSAWuf. 

Dan hendaknya, setiap individu mempelajari segala yang wajib dan yang haram dari 

ilmu ini, yaitu mengetahui sifat-slfat hati, sabar, syukur, kbauf, raja', ridha, zuhud, 

qana ah, mengetahui kemurahan Allah, baik sangka terhadap Allah dan orang lain, 

ikhlas, dan sebagainya. Itu adalah sebagian dan sifat-sifat hati yang harus diketahui 

dan diamalkan oleh. setiap individu di dalam rangka menjadi hamba Allah yang baik. 

Di samping Itu, harus diketahui pula sifat- sifat yang berlawanan dengan sifat-sifat 




di atas; perasaan takut melarat. Sifat itu tidak baik. Sebenarnya, dengan hati seperti 

itu, seseorang sudah melarat. Sifat-sifat tidak baik lainnya misalnya, membenci 

takdir Allah, ambisius, menginginkan kekal hidup di dunia untuk bersenang-senang, 

yang tidak mungkin terjadi. Sebab, di dunia tidak ada kesenangan yang sempurna 

dan tidak ada yang kekal! 

Terdapat suatu riwayat, konon pada zaman Bani Umayyah, bertahtalah seorang 

maharaja yang menginginkan kenikmatan tanpa ada cacatnya barang sehari. 

Kemudian, ia mengumpulkan istri-istrinya yang cantik, dan memilihnya yang paling 

cantik dan disayangi di antara mereka. Ia membayangkan betapa nikmatnya bila 

melihat istrinya yang cantik itu tertawa berseri-seri. Maka, digelitik-gelitik istrinya 

hingga ia tertawa terpingkal-pingkal. Dan ketika mulut sang istri terbuka, maharaja 

memasukkan ke dalamnya buah anggur. Malang baginya, karena buah anggur itu 

menyumbat tenggorokannya sehingga sang istri mati saat itu juga, Maharaja 

menangis, sedih dan kecewa. Begitu sedihnya, hingga ia tidak menginginkan jasad 

istrinya dikuburkan. Tetapi apa boleh buat, akhirnya jasad sang istri dikuburkan juga. 

Ia sendiri menginginkan agar dikuburkan bersamanya, yang permintaannya itu 

bertentangan dengan keinginannya semula: mengharapkan nikmat yang sebesarbesarnya. 

Itulah keadaan dunia, karena sesungguhnya dunia adalah tempat ujian dan 

cobaan. 

Agar dengan ilmu Sir, seseorang berhasil mengagungkan Allah dan ikhlas 

terhadap-Nya. Hendaklah disertai niat yang baik agar terhindar dari penyakit yang 

dapat merusakkan ibadah. 

Sehubungan dengan hal itu, akan penyusun terangkan dalam buku ini. Insya 

Allah. Adapun yang fardhu 'ain dapat dipelajari melalui ilmu syari'at, yakni ilmu fiqh, 

yang membahas masalah thaharah, shalat, dan puasa. 

Itulah batas yang harus dimiliki tiap-tiap ilmu. 

Semoga Allah melimpahkan rahmat-Nya kepada kita, sebab setiap individu 

yang menginginkan jalan menuju akhirat harus menghimpun antara syari'at dan 

hakikat. Hakikat tanpa syari'at adalah batal, dan syari'at tanpa hakikat adalah 

kosong. 

Contoh orang yang hanya menggunakan hakikat. Misalnya, ada orang 

memerintahkan mengerjakan shalat. Ia akan menjawab, "Aku tidak perlu 

mengerjakan shalat, sebab jika aku telah ditetapkan bagian dalam Lauhul Mahfudz, 




aku pasti masuk surga, meskipun tidak mengerjakan shalat. Dan sebaliknya, jika 

Allah menetapkan aku dalam Lauhul Mahfudz sebagai orang yang celaka, tentu aku 

dimasukkan dalam neraka, meskipun aku mengerjakan shalat." 

Begitulah celakanya seseorang yang hanya berpegang kepada hakikat dengan 

meninggalkan syari'at. Orang-orang pada zaman dahulu menyebutnya sebagai "Ahli 

hakikat tanggung". Jika pada binatang, "tanggung", artinya hewan yang belum 

berbulu. 

Para ahli hakikat tanggung itu menganggap dirinya benar. Padahal, syari'at 

adalah perintah Allah untuk mendapatkan rahmat-Nya. Jika masuk surga, adalah 

semata-mata karena karunia-Nya, bukan karena amal kita. Sebab shalat seribu 

tahun pun, belum cukup untuk membayar kenikmatan sebelah mata. Oleh 

karenanya, hakikat tanpa syari'at adalah jalan yang salah. 

Sejarah berbicara, jatuhnya benteng "kerajaan" Ahli Sunnah terkuat di 

Indonesia, Demak, dikarenakan timbulnya aliran-aliran yang hanya berpegang 

hakikat tanpa syari'at, sehingga Banten terpaksa memproklamasikan diri lepas dari 

Demak. Kemudian, untuk menggantikan sebagai benteng Ahli Sunnah wal Jama'ah, 

akhirnya dari Banten pindah lagi ke Aceh. 

Orang-orang yang hanya berpegang pada syari'at menganggap dirinya akan 

masuk surga hanya dengan mengerjakan amalan-amalan. Maka, jika ia tidak 

beramal, tentu tidak akan' masuk surga. Alasan seperti itu adalah salah, seperti telah 

disebutkan di atas. 

Sayyidina Ali mengatakan, orang yang beranggapan bakal masuk surga tanpa 

beramal dan beribadah adalah melamun. 

Dan orang-orang seperti Itu beranggapan bahwa hanya dengan 

amalan pasti masuk surga. Maka yang demikian itu hanya akan 

membuatnya lelah.

Oleh karena itu, kita harus berpegang kepada keduanya, hakikat dan syari'at. 

Jika ada yang bertanya, apakah wajib mempelajari ilmu tauhid yang dapat 

menghancurkan semua agama kufur dan meyakinkan hujjah Islam kepada mereka, 

serta membongkar segala perbuatan bid'ah dan meyakinkan hujjah-hujjah sunat? 

Sesungguhnya, berbuat seperti itu adalah fardhu kifayah. Sedangkan yang 

fardhu 'ain, bagi kita adalah benar ber-i'tikad dalam ushuluddin. 

Mengetahui furu’ ilmu tauhid sampai kepada permasalahan yang sedalamdalamnya, juga fardhu kifayah, kecuali jika datang kepada kita syubhat dalam




ushuluddin yang membuat kita khawatir terjerumus ke dalamnya. Untuk 

mengelakkan hal itu, ialah fardhu 'ain, dengan sekuat tenaga mengadakan 

pembahasan-pembahasan yang tegas. 

Dan Janganlah kita berbantah-bantahan, jauhilah dengan sekuat tenaga, sebab 

hal itu ibarat penyakit yang tidak ada obatnya. 

Rasulullah SAW. bersabda: 

Setiap orang yang telah mendapat petunjuk kemudian sesat 

disebabkan suka berbantah-bantahan untuk mencari kemenangan, 

bukan kebenaran, tidaklah akan beruntung, kecuali orang itu dilimpabi

rahmat Allah, sehingga ia taubat. 

Seperti Imam Ghazali, pada mulanya ia seorang tukang debat. Tetapi, kemudian 

taubat dan dengan sungguh-sungguh memperdalam ilmu Sir. Kemudian beliau 

memperingatkan kita agar jangan suka berdebat. Nasihatnya itu berdasarkan pengalamannya. 

Jika dalam suatu negara terdapat seorang penganjur Ahli Sunnah yang dapat 

memecahkan syubhat dan menentang bid'ah, serta dapat menjernihkan hati ahli 

haq dari ahli bid'ah, maka gugurlah fardhu bagi orang lain. Demikian pula tidak 

diwajibkan atas kita memperdalam ilmu Sir dengan keterangan yang panjang lebar 

tentang keajaiban hati, kecuali hal-hal yang dapat merusak peribadatan kita. Sebab, 

yang satu ini wajib kita ketahui dan kerjakan, seperti ikhlas, bersyukur, tawakkal dan 

sebagainya. Selain itu, tidak wajib bagi kita untuk mengetahuinya agar dapat 

menjauhinya. 

Demikian pula dalam masalah fiq, tidak wajib bagi kita mengetahui hal-hal yang 

belum tentu kita kerjakan, seperti ilmu perdagangan, perburuhan, perkawinan, talak 

dan jinayab. Karena, semua itu termasukfardhu kifayah. 

Jika ada pertanyaan, adakah batas dalam ilmu tauhid, seperti yang telah 

disebutkan, agar orang dapat mengetahuinya tanpa perantaraan seorang guru. Guru 

adalah pembuka jalan guna mengetahui batas-batas tersebut. Dan melalui guru 

akan menjadi lebih mudah. Allah akan memberikan karunia kepada hamba-Nya yang 

dikehendaki, karena pada dasarnya, Allah jualah yang mengajarkan kepada mereka. 

Selanjutnya perlu diketahui, bahwa tingkatan ilmu merupakan tingkatan yang 

sulit. Tetapi, ilmu dapat membawa kepada tujuan yang dimaksud, banyak 

manfaatnya, sukar dalam menempuhnya, besar risikonya, dan banyak yang 

berpaling darinya sehingga tersesat. Banyak pula yang tergelincir jika kurang 

berhati-hati, yang membuat mereka kebingungan dan lemah dikarenakan putus di 




tengah jalan. Namun demikian, banyak pula yang mampu mengatasi dan berhasil 

dalam waktu relatif singkat, meskipun ada pula yang jatuh bangun selama 70 tahun. 

Masalah cepat dan lambatnya, selamat dan atau tidak, semuanya kita 

kembalikan kepada kekuasaan Allah. 

Adapun manfaat ilmu, adalah sebagai sesuatu yang sangat dibutuhkan oleh 

hamba Allah dan sebagai dasar untuk melakukan ibadah secara keseluruhan, 

terutama ilmu tauhid dan taSAWuf. 

Firman Allah kepada Nabi Dawud as: "Hai Dawud! tuntutlah olehmu ilmu yang 

bermanfaat! Nabi Dawud menjawab, "Ya Tuhanku, apakah ilmu yang bermanfaat 

itu?" Firman Allah, "Yaitu untuk mengetahui keluhuran, keagungan dan kebesaranKu, serta kesempurnaan-Ku atas segala sesuatu. Inilah yang mendekatkan engkau 

dengan-Ku." 

Sayyidina Ali Karramahullahu Wajhab meriwayatkan, "Kegembiraan ku 

karena mati dalam usia muda, kemudian masuk surga, tidak segembira jika aku 

hidup hingga dewasa dan mengenal Allah. Sebab orang yang paling mengenal AIlah 

adalah yang paling takut dan banyak beribadah, serta paling bersyukur terhadap 

pemberian Allah.”

Perihal kesulitan dalam melewati tingkatan Ilmu ada bermacam-macam. Di 

antaranya tidak ikhlas dalam menuntut ilmu. Oleh karenanya, usahakan sekuat 

mungkin, lahir dan batin, guna mencapai keikhlasan dalam menuntut ilmu. Dan 

dalam menuntut ilmu, hendaknya bertujuan untuk beramal, bukan sekadar 

perhatian. 

Kemudian perlu pula diketahui, bahwa bahaya dalam menempuh 'aqabab ilmu 

adalah besar. Baraggsiapa menuntut ilmu hanya untuk menarik perhatian orang lain, 

atau agar dapat bergaul dengan orang-orang besar, atau ingin lebih tinggi dan orang 

lain, atau mungkin untuk mengejar kekayaan, maka dalam perdagangannya akan 

hancur. Sebab, ilmunya tidak akan bermanfaat, dan perhitungan niaganya akan 

merugi. Dunia, Jika dibandingkan pahala akhirat, tidak berarti apa-apa. 

Rasulullah SAW. bersabda: 

Barangsiapa menuntut ilmu dengan maksud untuk bersaing 

dengan para ulama atau untuk ber-mujadalah dengan orang-orang 

jahil, atau untuk menarik perhatian orang lain, maka ia akan masuk 

neraka. 

Abu Yazid al-Bustharni Rahimahullah berkata, "Saya telah ber-mujahadah




selama tigapuluh tahun. Namun, tidak menemukan perjuangan yang lebih sulit 

daripada menuntut ilmu dan mencegah bahayanya. Janganlah engkau tertipu oleh 

ucapan setan yang akan mengatakan, 'Jika sudah jelas bahwa dalam ilmu terdapat 

bahaya yang besar, maka lebih baik tinggalkan saja.' Sekali lagi, ucapan setan itu 

tidak benar." 

Rasulullah SAW. pernah meriwayatkan kepada para sahabatnya, "Pada malam 

mi'raj telah diperlihatkan kepadaku neraka. Aku lihat sebagian besar penghuninya 

adalah orang fakir." Kata para sahabat, "Apakah mereka fakir harta?" Jawab 

Rasulullah, "Bukan! Tetapi mereka fakir karena tidak berilmu." 

Barangsiapa enggan belajar tentu tidak dapat meyakinkan dan menetapkan 

hukum-hukum ibadah, dan tidak akan dapat melaksanakan syarat-syarat 

sebagaimana mestinya. 

Jika seseorang beribadah sebagaimana ibadahnya malaikat tujuh lapis di langit 

dengan tidak didasari ilmu; orang itu termasuk golongan yang merugi, sebab tidak 

akan memperoleh pahala. Hanya lelah yang ia peroleh. 

Untuk itu, bersungguh-sungguhlah dalam menuntut ilmu, baik dengan 

penelitian, mendengarkan, maupun mempelajarinya. Selain itu, jauhilah sifat malas 

dan bosan, agar terhindar dari kesesatan. 

Kesimpulan: jika kita benar-benar memikirkan tentang dalil-dalil perbuatan 

Allah, kita akan Yakin bahwa kita mempunyai Tuhan Yang Mahakuasa, Maha 

Mengetahui, Hidup, Berkehendak, Maha Mendengar, Maha Melihat, dan Berfirman. 

Dengan Firman-Nya yang Qadim, yang tiada awal dan akhirnya, Mahasuci dari segala 

sifat dan iradah yang baru, Mahabersih dari segala kekurangan dan cela, tidak 

bersifat dengan sifat baru, tidak wajib bagi-Nya segala yang dlwajibkan bagi makhluk-Nya, tidak ada sesuatu yang menyamal-Nya, dan udak diliputi oleh tempat dan 

jihad! serta tidak mengalami perubahan dan cacat. 

Ketika kita telah mengetahui mu'jizat Rasulullah, ayat-ayat Allah dan tandatanda kenabiannya, tentu kita yakin bahwa Nabi Muhammad SAW. adalah utusan 

Allah, dan percaya akan wahyu-Nya. Tentu kita pun mengetahui segla yang

dii'tikadkan oleh Ulama Salaf yang saleh, bahwa setiap Mu mm kelak di akhirat akan 

melihat Allah, karena Allah ada, dan adanya tidak pada jihad yang dibatasi. Telah 

kita ketahui pula, bahwa al-Qur'an merupakan firman Allah yang Qadim, bukannya 

makhluk, yaitu bukan huruf yang terpisah-pisah, bukan pula suara. Karena jika 

demikian, sudah barang tentu termasuk sifat-sifat yang dipunyai makhluk.




Akan kita ketahui pula, bahwa ud ak akan terjadi lintasan hati dan lirikan mata, 

baik di alam atas maupun bawah, kecuah dengan ketetapan dari Allah, takdir-Nya 

atau kehendak-Nya. Dan dari Allah pula segala yang ba lk dan buruk, yang bermanfaat dan madharat, yang iman dan yang kufur. Sebab, tidak wajib bagi Allah 

berbuat sesuatu untuk makhluknya. 

Kemudian, orang yang mendapat pahala, adalah semata-mata karena karuniaNya, dan yang mendapatkan siksa, tidak lain karena keadilan Allah. 

Kita ketahui pula, semua yang disebutkan Raulullah SAW. mengenai urusan 

akhirat, mahsyar: bangkit dari kubur, siksa kubur, malaikat Munkar dan Nakir, Mizan 

dan Sbirath, semuanya meng-i'tikad-kan bahwa itu merupakan pokok-pokok jalan 

yang harus ditempuh dan dipegang oleh salaf ahli surga, setelah ijma' ahli sunnah, 

sebelum timbul bid ah dan kesesatan. 

Semoga Allah melindungi kita dari perbuatan bid'ah dalam agama, dan

menuruti hawa nafsu tanpa kendali.

Kemudian, kita harus mengetahui tingkah laku hati dan kewajiban batin beserta 

larangan-larangannya, seperti yang diterangkan dalam kitab Minhajul- 'Abidin ini, 

agar mendapatkanilmunya. Selanjutnya, harus kita kenal pula apa-apa yang harus 

kita amalkan, seperti thaharah, shalat, puasa, dan sebagainya. 

Dengan demikian, berarti kita telah mengetahui segala yang di-fardhu-kan 

kepada kita oleh Allah dalam masalah ilmu, dan kita sudah termasuk golongan 

ulama umat Muhammad yang patuh dalam hal menuntut ilmu. 

Jika kita beramal dengan disertai ilmu dan giat mencari kemuliaan akhirat, 

berarti kita telah menjadi hamba Allah yang 'alim. Dan dengan kesadarannya, 

beramal hanya karena Allah, tidak jahil dan tidak lalim. Maka, bagi kita kemuliaan 

yang amat besar, dan bagi ilmu kita mempunyai nilai yang tinggi dan pahala yang 

melimpah. Kita telah menyelesaikan 'aqabah ini, dan menaruhnya di samping kita, di 

samping memenuhi haq-nya dengan izin Allah. Hanya kepada Allahlah kita 

mengharapkan petunjuk, taufik, dan kemudahan. Sesungguhnya Allah Maha 

Penyayang. 

Wala haula wala quwwata illa billahil 'aliyyil 'azhim. 




 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar