AQABAH 1. TAHAPAN ILMU DAN MA'RIFAT
Terjemahan kitab minhahul ambidin (imam gazhali)
"Wahai orang-orang yang ingin terbebas dari
segala mara bahaya dan yang ingin beribadah dengan benar, semoga Allah
melimpahkan taufik-Nya kepada kita. Untuk itu, kita harus membekali diri dengan
ilmu. Sebab, beribadah tanpa bekal ilmu adalah sia-sia, karena ilmu adalah pangkal
dari segala perbuatan."
Perlu diketahui, ilmu dan ibadah adalah dua mata rantai yang saling berkait.
Karena, pada dasarnya segala yang kita lihat, kita dengar, dan kita pelajari adalah
untuk ilmu dan ibadah.
Dan untuk ilmu dan ibadah itulah al-Qur'an diturunkan.
Juga Rasul dan Nabi-nabi, diurus Allah hanya untuk ilmu dan beribadah.
Bahkan, Allah menciptakan langit, bumi dan segenap isinya hanya untuk ilmu dan
ibadah.
Renungkanlah firman Allah di bawah ini:
Allah-lah yang menciptakan tujuh langit dan seperti itu pula
bumi. Perintah Allah berlaku padanya agar kamu mengetahui
bahwasanya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu, dan sesungguhnya
Allah, ilmu-Nya benar-benar meliputi segala sesuatu (atb-Tbalaq. 12)
Dengan merenungkan keberadaan langit dan bumi, diharapkan kita akan
memperoleh ilmu darinya. Dengan menyimak ayat di atas, kiranya sudah cukup
menjadi bukti bahwa ilmu itu mulia. Lebih-lebih ilmu tauhid. Sebab, dengannya kita
dapat mengenal Allah dan sifat-sifat-Nya.
Juga renungkanlah firman Allah di bawah ini:
Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya
mereka menyembah-Ku. (adz-Dzariyat: 56).
Hal itu menunjukkan betapa mulianya ibadah. Ayat di atas cukup menjadi bukti
kemuliaannya, dan bahwasanya kita. harus senantiasa menjalankan ibadah. Sungguh
besar arti ilmu dan ibadah bagi kehidupan di dunia dan akhirat. Maka, wajiblah bagi
kita hanya mengejar ilmu dan menjalankan ibadah, sedangkan memikirkan yang
lainnya adalah bathil. Sebab, dalam ilmu dan ibadah sudah tercakup segala urusan
dunia dan akhirat.
Membangun negara, menciptakan kemakmuran, jika semuanya dilaksanakan
karena Allah, itu pun termasuk ibadah. Jadi, dengan ilmu dan ibadah dapat tercipta
kebahagiaan dunia, akhirat dan kemajuan dunia yang sehat, bukan kemajuan yang
menyesatkan.
Hendaknya kita memusatkan perhatian dan pikiran hanya untuk ibadah dan
ilmu. Jika sudah demikian, kita akan menjadi kuat dan berhasil. Karena, berpikir
selain untuk ibadah dan ilmu adalah bathil dan sesat, serta hanya akan
menghancurkan dunia.
Kesimpulannya, tidak ada yang lebih baik dari ilmu dan ibadah.
Sehubungan dengan mulianya itu, Nabi SAW. pernah bersabda:
Kelebihan orang yang berilmu atas orang yang menjalankan
ibadah, ibarat kelebihanku atas orang yang paling rendah di antara
umatku. (H.R. al-Haris bin Abu Uzamab dari Abu Said al-Kbudri,
diperkuat riwayat Turmudzi dari Abu Umamab).
Juga, perhatikan sabda Rasulullah berikut ini:
Sekali melihat wajah orang berilmu, bagiku lebih suka daripada
beribadah satu tahun, rajin berpuasa, dan menjalankan shalat malam.
Tentunya, adalah orang berilmu yang mau mengamalkannya.
Sabda Rasulullah SAW. yang lain:
Apakah kalian tahu, siapakah yang paling mulia di antara
penghuni surga?
Para sahabat menjawab, "Bahkan kami ingin mengetahui hal itu,
ya Rasulullah!"
Rasulullah menjawab, "Yaitu para ulama, orang-orang berilmu,
dan umatku."
Jelas sudah, bahwa ilmu itu ibarat permata, dan lebih utama dari ibadah.
Namun demikian, tidak boleh meninggalkan ibadah, kita harus beribadah dengan
disertai ilmu.
Seumpamanya sebuah pohon, ilmu ibarat pohonnya, dan ibadah ibarat
buahnya. Maka, jika kita beribadah tanpa dibekali ilmu, ilmu tersebut akan lenyap
bagaikan debu ditiup angin.
Di sini, kedudukan pohon lebih utama, sebab pohon merupakan intinya. Akan
tetapi, buah mempunyai fungsi yang lebih utama. Oleh karena itu, kita harus
memiliki keduanya, yakni ilmu dan ibadah.
Sehubungan dengan itu berkatalah Imam al-Hasanul Basri:
Tuntutlah ilmu dan tanpa. melalaikan ibadah. Dan beribadahlah
dengan tidak lupa menuntut ilmu
Semakin jelas kini, bahwasanya manusia harus memiliki ilmu dan beribadah,
dan ilmu adalah lebih utama. Sebab, ilmu merupakan inti dan petunjuk dalam
menjalankan ibadah. Bagaimana mungkin kita menjalankan ibadah jika tidak tahu
caranya?
Perhatikan sabda Rasulullah SAW.:
Ilmu adalah imamnya amal, dan amal adalah makmumnya.
Alasan bahwa ilmu adalah inti atau pokok yang harus di dahulukan daripada
ibadah ada dua. Pertama, agar berhasil dan benar dalam beribadah. Harus diketahui
terlebih dahulu siapa yang. harus disembah, baru kemudian kita menyembahnya.
Apa jadinya. Jika kita menyembah, sedangkan yang kita sembah ltu belum kita
ketahui asma dan sifat-sifat dzat-Nya, serta sifat waJib dan mustahil bagi-Nya?
Sebab, kadang-kadang seseorang mengitikadkan sesuatu yang tidak layak bagi-Nya.
Maka, ibadah yang demikian itu akan sia-sia.
Dikisahkan, ada dua orang, yang seorang adalah orang berilmu yang tidak
pernah beribadah, dan seorang lagi orang yang tidak benlmu tetapi menjalankan
ibadah.
Kemudian, keduanya diuji oleh seseorang, berapa kadar kejahatan kedua orang
tersebut. Lantas, Si penguji mendatangi keduanya dengan mengenakan pakaian
yang megah.
Ia berkata kepada orang yang rajin beribadah, "Wahai hamba-Ku, aku telah
mengampuni seluruh dosamu. Maka, sekarang kau tidak usah beribadah lagi." Ahli
ibadah menjawab, "Oh, itulah yang kuharapkan darimu ya Tuhanku."
Ahli ibadah menganggap si penguji sebagai Tuhan, sebab ia tidak mengetahui
sifat-sifat Tuhannya.
Selanjutnya, sang penguji mendatangi orang yang berilmu, yang waktu itu ia
sedang minum arak. Penguji berkata, "Wahai manusia, Tuhanmu akan mengampuni
dosamu!" Dengan geram ia menjawab, "Kurang ajar! (seraya mencabut pedangnya),
engkau kira aku tidak tahu Tuhan?!"
Demikianlah, bahwa orang yang berilmu tidak akan mudah tertipu, dan
sebaliknya orang yang tidak berilmu akan mudah tertipu.
Kini semakin jelas, setiap hamba Allah harus memiliki ilmu dan menjalankan
ibadah. Dengan ilmu sebagai inti atau pokok harus diutamakan.
Rasulullah SAW. bersabda:
Ilmu adalah pemimpin amal, dan amal sebagai makmum.
Selanjutnya Nabi SAW, bersabda:
Allah memberikan ilmu kepada orang-orang yang berbahagia,
tidak kepada orang-orang celaka. (H.R. Abu Nuaim, Abu Thalib alMakki, al-Khatib, dan Ibnu Qayyim).
Itulah sebabnya ilmu merupakan inti (pokok) yang harus didahulukan dan
diikuti oleh ibadah. Hal ini berdasar atas:
Pertama: Agar berhasil dalam menjalankan ibadah. Sebab, ibadah tanpa ilmu
akan dihinggapi banyak penyakit yang dapat merusaknya. Mengetahui dulu dzat
yang harus disembah, baru kemudian menyembahnya. Tanpa mengetahui itu dapat
menimbulkan suul khatimah (mati tidak dengan beriman kepada Allah), dan itu
membuat ibadahnya sia-sia belaka .
Mengenai hal itu, sudah penyusun terangkan dalam buku al-Kbaul yang
terdapat dalam kumpulan buku yang berjudul Ihya' Ulumuddin.
Sekarang, marilah kita bahas buku Ihya' Ulumuddin, guna mengetahui bahayabahaya yang dapat ditimbulkan oleh sifat suul khatimah, secara ringkas.
Kebanyakan orang saleh sangat takut dengan suul khatimah. Dan suul
khatimah itu ada dua tingkatan, yang keduanya sangat besar bahayanya. Kedua
tingkatan tersebut adalah:
Pertama: Yaitu hati dan perasaan seseorang ketika sakratul maut segera
merenggutnya. Maka, hatinya akan menjadi ragu-ragu dan tidak percaya lagi kepada
Allah, hingga ia mati dalam keadaan ndak benman. Na'udzu billah!
Dalam hal ini, sifat kufur-lah yang menghalangi dirinya dengan Tuhannya, yang
akan membuatnya berpaling dari Allah untuk selamanya. Maka, adzab yang sangat
pedih dan kekal akan menimpanya.
Kedua: yaitu seseorang yang ditunggangi oleh kecintaan terh.adap urusan
duniawi yang tidak ada hu bungan nya dengan kehidupan akh.irat. Misalnya,
seseorang sedang membangun rumah, kemudian sakratul maut akan segera
menjemputnya. Dalam keadaan seperti itu, ia tidak ingat apa-apa melainkan hanya
memikirkan pembuatan rumahnya yang belum selesai. Maka, JIka ia mati dalam
keadaan demikian, berarti ia mati dalam keadaan jauh dari Allah SWT.
Hatinya tenggelam dalam kecintaan terhadap harta dan dunia, bahkan
berpaling dari Allah SWT. Dan jika seseorang sudah berpaling dan Allah, maka adzab
dan siksa Allah balasannya!
Di antara dua tingkatan dari sifat suul khatimah tersebut, tingkatan pertama
lebih besar bahayanya. Sebab, seperti yang diterangkan al-Qur'an, bahwa. api
neraka hanya akan menimpa orang-orang yang tertutup hatinya terhadap Allah
SWT.
Sedang orang Mukmin yang bersih hatinya, tidak bersifat hubbud-dunya (cinta
dunia), dan selalu ingat kepada Allah SWT., adalah yang disebut dalam firman Allah
Ta'ala:
(yaitu) di hari harta dan anak-anak laki-laki tidak. berguna
kecuali orang-orang yang menghadap Allah dengan hati yang bersih.
(asy-Syu'ara: 87-88).
Kepada golongan itu api neraka berkata:
Silakan kalian berlalu wahai orang Mukmin, karena cahaya yang
ada di hatimu telah memadamkan nyala apiku. (H. R. Ya'la bin
Munabbih).
Sangat berbahaya, jika seseorang mati dalam keadaan dikuasai oleh sifat
hubbud-dunya- Karena, matinya manusia adalah sebagaimana hidupnya. Demikian
pula, bangkitnya dari kubur sebagaimana ia mati. Jadi, saling bersesuaian.
Ada beberapa sebab yang membuat seseorang bersifat suul khatimah, yang
garis besarnya telah penyusun terangkan di atas.
Seseorang dapat menjadi bersifat suul khatimah, walaupun ia seorang yang
sangat berhati-hati, zuhud dan saleh. Ini disebabkan karena dalam niatnya
terkandung bid'ah, bertentangan dengan sifat yang 'ditekankan oleh Rasulullah
SAW., para sahabat, dan tabi'in.
Rasulullah SAW. pernah berkata kepada para sahabatnya tentang Khawarij
yang rajin shalat dan membaca al-Qur'an, "Ia lebih rajin dari kalian dalam hal shalat
dan membaca al-Qur'an, hingga jidatnya kehitam-hitaman. Akan tetapi, ia membaca
al-Qur'an tidak sampai ke dalam lubuk hatinya, dan shalatnya tidak diterima oleh
Allah SWT."
Jika demikian, bid'ah adalah sifat yang sangat membahayakan, karena dapat
menyesatkan keyakinannya, bahwa Allah itu seperti makhluk. Misalnya,
menganggap Allah benar-benar duduk di atas 'arasy (singgasana gaib), padahal Allah
itu laisa kamitslihi syai'un.
Kelak, jika pintu hijab telah terkuak, akan diketahui bahwa Allah tidaklah
sebagaimana yang digambarkannya. Dan akhir'nya, ia akan ingkar terhadap Allah.
Saat seperti itulah ia akan mati dalam keadaan suul khatimah. Dan kelak, jika
seseorang sudah dekat sakratul maut dan terkuak hijab, baru akan sadar bahwa
masalah ini demikianlah kenyataannya. Ia akan kebingungan, karena tidak sesuai
dengan anggapannya.
Dalam keadaan seperti itulah ia mati dengan sifat suul khatimah, meskipun
amalannya baik. Na'udzu billah! Maka, dalam ibadah yang paling penting adalah
iktikad.
Seseorang yang salah iktikad dikarenakan pemikirannya, atau ikut-ikutan orang
lain, berarti terjerumus dalam bahaya ini. Kesalehan dan kezuhudan serta tingkah
laku yang baik. juga tidak akan mampu menolong dari bahaya ini. Yang akan
menyelamatkan hanyalah iktikad yang benar.
Oleh karena itu, perhatikanlah hal-hal yang baik dari Nabi Muhammad SAW.,
yang semuanya didasari oleh iktikad yang baik pula.
Orang yang pemikirannya sederhana akan lebih selamat. Sederhana, berarti
tidak berpikir secara mendalam, walaupun ia tidak begitu pandai. Tetapi ia akan
lebih selamat daripada orang yang berlagak berilmu tetapi dasar iktikadnya tidak
benar.
Orang yang sederhana pemikirannya itulah sesungguhnya yang beriman
kepada Allah kepada Rasul-Nya, dan kepada akhirat. Dia adalah orang-orang yang
selamat.
Jika seseorang tidak mempunyai waktu untuk memperdalam ilmu tauhid, maka
usahakan agar tetap yakin dan percaya, karena dengan begitu ia sudah selamat.
Cukup ia berkata dalam hati, "Aku beriman kepada Allah, dan aku berserah diri
kepada Allah. Dan aku beriman kepada akhirat."
Apalagi jika ia rajin beribadah dan mencari rezeki yang halal, serta menuntut
ilmu yang berguna bagi sesamanya. Ia lebih selamat daripada orang yang tidak
sempat memperdalam ilmu pengetahuan.
Tetapi, orang yang beriman pada garis besarnya saja harus benar-benar kuat.
Misalnya, para petani yang tinggal jauh dari keramaian kota, dan orang-orang yang
tidak pernah turut berkecimpung dalam forum diskusi dan perdebatan.
Pada suatu saat, Rasulullah memperingatkan aning yang sedang berdebat
masalah takdir. Rasulullah SAW. sangat marah dan mukanya merah padam, lantas
berkata, "Orang-orang yang terdahulu sesat, karena, antara lain. suka berdebat
masalah qadha dan qadar. "
Kemudian beliau bersabda:
Orang-orang yang pada mulanya benar, tetapi kemudian sesat
disebabkan karena mereka suka berbantah-bantahan. Berbantahbantahan kadang-kadang memperebutkan sesuatu yang tidak berguna.
Selanjutnya Rasulullah SAW, bersabda:
Kebanyakan penghuni surga adalah orang-orang yang berfikir
sederhana. (H.R. Imam Baihaqi dalam Syu 'abul Iman).
Hendaknya tidak ragu-ragu dan cukup pada garis besarnya saja dalam
beriktikad. Oleh sebab itu, Rasulullah melarang memperbincangkan orang lain.
Pikirkan. saja bagaimana agar ibadahnya sah dan diterima, serta bagaimana mencari
rezeki yang halal. Bekerja apa saja asal halal, misalnya saja tukang sepatu, bertani,
dokter, atau yang lainnya, selama tidak mempersoalkan sesuatu yang bukan ahlinya.
Rasulullah SAW. sering memberikan nasihat demikian, karena merasa iba
terhadap orang yang berbuat seperti Itu. Belum jelas kegunaannya, tetapi sangat
jelas bahayanya.
Pada dasarnya, memang percaya kepada isi al-Qur'an dan Sunnah Nabi. Jika
terdapat ayat al-Qur'an yang tidak mengerti, maka serahkan kepada Allah SWT. Dan
bagi orang awam yang tidak begitu mengetahui, cukup menerima apa adanya,
selama tidak menyekutukan Allah dengan apa pun juga. Sebab, AIlah laisa kamitslihi
syai'un. Bagaimana dan seperti apa Allah itu, Wallahu a'lam. Hanya Allah yang
tahu, terhadap diri sendiri pun kadang-kadang kita tidak tahu, lebih-lebih tentang
dzat Allah.
Rasulullah SAW. melarang orang menta'wilkan sesuatu yang disitu diselipkan
ayat-ayat al-Qur'an dengan tujuan agar dapat diterima akal sehat guna mencari
kesesuaian hukum alam padahal teori selalu berubah. '
Pada zaman dahulu, orang suka mencocokkan ayat-ayat al-Qur'an dengan teori
ilmu fisika dan ilmu lainnya. Kemudian, teori Itu mengalami perubahan, padahal
orang itu telah mati. Maka, tafsirannya pun hanya akan menjadi sampah. Itulah
kenyataannya, teori manusia akan selalu mengalami perubahan. Sedang dia
mendasarkan tafsirannya pada al-Qur'an bagi teori-teorinya, kemudian dibawa mati.
Hal ini sangat berbahaya.
Oleh karena itu, janganlah sekali-kali menafsirkan al-Qur'an hanya dengan
meraba-raba saja. Sebab, ilmu pengetahuan, baik klasik maupun modern, pada
dasarnya hanyalah berupa pengalaman dan percobaan-percobaan yang merupakan
perhitungan belaka.
Pada hakikatnya, mereka belum mengetahui, apa sebenarnya hakikat
elektrisitet, demikian pula apa sebenarnya hakikat aether. Oleh sebab itu, janganlah
sekali-kali mendasarkan Iktikad hanya pada hasil perhitungan. Seyogyanya, kita
mengetahuinya secara global, karena hal tersebut ada orang yang melarang agar
pintu tidak dibuka sama sekali.
Kadang-kadang, ada orang yang mendapat ilham dari Allah dengan. dibersihkan
hatinya dan inkisyaf Sebelum mati, ia sudah inkisyaf, dan nanti setiap orang juga
akan inkisyaf walaupun bukan seorang wali. Tetapi, wali pun kadang-kadang sudah
inkisyaf semasa hidupnya.
Para wali mengerti adab kesopanan. Mereka hanya terdiam, karena tidak dapat
dilukiskan dengan kata-kata. Dan jika hal Itu dibahas, akan menimbulkan banyak
bahaya. Permasalahann.ya sangat sulit, sehingga akal manusia tidak mampu
menelaah sifat-sifat dan dzat Allah. Untuk mendekatkan diri kepada-Nya, cukup
dengan perasaan, tidak perlu dengan akal. Dan dengan keyakinan dalam hati itu,
para wali kadang-kadang membuat peristilahan yang hanya dapat dimengerti oleh
mereka. Inilah sebab yang pertama.
Sebab yang kedua dari sifat suul khatimah, dikarenakan iman yang lemah, yang
sebagian besar disebabkan karena pergaulan. Jika seseorang bergaul dengan orangorang yang lemah imannya, maka ia pun akan semakin lemah imannya. Juga
dikarenakan sering membaca buku yang dapat membuat iman lemah. Bahkan orang
akan menjadi atheis dan kufur.
Kedua sebab yang membuat lemah iman itu ditambah lagi dengan sifat
hubbud-dunya. Jika iman sudah lemah, maka kecintaan terhadap Allah pun akan
lemah. Akibatnya, ia akan mementingkan diri sendiri dan kecintaan terhadap urusan
duniawi yang semakin kuat.
Akhirnya, ia benar-benar dikuasai oleh sifat hubbud-dunya, tidak punya waktu
lagi untuk mencintai Allah. Ia mencintai Allah dan mengakui bahwa Allah Yang
Menciptakannya. Namun, itu hanyalah pengakuan lahiriah. Dan hal itulah yang
membuatnya senantiasa melampiaskan nafsu syahwatnya, hingga hatinya mengeras
dan tertimbun kegelapan dosa. Lama kelamaan, imannya semakin surut, hingga
hilang sama sekali dan jadilah ia kufur.
Sehubungan dengan hal itu Allah SWT. berfirman:
.....dan hati mereka telah dikunci mati, maka mereka tidak
mengetahui (kebahagiaan dan berjihad). (at- Taubah: 87).
Dosanya tidak dapat lagi dihapuskan dari hatinya. Jika sakratul maut telah
datang, kecintaan mereka terhadap dunia semakin kuat, dan kecintaan kepada
Allah semakin lemah. Sebab, mereka merasa sedih dan berat meninggalkan
kesenangan dunia, sebab sifat hubbud-dunya benar-benar telah menguasai dirinya.
Setiap orang yang harus meninggalkan sesuatu yang dicintai pasti akan merasa
sedih. Kemudian, timbul pertanyaan, mengapa Allah mencabut nyawaku? Lantas
imannya menjadi luntur, sehingga membenci takdir Allah. Mengapa Allah mencabut
nyawaku dan tidak memperpanjang umurku? Jika dalam keadaan seperti itu ia mati,
berarti ia mati dalam keadaan suul khatimah. Na 'udzu billah!
Demikianlah penjelasan singkat Imam Ghazali dalam bukunya. Ihya'. Kemudian,
kerjakanlah shalat, puasa, dan sebagainya seperti diperintahkan Allah SWT.
sebanyak mungkin. Di samping itu, jauhilah segala hal yang menjadi larangan Allah
SWT., seperti riya', ujub, dan sebagainya, yang merupakan sifat: sifat tercela.
Mengenai hal itu, akan diterangkan dalam buku ini, agar sifat-sifat demikian terjauh
dari kita.
Seseorang tidak mungkin berlaku taat apabila ia belum mengetahui apa-apa
yang harus dikerjakan dan segala yang harus ditinggalkan. Apakah taat? Bagaimana
cara mengerjakan? Bagaimana kita bisa menjauhi perbuatan maksiat, sedang kita
belum mengetahui jenisnya? Jika seseorang mengetahui bahwa berdusta adalah
haram, maka ia akan meninggalkannya. Untuk itu, kita harus belajar, apa yang
diwajibkan dan apa yang diharamkan bagi kita, agar kita tidak terjerumus ke dalam
perbuatan dosa dan durhaka.
Jadi, kita wajib mengaji dan mempelajari ibadah syar'i. Seperti, bersuci, mandi
dan wudhu', shalat, puasa, dan sebagainya, karena ibadah-ibadah ini fardhu 'ain
hukumnya. Selain itu, setiap insan Muslim wajib pula mempelajari ilmu fiqih beserta
hukum dan syarat-syaratnya, agar dapat menjalankannya dengan sebenar-benarnya.
Ada kalanya seseorang terus-menerus melakukan perbuatan yang dianggapnya
baik, padahal perbuatan tersebut dapat merusak kesucian, shalat, dan sebagainya.
Pernah pada suatu saat, seseorang berada di dalam masjid. Tetapi ia tidak
mengetahui bagaimana cara sujud, ruku', dan sebagainya. Niatnya sudah baik, tetapi
belum mempelajari bagaimana cara melakukan shalat. Sehingga, shalatnya tidak
sesuai dengan yang diajarkan oleh Rasulullah SAW. Sedang la sendiri tidak merasa
bersalah, karena shalat adalah wajib 'ain hukumnya, dan akan lebih baik lagi jika
ditambah dengan ibadah-ibadah sunat.
Kadang-kadang, kita menemui kesulitan bagaimana menJalankan shalat ketika
bepergian. Bagi yang belum pernah mengaji dan belajar agama, tentu akan
kebingungan untuk melakukannya. .
Oleh sebab itu, belajar mengaji adalah sangat penting. Juga memperdalam ilmu
taSAWuf, yaitu ibadah batin. Jika menjalankan shalat, puasa, menunaikan Ibadah
haji, dan mengeluarkan zakat termasuk ibadah lahir, maka yang termasuk ibadah
batin di antaranya adalah menjauhkan diri dan sifat takabbur. Lawan dari takabbur
adalah tawadhu'. Dzikrul minnah, lawan dari ‘ujub, Kisarul 'amal, lawan tulil 'amal.
Yang disebutkan di atas juga termasuk ibadah batin.
Dalam menjalankannya, ibadah lahir maupun ibadah batin harus seimbang,
agar tidak berat sebelah dan pincang. Dan ibadah-ibadah batin, yaitu ibadah yang
dilakukan oleh hati, harus pula kita ketahui dan pelajari. Untuk mempelajarinya,
pembaca bisa membaca buku Minhajul 'Abidin ini, dan untuk mempelajari ibadah
yang bersifat lahiriah, pembaca dapat mempelajari lewat buku Bidayatul Hidayah
atau Fathul-Qarib.
Bentuk ibadah batin yang lain adalah tawakkal, yang artinya percaya dan
pasrah kepada Allah dalam segala urusan yang kita khawatirkan. Karena, manusia
tidak lepas dari rasa khawatir. Misalnya, dalam mencari rezeki yang halal, kadangkadang kita khawatir kalau dagangan kita rugi, jangan-jangan SAWah kita diserang
hama, dan sebagainya. Nah, dalam kekhawatiran seperti itu, selayaknya kita
kembalikan dan serahkan kepada Allah SWT.
Insya Allah, dalam hal itu, akan penyusun nukilkan dari keterangan panjang
lebar Imam Ghazali dalam bukunya, Minhajul 'Abidin, dan lainnya.
Kita tidak boleh menentang dan harus ikhlas menerima takdir Allah. Harus
sabar dalam menghadapi cobaan, tahan uji, tahan derita, dan tabah dalam taat
kepada. Allah. Itulah orang yang kuat imannya. Sebab, sabar Itu sendiri berarti tahan
uji.
Dan Insya Allah, perihal taubat juga akan penyusun terangkan dalam buku
Minhajul 'Abidin ini ditambah dari buku-buku lain karangan Imam Ghazali.
Kita sudah begitu mengenal kata ikhlas, tetapi perlu penyusun jelaskan bahwa
ikhlas berarti meninggalkan sifat riya’ dalam beramal dan beribadah.
Dalam menjalankan ibadah batin, terdapat pula larangan-larangannya, yang hal
itu harus diketahui oleh setiap Muslim. Sebab, apa artinya beragama Islam jika tidak
mengetahui larangan-larangan dan kewajiban-kewajibannya? Hati akan menjadi
kosong, penuh dengan sifat jahat dan busuk, dan Islam berfungsi untuk
membersihkan sifat-sifat buruk tersebut.
Apa artinya kita beragama Islam jika hatinya kotor dan tidak saleh, hanya
disunat dan membaca syahadat sewaktu akan nikah. Shalatnya didasari sifat riya'
dan ‘ujub, tidak ada artinya semua itu. Islam adalah menjalankan amalan-amalan
batin serta menjauhi larangan-larangan batin. Larangan batin di antaranya tidak
ikhlas menerima takdir Allah SWT.
Penyusun pernah membaca suatu kisah, ada seorang yang ditinggal mati istri
dan anak-anaknya, kemudian orang tersebut mengumpat Tuhan. Nah, perbuatannya
itu merupakan dosa besar, karena tidak mau menerima takdir Allah.
'Amal yang ditulis dengan 'ain mempunyai arti perbuatan. Sedang amal yang
ditulis dengan hamzah, artinya merasa tidak akan mati, dan itu dosa besar. Sebab,
jika seseorang merasa tidak akan mati, ia akan menunda-nunda ketaatan kepada
Allah SWT.
Riya' adalah perbuatan yang tidak ikhlas, pura-pura, beribadah hanya agar
dipuji orang. J adi, bukan karena Allah.
Adapun kibir, adalah merasa dirinya besar atau sombong. Pada hakikatnya,
tiada manusia yang besar. Kebesaran dan baiknya seseorang akan diketahui jika
pada ajalnya kelak ia husnul khatimah. Tetapi, jika ia matinya suul khatimah, berarti
ia seorang yang kerdil, meskipun merasa dirinya besar. Untuk itu, jauhilah sifat-sifat
buruk tersebut.
Dengan jelas, dalam al-Qur'an nash-nash dan ayat-ayatnya mewajibkan kita
agar menjalankan Ibadah batin, dan menjauhi maksiat-maksiat batin. Ayat-ayat alQur'an yang membicarakan hukum lahir kurang lebih hanya lima ratus ayat, sedang
yang membicarakan badah batin hampir dari awal hingga akhir, termasuk di
dalamnya membahas masalah maksiat batin.
Allah memerintahkan umatnya menjalankan ibadh batin, berlaku sabar,
tawakkal, ikhlas dalam menerima takdir. selalu ingat kepada karunia Allah, dan
sebagainya. Jika Ibadah batin seperti tersebut di atas nyata-nyata dipenntahkan oleh
al-Qur'an dan Hadits, maka tidak ada artmya ke-Islam-an seseorang jika ia masih
suka menggunjingkan orang. berbohong, durhaka terhadap kedua orangtua,
su'uzhan terhadap sesama Muslim, dan sifat-sifat tercela lainnya. Orang Muslim
yang demikian tidak ada bedanya dengan orang non-Muslim. Ia tahu bahwa Tuhan
ada, tetapi hatinya busuk. seperti halnya Iblis, Ia tahu bahwa Tuhan itu ada, tetapi
hatinya busuk.
Jadi, ibadah hati itu sangatlah penting.
.
Allah, dengan tegas melarang perbuatan-per?uatan maksi at batin. Juga hadits
Nabi (sebagian besar hadits mutawatir). Sehubungan dengan hal itu Allah
berfirman:
... Dan hanya kepada Allah hendaknya kamu bertawakkal, jika
kamu benar-benar orang yang beriman. (al-Matdah: 23).
Tawakkal menunjukkan kuatnya iman, dan hukumnya wajib seperti halnya
ibadah shalat, puasa, menunaikan haji, dan zakat. Allah berfirman:
.. , dan bersyukurlah kepada Allah, jika benar-benar kepadaNya saja kamu menyembah. (al-Baqarah: 172).
Jadi, jika kita tidak bersyukur kepada Allah, berarti tidak berbadah kepada Allah
SWT. Bersyukur adalah menggunakan nikmat Allah guna berlaku taat kepada-Nya.
Keterangan lebih Jelas akan penyusun berikan dalam bagian lain dari buku ini.
MIsalnya begini. Ayah memberikan sejumlah uang kepada anaknya, kemudian sang
anak memanfaatkannya untuk hal-hal yang baik dan yang disukai oleh ayahnya.
Berarti, anak Itu bersyukur kepada ayahnya. Tetapi, jika uang itu dipergunakan
untuk hal-hal yang tidak disukai ayahnya, berarti ia tidak bersyukur terhadap
pemberian ayah.
AIlah memberikan akal kepada kita untuk berpikir. Tetapi manusia senng
mempergunakan akalnya untuk memikirkan yang bukan-bukan, hingga akhirnya ia
kufur dan ingkar terhadap Allah SWT.
Ibarat seorang raja menghadiahkan, pedang kepada prajuritnya yang dianggap
berjasa, Setelah menerima pedang tersebut, si prajurit rnenjadi berubah, bahkan
pedang pemberian raja itu dipergunakannya untuk membunuh sang raja.
Hal itu sama halnya dengan Allah memberikan akal kepada kita. Jika kita
menggunakan akal itu hingga mengatakan bahwa Allah Itu tidak ada, berarti kita
tidak bersyukur atas nikmat Allah.
Allah SWT. berfirman:
Bersabarlah (hai Muhammad) dan tiadalah kesabaranmu itu
melainkan dengan pertolongan Allah. (an-Nahl: 127).
Ini menunjukkan bahwa Allah SWT. memerintahkan kita berlaku sabar, dan
sabar berarti bersama Allah SWT.
Berlakulah ikhlas secara benar karena Allah.
Dan ini menunjukkan bahwa ikhlas adalah wajib. Hal itu dikuatkan oleh sabda
Rasulullah SAW:
Barangsiapa ikhlas kepada Allah dengan sebenar-benarnya,
niscaya akan ditanggung segala urusannya dan diberi rezeki dari jalan
yang tidak disangka-sangka.
Dan masih banyak lagi ayat-ayat al-Qur'an dan hadits Nabi yang menguatkan
hal itu, seperti firman Allah dalam memerintahkan shalat dan puasa. Jika demikian,
mengapa manusia hanya mau menerima perintah shalat dan puasa, tetapi meninggalkan perintah menjalankan tawakkal, sabar, dan sebagainya. Padahal, semuanya
adalah Allah yang memerintahkan, dan dengan kitab. yang sama, yakni al-Qur'an.
Bahkan, orang melupakan fardhu-fardhu tersebut. Sehingga, ia tidak mengerti
segala dari fardhu-fardhu itu karena terpengaruh oleh orangorang yang bersifat
hubbud-dunya, yang terbalik pandangannya, sehingga yang baik dianggap buruk dan
yang buruk dikatakan baik. Juga berkat hasutan orang-orang yang meremehkan dan
meninggalkan ilmu yang bermanfaat, yang dalam al-Qur'an, oleh Allah manfaat ilmu
itu disebut nur, hikmah, dan huda. Dan berkat hasutan orang-orang yang mengejar
ilmu haram guna mengejar kesenangan dunia, yang pada akhirnya akan mengalami
kehancuran.
Hai orang-orang yang menginginkan petunjuk dan kebenaran, tidakkah kalian
takut menjadi perusak dari kewajiban: kewajiban tersebut. Hanya mementingkan
shalat, puasa, tetapi meninggalkan kewajiban tawakkaI. Jika demikian, apa yang
kalian kerjakan tidak ada artinya, bahkan kalian akan tenggelam dalam perbuatan
maksiat, seperti riya', takabbur, yang semuanya itu menyebabkan kalian masuk
neraka.
Dan apakah kamu tidak takut jika segala amalanmu tidak berarti, meskipun
kamu berhati-hati dalam mengerjakannya, dikarenakan kamu meninggalkan hal-hal
yang hukumnya mubah dengan maksud mencari keridhaan Allah, tetapi tidak
tercapai, disebabkan kamu meninggalkan kewajiban tawakkal dan sebagainya?
Dan akan lebih parah lagi jika kamu terperangkap dalam angan-angan dan
lamunan yang mendorongmu ingin hidup kekal, bersatu dan berfoya-foya dengan
kesenangan dunia. Padahal, angan-angan itu pada dasarnya maksiat. Karena kamu
tidak mengetahui perbedaan antara niat baik dengan 'angan-angan, sehingga kamu
menganggap bahwa angan-angan, adalah mat baik, karena memang keadaannya
ada yang hampir sama.
Demikian pula kepanikan dan rasa gelisah, dianggapnya rendah hati dan Ikhlas
dalam berdoa kepada Allah. Riya' dan sum'ah dianggapnya sebagai ajakan kebaikan
terhadap manusia, dan berbuat maksiat dianggapnya taat. Ia beranggapan bahwa
dirinya banyak mendapatkan pahala. padahal bagiannya adalah siksa.
Jika demikian, maka kamu dalam kekeliruan yang besar, dan kekosongan
pikiran yang teramat buruk. Sebagian ulama berpendapat, kekosongan pikiran
timbul karena kurang berhatihati dan kurangnya kesadaran. Maka, kekosongan
pikiran merupakan petaka yang keji, dan sia-sialah beramal tanpa dilandasi ilmu.
Orang-orang yang terpedaya oleh dirinya terbagi menjadi empat bagian. Tiaptiap bagian mempunyai cabang dan membentuk kelompok pula.
Imam Ghazali dalam Ihya'-nya telah membahas masalah itu dengan panjang
lebar, dan di sini akan dijelaskan secara singkat.
Bagian pertama, ahli ilmu yang terpedaya oleh golongan ini adalah beberapa.
macam. Di antaranya, orang-orang yang hanya memikrkan llmu lahir dan berpikir
terlampau mendalam, tetapi mereka melupakan dan tidak memelihara ilmu batin.
Mereka merasa bangga dengan ilmu lahir yang dimilikinya, dan dengan berpikir
berlebihan menganggap dirinya telah mendapatkan tempat di sisi Allah. Bahkan
menganggap dirinya telah mampu membebaskan diri dari siksa Allah dan
menganggap dirinya mampu memberikan syafaat dan tidak akan dituntut dosanya.
Orang-orang yang demikian itu terpedaya oleh dirinya sendiri. Kalau saja
mereka sadar, maka akan tahu bahwa ilmu terbagi menjadi dua, yakni ilmu
mu'amalab dan ilmu Ma 'rifah.
Ilmu Mu'amalah, di antaranya mengetahui mana yang halal dan mana yang
haram, mana akhlak yang baik dan mana yang buruk, serta mengetahui bagaimana
cara menghilangkan sifat-sifat buruk itu dan menjauhinya.
Mengetahui semuanya itu tidak akan ada artinya jika tidak untuk diamalkan.
Apa gunanya seseorang mengetahui suatu ilmu dan cara-cara beribadah jika tidak
mengerjakannya. Mengetahui macam-macam maksiat dan cara menjauhinya, jika ia
sendiri tidak berusaha menjauhinya. Menguasai ilmu akhlak dan dapat membedakan
mana yang baik dan yang buruk, tetapi perbuatannya bertolak belakang.
Allah Ta'ala berfirman:
Sesungguhnya beruntunglah orang yang mencucikan jiwa. (asySyam: 9).
Dan Allah tidak berfirman:
Sesungguhnya beruntunglah orang yang mempelajari cara
membersihkan jiwa.
Sehubungan dengan itu, setan akan selalu berupaya membujuk kita agar
menjauhi ayat di atas. Setan akan berkata, janganlah kamu keliru, maksudmu adalah
menginginkan dekat kepada Allah dan memperoleh pahala. Maka, semuanya akan
tercapai hanya dengan ilmu. Ingatlah sabda Rasulullah dalam beberapa hadits,
bahwa seseorang yang berilmu itu sangat agung.
Jika seseorang lemah imannya, mudah terbujuk, dan kurang berpikir, maka
akan membenarkan perkataan setan itu dan merasa tenteram dengan hanya
memiliki ilmu tanpa berbuat amal. Inilah yang dinamakan ghurur.
Lain halnya dengan orang yang tidak mudah terbujuk dan selalu waspada.
Bujukan setan itu akan ia jawab, hai setan, engkau hanya mengemukakan hadits
yang menerangkan keagungan ilmu dan tidak mengingatkanku akan keburukan--
keburukan orang alim yang enggan mengamalkan ilmunya, yang derajatnya sama
dengan anjing dan himar, dan engkau tidak mengemukakan kepadaku hadits yang
berbunyi:
Barangsiapa bertambah ilmunya, tetapi tidak bertambah amalannya. berarti ia
bertambah jauh dari Allah.
Dan masih banyak lagi hadits yang senada dengan hadits di atas.
Orang ghurur hanya mempercantik lahiriahnya dan mengabaikan batinnya.
Nabi SAW. bersabda:
Bahwasanya Allah tidak akan memandang rupa dan harta-mu,
melainkan hati dan amalanmu,
Mereka hanya memperbanyak ibadah lahir dengan mengabaikan pemeliharaan
hati, padahal hati adalah pangkal dari segala ibadah. Dan seseorang tidak akan
selamat kecuali menghadap Allah dengan hati yang tulus.
Bagian kedua, golongan ahli ibadah dan ahli beramal. Ini juga banyak
macamnya, antara lain orang-orang yang hanya mementIngkan fadbilab dan
sunnah, tetapi fardhu mereka abaikan. Mereka bahkan jauh sekali tenggelam dalam
keadaan seperti itu. Mereka mengejar fadhilah dan sunnah hingga timbul
pertentangan berlarut-larut. Misalnya ada orang yang selalu ragu-ragu dalam
berwudhu', mereka sangat berhati-hati dalam menggunakan air, menginginkan
kesempurnaan yang amat, sehingga hatinya tidak tenteram dalam berwudhu' yang
telah ditetapkan sucinya oleh syara'. Mereka. menentukan ihtimal-ihtimal dalam
bentuk najis, yang jauh dikatakan dekat, hingga akhirnya ia bersusah payah mencari
air, dan kadang-kadang lalai mengerjakan yang fardhu.
Ada juga orang yang ragu-ragu dalam berniat melakukan shalat. Setan tidak
membiarkannya memperoleh niat yang sah, bahkan selalu mengganggunya hingga
ia tidak berjamaah atau sampai keluar dari waktu shalat: Dan kalaupun la dapat
berniat, masih juga ragu-ragu, sah apa ndak niatnya.
Terdapat pula orang ragu-ragu ketika mengucapkan takbir, sampai kadangkadang ia merubah bunyinya. Dan keragunnnya itu menjalar hingga seluruh bagian
shalat. Mereka mengira, dengan niat yang susah payah telah mendapatkan
kelebihan dibandingkan orang lain, dan menyangka perbuatan seperti Itu dianggap
baik oleh Allah. Padahal, yang demikian itu adalah perbuatan ghurur semata.
Juga terdapat orang yang merasa ragu ketika membaca al-Fatihah dan bacaan
lainnya. Perasaannya selalu tertuju pada pengamatan tasydid. Perhatiannya tertuju
pada perbedaan bunyi dha dan zha yang membuatnya lupa memperhatikan dan
menjaga syarat-syarat dan rukun lainnya. Apalagi mengetahui arti bacaannya serta
hikmah-hikmah dan asrar shalat.
Hal yang demikian juga termasuk ghurur. Sebab, yang diperintahkan dalam
membaca ayat adalah bunyi-bunny tulisan seperti halnya yang dipakai dalam
berbicara bahasa Arab, tidak berlebih-lebihan dari yang seharusnya. .
Bagian ketiga adalah ahli taSAWuf. Ghurur dan golongan ini banyak pula
macamnya, terutama para ahli taSAWuf di masa sekarang, kecuali yang dipelihara
oleh AIIah. Antara lain, orang yang merasa dirinya memiliki Ilmu ma’rifat dan telah
mampu melihat Tuhan dengan hatinya, telah melalui beberapa tingkatan ahwal dan
menggunakan istilah yang berlainan dengan ilmu taSAWuf. Mereka menganggap
dirinya dekat dengan Allah, padahal mereka hanya mengetahui nama-Nya, yang
mereka dengar dari lafazh-Iafazh yang dapat menjadikannya sesat dan keliru.
Dengan semua itu, mereka menganggap memiliki ilmu tertinggi dari umat sejak
awal hingga akhir. Mereka memandang rendah dan hina para faqih, ahli tafsir, ahli
hadits dan ulama, lebih-lebih kepada orang awam. Manusia awam dipandangnya
sebagai hewan piaraan. Disebabkan ghurur-nya itulah mengakibatkan petani awam
meninggalkan SAWahnya, penenun meninggalkan garapannya. Setiap hari mereka
hanya bergaul dengan para ahli taSAWuf palsu itu, dan mendengarkan ucapanucapannya yang tidak ada artinya sama sekali. Kata-kata itu, seolah-olah wahyu dari
langit, rahasia-rahasia yang tersembunyi. Ucapannya pun merendahkan para ahli
ibadah dan ahli ilmu.
Terhadap ahli ibadah, ia mengatakan bahwa mengerjakan ibadah hanya
membuat tubuh kepayahan. Terhadap ahli ilmu, ia mengatakan bahwa orang-orang
yang memperbincangkan ilmu adalah orang-orang yang tertutup dari Allah.
Selanjutnya mereka mengaku, hanya merekalah yang telah sampai kepada
Allah dengan mencapai tingkatan muqarrabin. Sedangkan sesungguhnya, Allah
memandang mereka sebagai golongan fujjar dan munafik. Dan bagi orang-orang
yang bersih hatinya dan pandai, mereka dipandang sebagai manusia dungu, tidak
waras, tertipu, sama sekali tidak memiliki ilmu tauhid fiqh, dan taSAWuf yang benar.
Mereka benar-benar tidak memiliki didikan untuk ber-mujahadah, dan tidak.
beramal mencari keridhaan Allah serta melupakan dzikir, yang membuatnya selalu
menuruti keinginan nafsu syahwat dan menerima ucapan-ucapan yang tidak berarti.
Terdapat pula golongan yang menghabiskan waktunya untuk mengajarkan
akhlak dan membersihkan diri dari segala macam celaan. Akan tetapi, terlalu
berlebihan sehingga secara terus menerus mereka mencari keaiban dirinya dan
mengkaji tipu dayanya, sehingga menjadi pekerjaan sehari-hari. Segala perbuatan
mereka amati terlalu mendetail: itu aib, ini buruk dan sebagainya. Orang-orang yang
hanya menghabiskan waktunya untuk hal-hal seperti itu, sama halnya dengan orang
yang selalu membayangkan dan menghitung bahaya-bahaya dalam menunaikan
ibadah haji, yang kemudian ia tidak jadi melaksanakannya.
Golongan keempat yang terkena ghurur adalah golongan hartawan. Dan ini pun
banyak macamnya, antara lain orang yang suka bersedekah terhadap fakir miskin,
tetapi menginginkan kesaksian orang banyak. Dan fakir miskin yang disenangi adalah
yang mau menceritakan dan memujinya. Mereka tidak mau bersedekah dengan
diam-diam. Tetapi, bersedekah di hadapan orang banyak dengan maksud memberi
teladan dan untuk mengetuk hati orang lain adalah baik. Karena, dalam hal seperti
itu yang penting adalah niatnya.
Ada juga golongan yang gemtlr mempergunakan harta kekayaannya untuk
menunaikan ibadah haji. Berulang kali mereka menunaikan ibadah haji, sedang
tetangganya banyak yang kelaparan. Dalam kaitannya dengan hal itu, Ibnu Mas'ud
berkata, "Kelak pada akhir zaman banyak orang melakukan ibadah haji dengan
mudah. Tetapi, mereka tidak akan mendapatkan pahala, sebab tidak
memperdulikan tetangganya yang kesulitan, bahkan menyapa pun tidak." Sebab,
dasar hukumnya, menolong kesusahan. tetangga terdekat adalah wajib, dan
menunaikan ibadah haji untuk yang kedua kali dan seterusnya adalah sunnah.
Terdapat pula golongan yang mempunyai banyak uang. Ia kewalahan menjaga
dan menahan uangnya agar tidak dibelanjakan, karena sayangnya kepada uang
tersebut.
Dalam beribadah, mereka memilih ibadah yang dapat dikerjakan oleh anggota
badan, enggan mengeluarkan uang. Mereka banyak berpuasa sunat dan
mengerjakan shalat sunat pada malam hari, dan kadang-kadang khatam membaca
al-Qur'an. Akan tetapi, mengeluarkan uang untuk jihad, membantu masjid dan
madrasah, membantu rumah yatim, mereka sangat kikir. Mereka itu termasuk
ghurur, sebab meninggalkan amalan yang lebih penting dan dibutuhkan.
Sebagian lagi, ghurur dari golongan awam, hartawan dan fakir, menganggap
bahwa hadir dalam majlis ilmu telah memenuhi kewajiban. Mereka menjadikannya
sebagai kebiasaan, dan mengira hanya dengan mendengarkan tanpa mengamalkannya sudah mendapat pahala dari Allah SWT. Ini pun termasuk ghurur. Karena,
menghadiri majlis ilmu sebenarnya dimaksudkan untuk membangkitkan niat guna
melakukan amal.
Adapun yang dimaksud dengan ilmu Ma'rifat adalah, orang harus mengenal
empat perkara:
1. Mengenal dirinya.
2. Mengenal Tuhannya.
3. Mengenal dunia.
4. Mengenal akhirat.
Mengenal dirinya, maksudnya merasa bahwa dirinya adalah hamba Allah yang
lemah dan membutuhkan.
Arti mengenal Tuhannya ialah, mengetahui dengan sebenarbenarnya dan
yakin, bahwa hanya Allah yang berhak disembah, Yang Agung dan Yang Berkuasa.
Selanjutnya, ia merasa bahwa dunia ini hanyalah padang pengembara menuju
tempat kembali, yakni akhirat, dan ia jauh dari nafsu binatang.
Sebagai seorang Muslim, ia harus mengenal Tuhannya, tetapi perasaan Itu
tidak akan pernah ada jika ia tidak mengenal dirinya.
Oleh sebab itu, hendaknya mencari petunjuk guna sampai ketujuan dengan
membaca buku Mahabbah, Syarh Ajaibul Qalb, Kitabut tafakkur, dan Ihya
'Ulumuddin. Dalam buku-buku tersebut, akan pembaca jumpai petunjuk-petunjuk
tentang keadaan diri, keagungan Allah, dan setiap orang akan dapat mengoreksi
dirinya. Sedang untuk mengenal dunia dan akhirat, pembaca dapat mengetahuinya
dari buku Kitabuzammid (celaan dunia), dzikrul maut (ingat akan maut), dan dalam
Ihya 'Ulumuddin. Dalam buku-buku tersebut diterangkan dengan Jelas perbedaan
antara dunia dan akhirat.
Bila seseorang telah mengenal diri dan Tuhannya, dunia dan akhirat, tentu akan
timbul kecintaan terhadap Allah, sebagai hasil ma'rifah kepada-Nya. Dengan
mengenal akhirat, akan. menimbulkan rasa rindu terhadap akhirat. Dengan mengetahui duma, seseorang tidak akan tertarik olehnya. Kemudian, bagi mereka, yang
terpenting adalah segala yang dapat menga ntarkan mereka kepada keridhaan dan
rahmat Allah, dan segala yang bermanfaat untuk hidup di akhirat.
Bila yang demikian telah terpatri di hatinya, tentu niatnya dalam segala urusan
akan menjadi baik, niat untuk menempuh jalan akhirat. Maka, niatnya sah dan
terpuh dan berbuat kesalahan. Karena, yang merusak niatnya adalah ghurur yang
tumbuh dari kecenderungan terhadap dunia, kemegahan dan harta.
Sedangkan yang dimaksud dengan ilmu adalah cara-cara menempuh jalan
menuju keridhaan Allah, dan yang dapat mendekatkan seseorang kepada-Nya, serta
segala yang menjauhkan seseorang kepada-Nya. Di samping itu, mengetahui pula
halangan-halangan, tingkatan-tingkatan, dan bahaya dalam perjalanan tersebut,
yang semua itu banyak dibahas dalam buku ini.
Selanjutnya, perlu diketahui pula mengenai ibadah lahir, shalat, puasa, dan
sebagainya. Semua itu berhubungan dengan ibadah batin yang akan memperbaiki
atau merusak Ibadh lahir. Seperti misalnya ikhlas. Ikhlas menjadikan ibadah lahir itu
baik. Sedangkan riya', merusak ibadah lahir. Juga ‘ujub, dzikrul minnah, dan
sebagainya. Masing-masing akan penyusun terangkan dalam bab-bab tersendiri.
Barangsiapa tidak mengetahuI Ibadah batin dan pengaruhnya terhadap ibadah
lahir serta cara-cara menjauhinya, sedikit sekali di antara mereka yang selamat, dan
mereka kehilangan pahala ibadah lahir dan batin. Mereka hanya akan mendapat
kecelakaan dan kesulitan, dan yang demikian Itu merupakan kerugian yang nyata.
Sehubungan dengan hal itu, Rasulullah SAW. bersabda:
Bahwasanya tidurnya orang berilmu lebih baik daripada
shalatnya orang bodoh.
Sebab, beramal tanpa ilmu akan banyak merusak.
Rasulullah SAW. juga bersabda:
Ilmu diberikan kepada orang-orang yang beruntung, bukan
kepada orang-orang yang celaka.
Maksud hadits di atas adalah menjelaskan salah satu kecelakaan yang dialami
orang-orang yang beramal tanpa ilmu, yaitu tidak belajar ilmu, sehingga merasa
payah dan lelah dalam menjalankan ibadah yang telah rusak, dan hasilnya hanyalah
kepayahan belaka. Semoga Allah menjauhkan kita dari ilmu dan amalan yang tidak
bermanfaat.
Oleh sebab itulah, para ulama, orang saleh lagi zuhud, dan orang yang
mengamalkan ilmunya, sangat besar perhatiannya terhadap ilmu. Sebab, ilmu
adalah inti dari ibadah, dan pangkal taat kepada Allah Rabbul 'Alamin. Orang-orang
yang berpengetahuan dan para ahli yang mendapat petunjuk juga menaruh
perhatian besar terhadap ilmu.
Jika semuanya telah diketahui - bahwa taat tidak akan tercapai tanpa ilmu -
maka sebelum beribadah hendaklah mendahulukan ilmu.
Sebab kedua, mewajibkan mendahulukan ilmu karena ilmu akan menimbulkan
rasa takut kepada Allah SWT. '
Allah Ta'ala berfirman:
... Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hambahamba-Nya, hanyalah ulama (yang mengetahui kebesaran dan
kekuasaan Allah) .... (Fathir: 28).
Tanda bahwa ilmu dapat menimbulkan rasa takut kepada Allah adalah, orang
yang tidak mengenalAllah dengan sebenarbenarnya pasti tidak takut dengan benarbenar takut terhadapNya, tidak dapat mengagungkan Allah dan menghormati-Nya.
Hanya dengan ilmu seseorang bisa mengenal dan mengagungkan dengan sebenarbenarnya.
Jadi, ilmu yang diberkati Allah akan membuahkan ketaatan dan mampu
mencegah perbuatan maksiat. Juga tidak ad.a lagi yang dituju dalam beribadah
selain menjalankan segala perintahNya dan menjauhi segala larangan-Nya.
Oleh sebab itu, bagi yang menginginkan kehidupan akhirat, akan
mendahulukan menuntut ilmu sebelum mengerjakan urusan lainnya. Semoga Allah
memberikan petunjuk kepada kita, karena sesungguhnya Allah Maha Memberi dan
Maha Pemurah.
Nabi Muhammad SAW. bersabda:
Menuntut ilmu adalah wajib bagi setiap Muslim.
Dan ilmu yang diwajibkan itu adalah:
1. Ilmu ma 'rifat, yakni ilmu untuk mengenal Allah.
2. Ilmu taSAWuf, yaitu ilmu yang berhubungan dengan ibadah batin, seperti
ikhlas, tawakkal, dan sebagainya.
3. Ilmu syara', yaitu masalah halal dan haram yang merupakan rubu' ibadah,
muamalah, munakahat, dan jinayat.
Ilmu yang wajib diketahui, menurut Ibnu Qayyim ada beberapa macam.
Pertama: Rukun Iman, yaitu iman kepada Allah, kepada malaikat-Nya, kepada
kitab-Nya, kepada Rasul-Nya, dan kepada hari kiamat.
Orang yang tidak beriman kepada lima hal di atas. bukanlah orang yang
beriman, dan bukan termasuk orang Mu’min.
Allah 'Azza wa Jalla berfirman:
... akan tetapi sesungguhnya kebaktian itu lalah kebaktian
orang yang beriman kepada Allah, hari kemudian, malaikat-malaikat,
kitab-kitab, Nabi-nabi .... (al-Baqarah: 177).
Dan firman-Nya pula:
..... Barangsiapa yang kafir kepada Allah, malaikat-malaikatNya, kitab-kitab-Nya, Rasul-rasul-Nya dan hari kemudian, maka
sesungguhnya orang itu telah sesat sejauh-jauhnya. (an-Nisa. 136).
Berarti, beriman kepada lima hal di atas adalah dasar untuk mengenal dan
mengetahui-Nya.
Kedua: Ilmu mengenai hukum Islam yang harus diketahui oleh setiap Muslim.
Misalnya, cara-cara berwudhu, shalat, berpuasa, menunaikan ibadah haji,
mengeluarkan zakat, beserta masalah-masalahnya, syarat-syaratnya, dan hal-hal
yang membatalkannya.
Ketiga: Ilmu haram yang lima, yang telah disepakati para Rasul, syari'at-syari'at,
dan kitab-kitab Allah.
Allah berfirman:
Katakanlah, “Tuhanku hanya mengharamkan perbuatan yang
keji, baik yang nampak maupun yang tersembunyi dan perbuatan dosa;
melanggar hak manusia tanpa alasan yang benar, (mengharamkan)
mempersekutukan Allah dengan sesuatu yang Allah tidak menurunkan
hujjah untuk itu dan (mengharamkan) mengada-adakan terhadap
Allah apa yang tidak kamu ketahui". (al-A'raf. 33).
Selain lima perkara di atas, ada juga yang haram hukumnya, tetapi pada saat
tertentu dihalalkan. Misalnya darah, bangkai, dan daging babi, adalah haram. Tetapi
jika terpaksa, dalam keadaan tidak ada makanan yang halal, maka memakan ketiga
makanan tersebut dihalalkan.
Jadi, makanan yang diharamkan tidak berarti diharamkan untuk selamanya.
Tetapi, sudah barang tentu tidak termasuk hal-hal yang diharamkan secara mutlak,
seperti lima perkara yang telah penyusun sebutkan di atas. Sebab, yang lima perkara
itu tidak dapat lagi ditawar, dengan alasan apapun.
Keempat; ilmu tentang hukum pergaulan dan ilmu mu'amalah antar individu.
Yang wajib dalam ilmu ini berbeda-beda menurut tingkah laku dan kedudukannya.
Misalnya, antara pimpinan dengan rakyat, antara individu terhadap keluarga dani.
tetangganya. Kewajibannya pun berlainan. Kewajiban pemimpin terhadap rakyatnya
tidak sama dengan kewajiban individu terhadap keluarganya. Karena, kewajiban
seorang pemimpin terhadap rakyatnya lebih berat, dan pahalanya pun lebih besar.
Rasulullah SAW. bersabda:
Adilnya seorang pemimpin atau ayah, meskipun hanya satu jam,
pahalanya lebih besar daripada beribadah selama enam puluh tahun,
karena tugasnya sangat berat.
Juga kewajiban pedagang, berbeda dengan kewajiban petani. Pedagang,
hendaknya mempelajari ilmu dagang dari segi hukum agama. Misalnya, pedagang
kain sarung, ia harus memberitahukan cacatnya kepada calon pembeli; jika memang
ada cacatnya. Contohnya begini: harga sebuah sarung X rupiah; lebih murah dari
harga umum, sekalipun jenis dan kualitasnya sama. Hal itu disebabkan karena
terdapat cacat, dan sebagainya.
Ada orang yang beranggapan, jika terlalu jujur dalam berniaga, maka
dagangannya tidak akan laku. Padahal, justru sebaliknya, konsumen akan menyerbu
dagangan itu karena kejujurannya. Sebab, modal penting dalam berniaga adalah
kejujuran.
Seorang petani, mempunyai kewajiban pula. Misalnya, adil dalam mengairi
SAWahnya, seperti yang tercantum dalam peraturan zira’ah, muzara'ah, dan
musaqah. Jadi,semuanya harus dikembahkan kepada tiga peraturan tersebut. Soal
i'tikad pembuatan, dan soal menjauhi larangan, itulah yang harus digali Ilmunya.
Dalam soal i'tikad, yang wajib adalah harus sesuai dengan hak, dan tidak
dibenarkan i'tikad hanya dengan bertaklid. Sedang yang wajib dalam soal
pembuatan, adalah mengetahui perbuatan-perbuatan yang wajib atas dirinya. Dan
kewajiban dalam menjauhi larangan, adalah mengetahui ilmu tentang segala
sesuatu yang harus ditinggalkan menurut hukum syara '.
Pendapat para ulama mengenai ilmu yang wajib itu berbeda-beda. Tetapi, yang
pahng mendekati adalah ulama yang mengatakan bahwa kita harus mengetahui
segala yang dipenntahkan dan segala yang dilarang.
Adapun batasan wajib bagi ketiga ilmu di atas, yang fardhu ‘ain dan Ilmu
tauhid, adalah agar mengetahui inti dari agama Islam, yaitu mengenai Ketuhanan,
kenabian dan mengenai mahsyar.
Mengenai Ketuhanan, maksudnya kita harus mengetahui bahwa kita
mempunyai Tuhan yang wajib disembah, Tuhan Yang Maha Mengetahui,
Mahakuasa, Maha Berkehendak Mahahidup, berfirman, Maha Mendengar,
Mahaesa dan Maha Melihat, serta segala Sifat sempurna ada pada-Nya. Maha suci
dari sifat kekurangan, seperti dari tidak ada, dari segala yang menunjukkan ke-baruan, seperti misalnya, dari tidak ada menjadi ada. Hal Itu, meskipun berjalan ribuan
tahun, tetap dikatakan baru.
Allah bersifat qidam dan baqa', karena selain Allah pasti ada awalnya dan ada
akhirnya.
Selain itu, kita harus mengetahui dan yakin, bahwa Nabi Muhammad SAW.
hamba Allah dan utusan-Nya yang selalu benar dalam menerangkan masalah
akhirat, nikmat kubur dan siksanya, dan sebagainya.
Kemudian, wajib pula diketahui beberapa masalah yang dii'tikadkan oleh para
ahli Sunnah wal Jama'ah, yang merupakan golongan terbesar pengikut Nabi, yang
disebut AsSAWadul A'zbam. Dalam ahli sunnah, terdapat golongan ahli ilmu syari'at,
misalnya Hanafi, Hambali, Syafi'i, Maliki. Dan di antara mereka tidak saling mencela,
karena mereka sadar bahwa masalah ijtihad, dasarnya adalah dugaan kuat. Dan jika
Allah telah membuka pintu ijtihad atas lisan Nabi Muhammad SAW., tidak dapat
dielakkan lagi akan terjadi beda pendapat di antara para mujahidin. Namun
demikian, perbedaan pendapat tersebut tidak akan membahayakan. Untuk
menghilangkan kekhawatiran, Rasulullah SAW. mengatakan, barangsiapa salah
dalam berijtihad, berilah ia satu pahala, dan berilah dua pahala bagi yang benar
dalam berijtihad. Rasulullah SAW. juga menganjurkan kepada para sahabatnya agar
melakukan ijtihad. "Kau menjadi gubernur di negeri Yaman dan jauh dariku, maka
berijtihadlah jika tidak menemukan nash dalam al-Qur'an dan Sunnah," itulah katakata Rasulullah ketika memerintahkan agar berijtihad kepada Syaikh Mu'adz bin
Jabal.
Dengan dibolehkannya melakukan ijtihad, lahirlah bermacam-macam madzhab.
Ada mazhab Mu'adz bin Jabal, madzhab Abdullah bin Umar, madzhab Abdullah bin
Abbas, madzhab Abdullah bin Amr bin Ash, dan lain-lain dari para sahabat Rasul
yang mulia.
Berlainan pendapat, tetapi mereka tidak saling mencela. Itulah sebabnya umat
lslam pada zaman itu sangat kompak dan harmonis. Masalah madzhab dan ikhtilaf
selesai sejak abad pertama Khairul qurun. Dan masalah itu telah diteladankan oleh
Rasulullah SAW. agar umat lslam di akhir zaman tidak lagi memperdebatkan
masalah itu.
Imbauan penyusun, janganlah kita mencela orang yang berbeda madzhab
dengan kita.
Sebagaimana keadaan para sahabat dan tabi'in.
Demikianlah keadaannya, para sahabat dan tabi'in senantiasa memberikan
fatwa yang berbeda-beda. Namun demikian, mereka tidak saling mencela, masingmasing memegang hasil ijtihadnya.
Oleh sebab itu, sekali lagi saya mengimbau, janganlah kita saling mencela.
Adapun semua dalil tentang ilmu tauhid dan pokok-pokoknya, sudah tercantum
di dalam al-Qur'an. Jadi, tidak perlu lagi kita. mencari-cari dengan akal, meski
memang kadangkadang kita harus memberikan hukum penalaran jika berhadapan
dengan orang yang belum beriman. Semuanya sudah diterangkan dengan jelas oleh
guru-guru penyusun dalam kitab-kitabnya tentang Ushuluddin.
Ringkasnya, jika kita merasa sesat karena tidak tahu akan sesuatu hal, wajiblah
bagi kita menggali ilmunya, tidak boleh meninggalkannya. Misal, kita tidak
mengetahui sifat-sifat Allah, sifat-sifat wajib bagi-Nya dan sebagainya. Berarti, kita
akan celaka. untuk itu, wajib bagi kita mempelajarinya, dan ilmu tauhid tidak sesulit
ilmu yang berhubungan dengan fardbu kifayah. Sekali lagi, tidak dlbenarkan kita
meninggalkan belajar llmu tauhid. Semoga Allah melimpahkan taufik-Nya.
Sedangkan yang fardbu 'ain dapat dipelajari dari ilmu Sir, yakni ilmu taSAWuf.
Dan hendaknya, setiap individu mempelajari segala yang wajib dan yang haram dari
ilmu ini, yaitu mengetahui sifat-slfat hati, sabar, syukur, kbauf, raja', ridha, zuhud,
qana ah, mengetahui kemurahan Allah, baik sangka terhadap Allah dan orang lain,
ikhlas, dan sebagainya. Itu adalah sebagian dan sifat-sifat hati yang harus diketahui
dan diamalkan oleh. setiap individu di dalam rangka menjadi hamba Allah yang baik.
Di samping Itu, harus diketahui pula sifat- sifat yang berlawanan dengan sifat-sifat
di atas; perasaan takut melarat. Sifat itu tidak baik. Sebenarnya, dengan hati seperti
itu, seseorang sudah melarat. Sifat-sifat tidak baik lainnya misalnya, membenci
takdir Allah, ambisius, menginginkan kekal hidup di dunia untuk bersenang-senang,
yang tidak mungkin terjadi. Sebab, di dunia tidak ada kesenangan yang sempurna
dan tidak ada yang kekal!
Terdapat suatu riwayat, konon pada zaman Bani Umayyah, bertahtalah seorang
maharaja yang menginginkan kenikmatan tanpa ada cacatnya barang sehari.
Kemudian, ia mengumpulkan istri-istrinya yang cantik, dan memilihnya yang paling
cantik dan disayangi di antara mereka. Ia membayangkan betapa nikmatnya bila
melihat istrinya yang cantik itu tertawa berseri-seri. Maka, digelitik-gelitik istrinya
hingga ia tertawa terpingkal-pingkal. Dan ketika mulut sang istri terbuka, maharaja
memasukkan ke dalamnya buah anggur. Malang baginya, karena buah anggur itu
menyumbat tenggorokannya sehingga sang istri mati saat itu juga, Maharaja
menangis, sedih dan kecewa. Begitu sedihnya, hingga ia tidak menginginkan jasad
istrinya dikuburkan. Tetapi apa boleh buat, akhirnya jasad sang istri dikuburkan juga.
Ia sendiri menginginkan agar dikuburkan bersamanya, yang permintaannya itu
bertentangan dengan keinginannya semula: mengharapkan nikmat yang sebesarbesarnya.
Itulah keadaan dunia, karena sesungguhnya dunia adalah tempat ujian dan
cobaan.
Agar dengan ilmu Sir, seseorang berhasil mengagungkan Allah dan ikhlas
terhadap-Nya. Hendaklah disertai niat yang baik agar terhindar dari penyakit yang
dapat merusakkan ibadah.
Sehubungan dengan hal itu, akan penyusun terangkan dalam buku ini. Insya
Allah. Adapun yang fardhu 'ain dapat dipelajari melalui ilmu syari'at, yakni ilmu fiqh,
yang membahas masalah thaharah, shalat, dan puasa.
Itulah batas yang harus dimiliki tiap-tiap ilmu.
Semoga Allah melimpahkan rahmat-Nya kepada kita, sebab setiap individu
yang menginginkan jalan menuju akhirat harus menghimpun antara syari'at dan
hakikat. Hakikat tanpa syari'at adalah batal, dan syari'at tanpa hakikat adalah
kosong.
Contoh orang yang hanya menggunakan hakikat. Misalnya, ada orang
memerintahkan mengerjakan shalat. Ia akan menjawab, "Aku tidak perlu
mengerjakan shalat, sebab jika aku telah ditetapkan bagian dalam Lauhul Mahfudz,
aku pasti masuk surga, meskipun tidak mengerjakan shalat. Dan sebaliknya, jika
Allah menetapkan aku dalam Lauhul Mahfudz sebagai orang yang celaka, tentu aku
dimasukkan dalam neraka, meskipun aku mengerjakan shalat."
Begitulah celakanya seseorang yang hanya berpegang kepada hakikat dengan
meninggalkan syari'at. Orang-orang pada zaman dahulu menyebutnya sebagai "Ahli
hakikat tanggung". Jika pada binatang, "tanggung", artinya hewan yang belum
berbulu.
Para ahli hakikat tanggung itu menganggap dirinya benar. Padahal, syari'at
adalah perintah Allah untuk mendapatkan rahmat-Nya. Jika masuk surga, adalah
semata-mata karena karunia-Nya, bukan karena amal kita. Sebab shalat seribu
tahun pun, belum cukup untuk membayar kenikmatan sebelah mata. Oleh
karenanya, hakikat tanpa syari'at adalah jalan yang salah.
Sejarah berbicara, jatuhnya benteng "kerajaan" Ahli Sunnah terkuat di
Indonesia, Demak, dikarenakan timbulnya aliran-aliran yang hanya berpegang
hakikat tanpa syari'at, sehingga Banten terpaksa memproklamasikan diri lepas dari
Demak. Kemudian, untuk menggantikan sebagai benteng Ahli Sunnah wal Jama'ah,
akhirnya dari Banten pindah lagi ke Aceh.
Orang-orang yang hanya berpegang pada syari'at menganggap dirinya akan
masuk surga hanya dengan mengerjakan amalan-amalan. Maka, jika ia tidak
beramal, tentu tidak akan' masuk surga. Alasan seperti itu adalah salah, seperti telah
disebutkan di atas.
Sayyidina Ali mengatakan, orang yang beranggapan bakal masuk surga tanpa
beramal dan beribadah adalah melamun.
Dan orang-orang seperti Itu beranggapan bahwa hanya dengan
amalan pasti masuk surga. Maka yang demikian itu hanya akan
membuatnya lelah.
Oleh karena itu, kita harus berpegang kepada keduanya, hakikat dan syari'at.
Jika ada yang bertanya, apakah wajib mempelajari ilmu tauhid yang dapat
menghancurkan semua agama kufur dan meyakinkan hujjah Islam kepada mereka,
serta membongkar segala perbuatan bid'ah dan meyakinkan hujjah-hujjah sunat?
Sesungguhnya, berbuat seperti itu adalah fardhu kifayah. Sedangkan yang
fardhu 'ain, bagi kita adalah benar ber-i'tikad dalam ushuluddin.
Mengetahui furu’ ilmu tauhid sampai kepada permasalahan yang sedalamdalamnya, juga fardhu kifayah, kecuali jika datang kepada kita syubhat dalam
ushuluddin yang membuat kita khawatir terjerumus ke dalamnya. Untuk
mengelakkan hal itu, ialah fardhu 'ain, dengan sekuat tenaga mengadakan
pembahasan-pembahasan yang tegas.
Dan Janganlah kita berbantah-bantahan, jauhilah dengan sekuat tenaga, sebab
hal itu ibarat penyakit yang tidak ada obatnya.
Rasulullah SAW. bersabda:
Setiap orang yang telah mendapat petunjuk kemudian sesat
disebabkan suka berbantah-bantahan untuk mencari kemenangan,
bukan kebenaran, tidaklah akan beruntung, kecuali orang itu dilimpabi
rahmat Allah, sehingga ia taubat.
Seperti Imam Ghazali, pada mulanya ia seorang tukang debat. Tetapi, kemudian
taubat dan dengan sungguh-sungguh memperdalam ilmu Sir. Kemudian beliau
memperingatkan kita agar jangan suka berdebat. Nasihatnya itu berdasarkan pengalamannya.
Jika dalam suatu negara terdapat seorang penganjur Ahli Sunnah yang dapat
memecahkan syubhat dan menentang bid'ah, serta dapat menjernihkan hati ahli
haq dari ahli bid'ah, maka gugurlah fardhu bagi orang lain. Demikian pula tidak
diwajibkan atas kita memperdalam ilmu Sir dengan keterangan yang panjang lebar
tentang keajaiban hati, kecuali hal-hal yang dapat merusak peribadatan kita. Sebab,
yang satu ini wajib kita ketahui dan kerjakan, seperti ikhlas, bersyukur, tawakkal dan
sebagainya. Selain itu, tidak wajib bagi kita untuk mengetahuinya agar dapat
menjauhinya.
Demikian pula dalam masalah fiq, tidak wajib bagi kita mengetahui hal-hal yang
belum tentu kita kerjakan, seperti ilmu perdagangan, perburuhan, perkawinan, talak
dan jinayab. Karena, semua itu termasukfardhu kifayah.
Jika ada pertanyaan, adakah batas dalam ilmu tauhid, seperti yang telah
disebutkan, agar orang dapat mengetahuinya tanpa perantaraan seorang guru. Guru
adalah pembuka jalan guna mengetahui batas-batas tersebut. Dan melalui guru
akan menjadi lebih mudah. Allah akan memberikan karunia kepada hamba-Nya yang
dikehendaki, karena pada dasarnya, Allah jualah yang mengajarkan kepada mereka.
Selanjutnya perlu diketahui, bahwa tingkatan ilmu merupakan tingkatan yang
sulit. Tetapi, ilmu dapat membawa kepada tujuan yang dimaksud, banyak
manfaatnya, sukar dalam menempuhnya, besar risikonya, dan banyak yang
berpaling darinya sehingga tersesat. Banyak pula yang tergelincir jika kurang
berhati-hati, yang membuat mereka kebingungan dan lemah dikarenakan putus di
tengah jalan. Namun demikian, banyak pula yang mampu mengatasi dan berhasil
dalam waktu relatif singkat, meskipun ada pula yang jatuh bangun selama 70 tahun.
Masalah cepat dan lambatnya, selamat dan atau tidak, semuanya kita
kembalikan kepada kekuasaan Allah.
Adapun manfaat ilmu, adalah sebagai sesuatu yang sangat dibutuhkan oleh
hamba Allah dan sebagai dasar untuk melakukan ibadah secara keseluruhan,
terutama ilmu tauhid dan taSAWuf.
Firman Allah kepada Nabi Dawud as: "Hai Dawud! tuntutlah olehmu ilmu yang
bermanfaat! Nabi Dawud menjawab, "Ya Tuhanku, apakah ilmu yang bermanfaat
itu?" Firman Allah, "Yaitu untuk mengetahui keluhuran, keagungan dan kebesaranKu, serta kesempurnaan-Ku atas segala sesuatu. Inilah yang mendekatkan engkau
dengan-Ku."
Sayyidina Ali Karramahullahu Wajhab meriwayatkan, "Kegembiraan ku
karena mati dalam usia muda, kemudian masuk surga, tidak segembira jika aku
hidup hingga dewasa dan mengenal Allah. Sebab orang yang paling mengenal AIlah
adalah yang paling takut dan banyak beribadah, serta paling bersyukur terhadap
pemberian Allah.”
Perihal kesulitan dalam melewati tingkatan Ilmu ada bermacam-macam. Di
antaranya tidak ikhlas dalam menuntut ilmu. Oleh karenanya, usahakan sekuat
mungkin, lahir dan batin, guna mencapai keikhlasan dalam menuntut ilmu. Dan
dalam menuntut ilmu, hendaknya bertujuan untuk beramal, bukan sekadar
perhatian.
Kemudian perlu pula diketahui, bahwa bahaya dalam menempuh 'aqabab ilmu
adalah besar. Baraggsiapa menuntut ilmu hanya untuk menarik perhatian orang lain,
atau agar dapat bergaul dengan orang-orang besar, atau ingin lebih tinggi dan orang
lain, atau mungkin untuk mengejar kekayaan, maka dalam perdagangannya akan
hancur. Sebab, ilmunya tidak akan bermanfaat, dan perhitungan niaganya akan
merugi. Dunia, Jika dibandingkan pahala akhirat, tidak berarti apa-apa.
Rasulullah SAW. bersabda:
Barangsiapa menuntut ilmu dengan maksud untuk bersaing
dengan para ulama atau untuk ber-mujadalah dengan orang-orang
jahil, atau untuk menarik perhatian orang lain, maka ia akan masuk
neraka.
Abu Yazid al-Bustharni Rahimahullah berkata, "Saya telah ber-mujahadah
selama tigapuluh tahun. Namun, tidak menemukan perjuangan yang lebih sulit
daripada menuntut ilmu dan mencegah bahayanya. Janganlah engkau tertipu oleh
ucapan setan yang akan mengatakan, 'Jika sudah jelas bahwa dalam ilmu terdapat
bahaya yang besar, maka lebih baik tinggalkan saja.' Sekali lagi, ucapan setan itu
tidak benar."
Rasulullah SAW. pernah meriwayatkan kepada para sahabatnya, "Pada malam
mi'raj telah diperlihatkan kepadaku neraka. Aku lihat sebagian besar penghuninya
adalah orang fakir." Kata para sahabat, "Apakah mereka fakir harta?" Jawab
Rasulullah, "Bukan! Tetapi mereka fakir karena tidak berilmu."
Barangsiapa enggan belajar tentu tidak dapat meyakinkan dan menetapkan
hukum-hukum ibadah, dan tidak akan dapat melaksanakan syarat-syarat
sebagaimana mestinya.
Jika seseorang beribadah sebagaimana ibadahnya malaikat tujuh lapis di langit
dengan tidak didasari ilmu; orang itu termasuk golongan yang merugi, sebab tidak
akan memperoleh pahala. Hanya lelah yang ia peroleh.
Untuk itu, bersungguh-sungguhlah dalam menuntut ilmu, baik dengan
penelitian, mendengarkan, maupun mempelajarinya. Selain itu, jauhilah sifat malas
dan bosan, agar terhindar dari kesesatan.
Kesimpulan: jika kita benar-benar memikirkan tentang dalil-dalil perbuatan
Allah, kita akan Yakin bahwa kita mempunyai Tuhan Yang Mahakuasa, Maha
Mengetahui, Hidup, Berkehendak, Maha Mendengar, Maha Melihat, dan Berfirman.
Dengan Firman-Nya yang Qadim, yang tiada awal dan akhirnya, Mahasuci dari segala
sifat dan iradah yang baru, Mahabersih dari segala kekurangan dan cela, tidak
bersifat dengan sifat baru, tidak wajib bagi-Nya segala yang dlwajibkan bagi makhluk-Nya, tidak ada sesuatu yang menyamal-Nya, dan udak diliputi oleh tempat dan
jihad! serta tidak mengalami perubahan dan cacat.
Ketika kita telah mengetahui mu'jizat Rasulullah, ayat-ayat Allah dan tandatanda kenabiannya, tentu kita yakin bahwa Nabi Muhammad SAW. adalah utusan
Allah, dan percaya akan wahyu-Nya. Tentu kita pun mengetahui segla yang
dii'tikadkan oleh Ulama Salaf yang saleh, bahwa setiap Mu mm kelak di akhirat akan
melihat Allah, karena Allah ada, dan adanya tidak pada jihad yang dibatasi. Telah
kita ketahui pula, bahwa al-Qur'an merupakan firman Allah yang Qadim, bukannya
makhluk, yaitu bukan huruf yang terpisah-pisah, bukan pula suara. Karena jika
demikian, sudah barang tentu termasuk sifat-sifat yang dipunyai makhluk.
Akan kita ketahui pula, bahwa ud ak akan terjadi lintasan hati dan lirikan mata,
baik di alam atas maupun bawah, kecuah dengan ketetapan dari Allah, takdir-Nya
atau kehendak-Nya. Dan dari Allah pula segala yang ba lk dan buruk, yang bermanfaat dan madharat, yang iman dan yang kufur. Sebab, tidak wajib bagi Allah
berbuat sesuatu untuk makhluknya.
Kemudian, orang yang mendapat pahala, adalah semata-mata karena karuniaNya, dan yang mendapatkan siksa, tidak lain karena keadilan Allah.
Kita ketahui pula, semua yang disebutkan Raulullah SAW. mengenai urusan
akhirat, mahsyar: bangkit dari kubur, siksa kubur, malaikat Munkar dan Nakir, Mizan
dan Sbirath, semuanya meng-i'tikad-kan bahwa itu merupakan pokok-pokok jalan
yang harus ditempuh dan dipegang oleh salaf ahli surga, setelah ijma' ahli sunnah,
sebelum timbul bid ah dan kesesatan.
Semoga Allah melindungi kita dari perbuatan bid'ah dalam agama, dan
menuruti hawa nafsu tanpa kendali.
Kemudian, kita harus mengetahui tingkah laku hati dan kewajiban batin beserta
larangan-larangannya, seperti yang diterangkan dalam kitab Minhajul- 'Abidin ini,
agar mendapatkanilmunya. Selanjutnya, harus kita kenal pula apa-apa yang harus
kita amalkan, seperti thaharah, shalat, puasa, dan sebagainya.
Dengan demikian, berarti kita telah mengetahui segala yang di-fardhu-kan
kepada kita oleh Allah dalam masalah ilmu, dan kita sudah termasuk golongan
ulama umat Muhammad yang patuh dalam hal menuntut ilmu.
Jika kita beramal dengan disertai ilmu dan giat mencari kemuliaan akhirat,
berarti kita telah menjadi hamba Allah yang 'alim. Dan dengan kesadarannya,
beramal hanya karena Allah, tidak jahil dan tidak lalim. Maka, bagi kita kemuliaan
yang amat besar, dan bagi ilmu kita mempunyai nilai yang tinggi dan pahala yang
melimpah. Kita telah menyelesaikan 'aqabah ini, dan menaruhnya di samping kita, di
samping memenuhi haq-nya dengan izin Allah. Hanya kepada Allahlah kita
mengharapkan petunjuk, taufik, dan kemudahan. Sesungguhnya Allah Maha
Penyayang.
Wala haula wala quwwata illa billahil 'aliyyil 'azhim.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar