Kamis, 12 Mei 2022

AQABAH 3. AWAIQ

 


AQABAH 3. AWAIQ
Terjemahan kitab minhahul ambidin (imam gazhali)


'Aqabah ketiga, adalah 'aqabah awaiq, yakni tahapan godaan (penghalang).
Hai orang-orang yang menuntut ibadah, semoga Allah melimpahkan taufik
kepada kita. Kita harus mampu menghalau flntangan dan godaan dalam ibadah itu,
sehingga ibadah kita tegak dan kokoh.
Telah kami sebutkan, bahwa penghalang (godaan) ibadah ada empat macam:
Pertama. Dunia dan isinya.
Yang dimaksud dengan dunia adalah semua yang tidak bermanfaat untuk
akhirat.
Untuk menyelamatkan diri dari segala godaan (rintangan), klta harus menjauhi
dan memalingkan dari dunia itu, yakni jiwa dan raga tidak sepenuhnya hanya untuk
mencari bekal di dunia.
Adapun yang mengharuskan kita berbuat demikian adalah:
1. Agar ibadah kita harus dan banyak. Sebab, jika tertarik oleh
dunia, seluruh perhauannya akan tertuju padanya. Sedangkan. duma
h.anya akan merepotkan lahir maupun batin, sehingga lalai mengerjakan
ibadah.
Siang malam, seseorang sibuk mencari bekal dunia, dan hatinya tergoda
oleh bermacam keinginan dan hawa nafsu. Keduanya akan merintanginya
untuk beribadah, sebab perhariannya hanya satu, yakni dunia. Jika seseorang
telah disibukkan oleh suatu urusan, maka ia akan memutuskan urusan yang
lam. Sedangkan dunia dan akhirat ibarat dua wanita yang dimadu. Jika
seseorang dapat menggembirakan yang satu, maka yang satu lagi akan kecewa!
Atau, dunia dan akhirat itu ibarat masyriq dan maghrib. Jika cenderung kepada
salah satunya, tentu akan berpaling dari yang lainnya. Jika kita menghadap ke
barat, tentu kita membelakangi arah timur. Dan jika kita pergi ke timur, tentu
kita meninggalkan barat.
Sedang menyeimbangkan dunia dan ibadah, seperti diriwayatkan oleh Abu
Darda' ra, "Aku berkeinginan menghimpun dagang dengan ibadah. Tetapi,
kedua-duanya tidak dapat berkumpul. Maka, aku memilih ibadah dan
meninggalkan dagang."
Itu adalah tariqat Abu Darda' ra: Ada juga tariqat Abdur Rahman bin 'Auf.

Beliau dapat menjalankan ibadah sambil berdagang. Dengan demikian, tariqat
itu bermacam-macam, tergantung kekuatan dan kemampuan masing-masing.
Jalan untuk itu banyak sekali, sebagaimana sabda Rasulullah SAW.:
Jalan untuk beribadah kepada Allah itu banyak, sebanyak nafas
makhluk.
Ada orang yang sampai kepada Tuhan dengan menuntut ilmu. Ada yang
dengan sedekah, karena menolong masyarakat, dan lain sebagainya. Semuanya itu
dibenarkan oleh Rasulullah SAW., seperti tariqat Abu Darda', yang hanya mengambil
ibadah dan meninggalkan dagang. Sebab, beliau, meskipun tidak berdagang, bekal
untuk hidupnya sudah cukup tersedia.
Jika seseorang merasa tenteram dengan sesuatu hal, misalnya dalam mencari
rezeki sambil beribadah, maka ia tidak perlu meninggalkannya. Orang yang sudah
merasa tenteram mengerjakan ibadah sambil berusaha ala kadarnya, hendaknya
tidak berkeinginan menjadi saudagar besar hingga meninggalkan ibadah. Demikian
pula, seorang saudagar kaya raya yang merasa tenteram menjalankan ibadah,
hendaknya tidak membuang hartanya sia-sia, sebab dikhawatirkan setelah
hartanya habis dibuang, ibadahnya pun menjadi berhenti.
Sayyidina Umar ra, berkata, "Jika dunia dan akhirat dapat berkumpul pada
orang lain, tentu pada diriku pun dapat. Sebab aku diberi oleh Tuhan kekuatan
dan kehalusan."
Dengan memperhatikan riwayat tersebut, hendaknya memilih yang selamat
dan meninggalkan yang tidak kekal. Karena, keselamatan itu diberikan oleh
Tuhan kepada orang yang mengikuti petunjuk. Dan inilah pilihan orang yang beriman kepada akhirat. Adapun orang yang tidak beriman kepada akhirat, tentu
akan memilih dunia yang fana dan meninggalkan akhirat.
Sedangkan yang memasygulkan dunia dalam hati seseorang, adalah karena
banyaknya keinginan yang membuatnya cinta dunia. Sabda Rasulullah SAW.:
Barangsiapa mencintai dunia, urusan akhiratnya akan tercecer.
Dan barangsiapa mencintai akhirat, akan berkurang dunianya.
Dan pilihlah yang kekal daripada yang cepat binasa. (H.R.
Bukhari dan Muslim).
Mengamalkan hadits tersebut, seseorang tidak akan kepayahan atau
rendah. Sebab, semua perbuatan jika dimaksudkan untuk akhirat, sudah bukan
dunia lagi. Misalnya, seorang pedagang yang punya mat agar mendapatkan

rezeki untuk bekal ibadah. Dagang yang demikian termasuk amal akhirat selama
niatnya benar-benar dilaksanakan.
Jelaslah, bila lahiriyah seseorang sibuk hanya mencari bekal dunia,
demikian pula batinnya, ia akan merasa sukar beribadah dengan sebenarbenarnya. Akan tetapi, jika berpaling dari dunia lahir batin, akan terasa mudah
mengerjakan ibadah. Bahkan, setiap anggota badan akan menolongnya untuk
beribadah.
Sayyidina Salman al-Farisi ra. berkata, "Sesungguhnya hamba Allah, jika
ber-zuhud terhadap dunia, bersinarlah hatinya dengan hikmah, dan anggota
badannya saling menolong untuk beribadah”.
Kedua: Zuhud memperbanyak dan mempertinggi nilai amal.
Rasulullah SAW. bersabda:
Dua raka'at dari seorang alim yang hatinya zuhud lebih baik dan
lebih disukai Allah daripada ibadahnya orang lain yang dilakukan
hingga bari kiamat. Sebab, ibadah tanpa ilmu tidak bernilai.
Bila ibadah lebih mulia dan lebih banyak pahalanya dengan zuhud, maka
wajib atas orang-orang yang menginginkan beribadah dengan benar ber-zuhud
dan tajarrud terhadap dunia.
Penyusun berpendapat, bahwa zuhud bukan hanya untuk keselamatan
akhirat, tetapi juga untuk keselamatan dan kebahagiaan dunia yang semurnimurninya. Sebab, dengan zuhud tidak akan ada orang yang melakukan
kejahatan. Seperti korupsi, mementingkan diri sendiri, dan sebagainya. Dengan
demikian, akan terwujud kemajuan dunia yang benar-benar murni. Dan dengan
zuhud, tidak akan ada orang yang meremehkan urusan-urusan penting yang
dapat membuat dunia maju. Seperti urusan teknik, ekonomi, sosial, dan
sebagainya.
Menurut para ulama, zuhud itu ada dua macam:
1. Zuhud yang mampu dikerjakan oleh hamba Allah.
2. Zuhud yang tidak dapat dikerjakan oleh hamba Allah.
Sedangkan zuhud yang mampu dikerjakan hamba Allah ada tiga macam:
1) Tidak mengejar kesenangan dunia yang tidak ia miliki.
2) Membagikan kesenangan dunia yang terkumpul padanya.
3) Tidak menghendaki dunia dalam hatinya dan tidak

mengusahakannya.
Adapun zuhud yang tidak mampu dilakukan oleh hamba Allah adalah segala
sesuatu yang tidak dapat mempengaruhi hatinya untuk meninggalkan ibadah.
Dan zuhud yang mampu dilaksanakan hamba Allah merupakan
pendahuluan bagi zuhud yang tidak mampu dilaksanakan hamba Allah.
Bila seseorang mampu melakukan zuhud yang maqdur (mampu), yaitu tidak
menuntut dunia yang tidak ia miliki, dan dapat membagikan segala yang ada
padanya dengan jalan yang diridhai Allah, serta hatinya tidak menghendaki
dunia dan tidak mengusahakannya karena mengharapkan ridha Allah dan ingat
akan besarnya bahaya dunia, berarti ia telah mewarisi sikap acuh dan masa
bodoh terhadap dunia. Dan itulah hakikat zuhud!.
Selanjutnya, dari ketiga macam zuhud di atas, yang paling sukar adalah tidak
adanya keinginan terhadap dunia.
Banyak orang yang meninggalkan dunia hanya lahiriahnya. Padahal, hatinya
sangat mencintai dunia, bahkan hatinya tenggelam dalam pergulatan dan
penderitaan yang sangat payah. Sedangkan zuhud, seluruhnya terletak dalam
urusan ini, yakni meniadakan keinginan hati (tidak tergila-gila dan tidak mabuk
dunia).
Allah Ta'ala berfirman:
Negeri akhirat itu, Kami jadikan untuk orang-orang yang tidak
ingin menyombongkan diri dan berbuat kerusakan di (muka) bumi ....
(al-Qashash: 83).
Allah telah menggariskan syarat untuk dapat masuk surga, yakni dengan
tidak adanya keimanan, dan bukan dengan tidak mencari dan mengerjakan yang
dikehendaki itu.
Barangsiapa yang menghendaki keuntungan di akhirat akan Kami
tambah keuntungan itu bagmya .... (asy-Syura. 20).
...dan barangsiapa yang menghendaki keuntungan di dunia Kami
berikan kepadanya sebagian dari keuntungan dunia dan tidak ada
baginya suatu bagIan pun di akhirat. (asy-Syura: 20).
Barangsiapa menghendaki kehidupan sekarang (duniawi), maka
Kami segerakan baginya di dunia itu apa yang Kami kehendaki ....
(al-Isra': 18).
Dan firman-Nya pula:
Dan barangsiapa yang menghendaki kehidupan akhirat dan

berusaha ke arah itu dengan sungguh-sungguh, sedang ia adalah
Mu'min, maka mereka itu adalah orang-orang yang usahanya dibalasi
dengan baik. (al-Isra: 19).
Jelas bagi kita, bahwa keterangan-keterangan itu ditujukan kepada masalah
keinginan. Oleh sebab itu, masalah keinginan merupakan satu urusan penting .
BIla seseorang menempatkan diri di atas dua perkara tersebut, yakni
membagikan kesenangan dunia yang ada pada dirinya dengan maksud mencari
keridhaan Allah, serta tidak mengejar yang tidak la miliki, maka besar harapan ia
memperoleh karunia dan taufik Allah untuk mengusir keinginan terhadap duma
dan mengusahakan dunia dengan lahirnya. Sesungguhnya Allah Maha Pemberi,
Mahasuci, dan Mahaagung.
Kemudian, yang menjadi pendorong untuk tidak menuntut tanpa
dibagikannya yang ada dengan perasaan ringan, adalah karena mengingat
bahaya dan aibnya dunia ini.
Dalam satu riwayat disebutkan, bahwa Nabi SAW. pernah menemukan
bangkal seekor kambing. Kemudian, beliau bertanya kepada sahabat, "Mengapa
bangkai ini dibiarkan begitu saja oleh pemiliknya?" Jawab sahabat, "Karena
tidak berharga lagi, maka pemiliknya melemparkan dan tidak menghiraukannya
lagi."
Maka Nabi Muhammad SAW. bersabda:
Demi Allah yang menguasai diriku, bahwa dunia ini lebih rendah
di hadapan Allah daripada bangkai kambing di mata pemiliknya.
Jika sekiranya harga dunia ini sebanding dengan sayap nyamuk, maka tidak
akan diberikan kepada kaum kafir barang seteguk air pun.
Nabi SAW. juga bersabda:
Dunia ini terkutuk, dan terkutuk pula segala isinya, kecuali yang
digunakan untuk apa-apa yang diridhai Allah.
Dan masih banyak lagi keterangan dari para ulama mengenai bahaya dan
keaiban dunia ini. Di antaranya keterangan Sayyidina Yahya bin Mu'adz. Beliau
mengatakan bahwa dunia adalah kedai setan. Dan janganlah kita mencuri
sesuatu darinya, sebab kelak ia akan datang kepada kita untuk menuntut balas.
Fudhail Iyad rahimahullah berkata, "Jika diibaratkan, dunia ini ibarat emas
yang lekas rusak. Dan akhirat ibarat tembikar yang awet dan tahan lama. Yang lebih
baik dipilih tentunya tembikar yang awet daripaqa emas yang lekas rusak. Dan lebih
salah lagi jika seseorang memilih tembikar yang lekas rusak dan meninggalkan emas

yang awet!"
Abu Darda' mengatakan, "Cukuplah mengukur hinanya dunia. Sebab, maksiat
hanya ada di dunia. Dan tidak akan mendapatkan keridhaan Allah kecuali dengan
meninggalkan dunia."
Berkata pula orang arif, "Dunia ini ibarat bangkai yang telah membusuk.
Barangsiapa menghendaki itu, harus sabar bergaul dengan anjing-anjing."
Dan dari sinilah diambilnya kata-kata kesohor yang berbunyi:
Juga diterangkan dalam kitab al-Quut, bahwa sebagian ahli kasyaf berkata,
"Aku melihat dunia dalam rupa bangkai, dan melihat iblis sebagai anjing yang sedang
mendekap bangkai itu." Kemudian, ada kata-kata dari langit, "Kamu adalah anjinganjingku, dan bangkai itu makhlukku yang kucadangkan untukmu. Barangsiapa
merebutnya darimu, maka aku beri kekuasaan padamu atasnya."
Berkata pula Yahya bin Mu'adz ar-Razi, "Aku tinggalkan dunia karena sedikit
manfaatnya, banyak lelahnya, lekas rusak, dan hina sekutu-sekutunya."
Al-Imam rahimahullah juga berkata, "Datanglah bau semerbak yang menawan.
Sebab, orang yang menyesali perpisahan, tentu ingin bertemu. Dan barangsiapa
meninggalkan sesuatu untuk sekutunya, tentu lebih suka menyendiri."
Maka, perkataan yang paling tepat untuk menerangkan bahaya dunia
adalah sebagaimana diucapkan al-Imam rahimahullah, "Sesungguhnya dunia ini
musuh Allah, sedangkan engkau mencintai-Nya. Barangsiapa mencintai seseorang,
tentu membenci musuh orang itu."
Katanya pula, "Sesungguhnya dunia ini kotor dan penuh bangkai. Lihatlah,
menjijikkan dan akhirnya rusak, binasa, lenyap dan habis sama sekali. Akan tetapi, ia
bercampur dengan wewangian yang dibungkus dengan kemewahan. Maka orangorang
lalai dan bodoh akan tertipu dengan keadaan lahirnya. Tetapi, orang yang sadar dan
mengetahui yang sebenarnya akan membenci dunia."
Apakah hukumnya membenci dunia, wajib atau sunat? Seperti kita ketahui,
ada zuhud halal mengenai dunia, dan ada pula yang haram. Adapun zuhud
mengenai yang haram adalah tentang fardhu, sedangkan mengenai yang halal
adalah sunnah.
Terhadap dunia yang haram ini, orang yang benar-benar taat
memandangnya sebagai bangkai, dan tidak akan mengambilnya kecuali dalam
keadaan darurat. Dan mengambilnya pun sekadar menolak darurat it

Sedangkan zuhud mengenai yang halal, yakni yang dapat dilaksanakan oleh
orang-orang yang telah mencapai tingkatan abdal - bagi mereka, dunia yang
halal ini kedudukannya sebagai bangkai - dan mengambilnya hanya karena
kewajiban.
Sedangkan dunia yang haram, para abdal memandangnya sebagai api. Tidak
terlintas dalam hatinya untuk mengambil barang sedikit pun.
Dan inilah arti acuh (masa bodoh), yakni menghilangkan pikiran terhadap
dunia, memandangnya kotor, dan mengingkarinya. Dan tidak ada niat dalam
hatinya untuk memiliki dan mengusahakan.
Bagaimana mungkin seseorang memandang dunia sebagai api atau
bangkai. Padahal, dunia ini penuh dengan keinginan dan kelezatan yang ajaib,
dan selalu menjadi idaman setiap manusia. Sedangkan bentuk badannya
sedemikian rupa, dan tabiatnya sangat haus akan dunia.
Kita harus yakin, bahwa orang yang diberi taufik, dan percaya akan bahaya
dan kotornya dunia, akan mudah memandang dunia ini sebagai api atau
bangkal.
Dan orang yang merasa haru terhadap dunia. hanyalah mereka yang
terpikat, yang pikirannya buta dan tidak mau melihat bahaya serta keaiban
dunia, Sesungguhnya, mereka tertipu oleh keadaan lahiriyahnya.
Contoh, ibarat orang membuat kue lengkap dengan syarat-syaratnya,
menggunakan gula yang cukup, dan ditambah sedikit racun yang berbahaya. Di
saat itu ada orang yang melihat, ada pula yang tidak melihatnya. Setelah selesai,
kue dihidangkan kepada dua orang tersebut, dengan ditaburi hiasan yang mengundang selera. Bagi orang yang mengetahui bahwa didalamnya terdapat racun,
pasti akan menjauhi dan tidak ada niat untuk memakannya. Ia tidak menoleh
sedikit pun, karena seolah-olah dirinya sedang disuguhi hidangan berupa api,
Sebab, ia mengetahui dengan yakin bahwa kue itu berbahaya dan la tidak mau
tertipu oleh hiasan luarnya.
Sedangkan yang seorang, karena tidak mengetahui adanya racun dalam kue
itu, tertarik akan hiasan luarnya. Ia ingin sekali segera menyantapnya. Selain itu,
la sangat heran kepada orang yang tidak mau menyantap kue itu. Dan orang itu
menganggapnya bodoh.
Demikianlah perumpamaan dunia yang haram dalam pandangan orangorang yang waspada dan selalu menJauhmya, dan orang-orang dungu yang

tertarik olehnya.
Adapun bila kue tersebut tidak dibubuhi racun, tetapi hanya diludahi atau
diingusi, kemudian ditaburi hiasan, maka orang yang melihat akan merasa jijik
dan menjauhinya. Ia tidak akan mendekatinya kecuali dalam keadaan terpaksa.
Dan orang yang tidak mengetahui hal itu akan tertipu oleh keindahan
luarnya. Dikarenakan ketidaktahuannya itu, akan timbul selera untuk
menyantapnya.
Perbedaan pendapat antara dua orang itu disebabkan yang satu selalu
bersikap hati-hati dan berilmu, dan yang satunya lagi karena bodoh dan
sembrono. Meskipun, keadaan fisik dan tabiat mereka sama.
Kalau saja pencinta dunia itu mengetahui, seperti halnya yang zuhud, tentu
ia pun akan menjadi zuhud. Demikian pula yang zuhud, bila ia bodoh seperti
pencinta dunia, pastilah akan menjadi pencinta dunia pula.
Dengan demikian perbedaan kedua orang tersebut bukan dikarenakan
tabiat, melainkan disebabkan oleh kewaspadaan.
Perumpamaan tersebut sangat bermanfaat, di samping merupakan
pembicaraan yang benar yang diakui oleh orang-orang berakal dan sadar. Allah
jualah Pemberi petunjuk dan taufik dengan karunia-Nya.
Memang, kita butuh makan dan sebagainya. Dan hukum zuhud
menyangkut benda yang berlebih-lebihan dari keperluan yang dibutuhkan
untuk kesehatan jasmani dengan tujuan dapat beribadah kepada Allah. Bukan
bertujuan untuk berfoya-foya atau bermegah-megahan.
Bahwasanya Allah Kuasa memberi kekuatan dengan sesuatu dan dengan
sebab, jika Dia menghendaki. Demikian pula Kuasa memberikan kekuatan
dengan tanpa sebab, seperti memberikan kekuatan kepada para malaikat
'alaihimus salam.
Kemudian, jika Allah menghendaki memberikan kekuatan dengan adanya
sebab, maka sebab itu pun disediakan oleh Allah dengan atau tanpa usaha kita.
Jika Allah menghendaki sesuatu, tanpa kita cari dan usahakan, dengan tidak
disangkasangka, Allah akan memberikan kepada kita.
Sehubungan dengan hal itu Allah Ta'ala berfirman:
Barangsiapa yang bertakwa kepada Allah, niscaya Dia akan
mengadakan baginya jalan keluar, dan memberinya rezeki dari arah

yang tiada disangka-sangka ... (ath-Thalaq; 2-3).
Jika demikian, tidak ada lagi bagi kita 'ingin.' dan 'mencari, Tetapi jika kita
tidak kuat berzuhud seperti itu karena lemah dan masih mempunyai keinginan
untu mencari, maka berniatlah agar 'ingin' dan 'mencari' sebagai persiapan dan
penguat untuk beribadah kepada Allah, bukan untuk memenuhi syahwat dan
kelezatan. Jika kita telah berniat demikian, maka mencari dan menginginkan
sesuatu menjadi baik. Dan pada hakikatnya, kita telah termasuk orang yang
menuntut kebaikan akhirat, bukan penuntut keduniaan, serta tidak mengurangi
zuhud dan tajarrud untuk beribadah.
Yakinlah dengan keterangan yang kami sebutkan di atas. Mudah-mudahan
kita menemukan kebenaran, dan kepada Allah jua kita mohon pertolongan.
Kedua: Makhluk Tuhan.
Sebagian lagi, penghalang ibadah dari yang empat adalah makhluk. Maka,
wajib bagi kita menjauhmya. Semoga Allah melimpahkan taufik-Nya kepada
kita agar taat kepada-Nya.
Sedangkan yang mewajibkan kita agar menjauhi makhluk ada dua perkara:
Pertama: Sebab, kebanyakan makhluk akan memalingkan kita dari ibadah
dengan memasukkan kebingungan-kebingungan dalam hati kita. Seperti telah
dikisahkan oleh sebagian ulama, "Aku menemui sekelompok orang yang sedang
bermain panah. Di antara mereka ada yang sedang duduk menyendiri, Jauh dan
kawan-kawannya. Kemudian aku mengajaknya berbincang-bincang, tetapi ia
mengatakan bahwa berdzikir kepada Allah lebih baik daripada berbincang-bincang
denganku.”
Aku katakan, "Engkau menyendiri terpisah dari kawan-kawanmu”.
Jawabnya: "Ah tidak, aku tidak sendiri. Tuhanku dan kedua malaikat di kirikananku."
Kataku, "Siapakah yang menang di antara mereka?"
Ia menjawab, "Yang mendapatkan ampunan Tuhan."
Kataku, "Yang mana jalan ke sana?"
Ia mengarahkan tangannya ke atas. Lalu berdiri dan pergi meninggalkan aku.
sambil berkata, "Ya Allah, kebanyakan makhluk itu memalingkan aku dari Engkau. "
Jika demikian, sebagian besar makhluk itu membimbangkan kita beribadah.
Bahkan, terkadang menghalangi dan membawa kita kepada keJahatan dan

kebinasaan. Sebab, kebanyakan dan mereka tidak mengetahui hak-hak kehambaan
dan hanya mengetahui kehidupan dunia ini secara lahiriyah. Untuk akhirat, mereka
lalai dan tidak memikirkannya.
Hatim al-Asam rahimahullah mengatakan, "Aku minta kepada makhluk
(manusia) lima perkara, tetapi aku tidak mendapatkannya. "
1) Aku minta agar mereka taat dan zuhud. Tetapi, mereka ndak mau
mengerjakannya.
2) Aku minta agar mereka menolongku dalam taat dan zuhud, tetapi mereka
tidak mau juga.
3) Aku minta agar mereka rela jika aku taat dan zuhud tetapi mereka justru
membenciku.
4) Aku minta agar mereka tidak menggangguku. Tetapi mereka menghalangiku
dari taat dan zuhud.
5) Aku minta agar mereka tidak mengajakku kepada Jalan yang tidak diridhai Allah
dan memusuhiku jika aku tidak mengikuti jalan mereka. Ternyata mereka tidak
bersedia juga.
Untuk itu, aku tinggalkan mereka, dan aku mengurus diriku sendiri.
Perlu kita ketahui, bahwa Nabi Muhammad SAW. telah melukiskan
zaman'Uzlah (menyendiri) serta sifat-sifatnya. Dan beliau memerintahkan untuk
'uzlah pada masa itu. Sesungguhnya, beliau lebih mengetahui hal-hal yang menjadi
kebaikan kita dalam agama dan dunia. Dan beliau lebih menghendaki kebaikan
untuk kita dan dari kita.
Jika kita mengalami masa sebagaimana diterangkan di atas hendaknya
menuruti perintah Rasulullah SAW., dan menerimanya dengan sepenuh hati akan
nasihat-nasihatnya. Di samping itu, jangan ragu-ragu bahwa Nabi SAW., lebih
mengetahui kemaslahatan-kemaslahatan untuk diri kita pada zaman yang kita alami
itu. Jangan sekali-kali kita mengeluarkan alasan palsu, dan janganlah menipu diri
sendiri. Jika tidak demikian, maka kita termasuk orang yang celaka dan tidak
terampuni.
Hadits yang diriwayatkan oleh Abdu 'I-Lah bin Amr bin 'Ash ra. mengatakan,
"Pada saat kami berkumpul di hadapan. Rasulullah dan diceritakan tentang
adanya godaan-godaan (fitnah) maka Nabi SAW. bersabda, 'Di mana-mana
kalian melihat manusia-manusia merusak janjinya serta sedikit amanatnya.
Dan mereka sudah mencampuradukkan kebaikan dan kejahatan

Aku tanyakan, "Jika sudah menjadi demikian, apa yang harus kami perbuat ya
Rasulullah?"
Jawab Rasulullah, "Menetaplah kamu di rumah. Dan kendalikan lidahmu,
ambillah apa yang kau ketahui baik, dan tinggalkan apa yang tidak engkau kenal. Dan
perbaikilah urusan dirimu, serta tinggalkan urusan umum."
Dalam hadits lain, Rasulullah SAW. menyebut zaman fitnah itu, sebagai zaman
kacau, bunuh membunuh, dan sebagainya.
Ibnu Mas'ud bertanya kepada Rasulullah, "Apakah yang dimaksud dengan
zaman kacau itu?"
Jawab Rasulullah, "Yaitu bila seseorang merasa tidak aman dari kejahatan
temannya, apalagi dari orang lain."
Ibnu Mas'ud ra. menceritakan pula kepada Harits bin Umairah suatu hadits
yang berbunyi, "Hai Ibnu Mas'ud, jika umurmu panjang kelak akan tahu, bahwa akan
datang satu zaman di mana banyak ahli pidato tetapi sedikit orang alim. Banyak
peminta sedikit pemberi, dan hawa nafsu mengalahkan ilmu. "
Ibnu Umairah bertanya, "Ya Rasulullah, kapan akan terjadi zaman itu?"
Sabda Rasulullah SAW., "Yaitu jika shalat tidak lagi menjadi perhatian, suapmenyuap telah membudaya, dan agama telah dijual untuk kepentingan dunia.
Maka, carilah keselamatan, carilah keselamatan!"
Kataku, "Semua yang telah disebutkan dalam hadits itu akan engkau lihat
zamannya dan penghuninya. Untuk itu pikirkanlah segala yang bermanfaat bagi
dirimu."
Orang-orang saleh terdahulu bersepakat untuk berhati-hati menghadapi
zaman dan penghuni-penghuninya, mengutamakan 'uzlah dan menganjurkan
agar saling mengingatkan.
Jadi, salafus shalih adalah waspada dan banyak menasihati, bahwa zaman
setelah mereka tidak akan lebih baik dari sebelumnya. Bahkan akan lebih parah
dan pahit.
Zaman buruk itu, sebagaimana disebutkan oleh Yusuf bin Atsbat, "Saya
mendengar Imam Sufyan ats-Tsauri berkata, 'Demi Allah yang tiada Tuhan
selain-Nya, bahwa zaman sekarang ini sudah masanya untuk 'uzlah. "
Kataku, "Jika zaman Sufyan ats-Tsauri sudah masa 'uzlah, apalagi zaman'
sekarang ini, bahkan menjadi wajib (fardhu)."

Sufyan bin Sa'id pernah mengirim surat kepada Abbad al-Khawwas, yang
bunyinya, "'Amma ba'du. Kini, saudara telah berada pada zaman yang di-ta'udzkan oleh para sahabat Nabi SAW. agar tidak mengalaminya. Padahal, mereka
orang-orang pandai agama yang tidak kita miliki. Bagaimana kita menghadapi
zaman itu dengan sedikit ilmu dan kesabaran, juga sedikit kawan dalam
mengerjakan kebaikan. Ditambah lagi dengan kekeruhan dan kerusakan akhlak
manusia."
Sayyidina Umar bin Khaththab berpendapat bahwa 'uzlah adalah
membebaskan diri dari pergaulan buruk.
Seperti yang dikatakan lewat sya'ir berikut ini:
Inilah zaman yang sejak dulu kita takuti, sebagaimana diterangkan dalam
pernyataan Ka'ab dan Ibnu Mas'ud.
Yaitu zaman di mana segala kebenaran ditolaknya, sedangkan kezhaliman
dan kejahatan mendapat sambutan.
Zaman buta-tuli yang sarat dengan kekeliruan, serta iblis naikturun.
Jika keadaan tetap seperti ini, dan tidak ada perubahan, niscaya tidak ada
mayat yang ditangisi dan tidak ada kelahiran bayi yang disambut gembira.
Maka, orang akan mengatakan, "Untung orang itu mati meninggalkan
zaman yang sangat buruk ini."
Dan ia akan mengatakan pula, "Kasihan, bayi itu lahir pada masa yang
sangat buruk."
Sufyan bin Uyainah berkata kepada ats-Tsauri, "Berilah saya wasiat."
Jawab ats-Tsauri, "Kurangi pergaulanmu dengan orang lain! "
Nah, bukankah telah diterangkan dalam hadits agar kita memperbanyak
berkenalan. Seperti hadits riwayat Hakim dari Sayyidina:
Perbanyaklah berkenalan dengan orang Mu'min. Sebab pada
setiap Mu'min terdapat syafa'at pada hari kiamat kelak. Jawab atsTsauri, "Ya, tetapi engkau tidak akan menemukan kekecewaan kecuali
dari orang-orang yang engkau kenal. "
Sufyan bin 'Uyainab berkata, "Hal itu aku benarkan. "
Setelah beliau wafat, beberapa tahun kemudian aku melihatnya dalam
mimpi. Dan sekali lagi aku minta wasiat kepadanya. Beliau menjawab,
"Kurangilah sedapat mungkin berkenalan dengan orang-orang, sebab

melepaskan diri dari gangguan mereka sangat sukar."
.
Ada lagi sya'ir yang berbunyi:
Sejak terdapat uban di kepalaku, senantiasa aku meneliti
keadaan manusia dan membuka rahasia, bahwa setiap orang yang aku
kenal selalu ada sesuatunya.
Semoga Allah membalas kebaikan orang-orang yang tidak saya
kenal. Setiap dosa yang membawaku kepada keburukan disebabkan
aku mencintai orang yang tidak tahu bersyukur.
Pada pintu rumah ats-Tsauri, kata Ibnu 'Uyainah, menurut Uqil, terdapat
tulisan:
Terimakasih, semoga Allah membalas kebaikan orang-orang yang
tidak kita kenal, dan tidak berterimakasih kepada teman-teman kita,
yang mana gangguan-gangguan itu sering datang dari mereka."
Dan mereka menggubah sya'ir tentang makna tulisan yang terdapat pada pintu
tersebut:
Fudha'il rahimahullah berkata, "Zaman ini mengharuskan kamu menjaga lidahmu
dan menyembunyikan dirimu, serta memperbaiki hatimu, dan ambillah yang baik, serta
tinggalkan yang munkar."
Sufyan ats-Tsauri mengatakan, "Zaman ini mengharuskan tutup mulut, tinggal di
rumah, rela dengan yang ada hingga datang ajal"
Berkata Daud ath-Tha'i meminta wasiat Sufyan ats-Tsauri. Jawab ats-Tsauri,
"Berpuasalah engkau sejak di dunia hingga di akhirat berbuka, kemudian larilah dari
manusia seperti engkau lari dari singa."
Abu Ubaidah juga menjelaskan, "Aku belum pernah melihat seorang bijaksana
(hakim) melainkan pada akhir katanya meng ucapkan, 'Jika engkau menyukai agar
dirimu tidak dikenal manusia, maka engkau akan mendapatkan kedudukan tinggi dari
Allah."
Sedangkan pembahasan bab 'uzlah itu lebih banyak dari apa yang terkandung
dalam kitab Minhajul 'Abidin ini. Dan kami telah menyusun satu kitab khusus yang
mengupas bab 'uzlah itu. Buku tersebut berjudul:
Jika pembaca membaca buku tersebut akan menemukan suatu keanehan-

keanehan.
Bagi orang-orang yang berakal cukup hanya dengan isyarat-isyarat. Dan Allah
jualah Pemberi Taufik dan hidayah dengan karunia-Nya.
Kedua: Kebanyakan manusia dapat merusak ibadah yang telah kita laksanakan.
Dengan ajakannya yang menjurus kepada perbuatan riya dan bermegah-megahan,
jika tidak ada perlindungan dari Allah SWT. Kiranya tepat apa yang dikatakan Syaikh
Yahya bin Mu'adz, bahwa manusia bagaikan hamparan riya. Para leluhur saleh dan
zubud takut dirinya terkena riya dan kemegahan itu. Sehingga mereka
menghindarkan diri serta saling bertemu dan berziarah.
Rasulullah SAW. bersabda:
Sesungguhnya yang sangat aku khawatirkan atas kamu adalah
Syirkul asgbar (musyrik kecil), yakni riya.
Dalam Hadits Qudsi diterangkan, bahwa pada hari pembalasan, Allah berfirman
kepada orang-orang yang suka berbuat riya, “Pergilah kamu kepada orang-orang
yang kamu riyakan. Dan lihatlah! Apakah mereka mampu memberikan pahala
untukmu?”
Rasulullah SAW. bersabda:
Mintalah perlindungan kepada Allah SWT. agar kamu selamat
dari liang kesedihan, yaitu lubang yang disediakan dalam neraka
jahanam bagi para ulama yang suka berbuat riya.
Diriwayatkan, bahwa Hatim Ibnu Hayan berkata kepada Uwais al-Qarni, ''Ya
Uwais, silakan kamu datang bertamu dan menemuiku."
Jawab Uwais, "Aku telah bersilaturrahmi terhadapmu dengan cara yang
lebih bermanfaat, yakni berdoa dari jauh. Sebab, bertamu dan berjumpa itu
melahirkan hiasan dan riya."
Ketika Sulaiman al-Khawwas datang kepada Ibrahim bin Adham ada yang
bertanya, "Mengapa tuan tidak datang kepadanya?"
Jawabnya, "Aku lebih suka bertemu dengan setan jahat daripada bertemu
dengan dia."
Semua hadirin terkejut mendengar jawaban itu. Kemudian beliau
mengatakan, "Aku takut menghiasi diriku dan perkataanku, sebab beliau, jika
aku bertemu dengan setan, aku tidak akan ambil peduli terhadapnya."
Al-Imam Abu Bakar al-Warraq pernah bertemu dengan seorang arif.

Kemudian, keduanya mengadakan tukar pikiran lama sekali. Setelah selesai,
masing-masing membuat pernyataan. Bunyi pernyataan al-Imam Abu Bakar,
"Aku tidak menyangka akan mendapatkan keberuntungan yang lebih besar dari
pertemuan ini." Kata orang arif, "Tetapi, bagi saya tidak ada pertemuan yang
lebih mengkhawatirkan dari pertemuan ini. Sebab, tentu engkau memilih
ucapan dan pengetahuan yang baik untuk kau sampaikan kepadaku. Demikian
pula aku terhadapmu. Maka, di saat itu terjadi riya."
Kemudian ia menangis lama sekali dan pingsan. Setelah siuman beliau
mengucapkan beberapa bait sya'ir.
Alangkah menakutkan keadaan, ketika Dzat Yang Maha Bijaksana
menjalankan keadilan-Nya.
Aku melawan Allah dengan mendurhakai-Nya, padahal tidak ada Yang
Maha Pengasih selain Dia.
Ya Tuhanku, aku minta ampunan-Mu dari dosa yang ku langgar, dengan
rasa penyesalan.
Pada saat malam tiba, ia berkata sambil mengaduh karena dosa yang
ditutupi oleh Dzat Yang Maha Mengetahui.
Keadaan yang demikian adalah hak para ahli zuhud dan riyadbab untuk
mengadakan pertemuan.
Bagaimana halnya dengan orang yang cinta dunia dan pemalas, juga orangorang yang banyak berbuat keburukan dan orang dungu.
Bahwasanya, zaman sekarang ini. telah menjadi zaman yang di dalamnya
penuh dengan kerusakan besar. Manusia berada dalam kemadharatan yang
parah. Mereka membuat kita ragu dalam beribadah kepada Allah, sehingga
hampir saja kita tidak mendapatkan hasil dari taat. Lantas mereka merusak
ibadah yang telah kita hasilkan sampai kita tidak mampu menghindarinya.
Oleh sebab itu, kita wajib 'uzlah dan mengasingkan diri dari orang-orang seperti
itu. Dan hendaklah kita mohon perlindungan Allah dari kejahatan-kejahatan zaman
ini dan para penghuninya. Allah jualah yang memelihara dan mengasihi kita dari
segala maksiat dengan karunia dan rahmat-Nya.
Mudah-mudahan Allah memberikan rahmat kepada kita.
Dan sesungguhnya manusia dalam bab ini terbagi menjadi dua golongan:
Pertama: Orang, yang oleh manusia lain tidak dibutuhkan sama sekali, baik
ilmu maupun keterangan-keterangannya yang bermanfaat. Sebaliknya, terhadap

orang-orang yang demikian, kita tidak perlu bergaul, kecuali dalam mengerjakan
shalat Jum'ah, berjama'ah, melaksanakan shalat 'led, menunaikan ibadah haji, atau
dalam majlis ilmu, atau pun dalam hubungan kerja (bisnis) yang mengharuskan kita
berhubungan.
Jika tidak bisa menyendiri dan terpaksa berhubungan, hendaknya kita
menyembunyikan jiwa, teguh pendirian. Sebab, kita tidak mengetahui jiwa orang
lain, dan orang lain tidak mengetahui jiwa kita.
Jika seseorang tidak ingin berhubungan dengan orang lain, maka janganlah
mencampuri salah satu urusan mereka. Baik urusan agama maupun urusan
keduniaan, urusan jama'ah atau Jum'ah, dan sebagainya, yang jika ternyata mereka
tidak beribadah, maka tempuhlah salah satu jalan dari dua jalan berikut:
1. Pergi ke suatu tempat, ke puncak gunung, lembah, atau lainnya guna
membebaskan diri dari kewajiban. Dan ini adalah salah satu cara untuk
mendorong seseorang memilih tempat yang jauh dari pergaulan manusia.
2. Jika merasa yakin bahwa kernadharatar- pergaulan yang disebabkan membela
semua kewajiban itu lebih besar daripada meninggalkannya, maka ia
dibenarkan meninggalkannya, dan itu termasuk udzur.
Di Makkah, sebagian Syaikh menyendiri tidak hadir ke Masjidil Haram untuk
berjamaah. Padahal, tempat tinggal mereka dekat, dan keadaannya sehat.
Suatu saat aku bertanya kepadanya, "Mengapa demikian?" Maka ia
menerangkan udzurnya seperti penyusun terangkan di atas, yakni pahala yang
diperoleh tidak sebanding dengan dosa dan tuntutan hati pergi ke Masjid, daripada
bertemu orangorang di jalan dan lainnya.
Kesimpulan: Orang-orang udzur tidak akan mendapat celaan, dan Allah SWT.
sangat mengetahui akan udzur serta segala yang terkandung dalam hatinya.
Akan tetapi jalan yang paling baik adalah jalan pertama.
Bergaul dan bersama-sama dengan orang yang mengerjakan Jum'ah,
berjama'ah dan beberapa kebaikan lainnya, serta menyendiri dalam hal-hal lain
selain dari itu.
Jika menginginkan jalan yang kedua, yaitu sama sekali tak hendak bergaul.
hendaknya ia pergi ke tempat-tempat yang sekiranya dapat menggugurkan hal-hal
yang di-fardhukan.
Sedangkan jalan ketiga adalah berdiam di tempat ramai dan tidak mengerjakan

shalat Jum'ah dan Jama'ah bersama orang lain dengan alasan udzur, karena dapat
menimbulkan dosa dan tuntutan-tuntutan yang haq. Hal ini harus diteliti dalamdalam, dan harus benar-benar terdapat halangan besar yang menyebabkan
gugurnya kewajiban-kewajiban itu.
Dikhawatirkan, jika mengambil jalan ketiga ini akan terdapat kesalahan. Jadi,
jalan pertama dan kedua adalah lebih selamat dan terpelihara.
Allah jualah Yang Memberi Petunjuk dengan Karunia-Nya.
Kedua: Yakni orang-orang yang mempunyai pengikut, dan ilmunya dibutuhkan
oleh masyarakat dalam urusan agama untuk menjelaskan yang benar dan menolak
bid'ah, atau untuk mengajak ke jalan kebaikan dengan perbuatan atau ucapannya.
Maka, golongan ini tidak dibenarkan mengasingkan diri dari masyarakat.
Tetapi, ia harus tegar dan kokoh berada di tengahtengah masyarakat, memberikan
nasihat, menjaga dan memelihara agama Allah, dan menerangkan hukum-hukum
yang ditetapkan oleh Allah SWT.
Rasulullah SAW. bersabda:
Ketika bid'ah dan kesesatan telah tampak dan orang-orang alim
diam membisu, maka jatuhlah kepadanya laknat Allah.
Hal itu terjadi jika orang-orang alim berada di tengahtengah masyarakat. Dan
jika mereka meninggalkan masyarakat, juga tidak boleh berdiam diri.
Ada satu riwayat, al-Ustadz Abu Bakar bin Faruq bermaksud hendak menyendiri
guna beribadah kepada Allah. Sesampainya ke salah satu gunung, ia mendengar
suara, "Wahai Abu Bakar, engkau seorang pembela agama Allah, pemberi
keterangan kepada makhluk-makhluk Allah, dan kini engkau tinggalkan mereka."
Begitu mendengar ucapan itu, kembalilah ia ke tengah masyarakat.
Ma'mun bin Ahmad menceritakan kepadaku, bahwa alUstadz Abu Ishaq
rahimahullah pernah berkata kepada para ahli ibadah di Bukit Lebanon, "Wahai
saudara-saudaraku pemakan rumput, kalian telah meninggalkan umat Muhammad
SAW. di tengah-tengah ahli bid'ah, dan kalian menetap di sini sambil memakan
rumput."
Mereka menjawab, "Kami sudah tidak kuat lagi bergaul dengan ma:syarakat.
Tetapi, tuan diberi kekuasaan oleh Allah, maka tuan harus bergaul dengan
masyarakat."
Setelah mendengar keterangan itu, al-Ustadz Abu Ishaq menyusun kitab yang

menghimpun urusan-urusan lahir dan batin. Jadi, keadaan ahli ibadah di puncak
bukit itu selain memiliki ilmu yang tinggi, juga mempunyai amal yang banyak, serta
penglihatan tajam dalam menempuh jalan akhirat.
Perlu diketahui, bahwa orang seperti ini dibutuhkan oleh masyarakat. Dan
dalam bergaul dengan masyarakat diperlukan dua hal penting:
Pertama: Sabar atas segala penderitaan yang diperoleh dari pergaulan, serta
menganalisanya dengan cara halus dan memohon pertolongan Allah.
Kedua: Bagi yang mempunyai pengikut, meskipun lahirnya bergaul dengan
masyarakat, tetapi hendaknya hatinya menyendiri. Jika mereka bicara dengan baik,
balaslah dengan perkataan yang setimpal. Jika mereka bertemu, hormatilah
menurut derajatnya dan syukuri. Jika mereka diam dan berpaling, ambillah manfaat
dari sikap diam mereka. Jika mereka mengerjakan yang .hak dan kebaikan, bantulah
mereka. Jika mereka mengerjakan hal-hal yang tidak bermanfaat atau kejahatan,
jangan ikuti mereka, jauhilah mereka, dan cegahlah jika sekiranya mereka
menerima. Kemudian, penuhilah hak-hak para tamu dan berkunjung tanpa
mengharapkan balasan dari mereka. Dan jangan menampakkan muka masam
terhadap mereka. Jika mungkin, perbanyaklah menolong mereka. Jika mereka memberi, janganlah bernafsu menerimanya. Hendaknya kuat menanggung akibat dari
sikap mereka. Berusahalah selalu menampakkan muka manis terhadap mereka.
Sembunyikanlah kebutuhan atas mereka. Segala sesuatu hendaknya ditanggung
sendiri, menghilangkan dalam hati dan batin sendiri.
Kemudian introspeksi diri khusus mengenai ketaatan agar dirinya menjadi ahli
ibadah yang mukhlis.
Umar bin Khaththab pernah mengatakan, "Di saat tidur malam, aku melupakan
diriku. Dan di saat tidur siang, berarti aku melupakan rakyat. Bagaimanakah
seharusnya aku tidur di antara keduanya. "
Dari makna ucapan di atas, penyusun gubah dalam bentuk sya 'ir:
Jika hendak mengikuti petunjuk para imam, kuatkanlah dirimu, sanggup
menerima musibah-musibah dengan hati sabar di kala menghadapi setiap
kegetiran.
Dan hati yang sabar terhampar dalam dada, lisan harus dikunci, mata kau
kendalikan, rahasia kau sembunyikan, hanya Allah yang melihatnya, dan
janganlah orang mengenal namamu. Tutuplah pintu, tersenyumlah, perut
terasa lapar, luka hatimu, perniagaan lengang, pangkatmu tenggelam,
kebaikanmu tersohor, dan setiap hari menelan kepahitan akibat zaman dan

kawan, sedangkan hatimu patuh.
Siang kau sibuk mengislahkan orang-orang tanpa mengungkitungkit,
malam kau rindu akan Tuhan, senyap dalam pandangan. Ambillah
kesempatan malam itu, jadikan ia jalan dan persiapan untuk hari kiamat,
yang padanya amat sulit mencari jalan.
Seseorang akan mampu menjalankan demikian, jika dirinya jauh dari
mereka. Namun, hal itu adalah perbuatan yang amat sulit. Sehubungan
dengan hal itu, guru kami pernah berwasiat, "Hai anakku! Hiduplah engkau
bersama orang lain dalam urusan yang hak, dan jangan mengikuti hal-hal
yang buruk." Selanjutnya beliau berkata, "Alangkah payah hidup bersama
generasi kini, dan sangat sulit mengikuti orang-orang saleh yang telah
wafat."
Ibnu Mas'ud mengatakan, "Bergaullah engkau dengan mereka, tetapi
jangan mengikuti hal-hal yang tidak baik. Dan jangan kau cemari agamamu."
Perkataan di atas penuh arti dan sangat memuaskan.
Aku katakan, "Ketika fitnah telah menyebar, sebagian menimpa yang
lainnya, dan urusan agama mundur, orang-orang telah memunggunginya.
Bahkan, kaum Mu'minin sendiri tidak lagi menepati janji dan tidak bertanggung
jawab, tidak menginginkan guru, dan tidak mengabaikan manfaat serta
kepentingan agama. Dan engkau akan menyaksikan fitnah bertaburan di manamana, dan menghinggapi golongan pintar. Jika keadaannya demikian, kaum alim
mempunyai alasan untuk ber-'uzlah dan mengasingkan diri serta berhenti
menyebarkan ilmu. Dan aku takut zaman sekarang telah menjadi seperti itu,
zaman payah dan sulit. Kepada Allah jualah kita memohon pertolongan, dan
kepada-Nya-lah kita tawakkal."
Berikut ini, penjelasan mengenai 'uzlah :
Bersatulah kalian. Sebab pertolongan Allah hanya diberikan
kepada orang-orang yang bersatu. Dan sesungguhnya setan itu adalah
serigala bagi manusia, ia akan menerkam orang yang tiada berkawan.
Sabdanya pula:
Setan senang mendekati orang yang menyendiri, dan menjauhi
yang berduaan, dan semakin menjauhi yang bertiga, dan seterusnya.
Rasulullah SAW. juga bersabda:
Tinggallah di rumah, ambil yang bermanfaat bagimu, dan
tinggalkan urusan-urusan umum.
Dengan sabdanya itu Nabi SAW. memerintahkan umatnya agar 'uzlah dan

menyendiri di saat yang sudah menjadi rusak.
Kedua hadits di atas tidak bertentangan, sebab yang dimaksud hadits pertama
adalah bersatu dalam agama dan hukum. Sebab umat Nabi SAW. tidak akan bersatu
dalam kesesatan, sehingga memisahkan diri dari agama dan hukum yang menyimpang dari pegangan golongan umat besar akan batal dan sesat.
Berarti, 'uzlah dengan tujuan untuk kemaslahatan agama tidak melanggar
hadits tersebut.
Sedang yang dimaksud dalam hadits kedua adalah jangan memutuskan
pergaulan dengan meninggalkan Jum'ah dan Jamaah. Karena, berkumpul dalam halhal tersebut menjadikan agama kuat dan sempurnanya Islam, dan yang sebaliknya
akan menjadikan kafir dan ingkar, serta penuh berkah dan rahmat Allah. Oleh
karena itu, orang-orang yang ber-'uzlah harus tetap bergaul dalam masalah
kebaikan serta menjauhi masalahmasalah lain. Sebab, di dalamnya terkandung
bahaya.
Perintah bergaul dalam hadits itu adalah jika zaman tersebut tidak terdapat
fitnah untuk orang-orang lemah dalam urusan agama. Sedangkan bagi orang kuat, di
kala fitnah tersebar, 'uzlah-nya dimaksudkan untuk menghindari bahaya dan
kerusakan yang ditimbulkan akibat pergaulan. Tetapi jangan sampai memutuskan
hubungan dalam masalah kebaikan. Sebab, jika menghendaki 'uzlah secara
menyeluruh, ia harus berada di puncak gunung atau di lembah. Itu pun jika terlihat
adanya kemaslahatan untuk agama. Tetapi, Allah memudahkan untuk menghadiri
Jum'ah, jamaah, dan' dalam pertemuan-pertemuan Islam lainnya guna
mendapatkan kebaikan bergaul, di mana pun seseorang berada. Sebab, pergaulan
dalam Islam, meskipun dalam zaman yang rusak, akan tetapi mendapatkan kebaikan
manzilah atau martabat.
Wali Abdal selalu menghadiri pergaulan Islam di mana pun ia berada. Juga
dapat bepergian ke mana saja ia mau di permukaan bumi ini. Sebab, baginya seolaholah dunia ini hanya selebar langkah manusia.
Menurut riwayat, dunia ini diciutkan bagi mereka. Sehingga, mereka dapat
saling mengucapkan salam setiap saat. Dan mereka dikaruniai bermacam kebaikan
dan karamah.
Berbahagialah mereka yang mendapatkan karunia Allah semacam itu. Dan
semoga Allah menjadikan sabar orang yang tidak memikirkan bagaimana harus
menyelamatkan diri. Semoga Allah menolong para penganjur kebaikan yang belum

kesampaian maksudnya.
Telah aku gubah beberapa bait sya'ir yang menggambarkan sifat dan tabiatku:
Cita-cita mereka menuntut taqarrub kepada Tuhan telah berhasil, sampai
sudah kepada tujuan, dan berbahagialah kekasih jumpa kekasih.
Tinggal kita, terombang-ambing kebingungan antara sampai dan belum.
Kita hanyalah mendekati hamba, padahal taqarrub kepada Allah adalah
suatu hal yang mahal harganya, yang demikian itu menurut pikiran sehat.
Berilah kami siraman yang dapat melenyapkan rasa bingung dan menunjuk
kepada jalan yang benar.
Wahai dokter, tolong balut luka-luka yang dapat menyelamatkan aku dari
penyakit parah.
Aku tidak tahu, apakah harus mengobati penyakitku, dan dengan apa aku
dapat beruntung pada hisab.
Kita batasi pembahasan masalah tersebut, dan kita kembali pada hal 'uzlah.
Nabi Muhammad SAW. bersabda:
Kerahiban umatku adalah duduk-duduk di masjid.
Perlu diketahui, urusan zaman ketika fitnah tidak menyebar, meskipun mereka
duduk-duduk di masjid dan tidak mencampuri urusan lain, berani mereka
menyendiri dalam urusan sendiri, walaupun bersama orang lain.
Sebab, yang dimaksud dengan 'uzlah bukan semata-mata menjauhkan dan
mengasingkan diri.
Berkenaan dengan itu, Ibrahim bin Adham berkata:
menyendiri-lah engkau sambil berkumpul dan merasa tenteram dengan
Tuhanmu dan merasa sepi dari manusia.
Bagaimana pendapat mengenai tempat-tempat belajar para ulama, pondokpondok para ahli taSAWuf dan santri, serta hukumnya bila menetap di sana? Apakah
hal itu termasuk 'uzlah? Itu adalah jalan yang baik untuk melaksanakan 'uzlah bagi
para ahli ilmu yang bersungguh-sungguh. Sebab, mengandung dua manfaat;
Pertama: Menjauhkan diri dari manusia dan tidak mencampuri urusan mereka.
Kedua: Bersama mereka dapat mengerjakan shalat Jum'ah, berjamaah dan
memperbanyak dakwah Islam.
Sehingga, selamat seperti yang dimaksudkan dalam arti 'uzlah, serta dapat
menanam kebaikan-kebaikan untuk kaum Muslimin, dengan jalan menyertainya,

penuh berkah, dan berlaku jujur. Maka, menetap di tempat itu adalah selurus-lurus
jalan dan sebaik-baik perbuatan dalam menempuh jalan yang selamat.
Maka, kebanyakan orang arif menetap di tengah-tengah orang banyak guna
dapat memberi manfaat kepada mereka . dalam masalah agama, dengan tidak
mengusik mereka, dan untuk meneladani mereka akan tingkah laku yang baik.
Sebab, mengajar dengan perbuatan lebih membekas daripada dengan lisan.
Jalan itu merupakan sebaik-baik jalan dan pendapat dalam masalah agama
guna menghasilkan ilmu dan ibadah.
Kemudian, bagaimana seharusnya seorang murid nrenyertai orang yang benarbenar ibadah atau memencilkan diri? Bila keadaannya masih seperti semula, yaitu
berkelakuan baik seperti leluhurnya, maka mereka adalah sebaik-baik saudara fillah
dan sebaik-baik sahabat dalam beribadah kepada Allah. Dengan demikian, tidak baik
seseorang menjauhkan diri dari mereka.
Perumpamaan dari mereka, seperti pernah kita dengar mengenai orang-orang
yang ber-zuhud di Lebanon dan tempat-tempat lain.
Mereka bersatu dan saling menolong dalarn melakukan 'kebaikan dan takwa,
sena saling mengingatkan mengenai yang hak dan sabar.
Jika para mujtahid dan ahli riyadhah telah merubah kelakuan dan sifatnya
dengan meninggalkan cara-cara yang diwariskan leluhurnya yang saleh, maka
hukum bergaul dengan mereka tidak berbeda dengan orang-orang lain. Tinggal di
rumah, mengendalikan lidah, bersama dalam melakukan kebaikan, menjauhi hal-hal
yang menimbulkan bahaya. Begitulah 'uzlah para ahli 'uzlah, menyendiri dari
orangyang menyendiri.
Bagaimana hukumnya, jika seorang mujtahid dan ahli riyadhah memisahkan
diri dari orang banyak dikarenakan melihat adanya kemaslahatan dan melihat
bahaya-bahaya yang timbul akibat pergaulan? Perlu diketahui, tempat-tempat
belajar agama dan pondok pesantren merupakan benteng yang sangat kokoh,
tempat berlindung bagi para mujtahid dari perampok dan pencuri. Sedangkan di
luar, padang sahara seolah-olah tempat lalu-lalangnya barisan berkuda setan.
Mereka merampas dan mengeroyoknya. Apa akibatnya jika ia keluar dari benteng
itu dan dikalahkan oleh musuh dari berbagai penjuru yang bertindak
sekehendaknya.
Oleh sebab itu, bagi orang-orang lemah tidak ada pilihan lain kecuali menetap
dalam benteng tersebut. Sedangkan bagi orang-orang kuat, waspada dan yang tidak

dapat dikalahkan musuh, berada di luar atau pun di dalam benteng sama saja,
mereka tidak khawatir. Akan tetapi jika mereka tetap tinggal di dalam benteng akan
lebih aman. Oleh karena itu, tinggallah di dalam benteng bersama hamba-hamba
Allah serta bersabar terhadap masyaqat pergaulan. Sebab, sikap yang demikian
lebih utama buat yang riyadhah dan memberi kebaikan, karena tidak ada
penghalang bagi yang kuat dan taat untuk istiqamah dalam melaksanakan tafarrud.
Dengan memahami dan meresapi uraian di atas, mudah-mudahan kita beruntung
dan selamat. Insya Allah.
Berziarah dan bertamu kepada saudara seagama dan menghubungi para
sahabat umuk bertemu dan saling memperingatkan, adalah termasuk permata
ibadah yang mengandung halhal mulia di sisi Allah serta banyak bermanfaat. Akan
tetapi, ada syarat-syaratnya: Pertama, tidak terlalu sering dan berlebih-lebihan.
Nabi Muhammad SAW. bersabda:
Bertamulah engkau dalam waktu-waktu tertentu, nanti akan
bertambah cinta.
Syarat kedua, dalam berziarah perlu mematuhi yang haq dengan menjauhi riya
dan perbuatan yang dibuat-buat, perkataan yang tidak karuan, dan menggunjing.
Jika yang haq dilanggar, maka tamu dan tuan rumah akan binasa.
Dikisahkan oleh al-Fudhail dan Sufyan rahimahullah. Pada suatu saat mereka
bermudzakarah, lalu keduanya menangis.
Lantas Sufyan berkata, "Ya al-Fudhail, saya mengharapkan dapat berkumpul
lebih baik lagi dari-yang sekarang."
Jawab al-Fudhail, "Saya belum berkumpul. Dan yang lebih saya takuti dari
pertemuan ini adalah jika engkau mencari cerita yang lebih baik untuk perhatianku,
dan demikian pula aku terhadapmu. Berarti kita telah berbuat riya." Maka
menangislah Sufyan.
Oleh karena itu, dalam bertemu dan berkumpul dengan saudara seagama
harus dengan takaran sewajarnya disertai pandangan dan hati yang lemah lembut
agar tidak merusak 'uzlah dan tafarrud. Selain itu, agar tidak merugikan kedua pihak,
bahkan harus mendatangkan kebaikan dan manfaat yang sebesar-besarnya, Allah
jualah yang akan memberikan pertolongan.
Apa yang bisa memudahkan ber-uzlah dan tafarrud? Yang memudahkan beruzlah ada tiga macam:

1. Menghabiskan waktu untuk beribadah. Sebab, dengan beribadah seseorang
menjadi sibuk dan tidak membuang-buang waktu untuk hal-hal yang tidak
bermanfaat. Jika seseorang selalu ingin berkumpul dan ngobrol kian-kemari,
menandakan ia seorang pengangguran dan kurang bersyukur.
Baik sekali arti sya'ir di bawah ini:
Kekosongan waktulah yang mendorongku ngobrol-ngobrol
denganmu, sebab kebanyakan orang yang mengerjakan perbuatan siasia adalah para penganggur.
Bila kita tekun beribadah sebagaimana mestinya, tentu akan merasakan
manisnya bermunajat kepada Allah, dan akan sangat bergembira dengan Kitab
Allah. Kesibukan itu akan memalingkan kita dari orang lain, sehingga kita
merasa kesepian di saat berkawan dan ngobrol-ngobrol dengan orang lain.
Dalam hadits diriwayatkan, tatkala Nabi Musa as. selesai bermunajat kepada
Allah, beliau merasa sangat kesepian, sehingga beliau menutupi telinganya
dengan jari-jarinya agar tidak mendengar percakapan orang lain. Sebab suara
manusia saat itu bagi beliau seolah-olah suara himar, tidak enak didengar,
bahkan sangat menyeramkan.
Berikut ini perkataan guru kami rabimabullah.
Bergembiralah engkau mendekati Allah dengan jalan melazimkan
taat dan memperbanyak dzikir serta menjauhi maksiat, dan
tinggalkanlah orang-orang di sekelilingmu. Engkau harus bersungguhsungguh dalam mencintai Allah, baik sedang berkumpul dengan
manusia ataupun di saat berada jauh dari mereka.
Telitilah orang-orang itu berulang-ulang, dan engkau akan menemukan mereka
sebagian besar sebagai kalajengking.
2. Hal yang memudahkan 'uzlah adalah memutuskan sama sekali hubungan
dengan orang lain. Dengan demikian, kita tidak terikat dengan mereka. Sebab
manfaat dan kekhawatiran yang tidak kita harapkan dari mereka, ada atau
tidak ada adalah sama saja.
3. Yang memudahkan kita ber-'uzlah adalah mengamati bahaya yang ditimbulkan
orang lain. Seperti menggunjing, basud, dengki, dan sebagainya. Oleh sebab itu,
harus kita lakukan berulang-ulang.
Ketiga rukun itu, jika diamalkan tentu akan menghindarkan kita dari
percampurbauran dengan hal-hal yang tidak karuan, menuju rahmat Allah,
mendorong kita gemar menyendiri guna beribadah kepada Allah, dan mendekatkan

kepada keridhaan Allah. Sesungguhnya Allah Maha memberi dan Maha Memelihara.
Ketiga: Setan.
Yang mewajibkan kita untuk memerangi dan mengalahkan setan ada dua:
Pertama: Setan adalah nyata-nyata musuh yang menyesatkan. Darinya tidak
dapat diharapkan adanya kebaikan dan perdamaian, sebab mereka akan puas jika
mampu membinasakan kita.
Oleh sebab itu tidak ada alasan merasa tenteram dari setan, dan kita harus
selalu mengingatnya.
.
Perhatikan firman Allah di bawah ini:
'Bukankah Aku telah memerintahkan kepadflmu hai Bani Adam
supaya kamu tidak menyembah setan? Sesungguhnva setan itu adalah
musuh yang nyata bagi kamu. (Yasin: 60).
Dan firman-Nya pula:
Sesungguhnya setan itu adalah musuh bagimu, maka anggaplah ia
musub-(mu), .... (Fathir : 6).
Itu adalah peringatan yang sangat penting.
Kedua: Sebab sudah menjadi tabiat setan untuk selalu memusuhi anak-cucu
Adam. Mereka akan selalu memerangi kita siang-malam. Sedangkan kita sering lalai
akan hal itu.
Perlu diperhatikan, bahwa kita beribadah kepada Allah dan mengajak orang
lain kepada keridhaan Allah dengan lisan dan perbuatan. Yang semuanya itu
bertentangan dengan perbuatan, cita-cita, kemauan, dan usaha setan. Hal itu berarti
kita telah bersiap untuk memerangi, melawan, dan berusaha mengalahkannya. Di
lain pihak, setan pun telah bersiap-siap dan berusaha memerangi, menipu, dan
membinasakan kita. Bahkan, setan menginginkan kehancuran kita. Sebab, setan
merasa tidak aman lagi dengan kita.
Sesungguhnya orang-orang kafir adalah teman-teman setan.
Orang kafir tidak pernah memerangi dan membencinya. Padahal, setan akan
membinasakan mereka.
Walau sebenarnya, setan akan tetap memusuhi orang-orang yang
mengikutinya. Dan terhadap orang-orang yang memusuhinya, setan
menganggapnya sebagai masalah khusus dan penting. Setan juga mempunyai
banyak pembantu untuk menghancurkan kita, yang paling ganas adalah hawa nafsu!

Selain itu, masih banyak lagi celah baginya untuk masuk ke dalam diri seseorang,
dan manusia tidak menyadarinya.
Yahya bin Mu'adz ar-Razi mengatakan, "Setan itu pengganggu, ia mempunyai
banyak waktu untuk menjalankan rencananya. Sedangkan manusia selalu sibuk, dan
setan mengetahuinya. Tetapi, kita tidak melihatnya, kita lupa terhadapnya, namun
setan selalu mengingat kita. Dan guna mengalahkan kita, setan mempunyai banyak
pembantu."
Oleh sebab itu, kita harus bertekad bulat untuk mengalahkan dan
memeranginya. Jika tidak, kita tidak akan aman dari kebinasaan dan kehancuran.
Dengan cara apa harus memerangi' dan mengalahkannya? Ada dua jalan:
Pertama: Menurut pendapat sebagian ulama, cara menghalau setan adalah
selalu mohon perlindungan Allah. Tidak ada jalan lain!!
Sebab, setan ibarat anjing yang diberi kekuatan untuk menggoda kita. Jika kita
terus menerus menghalau dan memeranginya, niscaya kita akan kelelahan dan
kehabisan waktu, sehingga ia dapat menggigit dan melukai.
Dengan demikian, sebaik-baik jalan adalah langsung bermohon kepada Allah
yang menguasai anjing itu agar menjauhi kita.
Kedua: Menurut ahli penolak setan, kita harus berjuang sekuat tenaga
menolak, mengusir, melawan, dan menentang setan.
Menurut hemat penyusun, jalan terbaik dalam hal ini adalah menghimpun jalan
yang kedua.
Pertama-tama mohon perlindungan Allah dari segala tipudaya setan,
sebagaimana diperintahkan al-Qur'an. Sesungguhnya mudah bagi Allah
menyelamatkan manusia dari kejahatannya. Kemudian, jika merasa masih dapat
dikalahkan oleh setan, sesungguhnya itu adalah ujian dari Allah, agar tampak
kebenaran perjuangan dan kekuatan kita dalam menjalankan perintah Allah, dan
untuk membuktikan kesabaran kita. Sebagaimana Allah memberikan kekuatan
kepada kaum kafir untuk mengalahkan kita, sedangkan Allah sangat kuasa
menumpas kejahatan orang-orang kafir itu.
Hal itu tidak lain, agar kita mendapatkan kebaikan dari perjuangan dan pahala
karena bersabar, serta sebagai saringan dan pahala mati syahid. sebagaimana
firman Allah Ta'ala:
... dan supaya Allah membedakan orang-orang yang beriman

(dengan orang-orang kafir) dan supaya sebagian kamu dijadikan-Nya
(gugur sebagai) syuhada' .... (Ali Imran: 140).
Dan firman-Nya pula:
Apakah kamu mengira bahwa kamu akan masuk surga, padahal
belum nyata bagi Allah orang-orang yang bejihad di antaramu dan
belum nyata orang-orang yang sabar. (Ali Imran: 142).
Dus, bila setan masih saja dapat mengganggu, maka di situ ada kesempatan
buat kita untuk ber-mujahadah. Jika sekali kita limbung, bangunlah untuk
merubuhkannya.
Guna memerangi dan mengalahkan setan, menurut pendapat ulama ada tiga
cara:
1. Harus mengetahui segala tipu daya setan, sehingga dia tidak akan berani
mengganggu kita. Keadaannya ibarat maling, jika ia mengetahui bahwa tuan
rumah telah mengetahui adanya maling, niscaya sang maling akan lari.
2. Anggaplah remeh ajakan setan. Yakni, jangan memberi perhatian, jangan
hiraukan ajakannya, dan jangan sekalikali ajakannya kita ambil hati, apalagi
dituruti. Sebab, setan ibarat anjing menggonggong. Jika dilayani, ia akan
terus menggonggong, tetapi jika dibiarkan, ia akan diam dengan sendirinya.
3. Berdzikir dengan lisan maupun hati. Sabda Nabi SAW.:
Sesungguhnya dzikrullab itu menyakitkan setan. Seperti
menderitanya anak Adam dengan penyakit akallah yang bersarang di
lambungnya.
Bagaimana mengetahui tipu daya setan, dan bagaimana cara mengenalnya?
Perlu diketahui, setan memiliki cara-cara yang sangat jahat dalam menggoda
manusia. keadaannya bak anak panah lepas dari busurnya, berasal dan bisikan hati.
Selain itu, setan memiliki cara-cara dan akal licik guna menjebak manusia. Hal itu
dapat diketahui dengan mengenal segala tipu daya dan sifat-sifatnya.
Sebenarnya, pembahasan bab ini telah diterang.kan oleh banyak ulama. Dan
kami pun telah menyusun satu kitab yang khusus membahas masalah ini, yakni Kitab
Talbisu Iblis
Memang, kitab tersebut tidak menjelaskan secara panjang lebar. Namun,
pokok-pokoknya dari tiap bagian kiranya cukup untuk dijadikan pegangan.
Adapun bisikan hati manusia, ada dua macam:. Yaitu mengajak kepada
kebaikan, berasal dari Malaikat utusan Allah, yakni Malaikat Mulhim, dan ajakannya
itu dinamakan llham. Kemudian ajakan kepada kejahatan, berasal dari setan yang

bernama Waswas, dan ajakannya dinamakan waswasah.
Setan, kadang-kadang mengajak berbuat kebaikan. Tetapi hanya sebagai
pancingan, karena sesungguhnya setan akan membelokkan kita kepada kejahatan.
Misalnya, mendorong seseorang bersungguh-sungguh melaksanakan ibadah sunat
yang besar pahalanya, dengan maksud agar manusia lalai mengerjakan yang wajib.
Atau, hanya sebagai pancingan untuk menyeret kepada kejahatan besar untuk
melenyapkan pahala ibadah sunat tersebut, seperti ‘ujub dan sebagainya.
Maka, keduanya mengeram di hati manusia, dan masing-masing berusaha
membujuk manusia.
Rasulullah SAW. bersabda:
Setiap kelahiran anak Adam, Allah menyertakan kelahiran
Malaikat dan setan.
Kemudian, malaikat mengeram di hati sebelah kanan, dan setan di sebelah kiri.
Dan keduanya membisikkan ajakannya.
Rasulullah SAW. bersabda:
Pada hati manusia terdapat persinggahan setan dan malaikat.
Di samping itu manusia bertabiat cenderung menginginkan kelezatan tanpa
mempertimbangkan baik buruknya, dikarenakan dorongan hawa nafsu:
Perlu diketahui pula, macam-macam pikiran merupakan bisikan hati yang akan
mendorong manusia untuk melakukan atau meninggalkan sesuatu. Dan bisikan hati
itu pada hakikatnya. datang dari Allah jua, dan terbagi menjadi empat bagian:
1. Bisikan hati itu pada mulanya dinamakan khatir (bisikan hati).
2. Bisikan hati terjadi sesuai dengan tabiat manusia yang disebut hawa nafsu
dan dinisbatkan padanya.
3. Bisikan yang berasal dari Malaikat Mulhim juga dinisbatkan kepadanya.
4. Bisikan yang berasal dari setan dan yang dinisbatkan kepadanya
dinamakan waswasah. Dan terjadinya bersamaan dengan ajakan setan,
dan ajakan itu merupakan sebab.
Khatir dari Allah yang pertama adakalanya dengan kebaikan, untuk memuliakan
dan menetapkan hujjah. Tetapi, pada saat tertentu dengan kejahatan sebagai ujian
dan untuk mempertebal cobaan.
Sedangkan khatir yang berasal dari Malaikat Mulhim selalu berupa kebaikan.

Sebab, begitulah tugasnya, selaku penasihat dan mursyid.
Adapun khatir yang berasal dari setan selalu berupa kejahatan guna
menyesatkan manusia. Dan jika dengan kebaikan hanya dimaksudkan sebagai tipuan
dan pancingan.
Dan khatir dari hawa nafsu berupa keburukan. Sedangkan segala hal yang tidak
mengandung kebaikan merupakan penghalang dan penyesat bagi kebajikan.
Salafus Shalih mengatakan bahwa hawa nafsu kadang-kadang mengajak kepada
kebaikan, tetapi tujuan akhirnya mengajak kepada keburukan, seperti halnya setan.
Setelah mengenal bermacam-macam khatir, kita perlu mengetahui tiga pasal
penting yang memuat pembagiannya:
1. Pasal tentang perbedaan khatir, khair dengan khatir syar secara umum.
2. Pasal tentang perbedaan khatir syar pertama dengan kbatir syar dari setan
atau dari hawa nafsu. Perbedaan-perbedaan itu disebabkan karena masingmasing merupakan penolak bagi lainnya.
3. Pasal tentang perbedaan kbatir khair pertama dengan hhatir khair ilham, atau
dari setan, atau juga dari hawa nafsu. Dan kita harus mengikuti khatir khair
yang datang dari Allah, atau dari Malaikat Mulhim, serta menjauhi khatir yang
datang dari setan atauhawa nafsu.
Pasal pertama .
Seorang ulama mengatakan, "Bila ingin mengetahui perbedaan khatir khair
dengan khatir syar, hendaklah mempertimbangkan dengan mempergunakan
perbandingan di bawah ini, agar jelas keadaannya.
1) Sesuaikan bisikan hati itu dengan hukum syara'. Jika ternyata sesuai, berarti
khatir khair (bisikan baik). Jika khatir itu bertentangan dengan hukum syara;
berarti khatir syar (bisikan jahat).
2) Jika tidak dapat membandingkan dengan hukum syara', bandingkan dengan
perbuatan para shalihin. J ika sesuai, berarti kbatir khair. Dan jika berlawanan,
berarti kbatir syar.
3) Apabila dengan nomor dua belum dapat, bandingkan dengan hawa nafsu. Jika
hawa nafsu menolak dengan tolakan menurut tabiatnya dan bukan karena
takut kepada Allah, berarti khatir khair. Jika hawa nafsu menyukai menurut
tabiatnya dan bukan karena mengharapkan ridha Allah, berarti khatir syar.
Sebab, hawa nafsu selalu mengajak kepada keburukan, bukan kepada

kebaikan.
Dengan mempergunakan salah satu pertimbangan di atas, serta dengan
perhatian sedalam-dalamnya, kiranya kita akan dapat membedakan, mana khatir
khair dan mana khatir syar. Sesungguhnya Allah Mahamurah dan Maha Penyayang.
Pasal Kedua
Para ulama. mengatakan, "Jika engkau ingin mengetahui perbedaan kbatir
syar yang datang dari setan atau dari hawa n.afsu dengan khatir pertama
sebagai ujian, maka tinjaulah dari tiga sudut:
1. Apabila keadaannya kuat dan tidak berubah-ubah, hal itu adakalanya
datang dari Allah atau dari hawa nafsu. Dan Jika maju mundur tidak
menentu, berarti dari setan. Sebagian shalihin menerangkan bahwa hawa
nafsu itu ibarat macan. Bila menerjang, ia pantang mundur, kecuali dengan
tolakan hebat, la akan kalah. Atau ibarat khariji yang berperang membela
agama, pantang menyerah hingga syahid dalam medan laga.
Sedangkan setan, ibarat serigala, jika diusir dari satu arah, la akan datang
dari arah lain.
2. Jika khatir syar datang setelah seseorang melakukan perbuatan dosa,
berarti datang dari Allah sebagai siksaan atas perbuatannya.
Firman Allah Ta 'ala:
Sekali-kali tidak (demikian), sebenarnya apa yang, selalu
mereka usahakan itu menutup hati mereka. (al-Muthaffifin: 14)
Al-Imam Abul Wara' mengatakan, "Dosa-dosa itu menjadikan hati
keras. Mula-mula, berupa khatir kemudian menjadikan hati keras dan
kotor."
Apabila khatir itu datangnya tiba-tiba, yakni bukan setelah. seseorang
melakukan perbuatan dosa, berarti khatir Itu dari setan. Demikianlah pada
umumnya. Karena, setanlah yang pertama-tama membujuk, kemudian
menyesatkan manusia.
3. Apabila kbatir tidak berkurang dan tidak menjadi lemah dengan dzikrullah,
dan tidak bisa hilang, berarti kha tir itu datang dari hawa nafsu. Tetapi, jika
berkurang, atau dengan dzikrullah menjadi lemah, berarti khatir itu dari
setan. Seperti diriwayatkan oleh Ibnu Abbas, bahwa setan mengeram di
hati anak Adam. Jika seseorang berdzikir kepada Allah maka setan akan

mundur. Dan jika seseorang memalingkan (lalai) dari Allah, maka setan
akan mengganggu hatinya.
Pasal ketiga.
Apabila kita ingin mengetahui, m'ana khatir dari Allah dan . mana yang dari
Malaikat, tinjaulah dari tiga segi:
1. Jika khatir khair itu kuat, berarti datang dari Allah. Dan apabila berubahubah, berarti datang dari Malaikat. Sebab, malaikat hanya sebagai
penasihat. Ia menyertai manusia pada tiap-tiap kebaikan dan
memberikan petunjuk kepada manusia disertai dengan harapan agar
suka melaksanakan kebaikan.
2. Bila khatir khair mengiringi kesungguhan seseorang dalam taat beribadah,
berarti datang dari Allah SWT.
Allah Ta'ala berfirman:
Dan orang-orang yang berjihad untuk (mencari herulbaan) Kami,
benar-benar akan Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami
.... (al-Ankabut : 69).
Juga firman-Nya:
Dan orang-orang yang mendapat petunjuk, Allah menambah
petunjuk kepada mereka .... (Muhammad: 17).
Dus! Jika kha tir khair itu datang dengan tiba-tiba, berarti dari Malaikat.
3. Apabila khatir tersebut mengenai hal pokok (i'tiqad) dan amalan batin,
berarti khatir-khatir itu dari Allah. Jika mengenai furu' (cabang) dan ilmu
lahir, pada umumnya dari malaikat. Sebab, menurut keterangan para ulama,
Malaikat tidak dapat mengetahui secara mendalam mengenai batin hamba
Allah.
Adapun kha tir khair dari setan dan sebagai tipuan guna memancing berbuat
jahat, sebagaimana dikatakan Syaikh Abu Bakar al-Warraq ra., ''Telitilah! Jika engkau
mengerjakan dengan nngan apa yang terbisik dalam hati dan tidak merasa takut
akan murka Allah, serta dengan perasaan aman tanpa takut, tidak mau tahu
akibatnya, tanpa dipikirkan terlebih dahulu, berarti itu khatir dari setan. Jauhilah!"
Akan tetapi, jika dalam mengerjakannya bertentangan dengan apa yang telah
kami sebutkan di atas, yakni dengan perasaan takut, sukar dalam mengerjakannya,
berhati-hati, merasa tidak aman, dan tahu akan akibatnya, berarti itu adalah khatir
khair dari Allah, atau dari Malaikat Mulhim.

Rajin atau tekun adalah merasa ringan dalam mengerjakan sesuatu pekerjaan,
dengan tidak memperhatikan akibat yang akan timbul serta tidak mengingat pahala.
Selanjutnya, tenang dan berhati-hati. Yaitu, kelakuan ilang terpuji, kecuali
dalam beberapa hal tertentu. Sebagaimana diterangkan hadits Nabi:
Tergopoh-gopoh adalah pembawaan setan. Kecuali dalam lima hal:
2.Mengawinkan anak perempuan, jika memang sudah waktunya.
3.Melunasi hutang sesuai dengan batas waktu yang dijanjikan.
4.Memelihara jenazah.
5.Menghormati tamu.
6.Bertaubat.
Sedangkan takut, keadaannya ihtimal kepada dua jalan. Pertama, takut
melaksanakan dan menyempurnakannya. Sebab, tidak sebagaimana mestinya dan
tidak berhak. Kedua, takut tidak diterima oleh Allah.
Adapun waspada terhadap segala akibat, yaitu meneliti dan meyakinkan agar
mengetahui bahwa pekerjaan itu benar dan baik. Kemudian dari penelitian dan
keyakinan itu, mengharapkan pahala di akhirat.
Penjelasan mengenai tiga pasal di atas merupakan hal yang wajib kita ketahui.
Setelah itu, kita wajib menjaga dan memperdalamnya dengan sekuat tenaga. Sebab,
dalam ketiga pasal itu banyak terdapat ilmu yang tinggi dan asrar, serta berbagai
kemuliaan khatir. Dengan karunia-Nya, semoga Allah menolong kita.
Sedangkan tipu daya setan terhadap manusia agar meninggalkan ibadah
kepada Allah, terdapat tujuh macam:
1. Setan melarang manusia taat kepada Allah. Sedangkan orang-orang yang
dipelihara Allah akan menolak ajakannya, dan mengatakan, "Aku
mengharapkan pahala dari Allah. Untuk itu, aku harus mempunyai bekal di
dunia ini demi akhirat yang kekal."
2. Setan senantiasa membujuk manusia agar tidak taat. "Nanti saja, atau kelak,
kalau sudah tua," ajaknya .
Orang-orang yang terpelihara akan menolaknya dengan mengatakan,
"Kematianku bukan berada di tanganmu. Jika aku menunda-nunda beramal
hari ini untuk esok, kapan amal hari esok harus aku kerjakan. Sedangkan
setiap hari aku mempunyai amal yang berlainan."

3. Setan senantiasa mendorong manusia untuk cepat-cepat dalam beramal dan
mengerjakan kebaikan. Kata setan, "Cepatlah beramal, agar engkau dapat
mengejar dan mengerjakan amalan-amalan yang lain."
Orang-orang selamat akan menolaknya dengan mengatakan, "Amal yang
sedikit tetapi sempurna lebih baik daripada amalan yang banyak tetapi tidak
sempurna."
4. Kemudian, setan akan menyuruh manusia untuk menjalankan amal baik
secara sempurna agar tidak dicela orang lain.
Mereka yang dipelihara Allah akan mengatakan, "Bagi saya, penilaian cukup
hanya dari Allah. Dan tidak ada manfaatnya beramal karena manusia (orang
lain)."
5. Setelah itu, setan membisikkan pujian kepada orang yang beramal, "Betapa
tinggi derajatmu dapat beramal saleh dan betapa cerdik dan sempurna
dirimu. "
Mendengar pujian itu, orang baik akan mengatakan bahwa semua keagungan
dan kesempurnaan itu hanyalah kepunyaan Allah, bukan kekuatan atau
kekuasaanku. Allah-lah yang melimpahkan taufik kepadaku untuk dapat
beramal yang Dia ridhai, dan memberikan pahala yang besar. Sekiranya tanpa
karunia-Nya, apalah arti amalanku ini, dibandingkan dengan banyaknya
nikmat Allah yang diberikan kepadaku, di samping dosaku. yang banyak pula.
6. Dengan gagalnya jalan kelima, setan akan menerapkan cara nomor enam.
Cara 'ini lebih hebat dibandingkan cara-cara terdahulu, dan manusia tidak
akan sadar terhadapnya, kecuali orang-orang cerdik dan berpikir. Setan
membisiki hati manusia, "Bersungguh-sungguhlah engkau beramal dengan sir,
jangan sampai diketahui orang lain. Sebab Allah jualah yang akan
memberitahukan kepada orang lain bahwa engkau seorang hamba Allah yang
ikhlas."
Begitulah, setan mencampurbaurkan amalan seseorang dengan amal
tipuannya yang sangat tersembunyi. Dengan ucapannya itu, setan bermaksud
memasukkan sebagian penyakit riya.
Orang-orang yang dipelihara Allah akan menolak ajakannya dengan
mengatakan, "Hai mal'un (yang dilaknat), tiada hentinya engkau menggodaku
dan merusak amalanku dengan berbagai cara. Dan kini, kau berpura-pura
seolah-olah akan memperbaiki amalanku, padahal kau bemaksud

merusaknya. Aku adalah hamba Allah, dan Allah yang menjadikanku. Dan jika
berkehendak, Allah akan melahirkan atau menyembunyikan amalanku. Dan
jika menghendaki, Allah akan menjadikanku mulia atau hina. Semuanya
adalah urusan Allah. Aku tidak "khawatir, amalanku diperlihatkan atau tidak
kepada orang lain, sebab itu bukan urusan manusia.”
7. Gagal dengan cara itu, setan akan menggoda manusia dengan cara lain. Ia
mengatakan, "Hai manusia, janganlah engkau menyusahkan diri sendiri
dengan beramal ibadah. Sebab, jika Allah telah menetapkanmu sebagai orang
yang berbahagia pada hari 'azali kelak, maka meninggalkan ibadah pun tidak
menjadikan madharat. Engkau tetap menjadi orang berbahagia. Dan
sebaliknya, jika Allah menetapkanmu sebagai orang celaka, tidak ada guna
engkau beribadah, engkau akan tetap celaka."
Orang-orang yang dipelihara Allah sudah pasti akan menolak godaan .itu
dengan mengatakan, "Aku hanyalah hamba Allah. Wajib bagiku menuruti
perintah-Nya. Allah Maha Mengetahui. Menetapkan dengan kehendak-Nya,
dan berbuat apa saja sesuai dengan kehendak-Nya. Walau bagaimana
keadaanku, amalanku tetap bermanfaat. Jika aku ditetapkan sebagai orang
yang berbahagia, aku akan tetap beribadah guna memperbanyak pahala. Dan
jika aku ditetapkan sebagai orang yang celaka, aku juga akan tetap beribadah,
agar tidak menjadi penyesalan buatku.
Sekiranya aku masuk neraka, padahal aku taat, itu lebih aku sukai daripada aku
masuk neraka karena berbuat maksiat. Tetapi tidak akan demikian kenyataannya,
sebab janji Allah pasti terbukti, dan firman-Nya pasti benar. Allah telah
menjanjikan pahala kepada siapa saja yang-taat pada-Nya. Barangsiapa mati
dalam keadaan beriman dan taat kepada Allah tidak akan dimasukkan neraka,
melainkan surga tempatnya. Jadi, masuknya seseorang ke dalam surga bukan
karena kekuatan amalannya, melainkan karena janji Allah yang pasti dan suci!!
Kelak, orang-orang yang berbahagia dan beruntung akan mengatakan:
Segala puji bagi Allah yang telah membuktikan janji-Nya dengan
surga.
Semoga Allah melimpahkan rahmat-Nya kepada kita.
Sesungguhnya, dalam taat kepada Allah sangat banyak godaan dan tipu
daya setan guna menggagalkannya. Bandingkan segala permasalahan dan
perbuatan kepada keadaan tersebut, nan mohonlah pertolongan Allah agar

terlindung dan terpehhara dari kejahatan setan. Sesungguhnya, segala sesuatu
berada di bawah kekuasaan Allah, dan kepada Allah-lah kita mengharapkan
taufik dan keridhaan.
Tiada daya untuk meninggalkan maksiat dan tidak ada kekuatan
untuk mengerjakan taat, kecuali dengan pertolongan Allah Yang
Mahaluhur dan Mahaagung.
Keempat: hawa nafsu.
Penghalang keempat atau terakhir adalah hawa nafsu. Untuk itu, kita harus
berhati-hati terhadap dorongan hawa nafsu yang akan menyeret kita berbuat
kejahatan. Hawa nafsu adalah musuh yang sangat mencelakakan, menimbulkan
petaka yang amat besar, dan sukar dihindari. Oleh karena itu kita harus
waspada, yakni karena dua perkara.
(1).Karena hawa nafsu merupakan musuh dari dalam. Bukan musuh dari
luar, seperti halnya setan.
Benar sya'ir yang berbunyi:
Nafsu senantiasa mengajakku ke jalan celaka, hingga aku
merasa sakit dan nyeri. Bagaimana seharusnya aku bertindak
berbuat, jika musuh itu menyelinap di antara tulang rusukku.
(2) Karena hawa nafsu adalah musuh yang disukai. Maka manusia yang
mencintainya akan menutup mata terhadap segala keaibannya. Ia tidak akan
melihat keaiban-keaiban itu.
Seperti dikatakan dalam sya 'ir:
Engkau tidak akan melihat keaiban orang yang kau cintai dan
engkau jadikan saudara, bahkan sedikit pun keaiban nya tidak tampak
bila engkau sudah mencintainya.
Mata yang ridha itu rabun terhadap keaiban, sedangkan mata yang benci
akan melihat keaiban-keaiban.
Apabila seseorang menganggap baik atas buruknya nafsu dan tidak melihat
keaibannya, padahal sudah jelas bahwa nafsu adalah musuh berbahaya, maka ia
akan segera menyesal dan mengalami kerusakan yang tidak disadari, kecuali
orang yang dipelihara Allah dengan karunia-Nya dan mendapat pertolongan-Nya
untuk mengalahkan nafsunya.
Untuk direnungkan, bahwa awal kecelakaan, penyesalan, kehinaan, dosa,
serta penyakit yang hinggap pada manusia, sejak dahulu hingga hari kiamat kelak
adalah datang. dari hawa nafsu. Tetapi, adakalanya datang dari diri sendiri, atau

dengan persekutuannya.
Maka, maksiat yang pertama dilakukan oleh iblis. dan penyebabnya adalah
hawa nafsu takabbur dan basud, sehingga menyeretnya ke jurang kesesatan.
Meskipun, ia telah beribadah selama delapanpuluh ribu tahun.
Demikian pula kesalahan Nabi Adam dan Hawa, mereka menuruti nafsunya
yang ditiupkan oleh setan. Disebabkan menginginkan tetap tinggal di surga, hingga
mereka terpedaya oleh ucapan setan, "Apakah engkau ingin kutunjuki pohon yang
menjadikan abadi dan kerajaan yang kekal."
Pelanggaran itu nyata sekali. Hal itu terjadi karena bujukan iblis yang dibantu
oleh hawa nafsu, sehingga Nabi Adam as. dan Siti Hawa terpedaya. Akibatnya, ia
diturunkan dari surga ke bumi yang fana dan rusak ini. Mereka mengalami kepahitan
itu, dan hal itu akan dialami pula anak-cucu Adam sejak saat itu hingga hari kiamat.
Demikian pula kisah Kabil dan Habil, putera Nabi Adam as., mereka berpecahpecah karena sifat dengki dan kikir yang disebabkan bujukan setan dan hawa nafsu.
Juga kisah Harut dan Marut, dikarenakan menuruti nafsu syahwatnya.
Demikian seterusnya hingga akhir zaman.
Sekiranya di dunia ini tidak ada hawa nafsu, tentu makhluk dunia akan
senantiasa dalam keadaan selamat sejahtera.
Setelah sadar bahwa hawa nafsu merupakan musuh yang sangat berbahaya,
sudah selayaknya jika setiap individu yang berpikir selalu berhati-hati menjaga diri,
menghindari tuntutan hawa nafsu. Juga memohon hidayah serta taufik Allah agar
selamat dari godaan hawa nafsu.
Bagaimana cara menghindari hawa nafsu? Sebagaimana telah kami terangkan
dalam Bab Awaiq, bahwa masalah hawa nafsu sangat sulit dan tidak bisa dihalau
begitu saja, seperti mudahnya mengusir awaiq lainnya. Sebab, hawa nafsu merupakan motor penggerak manusia.
Dikisahkan, adalah seorang Arabi mendoakan seseorang dengan berkata,
"Semoga Allah menghancurkan semua musuhmu, kecuali nafsumu."
Meskipun demikian, kita tidak boleh mengabaikannya sama . sekali, karena
hawa nafsu sangat berbahaya. Untuk itu. terdapat dua jalan:
1. Didik dan diberi ajaran. dengan harapan dapat melakukan pekerjaan baik.
2. Lemahkan dan menahan diri agar ia tidak terus menerus menguasai kita.

Memang, dalam mengendalikan hawa nafsu kita harus berusaha sekuat tenaga
dan berpikir keras.
Seperti telah kami jelaskan. nafsu harus dilawan dengan takwa dan kebaikan.
Jika nafsu kita ibaratkan kuda binal yang ganas dan liar, cara apa yang harus
kita pergunakan untuk melawannya? Para ulama mengatakan, untuk mengalahkan
nafsu syahwat terdapat tiga cara:
1. Mengekang keinginan. Sebab, binatang binal, akan lemah bila dikurangi
makannya.
2. Dibebani dengan berbagai ibadah. Sebab keledai pun jika ditambah
bebannya dan dikurangi makannya akan tunduk dan menurut.
3. Berdoa dan memohon pertolongan Allah.
Sebab, jika tidak demikian tidak akan pernah ada penyelesaian.
Nabi Yusuf as. mengatakan bahwa nafsu itu memerintahkan berbuat kejahatan,
kecuali orang-orang yang dikasihi Allah. Dan jika kita berusaha menjalankan ketiga
hal di atas. Insya Allah dengan izin Allah nafsu akan kita tundukkan dan kendalikan.
Dengan demikian, kita akan terbebas dan selamat dari segala tindak kejahatan.
Takwa ibarat harta karun yang sangat berharga, dan beruntunglah orang yang
mampu mendapatkan dan memilikinya. Betapa tidak, karena di dalamnya
terkandung permata yang sangat berharga, berlimpah dengan kebaikan, serta
merupakan rezeki yang agung, keuntungan besar, dan kerajaan yang luhur. Seolaholah, kebaikan dunia dan akhirat terdapat di dalam takwa itu!
Perhatikan pula. firman Allah di dalam al-Qur'an mengenai takwa. Allah
menjanjikan pahala besar bagi orang-orang yang bertakwa. Dan dengan takwa, kita
akan menemukan jalan keselamatan.
Di antara firman Allah itu adalah sebagai berikut:
1. Mengenai pujian bagi orang-orang yang bertakwa:
... Jika kamu bersabar dan bertakwa, maka sesungguhnya yang
demikian itu termasuk urusan yang patut diutamakan. (Ali Imran:
186).
2. Perlindungan dari Musuh
Jika kamu bersabar dan bertakwa, niscaya tipu daya mereka
sedikit pun tidak mendatangkan kemudharatan kepadamu .... (Ali

3. Dukungan dan pertolongan Allah:
Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang bertakwa dan
orang-orang yang berbuat kebaikan. (an-Nahi: 128).
4. Keselamatan dan rezeki yang halal:
Barangsiapa yang bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan
mengadakan baginya jalan keluar. Dan memberinya rezeki dari arah
yang tiada disangka-sangkanya .... (Ath-Tbalaq: 2-3).
5. Kebaikan beramal:
Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kamu kepada
Allah dan katakanlah perkataan yang benar, niscaya Allah
memperbaiki bagimu amalan-amalan mu dan mengampum bagimu dosadosamu .... (al-Abzab : 70-71).
6. Ampunan Allah:
... dan mengampuni,dosa-dosamu .... (Ali Imran: 31).
7. Cinta Allah:
maka sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertakwa
.... (Ali Imran: 76).
8. Amal yang diterima:
Sesungguhnya Allah hanya menerima (korban) dari orang-orang
yang bertakwa. (al-Maidah: 27).
9. Kemuliaan dan kehormatan:
.....Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kami di sisi
Allah ialah orang yang paling bertakwa di antara kamu ... (alHtqurat : 13).
10. Kabar gembira:
(Yaitu) orang-orang yang beriman dan mereka selalu bertakwa.
Bagi mereka berita gembira di dalam kehidupan di dunia dan (dalam
kehidupan) di akhirat .... (Yunus: 63-64).
11. Terhindar dari neraka:
Kemudian Kami akan menyelamatkan orang-orang yang bertakwa
.... (Maryam:72).
Dan kelak akan dijauhkan orang yang paling takwa dari neraka
itu .... (al-Lail:17).
12. Kekal di dalam surga:
... yang disediakan untuk orang-orang yang bertakwa. (Ali
Imran: 133

Itulah penjelasan dari semua kebaikan dan kebahagiaan dalam dua alam
yang berpayungkan takwa. Sesungguhnya nasib seseorang ditentukan oleh ketakwa-annya kepada Allah.
Kemudian, khusus masalah ibadah terdapat tiga pokok:
1. Limpahan taufik dan keridhaan Allah:
.....bahwa Allah beserta orang-orang yang bertakwa. (alBaqarah: 194).
2. Kebaikan beramal:
... niscaya Allah memperbaiki bagimu amalan-amalanmu .... (alAhzab , 71).
3. Penerimaan amal:
.....Sesungguhnya Allah hanya menerima (korban) dari orangorang yang bertakwa .... (al-Maidah: 27).
Kemudian, inti daripada ibadah itu terdapat pada tiga perkara, yakni
limpahan taufik Allah sehingga seseorang dapat beramal. Kemudian,
penyempurnaan amalan yang belum sempurna. Dan yang terakhir adalah
diterimanya amalan itu. Ketiga perkara inilah yang selalu dimohon para ahli
ibadah dengan doanya:
Ya Tuhan kami, berilah kami taufik untuk taat kepada-Mu,
sempurnakan kekurangan-kekurangan ibadah kami, dan terimalah
ibadah kami.
Ketiga hal di atas telah Allah janjikan untuk orang-orang yang bertakwa.
Dan orang-orang yang bertakwa akan dimuliakan dengan tiga hal tersebut.
Dimohon ataupun tidak, kernuliaan akan tetap dilimpahkan oleh Allah.
Sertailah dengan takwa dalam beribadah, niscaya akan mendapatkan
keuntungan dunia akhirat.
Tepat sekali apa yang dikatakan sya 'ir di bawah ini:
Barangsiapa bertakwa kepada Allah, akan didatangkan
kepadanya yang menguntungkan.
Sebagian ulama menuliskan sya’irnya sebagai berikut:
Orang mati tidak akan membawa sesuatu pun.ke dalam
kubur, kecuali takwa dan amal salehnya.
Barangsiapa mengenal Allah, tetapi tidak menjadikannya
takwa, ia termasuk orang yang celaka.
Seseorang tidak akan mencapai kemuliaan dengan harta

kekayaannya, karena kemuliaan hanya bagi orang-orang yang
bertakwa.
Segala kesulitan yang ditemui dan dirasakan orang yang taat,
tidak akan menjadikan madharat baginya.
Sebagian ulama lain menulis sya'ir:
Tiada bekal selain takwa, maka ambillah sebagian
daripadanya, . dan merugilah engkau jika meninggalkannya.
Sepanjang hari, selama hidup inl kita beribadah dan berusaha agar Allah
menerima segala amalan dan ibadah kita. Sedangkan Allah hanya akan
menerima ibadah orang-orang yang bertakwa. Dengan demikian, segala
permasalahan harus kita sandarkan pada takwa.
Siti 'Aisyah mengatakan bahwa Rasulullah tidak terharu oleh apa dan siapa
yang ada di dunia ini, kecuali terhadap orangorang yang bertakwa.
Qatadah mengatakan bahwa dalam Kitab Taurat terdapat tulisan yang
berbunyi:
Wahai anak Adam, bertakwalah kamu, kemudian tidurlah
sekebendakmu.
Ada lagi kisah, ketika menjelang ajalnya, Amir bin Abdul Qis menangis.
Padahal ia seorang yang rajin mengerjakan shalat sunat. Sehari semalam ia
mengerjakan seribu raka'at shalat sunat. Lantas, ia berjalan menuju
pembaringan nya dan berkata, "Hai tempat kejelekan, demi Allah aku tidak
menyukaimu karena Allah, meski sekejap." Hingga suatu saat ada seseorang
bertanya kepadanya mengapa menangis. Ia pun menjawab, "Aku teringat firman
Allah, bahwa Allah hanya menerima amalan orang-orang yang bertakwa. "
Sebagian orang saleh berkata kepada gurunya, "Ya syaikh, berilah aku
wasiat." Jawab guru, "Akan aku berikan kepadamu satu wasiat yang oleh Allah
diwasiatkan kepada orang-orang terdahulu dan orang-orang yang akan datang -.
Firman itu berbunyi:
... dan sungguh Kami telah memerintahkan kepada orangorang
yang diberi kitab sebelum kamu dan (juga) kepada kamu; bertakwalah
kepada Allah .... (an-Nisa': 131).
Aku katakan, "Sesungguhnya Allah lebih mengetahui akan kemaslahatan
hamba-Nya dibanding siapa pun, dan Allah lebih menyayanginya daripada "siapa
pun. Jika di alam ini terdapat suatu hal yang lebih rnaslahat, lebih banyak
mengandung kebaikan, lebih besar pahalanya, lebih tinggi derajatnya, lebih
memberikan keselamatan daripada takwa, niscaya Allah memerintahkan hamba-Nya

dan mewasiatkan kepadanya untuk mengambil hal tersebut. Tetapi karena wasiat
Allah hanya 'diberikan kepada orang-orang takwa, bahwa takwa merupakan tujuan
akhir."
Allah juga telah merangkum semua nasihat, petunjuk, peringatan, ajaran, serta
didikan dalam wasiat tunggal itu, yakni takwa. Di samping itu, menghimpun semua
kebaikan dunia akhirat agar dapat mencukupi segala kepentingan untuk
disampaikan kepada derajat tertinggi dalam ibadah.
Baik sekali sya 'ir yang mengatakan:
Ingatlah, takwa adalah keperkasaan dan kemuliaan, dan cintamu
kepada dunia hanyalah kehinaan dan kerusakan.
Bagi hamba yang bertakwa, dan benar-benar takwa, kemuliaannya tidak akan
berkurang meskipun ia seorang tukang tenun atau tukang ramal.
Itulah pokok (inti) yang paling tinggi. Cukup sudah bagi orang-orang yang
mendapatkan nur, petunjuk dan yang mengamalkannya. Sesungguhnya Allah Maha
Memberi dan Maha Pemurah.
Sungguh agung kedudukan takwa. Untuk itu, kita perlu mengetaHui selukbeluknya. Seperti kita ketahui guna mencapai suatu urusan yang mulia dan besar,
diperlukan tuntutan yang sungguh-sungguh, ketabahan, semangat tinggi, dan
pengurbanan.
Begitu halnya dengan takwa, dibutuhkan perjuangan dalam mencapainya. Juga
memenuhi hak-haknya serta membutuhkan pertolongan. Karena kenikmatan dan
kemuliaan selalu sebanding dengan kesulitan dan ketabahan seseorang.
Allah SWT. berfirman:
Dan orang-orang yang berjihad untuk (mencari keridbaan) Kami,
benar-benar akan Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami
.... (al-Ankabut : 69 )
Juga firman-Nya:
.....Dan sesungguhnya Allah benar-benar beserta orang-orang
yang berbuat baik. (al-Ankabut : 69).
Marilah kita renungkan dan sadari, serta memahami kebenaran keteranganketerangan itu agar benar-benar mengetahui. Kemudian, kita laksanakan dan
memohon pertolongan Allah agar dapat mengamalkan segala yang telah kita
ketahui. Sebab, segala sesuatu terdapat di dalam takwa.
Menurut guru kami, takwa berarti membersihkan diri dari perbuatan dosa yang

belum dilakukan, sehingga timbul niat yang kuat untuk meninggalkannya, dan tidak
mengerjakan. Sebab, niat merupakan sekat antara manusia dengan maksiat.
Di' dalam al-Qur'an takwa mengandung tiga pengertian:
1.Takwa berarti takut:
.....dan hanya kepada Allah kamu harus bertakwa. (al-Baqarah
:41).
Dan peliharalah dirimu dari (adzab yang terjadi pada) hari yang
pada waktu itu kamu sekalian dikembalikan kepada Allah. (alBaqarah: 281).
2.Takwa berarti patuh dan tunduk:
Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah
sebenar-benar takwa kepada-Nya .... (Ali Imran: 102).
Ibnu Abbas berkata, "Taatlah kamu kepada Allah dengan sebenar-benar taat. "
Mujahid mengatakan, "Wajib bagi kita taat kepada Allah, tidak membantah,
senantiasa mengingat-Nya, mensyukuri nikmat-Nya, dan tidak kufur."
3.Takwa berarti membersihkan diri dari segala dosa. Dan inilah hakikat takwa,
sebagaimana firman Allah:
Barangsiapa taat kepada Allah dan Rasul-Nya, dan takut
kepada Allah serta bertakwa kepada-Nya, maka mereka adalah
orang-orang yang beruntung.
Di atas Allah berfirman tentang taat, takut, kemudian menyebut takwa.
Jadi, takwa, selain mengandung arti taat dan takut, juga berarti membersihkan
diri dari perbuatan maksiat, sebagaimana kami sebutkan di atas.
Selanjutnya, sebagian ulama membagi tingkatan. takwa menjadi tiga tingkatan:
1.Membersihkan diri dari perbuatan musyrik.
2.Membersihkan diri dari perbuatan bid'ah.
3.Membersihkan diri dari segala perbuatan maksiat.
Semua itu terkandung dalam arti sebuah ayat:
Tidak ada dosa bagi. orang-otang yang beriman dan mengerjakan amalan yang saleh karena memakan makanan yang telah
mereka makan dahulu, apabila mereka bertakwa serta beriman, dan
mengerjakan amalan-amalan yang saleh, kemudian mereka tetap
bertakwa dan beriman, kemudian mereka (tetap juga) bertakwa dan
berbuat kebajikan .... (al-Maidah: 93)
Maka, kata takwa yang pertama mengandung arti membersihkan diri dari

perbuatan musyrik, dan iman yang disertai tauhid.
Sedangkan arti yang kedua mengandung arti menjauhi perbuatan bid'ah dan
keimanan yang disertai ikrar atas aqidah sunnah wal Jama’ah.
Dan arti yang ketiga menunjukkan arti mem bersihkan diri dari segala maksiat
dengan disertai ihsan, yang berarti istiqamah dalam taat.
Demikianlah penjelasan para ulama mengenai arti takwa. Dan saya
berpendapat, takwa berarti menjauhi segala yang halal secara berlebih-lebihan.
Nabi Muhammad SAW, bersabda:
Orang-orang yang takwa disebut Mutaqqin. Sebab, mereka
meninggalkan hal-hal yang tidak bermanfaat dan menjaga diri agar
tidak jatuh kepada hal-hal yang membahayakan.
Dari perkataan para ulama dan sabda Nabi Muhammad SAW., penyusun
simpulkan bahwa arti takwa adalah menjauhi segala yang dapat mendatangkan
madharat bagi agama. Seperti misalnya "pantangan" bagi seseorang yang sedang
sakit. Ia menjauhi sesuatu makanan dengan maksud agar penyakitnya tidak menjadi
parah atau kambuh.
Sedang yang dikhawatirkan dapat mendatangkan madharat bagi agama ada
dua macam:
1. Perbuatan maksiat dan barang yang nyata-nyata haram.
2. Barang yang dihalalkan, tetapi melampaui batas. Sebab, perbuatan seperti itu
akan menyeret kepada perbuatan haram dan maksiat dikarenakan dorongan
nafsu, kenakalannya serta bantahannya.
Maka, barangsiapa ingin selamat dari bahaya dalam masalah agama, hendaklah
menjauhi barang yang nyata-nyata haram dan menahan diri terhadap barang halal
secara berlebih-lebihan, sebagaimana tersebut dalam hadits Nabi di atas.
Jadi sekali lagi, arti taqwa adalah menjauhi segala sesuatu yang dapat
mendatangkan madharat bagi agama.
Sedangkan jika ingin menetapkan arti taqwa dalam maudhu' ilmu sir berarti
membersihkan diri dari tindak kejahatan yang belum dilakukan, dengan niat yang
kuat untuk meninggalkannya.
Sedangkan kejahatan itu sendiri terbagi menjadi dua macam:
1. Kejahatan asli, yaitu yang diharamkan oleh Allah.

2. Kejahatan tidak asli (tidak murni), yaitu yang dicegah oleh Allah, yang sifatnya
untuk mendidik, yaitu barang yang dihalalkan tetapi berlebih-lebihan. Misalnya
barang mubah yang dihasilkan semata-mata karena dorongan syahwat.
Sedangkan menahan diri tidak melakukan sesuatu yang diharamkan Allah
dinamakan taqwa fardbu. Jika dapat melaksanakannya dengan tidak melanggar
larangan itu, berarti telah mencapai derajat takwa di dunia ini, dan termasuk orang
yang istiqamah dalam taat.
Adapun menahan diri dari sifat berlebih-lebihan terhadap barang yang
dihalalkan disebut taqwa adab. Barangsiapa mengerjakan taqwa adab akan selamat
dari lamanya bisab, serta dari malu dan penyesalan pada hari kiamat kelak. Yang
berarti, ia telah mencapai derajat yang tinggi dalam takwa.
Seseorang yang telah dapat mengerjakan keduanya, berarti . ia telah mencapai
takwa yang sempurna, yang disebut tiara' kamil, dan itulah sesungguhnya inti dari
agama.
Demikianlah arti takwa secara ringkas.
Selanjutnya, kita harus mampu mengendalikan nafsu dengan niat yang kuat,
serta menahan diri dari perbuatan maksiat dan tidak berlebih-lebihan. Sehingga, kita
bertakwa dengan mata, telinga, lisan, hati, perut, dan anggota tubuh lainnya.
Mengenai bab ini kami terangkan dengan panjang lebar dalam kitab Ihya'
'Ulumuddin.
Sedangkan yang perlu diketahui di sini, bahwa barangsiapa hendak bertakwa
kepada Allah, ia harus mampu menjaga lima anggota tubuh, yakni mata, telinga,
lidah, hati, dan perut. Kelimanya harus dijaga agar tidak melakukan sesuatu yang
dapat menimbulkan madharat bagi agama, yakni menghindari yang haram dan
berlebih-lebihan terhadap yang dihalalkan.
Jika mampu menjaga yang lima itu, besar kemungkinan kita dapat mengerjakan
takwa secara penuh, dan dengan seluruh anggota badan. Untuk itu, perlu kiranya
kita bahas kelima hal tersebut satu persatu.
1.
Mata.
Mata, seringkali menjadi pangkal timbulnya fitnah dan penyakit sejenisnya.
Untuk itu, mata harus benar-benar dipelihara dan dikendalikan. Dan dasar-dasar
dari mata ada tiga:
Allah Ta' ala berfirman:

Katakanlah kepada orang laki-laki yang beriman, "Hendaklah
mereka menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya, yang
demikian itu adalah lebih suci bagi mereka, sesungguhnya Allah Maha
Mengetahui apa yang mereka perbuat". (an-Nur: 30).
Ayat di atas mengandung tiga makna yang luhur:
Pertama: mengandung arti pendidikan. Untuk itu, setiap hamba wajib tunduk
akan didikan Allah dan beradab. Jika tidak berarti, ia termasuk orang yang bersifat
su'ul adab. Dan orang yang demikian tidak akan mendapatkan tempat yang mulia di
sisi Allah.
Kedua, mengandung peringatan. Hati yang bersih akan lebih banyak
menumbuhkan kebaikan. Sebab, jika mata tidak terkendali melihat apa saja, ia akan
cenderung melihat halhal yang diharamkan Allah. Sehingga, hati akan selalu bersandar kepada hal-hal tersebut. Dan jika Allah tidak mengasihinya, la akan menjadi
orang yang celaka. Seperti telah diriwayatkan, seseorang dengan satu kali melihat
sesuatu, hatinya akan mendidih seperti mendidihnya kulit binatang yang hendak
disamak.
Jika dalam melihat sesuatu itu termasuk mubah dan hati menjadi terpengaruh,
maka saat itu akan datanz aodaan, serta tumbuh cita-cita yang tidak mungkin
kesampaian, sehingga ia putus mengerjakan kebaikan. Sedangkan jika mata tidak
menyak.sikan hal itu, niscaya hati akan terlepas dari godaangodaan Itu.
Sayyidina Isa as. mengatakan, "Janganlah engkau melihat (yang tidak baik).
Sebab, penglihatan itu akan membanzkitkan syahwat di hatimu, dan mengundang
fitnah bagi pelakunya."
Dzun Nun mengatakan,"Penahan syahwat yang paling ampuh adalah
memalingkan pandangan dari segala yang tidak perlu. "
Ada sya'ir yang mengatakan:
Jika mata yang merupakan pangkal hati itu bebas, hanya dalam
waktu satu hari niscaya penglihatan-penglihatan itu akan membuatmu
lemah.
Engkau melihat segala sesuatu yang tidak mungkin dapat kau capai, dan engkau
tidak akan sabar untuk mendapatkan sebagiannya.
Dengan demikian jelas sudah, bila kita memalingkan pandangan, tidak
menyaksikan segala sesuatu yang tidak bermanfaat, niscaya hati akan menjadi
bersih, bebas dari gangguan pikir, bebas dari keragu-raguan, dan terhindar dari
penyakit hati. Akhirnya, kita akan lebih banyak mendapatkan kesempatan berbua

kebaikan. Sesungguhnya Allah Maha Memberi dan Maha Penyayang.
Dan Yang ketiga mengandung ancaman. Seperti firmanAllah:
sesungguhnya Allah. Maha Mengetahui apa yang mereka
perbuat. (an-Nur: 30).
Juga firman-Nya:
Dia mengetahui (pandangan) mata yang khianat dan apa yang
disembunyikan oleh hati. (al-Mu'min : 19).
Ayat-ayat di atas cukup sebagai teguran dan peringatan bagi orang-orang yang
takut akan kekuasaan Tuhan, dan itu merupakan dasar utama dari Kitabullah SWT.
Rasulullah SAW. bersabda:
Sesungguhnya melihat bagian tubuh wanita, ibarat panah
beracun dari iblis. Barangsiapa meninggalkan akan dilimpahkan
perasaan lega dalam beribadah. Dan itu keberuntungan bagi yang
melakukannya, dan ia akan merasakan manisnya beribadah, serta
beningnya hati yang belum pernah diperoleh sebelumnya.
Selain firman Allah dan sabda Rasulullah di atas, hendaknya kita meneliti setiap
anggota badan. Apa yang harus dikerjakan tiap-tiap anggota tubuh itu, dan apa yang
kita tunggu untuknya. Dengan demikian, berarti kita telah memelihara dan
menjaganya. Misalnya, kaki untuk berjalan di taman-taman surga dan bagianbagiannya. Tangan untuk memetik buah-buahan lezat dan memegang gelas
minuman menyegarkan. Mata untuk melihat Rabbul 'Alamin di akhirat, dan itu
adalah puncak kenikmatan yang tidak tertandingi.
Sebab di saat engkau mendengar ucapan buruk, engkau menjadi pasangan
pengucapnya.
Kedua, sebab mendengarkan sesuatu menimbulkan dorongan hati dan
perasaan was-was. Selain itu, mengakibatkan anggota badan sibuk, yang
mengakibatkan melupakan beribadah.
Perlu diketahui, pengaruh pendengaran terhadap hati sama halnya dengan
pengaruh makanan terhadap perut, ada yang bermanfaat dan sebagian lagi
merupakan madharat. Ada yang menjadi santapan ada yang menjadi racun. Bahkan,
pengaruh pendengaran terhadap hati lebih dglam dan membekas dibanding
pengaruh makanan terhadap perut. Sebab, pengaruh makanan dapat dihilangkan
dengan tidur, meskipun pengaruhnya ada yang cukup lama, namun masih tetap
dapat dihilangkan dan disembuhkan dengan obat. Tetapi, pengaruh pendengaran
terhadap hati kadangkala ada yang terus membekas dan tidak dapat dilupakan

seumur hidup.
Jika ucapan itu buruk, maka akan menimbulkan aib yang terus menerus dan
membuat hati was-was. Sehingga untuk berpaling darinya, harus dengan usaha dan
memohon pertolongan Allah. Selain itu akan menyeretnya dalam kecelakaan dan ke
jurang kenistaan.
Semuanya itu bisa dihindari jika seseorang dapat menjaga dan memeliharanya
dar.i ucapan-ucapan yang tidak bermanfaat.
2.
Telinga.
Perkataan-perkataan kotor, hina, dan yang tidak bermanfaat harus kita hindari,
jangan sampai kita mendengarkannya. Hal itu karena dua hal:
Pertama, menurut sebuah riwayat, pendengaran sama dengan mulut dalam
kebaikan atau keburukan.
Sehubungan dengan hal itu, ada sya'ir- yang mengatakan:
Pilihlah jalan tengah di antara jalan-jalan yang ada,
dan jauhi simpangan-simpangan yang meragukan.
Jagalah pendengaranmu dari suara buruk,
seperti engkau menjaga mulutmu dari ucapan buruk.
3.
Mulut.
Wajib bagi kita memelihara mulut. Sebab, di antara anggota badan dan panca
indra, mulutlah yang paling usil dan paling banyak menimbulkan keonaran serta
kerusakan.
Sufyan bin Abdullah bertanya kepada Rasulullah SAW., "Ya Rasulullah, apa yang
paling ditakutkan dariku?" "Inilah," jawab Rasulullah seraya memegang lisannya.
Yunus bin Ubaidillah mengatakan, "Aku merasa mampu dan kuat menahan
lapar-dahaganya berpuasa pada siang hari yang terik, seperti di Negeri Basrah yang
sangat panas. Tetapi, bagiku sangat sulit meninggalkan sepatah kata yang tidak
perlu."
Untuk itu, diperlukan usaha sungguh-sungguh serta memperhatikan lima
dasar berikut ini:
1. Seperti yang diriwayatkan Abu Sa'id al-Khudri, bahwa anggota badan anak
Adam pada setiap pagi sepadan kepada lisan agar berlaku baik. Seolaholah mereka berkata, ''Wahai lisan, jika engkau berlaku baik, maka kami

pun akan baik. Dan jika engkau berlaku jahat, kami pun terpaksa berlaku
jahat pula." Maksudnya, lisan itu sangat berpengaruh terhadap anggota
badan dalam kebaikan dan keburukan. Dan makna ini diperkuat oleh Malik
bin Dinar. Beliau berkata, "Jika hatimu keras membatu, maka sekujur
tubuhmu akan lemah, dan rezekimu terhalang. Hal itu disebabkan ucapan
lisanmu yang tidak karuan."
2. Jangan membuang-buang waktu dengan percuma. Misalnya, ngobrol yang
tidak bermanfaat. Sebab, ucapan lisan selain dzikrullah, sebagian besar
adalah sia-sia belaka.
Ada cerita, Hisan bin Ali Sinan pada suatu saat melewati sebuah lorong
loteng yang baru dibangun. Kemudian, beliau berkata, "Kapan loteng ini
mulai dibangun?" Setelah berkata begitu, ia berpikir tentang dirinya, "hai
nafsu, untuk apa engkau menanyakan hal itu?" Akhirnya ia menghukum
dirinya dengan jalan melakukan puasa selama setahun penuh guna
menghapus ucapannya yang iseng itu. Alangkah berbahagianya orang yang
dapat menjaga dan memperhatikan dirinya, dan alangkah celakanya orang
yang tidak memperdulikan dirinya, berbuat semaunya, dan tidak mampu
mengendalikan diri. Hanya kepada Allah kita memohon pertolongan.
Tepat sekali sya'ir yang berbunyi:
Untuk mempertahankan amal saleh, adalah dengan memelihara lisan. Sebab, jika lisan tidak terkendali, ia akan, cenderung berbuat yang tidak keruan, mengumpat orang misalnya.
Sebagian ulama berpendapat, "Barangsiapa banyak bicara, akan
banyak pula lidahnya tergelincir. Dan mengumpat ibarat halilintar
yang menghapus taat."
3. Selain itu, perumpamaan orang yang suka mengumpat ibarat orang
memasang senjata untuk melemparkan kebaikannya ke barat dan ke
timur, serta ke kanan dan ke kiri. Sampai kepadaku kisah dari Syaikh alHasan, terdapat seorang datang kepadanya menceritakan bahwa ia
diumpat si Fulan. Kemudian, saat itu juga orang tersebut mengantarkan
sebaki kurma rutab dan berkata, "Aku mendengar kabar bahwa engkau
telah menghadiahkan pahala kebaikanmu kepadaku. Maka, terimalah
kirimanku ini sebagai ucapan terimakasih."
Syaikh Ibnu Mubarak mendengar cerita tentang seorang pengumpat. Maka
beliau berkata, "Jika aku suka mengumpat, tentu aku mengumpat ibuku,
sebab ibuku lebih berhak mendapatkan kebaikanku."

Pada suatu malam, syaikh Hatim al-Asam berhalangan mengerjakan shalat
tahajjud. Maka, beliau dicemooh oleh istrinya. Beliau berkata, "Mudahmudahan saja keteledoranku malam itu terbayar oleh kejadian malam itu
juga. Yakni, dengan adanya beberapa orang yang mengerjakan shalat
tahajjud pada malam itu hingga larut malam, tetapi pagi harinya mereka
mengumpatku. Maka, mudah-mudahan di hari kiamat kelak, pahala
tahajjud mereka berpindah ke timbangan amalku."
4. Untuk menghindari bahaya dunia, Imam Sufyan mengatakan, "Jagalah
mulutmu, jangan sampai membuat ompong gigimu.
Ulama lain mengatakan, "Jangan mengumbar mulut, agar kau tidak hancur
(maksudnya, jika seseorang bicara seenaknya, ada kemungkinan ia dipukul
orang hingga ompong dan roboh).
Berikut ini sya'ir hasil gubahan sebagian ulama:
Jagalah mulutmu jangan sampai mengucapkan sesuatu
yang dapat mengundang petaka, karena sesungguhnya petaka itu
berpangkal dari ucapan.
Dan Sya'ir Ibnu Mubarak ra.:
Ingatlah! Jaga mulutmu, sesungguhnya mulut itu mempercepat
kematian, dan lisan merupakan cermin hati seseorang yang bisa
menunjukkan kadar rasio seseorang.
Di bawah ini sya'ir Sayyidina Ibnu Abi Muthi':
Lisan seseorang ibarat singa dalam kandang, jika dilepaskan
pasti ia menerkam. Jagalah mulut dari ucapan kotor dan
kendalikan, niscaya kendali itu menjadi dinding dari segala petaka.
5. Mengingat bahaya akhirat dan akibat-akibatnya, maka akan penyusun
sebutkan hal-hal penting, yaitu: bahwa seseorang tidak dapat terlepas dari
dua hal dalam berbicara, yakni ucapan yang diharamkan dan mubah. Dan
keduanya mengandung cela.
Akibat dari ucapan haram adalah siksa yang pedih dan seseorang tidak akan
mampu menanggungnya.
Rasulullah SAW. bersabda:
Ketika aku di-isra'kan, aku lihat manusta di dalam neraka
sedang makan bangkai.
"Siapa mereka, hai Jibril," tanyaku.
Jawab Jibril, "Mereka adalah orang-orang yang ketika di dunia

suka makan daging manusia (suka mengumpat). "
Rasulullah SAW. pernah menasihati Sayyidina Mu'adz , "Hentikan
mengumpat para ahli al-Qur'an dan penuntut ilmu. Dan janganlah
engkau mencabik-cabik manusia dengan mulutmu agar dirimu tidak
dicabik-cabik anjing-anjing neraka."
Abu Qalabagh mengatakan, "Sesungguhnya mengumpat itu menjadikan
hati bobrok dari petunjuk."
Semoga Allah senantiasa melindungi kita dari perbuatan seperti itu.
Sedangkan ucapan yang mubah, paling tidak menimbulkan empat hal:
1. Merepotkan Malaikat Kiraman Katibin dengan harus mencatat ucapan
seseorang yang tidak bermanfaat. Karena itu, janganlah kita
menyusahkan malaikat.
Allah berfirman:
Tiada suatu ucapan pun yang diucapkannya melainkan ada di dekatnya
Malaikat pengawas yang selalu hadir. (Qaf: 19).
2. Dengan demikian berarti kita mengirimkan catatan kepada Allah hal-hal yang
tidak bermanfaat. Seharusnya kita takut berbuat demikian.
Diceritakan, bahwa seorang ulama mendatangi seseorang yang sedang
berbicara yang tidak bermanfaat, "Wahai saudara! Merugilah engkau dengan
ucapan yang tidak bermanfaat itu. Sebab, berarti engkau mendikte surat
untuk Tuhanmu. Perhatikanlah jenis-jenis dikteanmu itu."
3. Catatan ucapannya itu, kelak akan ia baca di akhirat, di hadirat Allah, dan di
depan para saksi di tengah-tengah penderitaan dan pergolakan. Ketika itu,
mereka telanjang, kehausan, kelaparan, mereka terputus dari surga dan jauh
dari kenikmatan.
4. Ucapan-ucapannya akan mengundang cerca dan ejekan. la tidak akan lagi
berdalih, serta akan mendapat malu dari Rabbul 'Alamin.
Ada yang mengatakan:
Janganlah engkau berbicara melebihi yang diperlukan, sebab
hisabnya akan panjang.
Cukup kiranya pokok-pokok ini dijadikan peringatan bagi yang memerlukannya.
Dan telah penyusun terangkan dalam buku Asraru Mu'amalat ad-Din. Dengan
memperhatikan isinya, niscaya akan pembaca dapatkan cara-cara untuk

menghindarinya.
4. Hati.
Juga diwajibkan atas kita menjaga hati dan menjadikannya baik dengan usaha
sungguh-sungguh. Sebab, hati adalah bagian tubuh manusia yang paling besar
bahayanya, pengaruhnya paling kuat, masalahnya paling pelik dan sukar, paling
halus, dan sulit untuk memperbaikinya.
Berikut ini penyusun sampaikan lima hal penting sehubungan dengan hati:
1. Firman Allah Ta'ala:
Dia mengetahui (pandangan) mata yang khianat dan apa yang
disembunyikan oleh hati. (Al-Mu'min: 19).
Juga firman-Nya:
.....Dan Allah mengetahui apa yang (tersimpan) dalam hatimu
.... (al-Ahzab : 51).
Firman-Nya yang lain:
.....sesungguhnya Dia Maha mengetahui segala isi hati .... (alMulk : 13).
Di dalam al-Qur'an banyak diulangi keterangan mengenai hal itu. Cukup kiranya
untuk diperhatikan dan sebagai peringatan bagi hamba-hamba pilihan. Sebab,
muamalah dan Dzat yang mengetahui segala yang gaib, bila tanpa perhatian
dan peringatan akan banyak bahayanya, sebab Allah Maha Mengetahui.
2. Sabda Rasulullah SAW.:
Sesungguhnya Allah tidak hanya melihat rupa dan kulitmu,
melainkan juga melihat hatimu.
Hal itu berarti, hati merupakan pusat penilaian Rabbul 'Alamin. Aneh, orangorang yang hanya memelihara dan memperhatikan wajahnya agar diperhatikan
orang lain. Membersihkannya, dibasuh, kemudian dihiasi. Semua itu
dimaksudkan agar tidak terdapat cela di mata orang lain. Sedangkan hati, yang
merupakan pusat penilaian Rabbul 'Alamin, dibiarkan begitu saja. Tidak
dirawat, dihiasi, dan dibersihkan. Padahal, hati seharusnya mendapatkan
perhatian dan perawatan lebih baik sebab, orang pun, jika mengetahui
seseorang berhati kotor, sombong, dengki, dan pendendam, pastilah akan
meninggalkan dan menjauhinya.
3. Hati ibarat raja yang ditaati dan pemimpin yang disegani .. Dan s.eluruh
anggota badan ibarat rakyatnya. Jika hatinya baik, baiklah seluruh anggota

tubuh. Jika hatinya lurus, akan lurus pula seluruh anggotanya.
Nabi Muhammad SAW. bersabda:
Sesungguhnya dalam jasad manusia terdapat segumpal darah
yang apabila keadaannya mulus, akan mulus pula seluruh anggotanya.
Dan jika keadaannya rusak, akan rusak pula seluruh anggota
badannya.
Segumpal darah yang dimaksud di atas adalah hati.
Setelah kita mengetahui bahwa kebaikan seluruh bagian tubuh tergantung
kepada kebaikan hati, maka wajib bagi kita menumpahkan seluruh perhatian
kepadanya.
4. Sesungguhnya di dalam hati tersimpan permata yang sangat. bernilai bagi
manusia, Pertama, akal, dan ma'rifat sebagai .puncaknya yang menjadi pangkal
kebahagiaan dunia dan akhirat, Kemudian, mata hati, yakni yang sangat
menentukan mendapatkan kemuliaan di sisi Allah. Selanjutnya, niat yang ikhlas
dalam taat yang berhubungan dengan pahala yang kekal. Kemudian, ilmu yang
bermanfaat yang membuat bahagia pemiliknya. Selanjutnya, perangai yang
baik dn kelakuan terpuji, yang dengan semua itu, akan tercapai kemajuankemajuan, sebagaimana telah kami terangkan secara tennci dalam kitab Asraru
Mu 'amalat ad-Din.
Oleh sebab itu, wajib kita jaga tempat bernaungnya permata yang sangat
berharga itu, memelihara dan merawatnya agar tidak terkena berbagai
kotoran. Wajib bagi kita membentengi agar tidak kebobolan. Kemudian,
memuliakannya agar. permata yang ada di dalamnya tidak terkena kotoran dan
tidak tertembus musuh.
5. Setelah kita renungkan, maka akan kita dapatkan lima keistimewaan;
1) Musuh senantiasa mengintip dan selalu berusaha menungganginya. Selain
itu, hati adalah tempat menetapnya ilham, malaikat dan setan. Malaikat dan
setan membisikkan ajakannya masing-masing .
2) Hati mempunyai banyak kesibukan. Sebab. akal dan nafsu berada di
dalamnya. Jadi, hati merupakan ajang peperangan antara akal dengan nafsu.
3) Di dalam hati terdapat banyak kasak-kusuk, seperti halnya air hujan yang
tiada henti-hentinya, siang-malam, dan manusia tidak dapat menahan atau
menghindarkannya, berlainan dengan mata dan telinga.
Sedangkan mata bila dipejamkan, atau jika .diam di tempat gelap, sudah

tidak melihat sesuatu. Demikian halnya lisan yang terdiri dari bibir dan gigi.
Dengan mengatupkan bibir, berarti seseorang berhenti berbicara. .
Berbeda dengan hati, sebab hati merupakan obyek dari bisikan dan desusan
yang sukar ditahan dan dijaga. Setiap detik hati berjalan dengan segala
rencananya, sedangkan hawa nafsu cepat sekali menyambut dan
menurutnya. Sehingga, untuk menahannya, meskipun dengan mengerahkan
segala daya dan upaya, masih saja merupakan masalah yang pelik dan
merupakan ujian berat.
4) Mengobati hati sangat sukar, karena hati tidak dapat ditangkap dengan
indra penglihatan. Dan kadangkala, kita tidak menyadari bahwa hati telah
terkena berbagai penyakit. Untuk itu perlu sekali kita mengamat-amati
dengan penuh perhatian dan kesungguhan.
5) Penyakit sangat cepat menjalar ke hati. Dan hati mudah bergolak, bahkan
lebih cepat dari bergolaknya air panas dalam ceret.
Selanjutnya, bila hati tergelincir akan menimbulkan bahaya yang sangat
besar, dan merupakan bahaya yang paling mencelakakan. Dan serendahrendah penyakit hati adalah hati yang keras, yaitu hati yang tidak
mempan nasihat, sedangkan bahayanya yang paling besar adalah kufur!
Perhatikan firman Allah mengenai iblis. Iblis menentang Allah dan enggan
menghormati Nabi Adam as. Ia takabbur dan kafir, yang membuatnya tidak mau
mengesakan Allah dan kufur.
Perhatikan pula firman Allah mengenai Bal'am yang menuruti nafsunya
hmgga hatinya tunduk kepada nafsu. Hal itu menjadikannya hina.
Juga firman Allah mengenai orang-orang yang dibalikkan hati dan
penglihatannya. Mereka adalah orang-orang yang tidak pernah beriman,
sehingga Allah membiarkannya dalam keadaan kacau dan kebingungan.
Maka, hamba Allah pilihan sangat takut jika sampai hatinya tergelincir.
Sehingga, mereka menangis dan berusaha sekuat tenaga menjaga dan
memelihara hatinya. Sampai-sampai, Allah mensifatinya dengan firman-Nya:
... Mereka takut kepada suatu hari yang (di hari itu) hati dan
penglihatan menjadi goncang. (an-Nur: 37).
Semoga Allah menjadikan kita golongan yang dapat mengambil i'tibar,
dengan memperhatikan bahaya-bahaya getaran hati. Baiknya hati seseorang
adalah berkat taufik dan kasih sayang-Nya.

Memang, pembahasan mengenai hati ini sangat penting. Tetapi, rincian
mengenai hal-hal yang menjadikannya baik, penyakit-penyakit yang dapat
merusakkan sangatlah panjang. Dan buku ini tidak akan cukup memuatnya.
Namun demikian, menurut para ulama, terdapat sembilanpuluh macam yang
baik, dan sembilanpuluh macam yang buruk dan tercela, dan diterangkan pula
segala larangan dan kewajiban-kewajibannya.
Penyusun yakin, orang yang mementingkan urusan agamanya, dan sadar
dari kelalaiannya, dengan taufik Allah ia akan dapat berbuat lebih banyak dalam
menghasilkan dan mengamalkannya. Dan sebagian masalah tersebut telah
penyusun sebutkan dalam Bab Syarab Keajaiban Hati, kitab Ihya' Ulumuddin.
Telah pula penyusun terangkan secara terinci beserta kaifiyat untuk
mengobatinya dalam Kitab Asraru Mu 'amalat ad-Din, kitab khusus yang sangat
bermanfaat dan yang dapat dipetik manfaatnya oleh orang-orang berilmu.
Sedangkan isinya dapat memberikan manfaat kepada pembaca pada
umumnya, baik yang sedang mulai mengaji, orang-orang berilmu, orang lemah,
maupun orang kuat.
Telah penyusun terangkan pula pokok-pokok yang harus penyusun jelaskan
dalam mengobati hati dan masalah-masalah yang dibutuhkan dalam beribadah.
Juga telah penyusun dapatkan empat hal yang kiranya membuat para ahli
ibadah tergelincir dan merupakan penyakit para Mujtahid. Dan itulah yang
dimaksud dengan fitnah hati dan kecelakaan yang sangat menyakitkan, yang
selanjutnya akan merusak dan menghancurkan.
Adapun empat hal itu adalah lawan dari yang empat hal di atas, yang akan
mendatangkan kekuatan dalam beribadah, keteraturan beribadah, dan kebaikan
hati.
Empat penyakit yang dimaksud adalah:
1)
Khayalan, seakan-akan masih panjang usia.
2)
Serba terburu-buru, tanpa pertimbangan.
3)
Iri dan dengki terhadap orang lain.
4)
Takabbur.
Sedangkan empat lawannya:
1)
Mengingat maut.
2)
Berhati-hati dalam segala hal.

3)
Jujur.
4)
Tauadbu' (tidak congkak).
Itulah pokok-pokok kebaikan dan perusak hati. Masalah itu sangat penting,
untuk itu kita harus berusaha dengan sungguhsungguh menghindarkan penyakit hati
dan berusaha memiliki obatnya, sehingga kita sampai kepada tujuan Insya Allah.
Dan masalah itu akan penyusun terangkan secara singkat. Sedangkan segala
angan-angan, lamunan, khayalan merupakan penghalang kebaikan dan taat, serta
akan mendatangkan tindak kejahatan dan fimah. Karena itu, merupakan penyakit
parah yang dapat menyeret manusia ke dalam bermacam bencana.
Perlu kita ketahui, dari khayalan dan angan-angan akan mendorong seseorang
melakukan empat hal sebagai berikut:
1. Tidak -taat, dan lama-kelamaan meninggalkannya sama sekali. Lamunannya
akan berkata, "Pasti aku akan taat, tetapi sekarang aku belum dapat
melaksanakannya, dan hari masih panjang, sehingga aku pasti akan dapat
melaksanakannya."
Benar yang dikatakan Syaikh Daud ath-Thai, bahwa barangsiapa takut
ancaman siksa tentu yang jauh menjadi dekat. Dan barangsiapa tinggi citacitanya (suka) berangan-angan niscaya akan buruk amalannya.
Sayyidina Yahya bin Mu'adz ar-Razi mengatakan, "Berangan-angan itu
memutuskan setiap kebaikan. Tamak dan loba menghalangi yang haq, sabar
membawa kemenangan, dan nafsu mengajak kepada kejahatan."
2. Akibat dari Thului 'Amal adalah, orang akan menundanunda bertaubat dan
meninggalkannya dengan dalih hari masih panjang. Mereka merasa dirinya
masih muda dan telah memiliki banyak pengetahuan mengenal taubat.
Hingga pada waktunya nanti mereka tinggal memulainya. Sesungguhnya,
orang itu tidak sadar, bahaa ajal akan menjemputnya kapan saja sesuai
dengan takdir. Dan bagaimana jika ia mati sebelum bertaubat?
3. Akibat lain dari sifat Thului 'Amal adalah, orang gemar sekali menimbun
harta, mencintai dunia, dan melupakan akhirat. Mereka beranggapan jika
tidak memupuk kekayaan mulai sekarang, khawatir menjadi fakir pada masa
tuanya, ketika sudah tidak mampu lagi berusaha. Untuk itu, mereka mulai
sekarang sudah berusaha mencari kelebihannya untuk cadangan jika dirinya
sakit, fakir, atau jompo.

Pikiran seperti itu akan mengakibatkan mencintai dan loba terhadap dunia,
serta seluruh perhatiannya akan ditumpahkan hanya untuk berpikir rezeki
dan rezeki ... !
Lamunannya akan membawanya berpikir seperti ini, "Apa makanan dan
minumanku nanti, bagaimana dengan pakaianku pada musim panas dan
musim dingin nanti. Jika tidak kutimbun sejak sekarang, sedang mungkin aku
berumur panjang dan kebutuhan sangat banyak. Maka, aku harus
mengumpulkan kekayaan sebanyak-banyaknya. pikiran seperti itulah yang
akan melalaikannya beribadah, meninggalkan kewajiban, dan berpaling dan
Allah. Ia lebih mencintai dunia dengan segala kekayaannya yang akan
membuatnya bersifat kikir.
Atau paling tidak akibat dari hal di atas akan membuat hati bimbang dan
membuang waktu dengan percuma. Dan kebimbangan yang terus menerus
itu tidak akanbermanfaat sama sekali. Sebagaimana diriwayatkan Sayyidina
Abu Dzar ra., "Aku terbunuh oleh kebimbangan hati, meskipun aku belum
sampai ke sana." Kemudian seseorang bertanya, "Apa artinya itu, ya Abu
Dzar?" jawabnya, "Karena angan-anganku melampaui ajalku."
4. Selain itu, Thului 'Amal mengakibatkan hati seseorang keras dan melupakan
akhirat. Sebab, jika seseorang mengangankan kehidupan kekal, tentu
ingatannya tentang maut dan kubur menjadi hilang.
Sayyidina Ali berkata:
Sesungguhnya yang aku takutkan dari kamu ada dua hal. Yaitu,
merasa masih jauh dari ajal dan tunduk kepada nafsu.
Ingat, Thului 'Amal melupakan akhirat, dan tunduk kepada nafsu akan
menyesatkan orang dari kebenaran. Adapun pikiran dan urusanmu yang
dianggap besar hanyalah dongeng dunia, sebab-sebab kehidupan, dan masalah
pergaulan yang menjadikan hati keras. Sedangkan lunak dan jernihnya hati itu
dengan mengingat maut dan kubur, mengingat pahala dan siksa, dan hal ihwal
akhirat. Jika tidak demikian, bagaimana mungkin hati seseorang akan lunak dan
jernih.
Allah Ta'ala berfirman:
.....telah diturunkan al-Kitab kepadanya, kemudian berlalulah
masa yang panjang atas mereka lalu hati mereka menjadi keras. Dan
kebanyakan di anta:a mereka adalah orangorang yang fasik. (alHadid : 16).

Jadi, jika seseorang merasa masih jauh dari kematian, niscaya, taatnya
hanya sedikit dan terlambat bertaubat, banyak berbuat maksiat, serakah,
hatinya menjadi keras membatu, dan melalaikan Tuhan. Akibat dari semuanya
itu akan ditanggungnya di akhirat.
Sedangkan jika seseorang merasa dekat dengan kematiannya, ingat saudara
dan kerabat, bahwa mereka mati tanpa disangka-sangka, menyadari mungkin
dirinya akan mengalami hal serupa, maka jagalah diri agar tidak terkena ghurur.
Sayyidinau 'Auf bin Abdullah berkata, "Berapa banyak orang sehat yang
sedang menjalani kehidupan seharinya, tetapi tidak menjalani sorenya. Dan
berapa banyak orang yang menanti hari esok, tetapi tidak sempat
mengalaminya."
Jika seseorang mengetahui ajal dan perjalanannya, tentu ia benci akan
angan-angan dan tipu dayanya.
Nabi Isa as. bersabda:
Dunia itu hanya tiga hari: hari yang telah lampau tidak ada
apa-apanya lagi. Dan besok, yang sedang kau nanti masih merupakan
tanda tanya, apakah engkau bisa sampai atau tidak. Serta hari ini,
yang kini sedang kau jalani, maka pergunakun kesempatan itu sebaikbaiknya."
Abu Dzar al-Ghifari mengatakan:
Dunia ini hanya tiga saat: satu saat telah lewat, satu saat
sedang kau jalani, dan satu saat lagi engkau tidak tahu, sampai atau
tidak. Oleh sebab itu, sebenarnya yang engkau miliki hanya satu
saat, karena maut itu datang dari saat ke saat. "
Guru kami rahimahumullah juga mengatakan:
Dunia ini hanya tiga napas: Satu saat telah lewat membawa
amal yang kau kerjakan pada napas itu, dan satu napas yang sedang
kau jalani. Dan satu napas lagi, apakah engkau bisa sampai atau
tidak. Sebab, banyak orang yang sedang bernapas kedatangan maut
sebelum sempat bernapas kembali. Jika demikian, berarti hanya ada
satu napas yang engkau miliki, bukan hari dan bukan pula saat. Untuk
itu bergegaslah taat selama engkau masih bernapas. Sebelum ia
pergi, segeralah bertaubat, sebab siapa tahu pada napas yang kedua
engkau mati.
Untuk itu, janganlah mencurahkan perhatian hanya kepada rezeki. Sebab,
kemungkinan engkau sudah tidak membutuhkan lagi jika engkau mati pada napas
yang sedang kau jalani. Berarti, engkau menyia-nyiakan waktu, dan kebingunganmu
akan bertambah. Untuk apa pusing-pusing memikirkan rezeki, sedang rezeki itu

hanya untuk satu hari, satu jam, atau satu napas.
Nabi SAW. bersabda tentang Usamah:
Tidakkah kamu heran kepada Usamah yang telah berhutang
selama satu bulan, sungguh tinggi cita-citanya.
Selanjutnya Nabi Muhammad SAW. bersabda:
Wallahi ketika aku melangkahkan kaki, tidak kusangka akan
melangkah kembali. Dan ketika menyuap. tidak kusangka bisa
menelannya, kalau-kalau ajal tiba saat itu juga.
Demi Allah, segala yang telah Allah janjikan pasti akan terjadi. Dan tidak sekalikali manusia dapat mengalahkan kekuasaan dan kehendak-Nya.
Jika seseorang senantiasa mengingat seperti itu, tentu angan-angan itu tidak
akan panjang. Dengan izin Allah dan saat itu juga ia bercermin kermudian saat dan
segera bertaubat. Maka bersihlah ia dari maksiat, dan la akan berzuhud pada duni
dan isinya. Sehingga, perhitungan dan tanggungannya menjadi ringan. Selain itu,
hatinya akan selalu mengingat akhirat dan siksanya. Hal itu karena dari satu napas
ke napas benkutnya la berjalan ke sana serta melihatnya satu demi satu. Akhirnya,
hilanglah kekerasan hati dan berganti dengan kelunakan dan jernihnya hati. Pada
saat ItU Juga akan tumbuh rasa takut terhadap Allah. Kemudian, ibadahnya pun
rnenjadi lurus, siap menerima kematian, dan tercapai segala yang rnenjadi tujuan di
akhirat.
Tidak bercita-cita muluk akan terlaksana hanya berkat karunia Allah.
Telah diriwayatkan, Zararah bin Abu Aufa setelah wafat, dalam mimpinya
ditanya oleh seseorang mengenal amal apa yang lebih kena bagi seseorang.
Jawabnya adalah Ikhlas dan sederhana dalam cita-cita.
Untuk itu, koreksi diri sendiri dan ijtihad dalam menghadapi masalah yang
sangat penting ini. Sebab,. masalah ini berpengaruh besar terhadap hati dan nafsu
menuju kebaikan.
Sedangkan sifat hasad merupakan sifat yang merusakkan pahala dari taat,
membangkitkan keinginan berbuat dosa. Hasad merupakan penyakit parah, dan
banyak sudah orang terkena penyakit ini, baik dari golongan qurra' dan ulama.
Apalagi masyarakat awam, sehingga penyakit ini menghancurkan dan mengantarkan
mereka ke neraka.
Nabi Muhammad SAW. bersabda:
Enam orang masuk neraka dengan enam sebab:

1) Bangsa Arab disebabkan kesukuannya.
2) Para raja disebabkan kezhalimannya.
3) Para pemimpin disebabkan ketakabburalnnya.
4) Pedagang disebabkan berkhianat.
5) Orang desa dikarenakan kebodohannya.
6) Para ulama disebabkan sifat hasad.
Siksa dari sifat hasadlah yang menyeret para ulama ke dalam neraka. Untuk itu
harus benar-benar dijaga dan ditakuti.
Dan sifat hasad itu menimbulkan lima macam kerusakan:
1. Merusak taat.
Sabda Nabi Muhammad SAW.:
Hasad itu memakan pahala kebaikan, seperti api makan kayu bakar.
2. Hasad adalah sifat jahat dan maksiat. Seperti dikatakan Sayydina Wahab bin
Munabbih ra., bahwa hasad mempunyaI tiga ciri:
a. Jika berhadapan menjilat.
b. Jika di belakang mengumpat.
c. Senang jika orang lain mendapat celaka.
Kiranya cukup pengetahuan kita mengenai hasad. Hanya kepada Allah kita
berhndung dari kejahatan orang-orang hasad.
Allah berfirman:
“…..dan dari kejahatan orang yang dengki apabila ia dengki….. (alFalaq:5).
Allah memerintahkan kita agar meminta perlindunganNya dari sifat hasad.
seperti halnya meminta perlindungan
dari setan dan tukang sihir.
Memang jahat dan buruk sifat hasad itu, hingga disamakan dengan setan
dan tukang sihir. Dan hanya kepada Allah kita memohon perlindungan.
3. Hasad menjadikan lemah dan kebingungan yang tidak bermanfaat, bahkan
menimbulkan dosa maksiat. Seperti dikatakan Ibnu Samma' ra., bahwa
keadaan orang zhalim dan hasad itu adalah sama. Mereka mempunyai napas
yang berlarut-larut, otak yang kosong dan hampa, serta kesusahan terus
menerus.

4. Akibat dari hasad adalah buta hati, sehingga tidak mampu memahami satu
hukum pun dari sekian banyak hukum Allah. Seperti dikatakan Sufyan atsTsauri ra., "Biasakan olehmu diam dalam waktu lama, tentu engkau bersifat
wara , (teliti).
5. Akibat lain dari sifat hasad adalah terhalangnya kebaikan, tidak
mendapatkan taufik dan tidak dapat mencapai segala yang menjadi
kebutuhannya, bahkan berarti menolong musuh. Seperti dikatakan Hatimul
Asham ra., "Orang dengki bukan ahli agama, dan orang yang suka mencela
tidak termasuk ahli ibadah. Orang yang suka mengadu domba tidak boleh
dipercaya, dan orang hasad termasuk golongan yang tidak perlu
mendapatkan pertolongan."
Penyusun berpendapat bahwa orang yang bersifat hasad tidak akan sampai ke
tujuannya. Sebab, yang akan sampai ke tujuan hanyalah orang-orang Muslim yang
mensyukuri nikmat-Nya. Orang Muslim mendapatkan pertolongan Allah karena
mereka Mu'min.
Benar sekali yang dikatakan Abu Ya'qub ra.:
Ya Allah, sabarkanlab kami untuk menyempurnakan nikmat bagi
segala hamba-Mu dan kebaikan perbuatan mereka.
Sifat hasad juga merusak taat dan memperbanyak kejahatan, serta
menghalangi kebebasan diri dan kecerdasan. Selain itu, berarti membantu
musuh. Maka, tidak ada penyakit yang lebih parah dibanding sifat hasad. Untuk
itu, bersungguh-sungguhlah dalam usaha menghilangkan dan menghindarkan
sifat hasad.
Selain itu, tergesa dalam berbuat kebaikan dapat menjauhkan dari tujuan,
dan dapat menjerumuskan dalam maksiat. Dan sifat tergesa-gesa itu
ditimbulkan oleh empat perkara:
a. Beribadah dengan maksud mencapai kedudukan istiqamah, kadangkala
dilakukan dengan tergesa-gesa, padahal belum masanya. Hal itu dapat
membuat lelah dan berputus asa, kemudian tidak bersungguh-sungguh
dalam -mengerjakannya. Sehingga, ia tidak sampai ke tujuan. Dan ia berada
dalam keadaan berlebihan dan kekurangan. Keduanya itu adalah hasil dari
sifat tergesa-gesa.
Nabi Muhammad SAW. bersabda:
Bahwasanya agama kami ini teguh. Masukilah ia dengan lemah

lembut. Sebab, yang terlalu cepat berlari tidak ada tempat yang
dapat dijangkau dan tiada kendaraan yang tetap:
Ada peribahasa yang mengatakan, "Jika engkau tidak tergesa-gesa, niscaya
sampai juga engkau."
Ada pula sya'ir yang berbunyi:
Orang yang tidak tergesa-gesa telah mendapatkan sebagian
dari tujuannya, dan tergelincirlah orang yang tergesa-gesa.
b. Seorang ahli ibadah yang mempunyai suatu tujuan, lalu ia memperbanyak
doa kepada Allah dan bersungguh-sungguh, kemudian memohon diijabah
sebelum masanya dan tidak kesampaian, akhirnya ia akan merasa bosan
dan lelah. Lantas ia berhenti berdoa, maka akhirnya ia tidak akan mencapai
tujuannya.
c. Orang yang dizhalimi orang lain akan membencinya dan mendoakannya
agar segera mendapatkan hukuman. Maka, binasalah orang Muslim itu
karena doanya sendiri. Sebab, kadang-kadang pembalasannya itu melewati
batas. Dengan demikian, ia telah berbuat maksiat dan kerusakan"
Allah Ta'ala berfirman:
Dan manusia mendoa untuk kejahatan sebagaimana ia mendoa
untuk kebaikan. Dan adalah manusia bersifat tergesagesa. (Al-Isra':
11).
d.Pokok dari ibadah adalah wara', dan pokok dari wara' adalah teliti
dalam segala hal, dan membahas secukupnya setiap hal menurut
keadaannya, seperti makan, minum, berpakaian, bertindak, dan berbicara.
Jika seseorang tergesa-gesa dalam segala sesuatu, tidak menuntut
kenyataan, tidak melakukan penelitian sebagaimana mestinya, ia akan tergesagesa dalam berbicara, dan tergelincirlah lidahnya, tergesa-gesa ketika makan,
sedangkan yang dimakan adalah haram dan syubhat.
Begitulah pekerjaan yang dilakukan dengan sembrono tanpa pilih-pilih dan
dipikir terlebih dahulu. Pastilah ia tidak akan mencapai wara'. Sedang ibadahnya
tanpa disertai wara', dan apabila terdapat suatu masalah yang tidak dapat
menjadi baik, ia justru menghalangi tujuannya. Maka, binasalah kaum Muslim
dan dirinya karena kekhawatiran tidak dapat mencapai wara'. Perbuatan yang
seharusnya ia lakukan adalah memperbaiki diri dengan mencurahkan segala
perhatiannya untuk menghilangkan hal tersebut.
Dan sifat kibr (sombong) juga perbuatan yang sangat merusak.

Allah ' Azza wa Jalla berfirman:
... ia enggan dan takabur dan adalah ia termasuk golongan
orang-orang yang kafir. (al-Baqarah: 34),
Sifat sombong bukan saja merusak amal, seperti halnya sifat-sifat lain. Tetapi
juga membahayakan hal-hal pokok dan merusak niat. Apabila sifat itu telah
mengakar pada diri seseorang, tidaklah dapat diperbaiki. Na'udzu billah!
Sifat kibr (sombong) paling tidak akan menimbulkan empat bahaya:
1. Menghalangi kebenaran, membutakan mata hati, tidak sanggup mengenal ayatayat Allah, termasuk hukum-hukumnya.
Allah Ta'ala berfirman:
Aku akan memalingkan orang-orang yang menyombongkan dirinya di muka
bumi tanpa alasan yang benar dari tanda-tanda kekuasaan-Ku .... (al-A'raf:
146).
Dan firman-Nya pula:
Demikianlah Allah mengunci mati hati orang yang sombong dan
sewenang-wenang. ... (al-Mu'min: 35).
Demikianlah Allah mencap hati orang-orang yang sombong dan keras.
2. Sifat sombong mendatangkan murka Allah:
Firman Allah SWT.:
Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong.
(an-Nahl : 23).
Nabi Musa as. bersabda: "Ya Allah, siapakah orang yang sangat Engkau
murkai?"
3. Sifat kibr menjadikannya hina dan mendatangkan siksa di dunia dan di akhirat:
Berkata Syaikh Hatim rabimabullab.
Jauhkan dirimu dari maut dalam tiga keadaan:
a.Dalam keadaan takabbur.
b.Dalam keadaan loba.
c.Dalam keadaan ‘ujub (merasa baik).
Orang yang takabbur tidak akan dikeluarkan oleh Allah dari dunia sebelum
diperlihatkan kepadanya hinaan dari keluarganya yang paling rendah dan dari
pelayan-pelayannya.

Orang yang loba tidak akan dikeluarkan oleh Allah dari dunia melainkan
diberinya dahulu sepotong roti dan seteguk air, dan ia tidak mcndapatkan apaapa dari makanan yang telah ditelannya.
Dan orang yang bangga akan dirinya tidak akan dikeluarkan dari dunia
sebelum dirinya bersimbah air kencing dan tinja. Barang siapa takabbur tanpa
haq, niscaya Allah dengan haq akan menghinakannya.
4. Sifat kibr, balasannya adalah api neraka dan siksa akhirat. Seperti firman Allah
yang diriwayatkan Hadits Qudsi. "Kebesaran itu selendang-Ku, dan keagungan
adalah kain-Ku. Barang siapa mengambil salah satunya, niscaya Akumasukkan
ia ke dalam jahannam."
Maksudnya, kebesaran dan keagungan merupakan sifat tertentu yang
hanya dipunyai Allah. Tidak berhak (layak) bagi siapa pun memilikinya selain
Dia. Diibaratkan selendang dan kain yang khusus dimiliki seseorang, tentu
tidak boleh dipakai secara bersamaan dengan orang lain.
Kini, kita mengetahui bahwa sifat takabbur merupakan penghalang
untuk mengenali yang haq dan memahami arti ayat-ayat Allah beserta
hukum-hukumnya yang menjadi inti segala persoalan. Selain itu, sifat
takabbur mendatangkan kutukan, baik dari Allah maupun sesamanya. Maka,
setiap orang yang berakal tidak akan membiarkan sifat itu ada pada dirinya,
melainkan akan berusaha membuang dan menjauhinya dengan sungguhsungguh dan segera memohon perlindungan Allah dari sifat itu.
Sesungguhnya Allah Maha Pelindung dan Maha Pemurah.
Pembaca yang budiman, itulah empat perkara (Tbulul 'Amal, Istijal,
Hasad, dan Kibr) yang telah penyusun sampaikan. Bagi orang-orang berakal
cukup kiranya penjelasan tersebut, jika memang ia seorang yang
mementingkan urusan hati dan menjaga agamanya.
Sedangkan penjelasan yang lebih mendetail dari keempat penyakit
tersebut, dapat pembaca lihat dalam buku Ihya' Ulumuddin dan Asrar Mu
'amalat ad-Din.
Adapun yang penyusun sebutkan di sini hanyalah pokokpokok dan
kewajiban-kewajibannya.
Menurut. para ulama, sifat Tbulul 'Amal adalah menginginkan (merasa)
hidup kekal. Dan kebalikan dari sifat itu adalah Qisharul 'Amal, yaitu tidak
memastikan dan tidak mensyaratkan, melainkan menggantungkan segalanya

kepada kehendak dan ilmu Allah, pada saat menggantungkan pada
keislahan, seperti misalnya berkata, "Besok saya akan ke ... , Insya Allah,"
atau kata-kata senada.
Tetapi, jika seseorang mengatakan, "Nanti, sebentar," atau "Minggu
depan saya pasti datang," (menetapkan dengan pasti), berarti ia Thulul 'Amal,
dan itu perbuatan maksiat. Sebab, ia menetapkan yang gaib dengan
memberikan kepastian.
Akan tetapi, jika ia menggantungkannya kepada kehendak Allah, dan
menyandarkan kepada keislahan, berarti la Qisbarul 'Amal.
Untuk itu, janganlah pernah memastikan akan tetap hidup.
Perlu kita pahami benar-benar kedua petunjuk di atas: Dan Insya Allah, kita
akan mendapat petunjuk-Nya.
Dan Thulul 'Amal itu ada dua macam:
1.Thulul 'Amal yang ada pada oraqg awam.
2.Thulul 'Amal yang dimiliki para alim.
Thuluil 'Amal orang awam, yaitu menginginkan hidup lama dan kekal hanya
untuk mengumpulkan harta, menimbun kekayaan dunia, kemudian bersenangsenang dengannya. Itu semata-mata merupakan perbuatan maksiat.
Allah Ta'ala berfirman:
Biarkanlah mereka (di dunia ini) makan dan bersenangsenang dan
dilalaikan oleh angan-angan (kosong), maka kelak mereka akan
mengetahui (akibat perbuatan mereka). (al-Hijr : 3).
Adapun Tbulul 'Amal orang berilmu, yaitu menginginkan hidup kekal guna
menyempurnakan kebaikan. Tetapi, di dalamnya masih terkandung bahaya,
yakni amal yang belum dapat diyakini. Sebab, adakalanya kebaikan itu tidak
meedatangkan maslahat. Sehingga, dalam menyempurnakan Itu senng disertai
sifat ‘ujub dan sifat-sifat lain yang membahayakan.
Untuk itu, jika hendak melaksanakan shalat atau puasa dan lainnya,
janganlah memastikan dan menetapkan dalam hati bahwa ia akan dapat
menyempurnakannya hingga selesai. Sebab, selesai atau tidak itu urusan gaib,
hanya Allah yang mengetahui. Di samping itu, tidak berhak ia memastikan dapat
menyelesaikannya, jika di dalamnya tidak terdapat kemaslahatan untuk dirinya. Jadi,
harus di-qayid-kan dengan masyiatullah, atau syarat adanya maslahat, agar

terhindar dari celanya sifat Thului 'Amal.
Allah berfirman:
Dan jangan sekali-kali kamu mengatakan terhadap sesuatu,
"Sesungguhnya aku akan mengerjakan itu besok pagi kecuali dengan
menyebut Insya Allah (jika Allah menghendaki). .. (al-Kahfi: 23-24).
Kebalikan Thulul 'Amal adalah niat yang terpuji. Sebab, mat merupakan
sebagian dari luasnya arti. Oleh karenanya, seseorang yang mempunyai niat terpuji
tidak termasuk Thulul 'Amal.
Itulah yang dimaksud dengan hukum Thulul 'Amal dan hukum niat. Keduanya
sangat perlu diketahui, sebab merupakan dasar yang paling pokok.
Definisi niat menurut para ulama adalah memulai suatu amal dengan baik
sebelum segala sesuatunya pasti terjadi, dan menyempurnakannya dengan bertafwid kepada Allah.
Memastikan dalam memulai suatu pekerjaan dibolehkan, asal .dengan ucapan
Insya Allah. Sebab, memulai suatu pekerjaan tidak mengandung bahaya (karena
baru dalam hati). Akan tetapi, selanjutnya mungkin akan mengandung bahaya.
Misalnya, bakal menghadapi rintangan, timbul sifat ‘ujub dan riya', akibat pekerjaan
itu.
Bahaya yang dimaksud di sini ada dua macam:
a. Bisa atau tidak pekerjaan itu terlaksana.
b. Kemungkinan timbul kerusakan (rusak niat misalnya, yang akan
menimbulkan sifat egois). Sebab, kita tidak tahu penyelesaian amal
(pekerjaan) itu, apakah terdapat maslahatnya atau tidak.
Oleh karena itu, dalam memulai suatu pekerjaan, wajib mengucapkan Insya
Allah, dan menyerahkan segala sesuatunya kepada Allah SWT.
Jika telah ada syarat-syarat di atas, maka kemauan itu menjadi niat terpuji, dan
berarti bebas dari sifat Thulul 'Amal beserta bahaya-bahayanya.
Benteng qisharul 'amal adalah ingat akan maut. Dan benteng dari benteng
qisharul 'amal adalah mengingat akan datangnya ajal secara mendadak. Sedangkan
ajal, kadangkala tiba ketika seseorang dalam keadaan lengah, lalai, lemah, dan
dalam keadaan tertipu oleh segala kesenangan dunia.
Oleh karena itu, kita harus menghafal semuanya dan mengamalkannya dengan
sebaik-baiknya. Janganlah kita menyianyiakan waktu hanya untuk berdebat dan

berbantah-bantahan.
Adapun sifat hasad adalah menghendaki hilangnya nikmat Allah yang ada pada
sesama Muslim. Lain lagi dengan jika dirinya menginginkan nikmat seperti orang
lain. Hal itu bukan hasad, melainkan ghibthah (ngiler).
Rasulullah SAW. bersabda:
Tidak ada hasad kecuali dua perkara, yang artinya tiada
gbibtbab.
Ghibthah di sini dikatakan hasad, sebab antara keduanya mempunyai arti yang
hampir sama (berdekatan).
Sedang niat membatalkan sesuatu pekerjaan yang tidak mengandung maslahat
disebut ghirah.
Demikianlah perbedaan antara hasad, ghibthah, dan ghirah:
-
Hasad berarti menginginkan hilangnya nikmat yang ada pada orang lain.
-
Gbibtbab yaitu menginginkan kenikmatan seperti orang lain.
-
Ghirah adalah menghendaki hilangnya kenikmatan yang tidak
mengandung maslahat.
Kebalikan hasad yaitu nasihah, artinya mengharapkan kenikmatan yang ada
pada kaum Muslimin secara kekal.
Bagaimana kita mengetahui kenikmatan itu mengandung maslahat atau
madharat, yang akan membawa kepada nasihah atau hasad. Adakalanya, ketika kita
hendak memulai suatu pekerjaan sudah mempunyai dugaan kuat akan nilai (arti)
dari pekerjaan itu.
Sehingga, masalah yang masih kita ragukan nilainya, mengandung maslahat
atau madharat. Jangan dulu diharapkan hIlangnya atau tetapnya kenikmatan itu,
agar tidak terperosok kepada hasad dan agar dapat mengambil bagian dari manfaat
nasihah.
Adapun benteng nasihah yang dapat menghalangi hasad adalah senantiasa
mengingat segala yang diwajibkan Allah dalam membela kaum Muslimin.
Benteng dari benteng ini adalah memperhatikan hak-hak orang Mu'min yang.
telah diagungkan oleh Allah, serta diangkat derajatnya, dan dIkarumaI kemuliaan
pada hari. kemudian. terutama, mengingat segala yang bermanfaat bagi kita di
dunia mi dengan Jalan salmg menolong dan saling membantu. Selanjutnya,

mengharapkan syafaat di akhirat.
Hal itu termasuk pembangkit nasihah bagi setiap individu Muslim, sekaligus
merupakan penghalang sifat hasad.
'Ajalah adalah kandungan yang ada dalam hati. Ia mendorong mengerjakan
sesuatu yang mula-mula muncul dalam ingatan tanpa pertimbangan, tanpa diselidiki
terlebih dahulu dan ingin cepat-cepat menuruti dan mengerjakannya.
Kebalikan 'Ajalah adalah ana'ab, yaitu tenang, perlahan-lahan dan berhati-hati,
serta dengan diselidiki terlebih dahulu.
Jadi, ana'ah merupakan kandungan dalam hati yang membangkitkan Sifat
berhati-hati dalam segala perbuatan, serta teliti dan perlahan-lahan dalam
mengerjakannya.
Sedangkan tawaqquf, artinya tidak tergesa-gesa, meneliti terlebih dahulu
sebelum mengerjakan sesuatu pekerjaan. Kebalikan tawaqquf adalah ta'assuf,
artinya sembrono, tergesa- gesa dalam mengerjakan suatu hal.
Guru kami rahimahullah mengatakan, bahwa perbedaan tawaqquf dengan ta
'ani adalah: tawaqquf, sebelum memulai suatu pekerjaan terlebih dahulu diperiksa
dan diteliti, sehingga nyata kebenarannya. Sedangkan ta'ani, adalah memulai
pekerjaan dengan berhati-hati, sehingga segalanya berjalan sebagaimana mestinya.
Mukaddimah ana'ah adalah mengingat macam-macam bahaya pada setiap hal
yang terjadi pada manusia, macammacam bahaya dalam suatu pekerjaan,
mengingat segala yang ada dalam pikiran, serta mengingat sesal dan cela yang
ditimbulkan ta'assuf dan isti'jal.
Kibr (takabbur) adalah merasa tinggi dan agung. Kebalikannya adalah dhi 'ah
(tawadhu'), yaitu rendah hati.
Kedua sifat itu (kibr dan tawadbu') terdapat pada setiap manusia, baik
manusia awam maupun manusia tertentu. Tawadhu' pada manusia awam ialah
merasa berkecukupan dalam berpakaian, bertempat tinggal, dan berkendaraan
sederhana. Sedangkan takabbur pada orang awam adalah kebalikan dari hal-hal
tersebut.
Sedangkan tawadbu' pada orang tertentu yaitu membiasakan diri menerima
kebenaran, dari siapa pun datangnya kebenaran itu. Sedangkan takabbur pada
orang tertentu (bukan orang awam) yaitu enggan menerima kebenaran yang datang
dari siapa pun. Dan sifat seperti itu merupakan maksiat dan dosa besar

Adapun benteng tawadhu' bagi manusia awam yaitu dengan dengan cara selalu
mengingat berbagai kehinaan pada awal, akhir, maupun kehidupan yang sedang
dipelajari. Sebagaimana dikatakan ulama, bahwa awal kehidupan manusia hanyalah
setetes mani, dan akhirnya menjadi bangkai membusuk. Dan di antara keduanya,
manusia adalah pembawa kotoran dalam perut.
Adapun benteng tawadhu' bagi orang tertentu (bukan awam) adalah
senantiasa mengingat siksa orang-orang yang menyimpang dari yang haq dan bathil.
Itulah uraian yang cukup bermanfaat bagi orang yang terbuka mata hatinya.
5. Perut dan penjagaannya.
Bagi orang-orang yang hendak melaksanakan ibadah, wajib menjaga perut
dan menjadikannya baik. Sebab, perut merupakan salah satu bagian tubuh yang
paling sukar diperbaiki, serta paling besar madharat dan pengaruhnya. Perut
ibarat mata air, dan merupakan sumber tenaga bagi seluruh tubuh .
Maka, wajib bagi kita sejak awal untuk memelihara perut dan makanan
yang diharamkan, selain menjaganya agar tidak berlebih-lebihan. Menjaganya
dari barang haram dan syubhat dikarenakan tiga sebab:
1. Takut terhadap api neraka, seperti firman Allah:
Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta anak yatim secara
zhalim, sebenamya mereka itu menelan api sepenuh perutnya .... (an-Nisa':
10)
Dan sabda Rasulullah SAW.:
Setiap daging yang tumbuh dari makanan haram, api neraka
akan lebih cepat menyambarnya.
2. Orang yang makan makanan haram, dan syubhat tidak akan diberi taufik
dalam beribadah. Sebab, orang seperti itu tidak pantas berkhidmat kepada
Allah.
Seperti telah kita ketahui, orang yang junub dilarang masuk ke dalam
masjid. Begitu juga orang yang mempunyai hadats, tidak diperbolehkan
memegang kitab suci al-Qur'an. Sebab, junub dan hadats merupakan perbuatan
mubah. Apalagi terhadap orang yang bersimbah kotoran haram dan syubhat.
Mana mungkin Allah akan menerima khidmatnya. Hal itu tidak mungkin terjadi!!
Yahya bin Mu 'adz mengatakan bahwa taat itu tersimpan dalam gudanggudang Allah yang lubang kuncinya berupa doa dan anak kuncinya adalah
barang halal. Jika anak kunci itu tidak ada, maka pintu tidak akan dapat dibuka.

Dan jika pintu tidak dapat dibuka, bagaimana seseorang dapat sampai kepada
taat??
3. Orang yang suka memakan barang haram dan syubhat, terhalang berbuat
kebaikan. Jika secara kebetulan la dapat melaksanakannya, maka amalannya
ditolak. Dengan begitu, hasilnya hanya lelah dan payah, serta menyia-nyiakan
waktu.
Rasulullah SAW. bersabda:
Banyak orang yang beribadah pada malam hari tetapi tidak
mendapatkan apa-apa selain kantuk. Dan banyak orang yang berpuasa
tetapi tidak mendapatkan apa-apa kecuali lapar dan dahaga.
Diriwayatkan dari Sayyidina Ibnu Abbas ra:
Allah tidak akan menerima shalat seseorang yang dalam
perutnya penuh dengan makanan haram.
Sedangkan memakan makanan halal secara berlebihan merupakan penyakit
bagi ahli ibadah, dan bala' bagi ahli ijtihad.
Penyusun menyimpulkan, di dalamnya terdapat sepuluh gejala:
1) Makan berlebih-lebihan menjadikan hati keras dan memadamkan sinarnya.
Nabi Muhammad SAW. bersabda:
Janganlah kamu mematikan hati dengan makan dan minum
berlebihan, meskipun makanan dan minuman itu halal. Sebab, hati
ibarat tumbuh-tumbuhan, jika terlalu banyak disiram ia akan mati.
Orang-orang saleh memberikan suatu perumpamaan, perut
diibaratkan kuali, terletak di bagian bawah hati. Apabila ia mendidih,
asapnya akan mengenai hati, dan karena banyaknya asap. hati menjadi
kotor dan hitam.
2) Terlalu banyak makan dan minum menimbulkan kebimbangan dan gejolak
pada anggota badan. dan akan menyeret pada perbuatan iseng, berlebihan,
dan kerusakan. Seseorang yang perutnya kenyang cenderung lupa daratan.
Selalu ingin melihat hal-hal haram, tidak bermanfaat, dan berlebihan. Demikian pula telinga, lidah, farj, dan kakinya.
Lain halnya di saat lapar. Seluruh anggota badannya merasa tenteram,
tidak bernafsu mengerjakan hal-hal yang tidak bermanfaat, haram, dan
berlebih-lebihan.

Al-Ustadz Abu Ja'far mengatakan bahwa perut, jika lapar membuat
seluruh anggota badan tidak banyak menuntut dan merasa tenteram.
Tetapi jika kenyang, maka anggota tubuh lainnya menjadi lapar, banyak
menuntut, dan merongrong.
Kesimpulan: perbuatan dan ucapan seseorang sangat bergantung pada
makan dan minumnya. Jika yang ditelan makanan haram, maka akan keluar
pula yang haram. Dan jika yang ditelan berlebih-lebihan, keluarnya pun
demikian pula. Jadi, makanan dan minuman itu ibarat benih tumbuhtumbuhan, dan perbuatan itu merupakan tumbuh-tumbuhan yang ada
karena benih itu.
3) Kebanyakan makan mengakibatkan penyempitan akal, pikiran, dan
pengetahuan.
Benar sekali yang dikatakan ad-Daraquthni:
Jika engkau menginginkan sesuatu di antara kebutuhan dunia dan
akhirat, janganlah makan dulu sebelum tercapai maksud itu, Sebab,
makan menjadikan pikiran lesu. Hal itu nyata dirasakan oleh yang
pernah mengalaminya.
4) Kebanyakan makan mengakibatkan seseorang malas beribadah. Sebab,
kebanyakan makan menjadikan badan berat, mata kantuk, dan anggota
badan lainnya terasa lesu sehingga selalu menuruti kantuknya. dan tidak
nyenyak seperti bangkai dibuang.
Ada seseorang yang mengatakan, jika seseorang sedang dalam
keadaan kenyang, anggaplah dirinya sedang mengalami kelumpuhan.
Nabi Yahya as. menceritakan bahwa beliau bertemu dengan iblis yang
membawa sesuatu barang. Lantas Nabi Yahya menanyakan untuk apa
baning itu. Iblis menjawab bahwa barang itu syahwat untuk memancing
anak-cucu Adam.
Nabi Yahya bertanya, "Adakah padaku sesuatu yang dapat kau
pancing?"
Jawab iblis, "Tidak ada. Hanya pernah terjadi pada suatu malam,
engkau makan agak kenyang, dan kami dapat menarikmu sehingga engkau
merasa berat mengerjakan shalat."
Nabi Yahya berkata, "Kalau begitu, aku tidak akan makan terlalu
kenyang lagi selama hidupku."

Kata iblis, "Wow! Menyesal sekali kami buka rahasia ini. Untuk waktuwaktu yang akan datang, kami tidak akan menceritakan lagi rahasia ini,
walau kepada siapa pun."
Bagaimana halnya dengan orang yang perutnya selalu kenyang dan
tidak pernah merasakan kelaparan?!
Sayyidina Sufyan rahimahullah berkata, "Ibadah itu ibarat perusahaan
yang menguntungkan. Warungnya adalah berkhalwat dan alatnya adalah
lapar. "
5) Terlalu banyak makan akan menghilangkan manisnya beribadah.
Abu Bakar ash-Shiddiq mengatakan, "Sejak memeluk Islam, belum
pernah aku merasakan kenyang, karena aku ingin mengecap manisnya
beribadah. Dan belum pernah aku kebanyakan minum, karena kerinduanku
kepada Ilahi. "
Begitulah sifat orang yang telah sampai pada derajat mukasyafab, dan
Abu Bakar ash-Shiddiq telah sampai pada tingkatan itu. Sebagaimana
diisyaratkan oleh Nabi Muhammad SAW.:
Kami tidak akan melebihi Abu Bakar dengan kelebihan shalat
atau puasa, karena sesuatu yang disimpan dalam dadanya.
Dan ad-Darani mengatakan bahwa beribadah yang paling manis adalah
ketika perutnya rapat dengan punggung.
6) Kebanyakan makan, akan menjerumuskan pada perbuatan syubhat dan
haram. Sebab, sesuatu yang halal dimaksudkan hanya sebagai bekal.
Sebagaimana diriwayatkan oleh Nabi Muhammad SAW.:
Sesungguhnya yang halal itu tidak datang kepadamu melainkan
sebagai bekal. Dan yang haram datang kepadamu dengan melimpah."
7) Terlalu banyak makan dapat mengakibatkan:
1. Hati lelah, dan tubuh seperti hanya mencari nafkah.
2. Kelelahan mempersiapkannya. Karena harus memasa , mencuci
peralatan makannya, dan sebagainya.
3. Memerlukan pemikiran dan perhitungan tatkala mempersiapkan
makan. Berapa banyak garamnya, ininya .........., itunya .......... ,
dan sebagainya..
4. Adanya bermacam-macam pekerjaan setelah makan. Seperti

mengorek-ngorek gigi, mencuci peralatan makan dan sebagainya.
5. Mendatangkan gejala-gejala atau kebiasaan yang kurang baik,
seperti menjadi malas beribadah yang akan mengakibatkan:
a. Tidak mampu untuk dawamut taharah (selalu bersih / tidak
cepat batal), karena sering buang air, buang angin, dan
sebagainya.
b. Kurang baik ber-i'tikaf (berdiam diri di dalam masjid), sebab
terpaksa harus sering keluar masjid.
c. Merasa kesulitan ketika mengerjakan puasa, karena tidak
terbiasa lapar.
Padahal, puasa, i'tikaf, dawamut tdharah, dan memanfaatkan waktu
mubah untuk beribadah banyak sekah mengandung keuntungan dan
pahala. Akan tetapi, hal itu seringkali diremehkan, terutama orang-orang
yang tidak mengetahui nilai agama. Bahkan sebagian orang berpendapat,
agama hanyalah untuk akhirat.
Rasulullah SAW. bersabda:
Pangkal segala penyakit adalah rakus. Dan pangkal segala obat
adalah pantang.
Sayyidina Malik bin Dinar pernah berkata, "Wahai saudara-saudara
ahli Bashrah, karena kebanyakan makan kita terpaksa masuk WC. Dan
karena itu kita malu kepada Tuhan. Oleh karenanya, aku berharap Allah
memberikan rezeki kepadaku hanya cukup untuk menjilatkan lidah kepada
batu kerikil."
Sedangkan keadaan manusia pada umumnya selalu mencari
kesenangan dunia, walaupun yang kita cari itu tidak bermanfaat untuk
akhirat. Sebab, kita bersifat tamak dan suka menyianyiakan waktu hanya
untuk makan.
8) Terlalu banyak makan pasti akan mendatangkan urusan di akhirat kelak.
Selain itu, akan mempersukar sakratul maut.
Dalam hadits dikatakan:
Sakitnya sakratul maut itu ditentukan oleh banyak atau
sedikitnya kenikmatan dunia. Sebab, banyak mengambil kesenangan
dunia, berarti banyak menerima kepayahan di akhirat.

Maksudnya, jika pada masa hidupnya seseorang banyak bersenangsenang, maka tatkala sakratul maut ia akan merasa sangat sakit, karena
merasa sedih meninggalkan kesenangan dunia itu.
9) Terlalu banyak makan mengakibatkan berkurangnya pahala.
Allah Ta'ala berfirman:
... (kepada mereka dikatakan),"Kamu telah menghabiskan
rezekimu yang baik dalam kehidupan duniawimu (saja) dan kamu telah
bersenang-senang dengannya; maka pada hari ini kamu dibalasi
dengan adzab yang menghinakan karena kamu telah menyombongkan
diri di muka bumi tanpa hak, dan karena kamu telah fasik". (alAhqaf: 20).
Jika seseorang hanya mereguk kenikmatan dunia. maka kenikmatan
akhiratnya akan berkurang.
Dengan makna seperti itu, Allah tatkala menawarkan dunia kepada
Rasulullah SAW. berfirman: "Ambillah dunia ini, dan pahalamu di akhirat
tidak akan berkurang sedikit pun."
Namun Rasulullah SAW. menolak, "Saya tidak akan mengambilnya,
meskipun tidak akan mengurangi kenikmatan akhirat."
Hal itu dikhususkan Allah hanya kepada Rasulullah. Berarti, orang yang
bersenang-senang di dunia, akan berkurang kenikmatan akhiratnya.
Kecuali, jika Allah melimpahkan karumaNya.
Ada satu riwayat: Khalid bin Walid menjamu Umar bin Khaththab
dengan makanan lezat.
Maka berkatalah Umar bin Khaththab, "Makanan lezat ini sekarang'
kita makan. Tetapi, bagaimana nasib orang-orang fakir sahabat Muhajirin
yang meninggal karena belum pernah kenyang makan roti sya'ir (roti yang
jelek)?
Khalid bin Walid menjawab, "Ya Amirul Mu'minin, bagi mereka telah
ada surga, dan kini mereka telah mendapatkan pahalanya. " .
Kata Umar bin Khaththab, "Jika mereka telah masuk surga, dan kita
hanya mendapatkan makanan lezat ini, celakalah kita. Karena, perbedaan
mereka dengan kita sangat jauh."
Umar bin Khaththab pun berpendapat, bahwa jika bermewahmewahan di dunia, maka kenikmatan akhiratnya akan berkurang.

Diriwayatkan pula, pada suatu hari Umar bin Khaththab . merasa haus.
Kemudian, beliau minta air pada seseorang, dan orang itu pun memberikan
minuman yang dicampur beberapa butir anggur kepada Umar.
Ketika Umar meneguknya, dirasakannya air itu dingin dan sangat
manis, sehingga Umar meletakkan tempat itu seraya berkata, "Aduh!"
Ucapan Umar itu oleh tuan rumah dikiranya karena airnya kurang
manis. Maka, laki-laki itu berkata, "Aku telah berusaha membuat air itu
manis, ya Amirul Mu 'minin. "
Umar bin Khaththab mejawab, "Justru karena manisnya Itu aku
mengucapkan “aduh'." "Seandainya tidak ada akhirat, aku akan bersamamu
bersenang-senang di sini." lanjut Umar dengan terharu.
10) Makan dengan berlebih-lebihan, meskipun halal, Allah kelak. akan
menanyakannya. Dari mana ia mendapatkan yang halal Itu, kelak akan
dihisab.
Dan jika sampai memakan yang syubhat, ia akan dipersalahkan.
Mengapa hanya ingin bersenang-senang, sedangkan tetangganya mendcnta,
dan saudaranya di tempat lain kelaparan ... dan ia tidak memperdulikannya.
Tidakkah malu bersenang-senang sendirian, sedangkan sahabat dan
saudaranya sengsara, mengapa hal itu tidak dipikirkan. Oleh karena itu, ia
pun akan dipermalukan dikarenakan mengambil yang tidak perlu -
sedangkan yang tidak perlu itu jika diberikan kepada yang membutuhkan
akan sangat bermanfaat - menginginkan segala enaknya. Ia tidak menyadari
bahwa segala yang halal di dunia ini akan menjadi hisab, dan yang haram
menjadi hukuman.
Jadi, orang yang bersungguh-sungguh menjalankan ibadah harus pandai-pandai
menjaga diri dan memilih yang lebih selamat. Juga harus dapat mengendalikan diri
dalam urusan makan, agar tidak terjerumus pada hal-hal yang diharamkan dan
syubhat.
Kemudian, dalam mengambil yang halal, hendaknya dimaksudkan untuk
mempersiapkan beribadah. Sebab, jika berlebihan justru akan mendatangkan
madharat.
Mengenai asal muasal hukum makanan yang haram dan syubhat, batasanbatasan, dan definisinya, telah penyusun terangkan dalam buku Asraru Mu'amalat

ad-Din. Dan penyusun telah mempersiapkan buku khusus mengenai hal itu dalam
kumpulan kitab lhya '.
Dan dalam buku Minhajul 'Abidin ini, penyusun ingin memberikan penjelasan
singkat, yang sekiranya dapat dimengerti oleh orang-orang yang hendak mulai
mengaji. Sebab, salah satu tujuan penyusunan buku ini adalah agar dapat
dimanfaatkan mereka yang hendak mulai mengaji, selain yang hendak beribadah
dan membantu para santri, dan juga bermanfaat untuk thalabul 'ilmi.
Seorang ulama mengatakan bahwa apa saja yang sudah jelas' kepunyaan orang
lain dan dicegah oleh syara, janganlah diambil. Sebab, mengambil milik orang lain
adalah nyata-nyata haram.
Tetapi, jika tidak yakin bahwa "barang itu milik orang lain, namun ada dugaan
kuat bahwa barang itu bertuan dan jelas' bukan milik kita, berarti barang itu syubbat
(tidak jelas haramnya, tetapi ada dugaan kuat barang itu haram).
Ada ulama berpendapat lain, bahwa yang jelas haram adalah yang diyakini
(diketahui/diduga) kuat haramnya. Sebab, dugaan kuat adakalanya dianggap dalam
syari'at sebagai yakin.
Tetapi, jika terdapat kecenderungan yang sama, menunjukkan haram dan
halalnya sama berat, berarti syubhat. Sebab, arti syubbat adalah ada kemungkinan
halal dan haram. Dikarenakan, sifat-sifatnya yang samar, kadangkala kita salah
menetapkan, maka yang demikian itu sebaiknya ditinggalkan.
Rasulullah SAW, bersabda:
Jika ada yang engkau ragukan, carilah yang lain yang engkau
tidak meragukannya.
Menghindarkan diri dari hal-hal yang diharamkan adalah wajib. Dan menjauhi
dari hal-hal yang syubhat berarti takwa dan wara'. Orang-orang yang bertakwa tidak
mau memakan barang syubhat, dan orang yang bersifat wara' hanya akan
mengambil yang yakin dan selamat bagi agama.
Dan menurut hemat penyusun, pendapat inilah yang paling besar.
Mengenai boleh diterima atau tidak, pemberian hadiah dari sultan, penguasa
negeri pada zaman sekarang ini ada banyak pendapat:
Jika merasa yakin barang-barang itu tidak haram, maka kita boleh mengambil
(menerimanya).
Pendapat lain, "Jangan diambil, kecuali yakin barang itu halal." Alasannya,

sebagian besar pada masa sekarang ini harta yang dimiliki para sultan (penguasa
negeri) adalah haram, dan yang halal sangat sedikit jumlahnya.
Ada pula yang berpendapat, "Pemberian dari sultan boleh saja dianggap halal,
baik bagi orang kaya maupun orang miskin.
Sebab, jika tidak diketahui dengan jelas haramnya, yang bertanggung jawab
adalah si pemberi."
Nah . . . ! Kini kita tinggal memilih di antara pendapatpendapat tersebut, sebab
hal ini termasuk urusan ijtihad.
Apa alasan pcndapat terakhir tadi? Sebab, Rasulullah sendiri pernah menerima
hadiah dari Raja Iskandar, Raja Mesir yang bernama Miquauqis. Ketika itu,
Rasulullah SAW. mengirim surat kepadanya agar ia masuk Islam. Raja Miquauqis
menjawab ajakan itu dengan sopan, dan merasa berterimakasih sambil memberikan
hadiah kepada Rasulullah SAW. Dan hadiahhadiah itu diterima Rasulullah, meskipun
itu pemberian seorang sultan! Selain itu, pernah juga Rasulullah meminjam uang
kepada seorang Yahudi.
Jadi, alasan pcndapat ketiga adalah bahwa yang bertanggung jawab adalah si
pemberi, bukan yang menerima.
Sedangkan Allah telah berfirman mengenai orang-orang Yahudi, bahwa mereka
pemakan barang haram. Namun, karena terpaksa Rasulullah pernah meminjam
uang kepadanya (orang Yahudi).
Mengapa saat itu Rasulullah enggan meminjam uang kepada sesama Muslim?
Sebab Rasulullah merasa kasihan. Karena, jika Rasulullah meminjam kepada mereka
(orang-orang Muslim), pasti mereka tidak akan meminjamkannya, melainkan akan
memberinya dalam jumlah banyak. Oleh sebab itu, Rasulullah tidak ingin
memberatkan kaumnya, dan terpaksa mernmjam kepada orang Yahudi, yang pasti ia
akan menagihnya. Dan Rasulullah pun membayar hutangnya dengan uang hasil
menggadaikan baju perangnya.
Beberapa orang sahabat pun pernah mengalami hal serupa:
Mereka pernah menerima hadiah-hadiah dan raja-raja zhalim di masanya. Di
antaranya Abu Hurairah, seorang perawi dengan kitabnya Riyadhusb-Shalihin, dan
beliau adalah seorang yang panjang umur. Juga Ibnu Abbas (saudara sepupu
Rasulullah SAW.), Abdullah bin Umar (putra Sayyidina Umar bin Khaththab), dan
sahabat lain.

Tetapi, ada beberapa ulama berpendapat, bahwa harta para sultan (penguasa
negeri) itu haram. sebab, para sultan dan penguasa negeri itu telah kita ketahui
benar kezhahmannya. Dan biasanya, hartanya pun berupa harta haram. Sedangkan
yang dikatakan oleh hukum sebagai haram, adalah kebiasaannya itu! Maka, kita
wajib menjauhinya.
Sebagian ulama lainnya berpendapat, bahwa yang tidak benar-benar diyakini
haramnya berarti halal bagi orang fakir, tetapi haram bagi orang kaya. Kecuali, si
fakir tersebut .mengetahui benar bahwa barang itu harta rampasan. Maka, la ndak
berhak mengambilnya, kecuali berniat kepada pemiliknya.
Akan tetapi jika harta itu milik sultan pribadi, baik dari hasil rampasan perang,
pajak, dan sebagainya, maka tidak berdosa bagi si fakir untuk mengambilnya. Sebab,
orang fakir mempunyai hak atas harta itu. Demikian juga bagi para guru.
'Ali bin Abu Thalib mengatakan, "Setiap orang yang masuk Islam dan taat serta
suka membaca al-Qur'an, mempunyai bagian dari harta Baitul Mal Muslimin sebesar
duaratus dirham setiap tahun (riwayat lain mengatakan duaratus dinar). Jika ia tidak
menerimanya di dunia, maka ia akan menenmanya di akhirat kelak.
Jika demikian, tidak ada halangan bagi orang fakir dan 'alim untuk mengambil
haknya (hartanya).
Kemudian, jika harta sultan bercampur dengan harta rampasan, dan tidak
dapat dipisahkan lagi, atau harta rampasan tersebut tidak dapat dikembalikan
kepada pemiliknya, maka Jalan satu-satunya bagi sultan adalah menyedekahkan
harta tersebut.
Karena, Allah tidak memerintahkan kepada sultan untuk menyedekahkan
hartanya kepada orang fakir. Dan tidak pula melarang atau menganjurkan
kepada golongan fakir untuk menerima atau mengambil harta haram tersebut.
Karena tidak ada larangan, maka orang fakir boleh menerima harta pribadi
sultan, harta yang tidak bercampur dengan harta rampasan dan harta haram.
Itulah beberapa masalah yang tidak boleh difatwakan kecuali dengan
penjelasan mendetail.
Adapun penjelasan lebih jelas dapat pembaca simak Kitabul Halal wal Haram
dalam kitab Ihya' Ulumuddin yang telah kami susun. Insya Allah, para pembaca
akan mendapatkan penjelasan lebih lengkap.
Bagaimana .halnya dengan pemberian ahli pasar yang pada praktekny

senng melakukan kecurangan dan kelicikan. Wajibkah pemberian itu diteliti
dahulu, atau dikembalikan.
Jika telah kita ketahui bahwa pemberi itu ahli kebaikan dan tidak terangterangan berbuat maksiat, maka diperbolehkan bagi kita menerimanya, dan
tidak perlu kita meneliti dan memeriksanya. Tidak perlu mengatakan dalam hati,
"Karena zaman telah rusak, dan kezhaliman sudah menjadi kebiasaan, maka
kemungkinan besar orang ini termasuk di antaranya." Sebab, yang demikian itu
berarti berburuk sangka terhadap sesama Muslim, sedangkan Allah
memerintahkan berbaik sangka terhadap sesama Muslim.
Masalah pokok dari bab ini ada dua, yaitu:
a.Hukum syara'.
b.Hukum wara'.
Hukum syara' adalah menetapkan seseorang berhak mengambil pemberian
dari orang yang lahiriyahnya baik tanpa meneliti segala sesuatunya. Kecuali jika ia
yakin bahwa itu harta rampasan atau barang haram.
Sedangkan hukum wara', melarang seseorang menerima sesuatu pemberian
sebelum diperiksa dengan seksama hingga ia yakin pemberian itu tidak termasuk
syubhat. Tetapi, JIka tidak yakin maka wajib mengembalikannya.
Abu Bakar meriwayatkan, bahwa budak belIau pada suatu saat mengantarkan
susu kepadanya, lantas beliau meminumnya. Setelah itu, sang budak berkata,
"Setiap saya mengantarkan sesuatu untuk tuan, tuan senantiasa menanyakan dari
mana saya mendapatkannya. Tetapi mengapa tuan tidak menanyakan tentang susu
ini?"
Jawab Abu Bakar, "Bagaimana cerita tentang susu ini?"
Jawab budak, "Susu ini hasil upaya saya menjampi (mantera) satu kaum dengan
mantera jahiliyah."
Mendengar cerita itu, dengan serta merta beliau memuntahkan susu itu seraya
berkata, "Ya Allah, hanya tru yang dapat saya kerjakan, sedangkan yang tertinggal
dalam urat-uratku hanya Engkaulah yang dapat membebaskannya."
Kejadian itu menunjukkan kepada kita, bahwa hukum wara' dan haqnya
hanya menetapkan kewaJiban bagi kita untuk memeriksa segala yang kita
dapatkan. Dan mi satu masalah penting.
Adakah pertentangan antara hukum wara' dengan hukum syara'? Perlu kita

ketahui, hukum syara' itu dasarnya kemudahan dan pemaafan, sebagaimana
Sabda Rasulullah SAW.:
Aku diutus membawa agama yang tidak memberatkan serta
banyak memaafkan.
Adapun hukum wara', dalam menjalankannya sangat sulit dan harus
berhati-hati. Ada peribahasa megatakan, "Suatu hal bagi orang muttaqin lebih
sulit daripad mencatat bilangan sembilan puluh, sebab hanya dengan
membundalkan Jari sebelah tangan." Dan pada hakikatnya, wara' dengan syara'
itu satu, karena wara , bagian dari syara '.
Bagaimana mungkin menyelidiki suatu masalah dengan mendetail merupakan
keharusan, pasti akan binasa segala yang kita ambil dan zaman mi, dan tentunya
akan mempersulit orang-orang yang wara', sebab mereka adalah orang-orang taat.
Perlu diketahui, jalan menuju wara' memang sulit. Jadi orang yang bermaksud
mencapainya harus kuat dan teguh menjalani kesulitan, JIka tidak, tidak akan
sempurna wara'nya.
Oleh karena itu, banyak ahli wara' pada- zaman dahulu pergi ke Gunung
Lebanon dan sebagainya. Di sana, mereka cukup memakan rumput dan buahbuahan yang tidak begitu lezat, namun bersih dari syubhat.
Barangsiapa keras niat dan kemauannya untuk mencapai derajat wara yang
luhur Itu, maka wajib menanggung kepayahan dan harus sabar dalam penderitaan.
Kemudian, menempuh Jalannya guna mendapatkannya.
Jika mereka berada di tengah masyarakat, dan memakan makanan mereka,
hendaklah berhati-hati, ibarat menghadapi bangkal. tidak menyentuhnya, kecuali
dalam keadaan terpaksa, mengambil sekadarnya sebagai kekuatan untuk taat.
Dengan demikian, ia dihukumkan dalam keadaan udzur, dan dibolehkan
mengambilnya meskipun asal barang itu 'Syubhat. Karena sesungguhnya Allah lebih
berhak menerima udzur. '
Syaikh Hasan Basri rabimabullah mengatakan:
Telah rusak pergaulan pasar dikarenakan khianat dan
sebagainya. Maka ambillah untukmu sekadar untuk kebutuhan makan,
dan tinggalkan selebihnya dari yang dibutuhkan.
.. Telah diriwayatkan, Wahab bin al-Ward ra. membuat lapar dirinya dalam
waktu sehari, dua hari, atau tiga hari, lantas mengambil sepotong roti dan berkata,
"Ya Allah, sesungguhnya Engkau mengetahui bahwa aku tidak kuat beribadah dan

takut menjadi lemah hingga tidak kuat sama sckali beribadah. Jika saya takut
menjadi lemah, saya tidak akan memakan roti ini. Untuk itu ya Allah. sekiranya
terdapat ke-syubhat-an dalam roti ini atau haram, semoga tidak menyebabkan aku
disiksa," kemudian beliau membasahi roti itu dan memakannya.
Kedua jalan di atas, yaitu menanggung kesulitan dan kepayahan, dan
mengambil sekadarnya sebagai penguat diri untuk taat, hanya berlaku bagi
golongan yang telah mencapai derajat tinggi dalam hal wara '.
Adapun bagi yang belum mencapai derajat tinggi, harus pula berhati-hati dan
meneliti seperlunya, dan bagi mereka terdapat pula bagian wara’ sesuai dengan
derajat ke-tiara -an-nya.
Dan sesuai dengan kadar kesulitannya, mereka akan mencapai apa yang dicitacitakan. Allah tidak menyia-nyiakan pahala orang-orang yang baik perbuatannya,
dan Allah Maha Mengetahui perbuatan mereka.
Mubah, menurut garis besarnya terbagi menjadi tiga bagian:
1.
Ada mubah yang diambil seseorang dengan maksud untuk
bermegah-megahan, menimbun kekayaan, dan untuk menonjolkan diri
terhadap orang lain (riya).
Perbuatan seperti itu adalah munkar, yang membuatnya tertahan, banyak
hisabnya, cerca, dan bakal dipermalukan. Sebab, perbuatan munkar seperti itulah
yang akan menyeretnya ke dalam neraka .
Dan melakukan sesuatu dengan tujuan demikian termasuk maksiat dan
berdosa, sebagaimana firman Allah:
... bahwa sesungguhnya kehidupan dunia itu hanyalah permainan
dan suatu yang melalaikan, perhiasan dan bermegah-megah .... , dan
di akhirat (nanti) ada adzab yang keras.....(al-Hadid : 20).
Dan rasulullah SAW bersabda:
Barangsiapa menuntut dunia yang halal dengan tujuan untuk
bermegah-megahan dan memupuk harta untuk riya, niscaya ia
menjumpai Allah dalam keadaan murka kepadanya.
Dan ancaman itu, semata-mata tujuan yang menjadi niatnya.
2.
Ada mubah yang dikarenakan seseorang mengambil barang yang
halal hanya untuk memenuhi hawa nafsunya.
Inipun suatu kejahatan dan maksiat, yang kelak mengakibatkan ia tertahan di
padang Mahsyar dan banyak dihisab, sebagaimana firman Allah:

kemudian kamu pasti akan ditanyai pada hari itu tentang
kenikmatan (yang kamu megah-megahkan di dunia itu). (at-Takatsur:
8).
Dan sabda Rasulullah SAW.:
(Yakni dunia) yang halalnya (juga) dibisab.
3.
Seseorang mengambil yang halal di dunia ini hanya jika perlu dan
untuk beribadah kepada Allah.
Yang demikian itu adalah suatu kebaikan dan adab, yang membuatnya tidak
akan dihisab dan terhindar dari siksaan. Bahkan, ia akan mendapatkan pahala dan
pujian dari Allah.
Allah Ta'ala berfirman:
Mereka itulah orang-orang yang mendapat bagian dari apa yang
mereka usahakan .... (al-Baqarah: 202).
Dan sabda Rasulullah SAW.:
Barangsiapa mencari dunia yang halal dengan tujuan agar tidak
meminta-minta, dikasihi tetangga, dan memenuhi kewajiban
keluarga, niscaya pada hari kiamat ta muncul dengan wajah berseri
bak bulan purnama.
Hal itu dikarenakan niat baik dan semata-mata karena Allah.
Untuk merubah perbuatan mubah menjadi amal baik, ada dua syarat, yakni
perbuatan dan tujuan .
Perbuatan, maksudnya mengerjakan mubah karena terpaksa, yang jika tidak
diambilnya mengakibatkan terputusnya mengerjakan yang fardbu, sunat, atau
nafilah. Dalam keadaan seperti itu, ia harus mengambil yang mubah itu, yang
hukumnya akan lebih afdhal daripada jika meninggalkannya. Sebab, meninggalkan
mubah adalah fadhilah, dan mengambilnya dalam keadaan seperti itu adalah udzur
(perlu).
Sedangkan tujuan, maksudnya mengambil yang mubah semata-mata hanya
untuk beribadah kepada Allah. Dengan berniat dalam hati Jika hal ini tidak ada
hubungannya dengan ibadah, aku tidak akan mengambilnya.
Sebab, adanya alasan dalam keadaan udzur, sehingga ia mengambil sebagian
dunia yang halal mendatangkan kebaikan dan pahala, serta bersopan santun di
hadapan Allah SWT.
Jadi, jika masalahnya udzur, maka ia perlu mengambil yang halal, meskipun

tidak ada tujuan dan niat untuk beribadah. Akan tetapi, meskipun dalam keadaan
udzur, meskipun ada mat untuk benbadah, maka hal itu bukan suatu kebaikan.
Sedangkan istiqamah (dawam), yaitu memelihara sopan santun di hadapan
Allah SAW. Hal itu memerlukan basbirat (kewaspadaan) yang akan membukakan
mata hati. Selain itu harus mempunyai tujuan tidak akan mengambil dunia, kecuali
untuk uddab (mempersiapkan diri beribadah kepada Allah), sebab tanpa duma sama
sekali, kita tidak akan dapat beribadah.
Dunia ini ladangnya akhirat.
Apabila seseorang lupa alasan tersebut, maka dengan niat yang singkat
tersebut sudahlah cukup. Oleh sebab itu jika seseorang mempunyai suatu
perusahaan, hendaklah b;rniat bahwa perusahaan itu untuk bekal beribadah. Hal itu
untuk menjaga kalau-kalau lupa memperbarui niatnya setiap hari.
Guru kami mengatakan, bahwa jika' ketiganya dipandang dan satu segi, yaitu
ingat tujuan dan keadaan udzur, maka keduanya perlu agar menjadi kebaikan.
Sedangkan tujuan umumnya, yang awalnya menuntut kewaspadaan bathin
merupakan sopan santun di hadapan Allah SWT. '
Hal itu perlu untuk istiqamah bagi tujuan tersebut. Adapun mengambil yang
halal dari dunia untuk memenuhi nafsunya, memang tidak diharamkan. Tetapi, perlu
disertai mat agar menjadi suatu keutamaan dan kebajikan. Perintah Tuhan agar
mengerkakan hal itu bukanlah suatu kewajiban, melainkan sebagai didikan agar
menjadi keutamaan bagi kita. Sedangkan mengambilnya dengan syahwat
merupakan suatu kejahatan dan keburukan, yang dilarang sebagai latihan.
Meskipun tidak diharamkan dan bukan maksiat, dan tidak akan dimasukkan ke
dalam neraka, tetapi jika mencari dunia hanya karena syahwatnya, ?erarti berbuat
sembrono di hadapan Allah, dan kelak akan dihisah dan dicela. Sudah barang tentu,
kelak akan memberatkannya. Sebab, 'hisab dan celaan adalah bagian dari siksa.
Hisab (perhitungan) yaitu pertanyaan di hari kiamat. Dari mana seseorang
mendapatkan rezeki, digunakan untuk apa, serta apa tujuan mengambil
(mencarinya).
Tentu akan sangat memalukan, jika jawaban mencari dunia hanya untuk
memenuhi tuntutan syahwat. Sedangkan pada saat itu, seseorang tidak akan dapat
berbohong.
Ditahan di Padang Mahsyar, artinya, seseorang tidak dapat segera masuk surga

dikarenakan mencari dunia secara berlebihan dan hanya untuk memenuhi syahwat.
Maka saat itu ia harus dihisab terlebih dulu.
Peristiwa itu terjadi di padang Mahsyar, di tengah hingarbingar yang
mengerikan serta dalam keadaan telanjang dan dahaga. Kejadian itu sudah
merupakan siksaan bagi kita. meskipun tempat itu bukanlah neraka.
Memang, Allah menghalalkan mencari (mengambil) dunia demi memenuhi
tuntutan syahwatnya. Tetapi, mengapa Allah mencerca dan mempermalukan orang
seperti ini? Hal itu karena mereka meninggalkan adab sopan santun.
Contoh: seorang hamba diundang makan bersama oleh seorang raja.
Kemudian, ia berlaku tidak sopan, mengotori taplak meja misalnya, atau mengambil
makanan dengan cara tidak sopan dan semaunya, atau mendahului orang lain. Hal
itu memang tidak diharamkan, tetapi itu adalah perbuatan tidak sopan dan kurang
ajar. Sudah barang tentu ia akan dipersalahkan dan dicela.
Jadi intinya: Allah menciptakan manusia bukan untuk bersenang-senang di
dunia, melainkan agar beribadah kepada-Nya. Sebab, dunia ini hanya sementara,
sedangkan manusia adalah hamba Allah. Artinya, tubuh kita ini bukan kepunyaan
kita, melainkan setiap bagian tubuh ini adalah milik Allah. Tubuh hamba Allah, jiwa
hamba Allah, dan segalanya kepunyaan Allah.
Oleh karenanya. setiap manusia harus menghambakan diri kepada Allah SWT.
dari setiap bagiannya. Dan segala perbuatannya hendaknya diniatkan untuk
beribadah kepada-Nya. Bahkan, tidur atau ke kamar mandi pun harus diniatkan
sebagai ibadah, yakni dengan niat yang baik!
Jika tidak demikian, ia hanya akan memenuhi syahwatnya, sedangkan ia dapat
beribadah dan , tidak ada halangan untuk mengerjakannya. Padahal, dunia
diciptakan Allah agar makhluk-Nya berkhidmat kepada-Nya, bukan berkhidmat
kepada hawa nafsu. Benar-benar beribadah kepada-Nya, bukan beribadah untuk
hawa nafsunya. Oleh karena itu, orang yang selalu menuruti keinginan nafsunya,
pantas dipersalahkan dan mendapatkan celaan dari Allah.
Dengan merenungkan hal tersebut, semoga Allah memberikan petunjuk
kepada kita.
Itulah penjelasan dari penyusun, yaitu memperbaiki diri dan mengendalikan
diri dengan kendali takwa.
Wajib bagi kita memeliharanya dan bertakwa dengan sebenar-benar takwa.

Orang yang mengamalkannya dengan sungguh-sungguh niscaya akan mendapatkan
keuntungan dan kebaikan dari Allah SWT., baik di dunia maupun di akhirat.
Sesungguhnya Allah Maha Pemurah.
Maka, bagi laki-laki harus mencurahkan perhatiannya pada perusahaannya
dalam menempuh tahapan yang besar dan panjang itu. Selain merupakan tahapan
yang paling sukar, banyak penyakit dan godaannya.
Di antara orang-orang yang binasa, adalah orang yang terputus dari jalan yang
benar. Hal itu dapat terjadi disebabkan dunia, atau karena manusia, setan, dan hawa
nafsunya.
Di antara buku kami yang terbit sebelum terbitnya buku Minhajul 'Abidin ini
juga telah menjelaskan masalah itu. Misalnya Kitab Ibya', Kitab Asrar, dan Kitab
Qurbah Ilallah.
Dalam buku-buku tersebut kami jelaskan faktor-faktor pendorong agar
seseorang memperhatikan masalah itu. Adapun tujuan kitab Minhajul- 'Abidin ini
adalah mengemukakan cara-cara dan jalan guna mengendalikan dan mengekang
hawa nafsu. Jadi dalam buku yang mulia dan singkat ini hanya akan penyusun
jelaskan makna-makna pokok, singkat namun mencakup artian yang luas, serta
memuaskan orang yang ingin I\Ienempatkan diri pada jalan yang benar.
Pasal-pasal yang akan segera kita bahas secara khusus adalah arti-arti (maknamakna) perbaikan bagi dunia, setan, manusia dan nafsu syahwat.
Dalam menghadapi dunia, kita harus berhati-hati ', Kita harus ber-Zuhud
kepada dunia, yang masalahnya terdiri dan tiga Perkara:
(1) Jika seseorang senantiasa waspada dan berfikir sehat, tentu dapat
mengambil kesimpulan bahwa dunia adalah musuh Allah, dan Allah-lah
yang wajib dicintai. Sebab, keadaan dunia ini bertentangan dengan akal
sehat, sedangkan orang yang berakal sehat senantiasa menjaga dan
memehliara harga dirinya.
(2) Jika seseorang mempunyai himmah (tujuan yang tinggi), dan bersungguhsungguh dalam beribadah kepada Allah, hendaklah disadari bahwa dunia
dapat menghalanginya untuk beribadah.
Hanya memikirkan dunia menyebabkan seseorang akan sibuk sehingga lupa
beribadah dan berbuar kebaikan. Atau membuatnya lengah dan
menjadikannya tidak mempunyai kewaspadaan dalam melihat keadaan

sebenarnya. Atau, tidak mempunyai tujuan yang tmggi yang akan
mendorong nya melakukan kebajikan. Itulah dunia yang fana ini, sedangkan
akhirat adalah kekal.
(3) Telah jelas bagi kita, bahwa dunia akan meninggalkan kita, atau kita yang
akan meninggalkan dunia. Kalau pun kita menjadi seorang multijutawan,
semuanya akan kita tinggalkan.
Sebagaimana dikatakan Imam Hasan Basri, seandainya dunia tetap berada
pada kekuasaanmu, maka engkaulah yang tidak akan kekal. Sebab engkau
akan mati. Semuanya akan engkau tinggalkan, dan harta kekayaanmu akan
dibagi-bagikan kepada ahli warismu yang akan memimbulkan perselisihan
di antara mereka. Sementara istrimu yang masih muda akan mencari suami
baru. Jadi, kekayaan yang kau kejar semasa hidupmu, hanya kau
peruntukkan untuk laki-laki yang kini mendampingi bekas istrimu."
Itu berarti, mengejar (mencari) dunia tidak disertai dengan niat beribadah
kepada Allah SWT. Dan menghabiskan usia hanya untuk hal-hal seperti itu
tidaklah bermanfaat.
Ada seorang bijak mengatakan:
Seandainya dunia ini kau peroleh dengan sangat mudah, bukankah akhirnya kau akan mati meninggalkannya? Apa yang kau harapkan
dari kehidupan yang tidak kekal, yang sebentar lagi akan dihabiskan
oleh siang dan malatU. Duniamu ibarat bayangan yang menaungimu,
kemudian dengan cepat ia berlalu.
Maka, orang-orang yang berpikir sehat janganlah terpedaya oleh dunia. Tetapi
taklukkanlah, sebab Islam tidak melarang untuk mencari dunia. Cari dan
taklukkanlah dunia untuk beribadah kepada Allah SWT.
Benar, apa yang dikatakan sebuah sya'ir.
Dunia ini bagaikan mimpi, atau ibarat bayangan ... dalam
sekejap akan segera menghilang.
Ketika Raja Harun al-Rasyid bersama istrinya, as-Sayyidah Zubaidah membuat
sumur di kota Makkah, bernadzar akan menunaikan ibadah haji dengan berjalan
kaki dari Baghdad.
Karena seorang raja, pegawainya tidak tega jika rajanya berjalan di atas
panasnya padang pasir. Maka, para pengawal menghamparkan permadani di jalan
yang akan dilalui rajanya. Dan pada setiap jarak satu kilometer, disediakan gardu
peristirahatan yang bernama al-Mail.

Ketika ia mengarungi padang pasir, ia melihat seseorang sedang menunggang
kuda. Siapakah orang itu, pikirnya. Setelah diperhatikan, ternyata salah seorang
pengawal ada yang mengenalnya. Penunggang kuda itu bernama Bahlul, seorang
yang perkataannya selalu benar dan tepat. Meskipun orang menganggapnya sebagai
orang gila.
Kemudian raja memanggilnya. Ia-pun memenuhi pangglaan itu dan berdiri
dengan tenang di hadapan raja. Baru setelah Itu mereka mengetahui, bahwa Bahlul
bukannya menunggang kuda, melainkan menunggangi tongkatnya.
Selain orang yang selalu tepat perkataannya, ia juga orang yang pandai
memberikan nasihat. Ia bukanlah orang gila.
Berkata Harun al-Rasyid, "Bahlul, coba nasihati aku!" Dengan spontan ia
menggubah sya'ir:
Seandainya dunia ini datang kepadamu dengan mudah, ya Harun
al-Rasyid!, bukankah maut juga akan datang dengan mudahnya
kepadamu?
Buat apa duniamu yang banyak itu, sedangkan gardu ini sudah cukup
bagimu untuk duduk dan melindungimu.
Berkatalah Harun al-Rasyid, "Apa yang kau minta dariku, katakan, nanti aku
beri!"
Jawab Bahlul, "Menjauhlah engkau dariku, bisa-bisa kau ditendang kudaku,
jangan kau berada di sini!"
Kemudian BahluI pergi dengan menunggangi tongkatnya, tanpa meminta apaapa kepada Harun al-Rasyid.
Mengenai setan, cukuplah kiranya apa yang" difirmankan Allah kepada
Rasulullah SAW.:
Dan katakanlah, ;'Ya Tuhanku, aku berlindung kepada Engkau
dari bisikan-bisikan setan. Dan aku berlindung (pula) kepada Engkau
ya Tuhanku, dari kedatangan mereka kepadaku". (al-Mu'minun : 97).
Demikianlah, Allah memerintahkan Rasulullah SAW. agar berlindung dari setan,
apalagi kita!
Allah menciptakan manusia dengan kelebihan akal, ilmu, dan bentuk fisik. Dan
manusia adalah paling mulia di sisi Allah. Namun demikian, manusia masih
memerlukan perlindungan Allah dari kejahatan setan. Apalagi kita, manusia yang
minim ilmunya dan serba kekurangan, bahkan sering lalai. Sedangkan Rasul pun

tetap meminta perlindungan-Nya.
Berhati-hatilah dalam bergaul. Sebab, seseorang seringkali mudah terpengaruh
ajakan dan kemauan orang lain. Misalnya, mereka melakukan kejahatan, maka ia
pun akan mengikutinya. Mereka berbuat maksiat, dan ia pun akan mengikuti
perbuatan itu. Ia takut dikatakan tidak setia atau tidak solider jika tidak mengikuti
perbuatan mereka. Demi orang lain, kadang-kadang seseorang rela mengorbankan
dan mengotori urusan akhiratnya. Sungguh berdosa orang seperti itu!
Sedangkan jika ia tidak mengikuti kehendak mereka, maka mereka akan
membenci dan mengganggunya. Malahan, mereka akan mengatakan tidak
mengikuti zaman jika tidak mengikutinya. Pada saat ia berjalan, mereka
mencemooh, sehingga urusan dunianya menjadi suram.
Selanjutnya, ia tidak akan merasa aman, sehingga membuatnya memusuhi dan
melawan mereka. Padahal, hal itu justru akan mengundang masalah baru. Ia
menjadi lebih repot dan jatuh ke dalam tindak kejahatan.
Sedangkan jika mereka memuji dan mengagungkannya, dikhawatirkan dapat
membuatnya bersifat sombong. Padahal, di depan mereka memuji, sedangkan di
belakang mereka mencemoohkannya.
Akan tetapi, jika secara terang-terangan mereka mencela dan menghinanya,
dikhawatirkan menjadikannya sengsara dan bersedih. Dan jika ia kurang kuat
menerima celaan dan hinaan, ia akan bersedih. Atau mungkin ia akan marah, marah
tidak karena Allah, tetapi marah karena nafsu. Dan kedua hal tersebut merupakan
reaksi yang membinasakan.
Tiga hari setelah ia mati, bagaimana hubungannya dengan mereka. Sudah tentu
mereka telah melupakannya. Padahal, tampaknya dulu mereka begitu baik
terhadapnya, dikarenakan kekayaannya.
Jadi, yang senantiasa berhadapan dengannya (mereka) atau dengan kita,
adalah Allah SWT. Sebab, Allah tetap ada dan senantiasa melihat kita.
Sungguh, kerugian nyata bagi orang-orang yang menghabiskan waktunya untuk
mereka. Mereka, tidak setia, dan kita pun tidak akan lama bergaul dengan mereka,
lantaran mereka meninggalkan beribadah kepada Allah. Sedangkan kembalinya
segala urusan hanyalah kepada Allah. Karena, yang kekal abadi hanyalah Allah SWT.
Sesungguhnya segala kebutuhan datangnya dari Allah bukan dari manusia.
Maka, sudah sepantasnya JIka berserah diri dan percaya hanya kepada Allah.

Demikian pula memohon pertolongan dan perlindungan dari kesukaran dan
kesusahan, hanyalah kepada Allah. Tetapi, mengapa seseorang meninggalkan semua
itu demi orang lain?
Mengenai nafsu, telah banyak kita rasakan dan alami. Sebagian besar adalah
keinginan jahat dan buruk. Apalagi JIka nafsu telah menggelora, seseorang tidak
akan segan-segan melakukan perbuatan yang sepantasnya hanya dilakukan
binatang.
Bila sedang marah, persis seperti harimau. Jika dalam keadaan musibah, tidak
berbeda dengan anak kecil. Bila menjadi orang kaya, tindakannya seperti Fir'aun.
Jika sedang lapar, menjadi gila, tetapi jika kenyang menepuk dada, kurang ajar, dan
menantang ke sana ke mari.
Nafsu disifatkan dengan sya'ir berikut:
Nafsu itu ibarat keledai jahat, jika kenyang menyepak, dan jika
lapar menjerit-jerit dan merintih.
Seorang saleh mengatakan, "Karena buruk dan bodohnya nafsu, bila ia
mengajak berbuat maksiat dan memenuhi syahwat, maka belokkanlah, atau
meminta syafa'at kepada Allah mengenai nafsu: 'Dengan kekuasaan Allah, hai nafsu,
janganlah engkau mendorongku untuk melakukan kejahatan. Ingatlah kepada Allah
dan Rasul-Nya. Wahai nafsu, janganlah kau mencelakakanku. Ingatlah para Nabi dan
Kitab Suci-Nya, serta orang-orang saleh terdahulu. Selain itu, hai nafsu, ingatlah
akan maut, kubur, kiamat, neraka, dan surga.'
Akan tetapi, jika nafsu telah menguasai, maka seseorang tidak akan ingat lagi
semua itu.
Tetapi, jika nafsu dihadapi dengan menahan keinginan (misalnya saat berpuasa,
kita menahan makan-minum) ia akan kalah dan menyerah. Begitulah keadaan nafsu.
Hal itu mengisyaratkan bahwa nafsu itu sesungguhnya rendah dan bodoh.
Oleh karenanya, kita harus senantiasa berhati-hati dalam menghadapi nafsu.
Jangan sampai lengah. Sebab nafsu, seperti dikatakan Allah yang menciptakannya,
senantiasa memerintahkan berbuat kejahatan.
Seorang saleh, Ahmad bin Arqam al-Balkhi rahimahullah mengatakan,
"Sungguh aneh, nafsu mendorongku pergi ke medan perang fi sabilillah. Sedangkan
Allah berfirman:
Nafsu senantiasa memerintahkan berbuat kejahatan.
Dan sekarang nafsu mendorongku berbuat kebajikan. Apa arti semua ini?"

Hal itu adalah tidak mungkin. Sudah tentu di balik semua itu terkandung niat
jahat. Barangkali, ia merasa kesepian dan ingin bertemu dengan orang lain.
Kemudian, ia berharap namanya menjadi terkenal dan dikatakan sebagai seorang
pemberani, pahlawan perang sabil, dan sebagainya. Selanjutnya, la berharap:
sepulang dari medan perang dlsambut para pembesar sebagai seorang pahlawan,
sebagai seorang martir dan dimuliakan.
Maka dalam hati aku berkata kepada nafsu, 'mari kita berangkat ke medan
perang'. Tetapi, jangan memasuki kota. Jika nanti rombongan hendak memasuki
kota,. kita harus mengambil jalan simpang. Sebab, jika. kita memasuki kota tentu
akan disebut sebagai mujahid fi sabilillah dengan taburan bunga dan bermacammacam hadiah. Untuk itu, marilah kita berperang, tetapi jangan sampai bertemu
dengan orang-orang yang kita kenal.
Ternyata nafsu menyambut ajakanku. Dan aku menjadi tambah curiga, apa
maksud semua ini?
Mahabenar Allah, tidak mungkin nafsu mengajak kepada kebaikan.
Maka aku katakan dalam hati: aku akan berperang. Mari kita masuk medan
perang tanpa mengenakan pakaian besi (baju perang) agar orang mudah
membunuh kita, sehingga menjadi orang pertama yang mati .syaid. . .
Jawab nafsu: Meskipun begitu, aku ingin berperang dan mati syahid.
Hal ini merupakan suatu keanehan. Nafsu yang biasanya mendorong
melakukan kejahatan, kini justru menganjurkan berbuat kebajikan.
Namun begitu, aku tetap mencurigainya. Lalu aku sebutkan hal-hal yang
sekiranya dapat membuatnya segan. Diantaranya aku katakan bahwa aku tidak akan
mengambil harta ramasan perang.
Ternyata, nafsu tetap saja menyanggupi. .Hal ini membingungkan aku, karena
aku yakin ia mempunyai maksud Jahat.
Kemudian Sayyidina Ahmad berdoa: Ya Allah, berilah aku peringatan, mengapa
nafsuku mengajak berbuat kebajikan.
Aku mencurigainya dan tidak percaya. Karena aku lebih percahaya akan firmanMu, bahwa nafsu senantiasa mendorong berbuat kejahatan. Tetapi mengapa kini ia
mengajak melakukan kebaikan, aku betul-betul curiga."
Maka terbukalah hijab, dan seolah-olah aku melihat nafsuku berkata: "Ya
Ahmad, setiap hari engkau membunuhku dengan melarang segala keinginanku.

Setiap saat engkau menentangku dan membuatku sengsara." Kata nafsu
selanjutnya, "Tiada orang yang tahu, jika aku turut berperang fi sabilillah, berarti aku
hanya sekali mati. Tetapi, kini setiap hari aku mati, dan aku akan lepas dari
kungkumanmu. "
Aku pun menjadi masyhur, kelak orang akan mengatakan bahwa aku mati
syahid. Aku dikenal orang dan dimuliakan, dan jasadku akan dikuburkan di taman
makam pahlawan.
Sehingga aku hanya diam terduduk, tidak jadi pergi berperang, sebab niatku
belum lurus. Saat ini, yang penting bagiku adalah mengalahkan dan menundukkan
hawa nafsu. Setelah benar niatku, baru aku akan pergi berperang.
Para pembaca, begitulah tipudaya nafsu. Dan biasanya riya selalu ada selama
manusia hidup. Akan tetapi, setelah mati pun sifat itu masih ada. Hal itu dikarenakan
amal perbuatannya selama di dunia.
Benar sekali bunyi sya'ir berikut ini:
Jagalah nafsumu, jangan merasa aman dari kejahatankejahatannya, sebab nafsu lebih jahat dibandingkan tujuh puluh
setan.
Untuk itu ketakwaan seseorang sangat menentukan. Sebab, satu-satunya alat
yang dapat mengendalikan nafsu adalah takwa.
Perlu juga pembaca ketahui, bahwa- ibadah terbagi rnenjadi dua bagian:
Pertama: Ihtisab, yakni berusaha memperoleh sesuatu.
Kedua: Ijtinab, yaitu menjauhi segala larangan.
Yang termasuk ibtisab adalah taat, shalat, puasa, haji, dan sebagainya.
Sedangkan yang termasuk ijtinab adalah menjauhi segala kejahatan dan
maksiat.
Dan kedua bagian itulah yang dimaksudkan dengan takwa. Akan tetapi bagian
ijtinab lebih selamat, lebih baik, lebih utama, lebih mulia dibandingkan bagian
ihtisab.
Dengan demikian, lebih baik meninggalkan maksiat dan kejahatan sebelum
menjalankan ibadah sunat. Sehingga, bagi orang yang sedang mulai belajar
beribadah, dan masih dalam tingkat pertama dari ijtibad, sebaiknya mencurahkan
perhatiannya pada bagian ihtisab.
Akan tetapi, bagi ahli ibadah, lebih utama mereka mencurahkan perhatiannya

untuk menjauhi dan meninggalkan perbuatan maksiat.
Dengan makna di atas, maka golongan ahli ibadah dari kedua bagian tersebut
adalah yang terbanyak. Sedangkan golongan ahli ibadah terdapat tujuh golongan.
Ketika tujuh golongan ahli ibadah itu mengadukan masalah kepada Nabi Yunus.
mereka berkata, ''Wahai Nabi Yunus, ada orang yang suka mengerjakan shalat sunat
dengan mengabaikan ibadah-ibadah lain."
Memang benar shalat adalah tiang agama. Yakni dengan tetap melaksanakan
shalat semata-mata karena Allah, dengan bersungguh-sungguh dan merendahkan
diri serta memohon pertolongan-Nya. Dan hal ini baik.
Di samping itu, ada juga golongan ahli ibadah yang hanya mengerjakan puasa.
Juga ada yang hanya bersedekah.
''Wahai Yunus, sekarang aku akan menjelaskan kepadamu mengenai berbagai
masalah tadi," kata mereka. Selanjutnya mereka mengatakan. "Jadikanlah shalatmu
untuk bersabar dalam menghadapi sengsara dan derita. Dan berserah dirilah kepada
Allah. Jadikan puasamu untuk diam. Artinya, tidak mengucapkan kata-kata buruk.
Dan jadikan sedekahmu untuk menahan diri serta tidak menyakiti orang lain. Sebab,
sedekah yang paling baik adalah tidak menyakiti dan mengganggu orang lain. Dan
puasa yang paling baik adalah dengan menyerahkan diri sepenuhnya kepada Allah
SWT."
Jadi, yang paling utama adalah mengerjakan bagian ijtinab (menjauhi maksiat),
dan memeliharanya. Kemudian, jika telah mampu melaksanakan keduanya, yaitu
ijtinab dan ibtisab, berarti seseorang telah sempurna dan telah mencapai tujuan.
Sehingga, orang itu akan selamat dan beruntung.
Jika hanya dapat melaksanakan salah satu dari keduanya, pilihlah bagian
ijtinab. Karena, dengan itu pun sudah selamat. Jika tidak demikian, seseorang akan
merugi dari keduanya.
Coba pembaca renungkan, apa gunanya seseorang mengerjakan shalat sunat
semalam suntuk, tetapi dirusak oleh niat buruk. Apa gunanya berpuasa, bila ia
mengucapkan kata-kata buruk.
Ada satu riwayat, Ibnu Abbas ra. ditanya oleh seseorang: "Bagaimana pendapat
tuan mengenai sifat dua orang: Yang seorang banyak berbuat baik, tetapi banyak
juga kejahatan yang dilakukannya. Sedangkan yang seorang lagi sedikit melakukan
kebaikan, dan juga sedikit kejahatannya.

Yang mana lebih baik?"
.
Jawab Ibnu Abbas, "Aku tidak akan memilih, selain keselamatan. "
Jadi, lebih baik memilih yang sedikit kebaikan dan kejahatan, daripada banyak
kebaikannya tetapi banyak kejahatannya.
Contoh: Ada seseorang sedang menderita suatu penyakit.
Sedangkan untuk mengobatinya ada dua cara, yakni mengobatinya dan
berpantang.
Apabila keduanya tersedia, yaitu obatnya ada dan juga sanggup berpantang,
maka Insya Allah si sakit akan sembuh.
Akan tetapi, jika harus dihadapkan kepada dua pilihan, tidak meminum obat
atau tidak berpantang, maka berpantang lebih baik. Sebab, tidak ada gunanya ia
memakan obat jika pantangannya dilanggar. Sebaliknya, tidak memakan obat tetapi
hanya berpantang, kadang-kadang dapat menyembuhkan.
Sehingga, di negara India (pada masa Imam Ghazali) cara pengobatannya
adalah dengan memantang. Si sakit dilarang makan minum, dan berbicara untuk
beberapa hari. Hanya dengan cara itu pada umumnya mereka dapat sembuh dari
penyakitnya.
Kini jelas sudah, bahwa takwa adalah inti (pokok) dan permata segala urusan.
Seorang yang takwa berada pada derajat tertinggi di antara ahli ibadah. Maka,
sudah seharusnya setiap Muslim berusaha mencapai derajat itu.
Selain itu, kita wajib memelihara dan menjaga bagian tubuh yang empat:
Pertama: mata.
Mata, mencakup urusan dunia dan. agama, dan pokok (intinya) berputar di
hati. Sebab, kebimbangan dan kerusakan hati berpangkal dari mata.
Sayyidina Ali berkata, "Orang yang tidak dapat menguasai matanya, maka
hatinya tidak berharga."
Kedua: lisan.
Dengan memelihara dan menjaga lisan akan didapatkan keberuntungan, yakni
hasil dari ibadah dan taat.
Sebaliknya, hal-hal yang dapat merusakkan ibadah sehingga tidak mendapatkan
pahala atau membatalkan ibadah, adalah karena lisan. Misalnya, menggunjing

orang, mengucapkan katakata baik tetapi hanya untuk menghias diri, dan
sebagainya.
Hanya dengan sekali ucap sudah dapat merusakkan ibadah seseorang. Bahkan,
ibadah yang telah dilakukan bertahun-tahun pun dapat dirusak hanya dengan satu
kali ucapan.
Oleh karenanya, ada orang mengatakan, "Tidak ada sesuatu yang pantas
dipenjarakan lama, selain yang diakibatkan oleh lisan. "
Terdapat satu riwayat: seorang ahli ibadah dari tujuh golongan ahli ibadah
menghadap Nabi Yunus dan berkata, "Wahai Yunus, sesungguhnya para ahli ibadah
jika bersungguhsungguh beribadah, tidak kuat melaksanakan ibadah secara lebih
baik, kecuali bersabar dengan meninggalkan bicara."
Jadi, yang menjadikan seseorang kuat menjalankan ibadah adalah
meninggalkan pembicaraan (perkataan) yang tidak bermanfaat.
"Jika engkau hendak mengucapkan kata-kata yang tidak benar,
gantilah dengan ucapan 'Subbanallah'. "
Ketiga: perut.
Dengan menjaga perut, Insya Allah akan tercapai apa yang menjadi tujuan
beribadah. Sebab, makanan adalah benih dan airnya amal. Dari makanan akan
tumbuh amal. Jika benihnya buruk, sudah tentu tumbuh-tumbuhannya pun buruk,
bahkan merusak.
Ma'ruf al-Karkhi mengatakan, "Jika engkau berpuasa, pikirkanlah apa yang akan
engkau makan pada saat berbuka nanti. Di rumah siapa engkau akan berbuka puasa,
dan darimana makanan yang akan engkau makan. '.:
Banyak orang yang dengan sekali makan menjadi berubah/ (berbalik) hatinya,
dan tidak kembali lagi pada keadaan semula. Seringkali, dengan satu kali makan,
seseorang menjadi tidak mampu mengerjakan shalat malam; karena terlalu
kenyang, atau salah makan, dan sebagainya.
Untuk itu, bagi orang-orang yang hendak beribadah hendaknya mengambil
makanan yang selamat.
Selain itu, dapatkanlah makanan dari jalan yang benar dan halal. Oleh karena
memakannya pun harus dengan cara sopan santun yang benar. Jika tidak demikian,
seseorang hanya akan makan dan makan, akibatnya perut terlalu penuh. Sehingga,
ibadah yang dijalankan tidak bermanfaat sama sekali.

Meskipun seseorang memaksakan diri dan berusaha dengan berbagai cara agar
dapat menjalankan ibadah, tetapi jika keadaan perut terlalu penuh, maka ibadahnya
tidak akan ada nikmatnya, serta tidak ada manisnya. Sebab, menjalankan ibadah
dengan dipaksakan.
Ada orang mengatakan, "Jangan berharap engkau dapat merasakan manisnya
beribadah dalam keadaan terlalu kenyang."
Imam Ibrahim bin Adham mengatakan, "Aku bersahabat dengan sebagian ahli
ibadah di Gunung Lebanon. Mereka menasihatiku: 'Jika engkau kembali ke tengahtengah masyarakat, nasihatilah mereka dengan empat macam, 'Barangsiapa banyak
makan, niscaya tidak akan merasakan nikmatnya beribadah. Barangsiapa banyak
tidur, niscaya hidupnya tidak mendapatkan berkah dalam hidupnya. Barangsiapa
menginginkan keridhaan orang lain, jangan berharap mendapatkan ndha Allah.
Barangsiapa banyak menggunjing dan bicara yang tidak bermanfaat, maka ia akan
menjadi suul khatimah dan keluar dari Islam'."
Sayyidina Sahl berkata, "Berkumpulnya segala kebaikan, adalah pada empat
perkara di atas. Kemudian, dengan empat hal berikut ini, wali-wali Allah
mendapatkan derajat abdal:
Keempat hal itu adalah:
1.Mengosongkan perut (memperbanyak puasa).
2.Tidak banyak bicara.
3.Menjauhkan diri dari pergaulan yang tidak karuan.
4.Mengerjakan ibadah malam.
Seorang arif berkata, "Lapar adalah modal kita. Maksudnya, segala sesuatu
yang bermanfaat bagi kita, baik kesempatan menjalankan ibadah, mencari
keselamatan, mamsnya benbadah, ilmu dan amalan yang bermanfaat, semuanya
adalah karena lapar dan bersabar menderita lapar semata-mata karena Allah SWT."
Jika seseorang rusak hatinya, maka akan rusaklah seluruhnya. Dan jika hatinya
baik, akan baik pula seluruhnya. Sebab, hati ibarat sebatang pohon, dan bagian
tubuh lainnya ibarat dahan-dahan pohon. Sehingga, pohon merupakan pelindung
bagi dahan dan cabang-cabangnya. Baik atau rusaknya cabangcabang itu bergantung
pada pohonnya.
Demikian halnya dengan hati. Hati adalah raja bagi anggota tubuh lainnya. Jika
rajanya baik, rakyatnya pun baik. Dan apabila rajanya rusak, rakyatnya pun akan

rusak. Dengan demikian, baiknya mata, lisan, dan perut, mencerminkan baiknya
hati.
Jika mengetahui adanya kerusakan dan fasad, baik itu pada mata, perut, dan
sebagainya, berarti terdapat kerusakan dan fasad pada hati. Untuk itu, perhatikan,
luruskan, dan perbaiki hati, sehmgga seluruhnya akan menjadi baik.
Memang, segala urusan yang berkait dengan hati merupakan masalah pelik,
halus, dan sulit. Sebab, hati berada pada berbagai lintasan yang datangnya dari luar.
Sedangkan datangnya lintasan tersebut tidak kita kuasai dan di luar kemauan kita.
Abu Yazid al-Busthami mengatakan, "Aku mengobati dan memperbaiki hati
selama sepuluh tahun. Demikian juga lisan dan nafsuku, sepuluh tahun aku
memperbaiki. Di antara ketiganya, hatilah yang paling sulit diobati. Karena itu,
ambillah dan amalkan ilmu ini."
Selain itu harus pula diperhatikan empat perkara yang telah penyusun
sebutkan dahulu. Yakni, thulu 'l-'amal (merasa tidak akan mati), tergesa-gesa dalam
segala urusan iri hati dengki dan takabbur.
Sengaja penyusun hanya menyebutkan empat sifat buruk dari sekian banyak
sifat buruk lainnya, dan penyusun anjurkan agar menjaga diri dari empat sifat
tersebut. Sebab, semua itu adalah penyakit para ulama dan para qari'.
Jadi, penyakit itu hinggap pada semua orang. Tetapi, jika hinggap pada para
ulama, maka akibatnya akan lebih buruk dan keji.
Seringkali kita mendengar seolah-olah ulama· tidak akan mati dan merasa
niatnya sudah baik aan benar. Bahkan, kadangkadang la mengatakan bahwa besok
akan beramal anu dan lain hari akan beramal itu. Ia mengucapkannya tanpa ucapan
Insya Allah. Hal itu termasuk perbuatan tbulul 'amal.
Sehingga, ia malas mengerjakan amalan hari ini, karena selalu menunda-nunda
amalan hari ini. Jadi, amalannya hari ini hanyalah omong kosong belaka,
Suatu saat, kita melihat seorang ulama tergesa-gesa untuk mencapai manzilab
(tingkatan) kebaikan. Misalnya, ingin cepat-cepat menyelesaikan kitab yang sedang
dibacanya guna berpindah pada kitab lainnya. Sehingga, kitab yang dibacanya tidak
dimengerti dan dipahami benar. Akibatnya, bacaannya itu tidak menghasilkan
manzilah.
Atau ia berdoa dengan doa yang baik, ingin di-ijabah oleh Allah SWT., tetapi
pada akhirnya Allah tidak meng-ijabahnya. Atau, ia mendoakan agar orang lain

celaka. Sehingga, ika Allah mengabulkan doanya ia menyesali, kasihan orang itu,
karena doaku ia celaka.
Nabi Nuh pernah menyesal dengan perkataannya, "Ya Allah. aku bersalah,
berilah kemenangan."
Kemenangan yang dimaksud adalah kematian seluruh kaumnya. Tetapi, setelah
Allah mengabulkan doanya, Nabi Nuh menyesalinya.
Adakalanya seorang alim merasa dengki terhadap orang lain lantaran Allah
memberikan kenikmatan lebih banyak terhadapnya. Bahkan, kedengkiannya itu
mendorongnya untuk melakukan perbuatan buruk dan memalukan, yang hanya
pantas dilakukan orang fasik dan jahat.
Imam Sufyan ats-Tsauri mengatakan, "Aku tidak takut dan khawatir akan jiwaku
terhadap kejahatan para ulama."
Orang-orang yang keheranan atas ucapannya bertanya, "Mengapa berkata
demikian?"
Jawab beliau, "Bukan aku yang mengatakan demikian, melainkan guru kita
terdahulu, Ibrahim an-Nakha'i rahimahullah "
Atha' meriwayatkan bahwa Imam ats-Tsauri berkata kepadanya, "Engkau harus
berhati-hati terhadap ulama. Juga terhadap diriku, sebab aku termasuk ulama.
Seandainya aku tidak sependapat dengan yang paling dekat kepadaku dan paling
mencintaiku di antara mereka, seperti halnya sebuah delima.
Aku katakan delima itu manis, tetapi orang lain mengatakan masam. Maka, aku
merasa tidak aman terhadapnya. Dan mungkin, la akan memfitnah ku terhadap
seorang raja zhalim."
Imam Malik bin Dinar mengatakan, "Aku senang menerima persaksian ulama
bagi seluruh manusia. Aku percaya. Tetapi aku tidak mau menenma persaksian
antarulama, karena mereka (para ulama) saling mendendam."
Imam Fadhail bin 'Iyad berkata kepada putranya, 'Wahai anakku, belikan
ayahmu sebuah rumah yang terletak jauh dari rumah para ulama. Buat apa aku
mendekati mereka, jika aku berbuat sedikit kesalahan mereka melabrakku habishabisan. Mereka akan mempermalukan aku. Dan jika mengetahui adanya
kenikmatan yang sedikit pada diriku, mereka iri dan dengki."
Begitu juga, ulama kadang-kadang menyombongkan diri dan menganggap
remeh orang lain. Seakan-akan, mereka berjasa bagi masyarakat. Dan seolah-olah

jaminan Allah bahwa dirinya akan terhindar dari api neraka dan masuk surga, serta
kebahagiaan hanya berada pada dirinya, sedang orang lain dianggapnya celaka.
Di samping itu, ia hanya mengenakan pakaian sederhana yang menimbulkan
kesan ia sangat tawadhu '. Dan dalam berjaalan pun, berpura-pura lemah dan
sopan, sedang sesungguhnya la tidak berhak menyombongkan diri. Lahirnya
tawadhu', namun hatinya takabbur. Dan orang yang buta hatinya tidak akan pernah
melihat keadaan sebenarnya orang-orang semacam itu. Ulamauddunya, begitulah
disebut oleh Imam Ghazali bagi ulama yang demikian.
Ada suatu kisah, orang yang suka berpura-pura tawadhu', saleh, dan berilmu.
Orang tersebut bernama Farqad as-Sabakhy. Ia. memasuki rumah Imam Hasan
Bashri dengan mengenakan baju yang terbuat dari bahan kasar. Di lain pihak, Imam
Hasan Bashri mengenakan pakaian bagus.
Kemudian, Farqad meraba-raba baju Hasan Bashri dengan maksud menyindir.
Maka, berkatalah Imam Hasan Bashri "Ada apa dengan bajuku? Bajuku adalah baju
ahli surga, bagus. Sedangkan bajumu adalah baju ahli neraka, kasar. Konon sebagian
besar ahli neraka mengenakan baju kasar, tetapi dalamnya takabbur. "
Selanjutnya Imam Hasan Bashri mengatakan, "Zuhudnya mereka hanya di
dalam baju saja. Sedang hati mereka takabbur. "
Kadang-kadang, orang yang mengenakan pakaian kasar lebih takabbur
daripada orang yang mengenakan pakaian rapi dan bagus.
Dengan maksud itu, Imam Dzun Nun mengatakan:
Mereka mengaku bertaSAWuf, tetapi ia bermegah-megahan
dengan bajunya yang kasar, karena ia bodoh.
Memang banyak orang mengenakan baju kasar (yang sering
dikenakan para shalihin), tetapi hanya untuk menghias diri. a ingin
dianggap sebagai orang tawadhu', tetapi yang tampak pada dirinya
adalah sifat takabbur.
Ia bertaSAWuf agar dikatakan orang terpercaya, padahal ia
melakukannya karena maksud tertentu. Ia berbuat demikian bukan
karena Allah, melainkan dalam rangka mencari jalan untuk
berkhianat.
Untuk itu, bagi orang-orang yang hendak beribadah dengan sebenar-benarnya,
harus berhati-hati terhadap empat.slfat buruk tersebut, yaitu thulul 'amal, azalab,
hasad dan kibr. Tetapi, yang utama harus dihindari adalah sifat takabbur. Sedangkan
yang tiga lainnya, paling-paling mengakibatkan seseorang melakukan maksiat. Lain
halnya dengan takabbur yang mengakibatkan seseorang menjadi kufur dan

melakukan kejahatan.
Seperti halnya kisah iblis. Ia menggoda Nabi Adam karena terdorong oleh sifat
takabbur-nya. Sehingga, ia menjadi kufur dan kafir.
Sesungguhnya, hanya kepada Allah 'Azza wa J alla kita akan kembali. Semoga
Allah melindungi dan memelihara kita. Dan Allahlah yang Maha Pemurah.
Kesimpulan: Jika seseorang berpikir sehat, maka akan menyadari bahwa dunia
ini tidaklah kekal. Dan manfaat dunia tidak berarti jika dibandingkan dengan
madharat dan tuntutan-tuntutannya. Yang mengakibatkan badan lelah, membuat
hati bimbang dan ragu, dan mendatangkan siksa yang teramat pedih di akhirat
kelak. Dan manusia tidak akan sanggup menanggungnya.
Sehingga, jika seseorang telah mengetahui kenyataan itu, tentu akan ber-zuhud
dunia yang tidak memberikan manfaat ini. Dan hanya akan mengambil yang
bermanfaat dari dunia ini.
Janganlah mengambil dunia ini, kecuali untuk beribadah kepada Allah. Jangan
pula bermegah-megahan dan bersenang-senang. Sebab, hal itu akan didapatkan di
surga kelak. Yakni Negeri penuh kenikmatan yang kekal dan dekat dengan Rabbul
'Alamin, Tuhan Yang Mahakuasa, Mahakaya, dan Mahamurah.
Orang yang berpikir akan sadar bahwa sebagian besar manusia tidak setia dan
taat.
Ambillah manfaat dari pergaulanmu, dan tinggalkan rnadharatnya.
Rasulullah SAW. bersabda:
Peliharalah baik-baik hubunganmu dengan Allah, niscaya engkau
menemui Allah SWT., di mana pun engkau berada (pergi).
Dengan demikian, seseorang menjadi yakin bahwa setan memang jahat, dan
selalu memusuhi manusia. Maka, berlindunglah kepada Allah Yang Mahakuasa, Yang
Maha Penakluk, agar mendapat lindungan dari kejahatan setan yang terkutuk.
Usirlah setan dengan berdzikir kepada Allah SWT. Jangan merasa payah dan
lelah dalam berdzikir kepada Allah. Sebab, berdzikir jika timbul dari kemauan sendiri
terasa ringan dan mudah. Karena, setan seperti telah difirmankan Allah: "Sesungguhnya setan tidak dapat menguasai orang-orang beriman dan tawakkal kepada
Allah."
Akan tetapi, meskipun keadaan seseorang demikian, nafsu masih dapat
menguasai kita. Sebab, nafsu memang lebih berbahaya dari setan.

Benar apa yang dikatakan Abu Hazin, "Apakah dunia dan iblis itu? Dunia yang
telah berlalu hanyalah mimpi. Dan hari esok hanyalah lamunan belaka. Sebab,
belum tentu kita hidup sampai hari esok."
Orang yang mengikuti kemauan setan, pada akhirnya akan menentangnya.
Sedang orang yang tidak pernah mengikuti setan tidak akan pernah dirugikan.
Berarti, kita telah mengalahkannya.
Bila telah mengetahui yang demikian, seseorang akan sadar akan jahatnya
nafsu, yang hanya akan merugikan dan membinasakan kita.
Akan tetapi, kita tidak berhak membunuh nafsu: Sebab, nafsu bukan milik kita,
melainkan kepunyaan Allah.
Janganlah memandang nafsu sebagaimana pandangan orangorang bodoh. Dan
pikirkanlah untuk ini hari, jangan dulu 'memikirkan hari esok atau lusa. Sebab, kita
tidak akan tahu gangguan macam apa yang akan dilakukan nafsu pada hari esok.
Maka, kita akan mampu. mengendalikan nafsu, yakni dengan takwa. Yaitu,
mencegah sesuatu yang tidak bermanfaat. Dan hanya mengambil yang bermanfaat
serta tidak berlebih-lebihan.
Allah telah melapangkan kehidupan kita dengan rahmatNya. Dan Allah telah
menjauhkan kita dari perbuatan yang merugikan agama. Sehingga, tidak perlu lagi
kita berbuat dan memakan yang tidak bermanfaat. Karena, urusan ini sebagaimana
dikatakan oleh seorang saleh, "Bahwasanya takwa itu paling mudah. Jika aku
meragukan sesuatu, maka aku tinggalkan. Sehingga, nafsu menjadi tenang.
Sebab, jika terbiasa menuruti nafsu, maka nafsu akan menjadi terbiasa."
Seorang penyair mengatakan:
Memang, jika dibiarkan nafsu menginginkan ini-itu, tetapi jika
dikembalikan kepada sekadar keperluannya, ia pun akan kuat.
Nafsu itu seperti apa yang menjadi kebiasaan, sehingga ia
terbiasa.
Jika segala sesuatunya dibiasakan, kita akan ringan mengerjakannya.
Aku bersabar menahan diri dari bermegah-megahan, hingga
kemewahan-kemewahan itu berlalu.
Kemudian, aku melatih diri bersabar, sehingga aku terbiasa.
Nafsu itu bergantung bagaimana seseorang menempatkannya, jika
selalu dituruti kemauannya, ia akan semakin rakus, jika tidak, ia
tidak akan rakus

Tidak ada komentar:

Posting Komentar