AQABAH 4. AWAR ID (GODAAN)
Terjemahan kitab minhahul ambidin (imam gazhali)
Orang-orang yang hendak' beribadah harus dapat menahan segala macam
godaan yang dapat membuatnya bimbang dalam beribadah kepada Allah.
Dan 'awarid (godaan) itu ada empat macam:
Pertama: Rezeki dan tuntutan nafsu. Keduanya dapat diatasi dengan tawakkal.
Untuk itu, sudah seharusnya bagi setiap MusIim menggantungkan diri kepada Allah
dalam urusan rezeki dan tuntutan apa saja.
Hal itu dikarenakan dua hal:
1.
Agar tenteram dalam beribadah dan mengerjakan kebaikan.
Sebab, orang yang tidak menggantungkan diri kepada Allah tidak akan
beribadah dengan baik. Bahkan tidak sempat sama sekali .. Sebab, pikirannya
selalu terpusat pada rezeki, kebutuhan, dan maslahat-rnaslahat lain.
Rasa bimbang itu, kadangkala, pada lahiriyah atau pada batin. Pada
lahirnya ia selalu sibuk memburu rezeki. Sedangkan dalam hatinya, ia selalu
memikirkan rezeki dengan perasaan was-was. Padahal, menjalankan ibadah
memerlukan ketenangan batin dan fisik. Dan itu hanya terdapat pada orangorang yang tawakkal.
Malahan, orang yang lemah hatinya berkemungkinan besar tidak dapat
menjalankan ibadah dengan tenang, kecuali setelah mendapatkan rezeki.
Sehingga, ia tidak dapat (mampu) menyempurnakan urusan-urusan besar
dunia maupun akhirat. Abu Muhammad mengatakan, "Sesungguhnya keadaan yang berjalan di atas bumi ini adalah dua bentuk orang, yang tawakkal
dan sembrono."
Ucapan itu sangat luas maknanya. Sebab, orang sembrono jika
hendak mengerjakan sesuatu asal mempunyai kekuatan dan keberanian,
tanpa memikirkan ada rintangan dan bahaya, sehingga ia melakukan
dengan cara apa saja. Sedangkan orang yang tawakkal, jika hendak
mengerjakan sesuatu, terlebih dahulu memperhitungkan kekuatan dan
kemampuannya. Juga mempertimbangkan keadaannya, disertai dengan
keyakinan yang mantap akan jaminan Allah SWT.
Sehingga, ia menggantungkan sepenuhnya kepada Allah SWT. Ia tidak
menjadi bimbang dengan adanya ucapan orang yang bermaksud menakutnakuti, dan tidak menghiraukan godaan dan bujukan setan.
Dengan demikian, sampailah ia kepada tujuannya. Sedangkan orang
yang lemah agamanya, selalu maju-mundur, lelah, dan kebingungan bagai
himar dalam kandangnya, atau ayam dalam kurungan yang hanya dapat
menantikan pembagian majikannya. Jiwanya membeku, tidak sanggup lagi
memikirkan, patah semangat. tidak dapat memikirkan hal-hal yang tinggi
dan mulia. Jika pun ada, ia tidak akan mampu mencapai tujuan, tidak
sempurna.
Orang yang menggantungkan diri kepada dunia tidak bisa sampai ke
puncak tertinggi dan kedudukan terhormat. Melainkan, mereka
mengorbankan harga diri, mengorbankan keluarga dan harta bendanya.
Jika ia seorang raja, ia langsung turun ke medan perang hingga gugur,
atau menang dan mendapatkan kekuasaan. Tentang hal itu, Muawiyah bin
Abu Sufyan ketika menyaksikan dua tentara yang saling berhadapan
mengatakan, "Siapa ingin menang, harus berani menghadapi bahaya yang
akan timbul."
Jika seorang saudagar. maka harus berani mengorbankan harga diri
dan harta benda. Pergi ke timur dan ke barat memastikan dan
memantapkan sikap, mati atau beruntung. Jika beruntung, ia akan
mendapatkan harta berlimpah, pergaulan yang luas, dan sebagainya.
Jika seorang pedagang pasar, hampir-hampir ia melupakan dirinya dan
harta bendanya. Ia hanya sibuk mondar-mandir dari rumah ke pasar, dan
sebaliknya. Begitulah tiap hari dan sepanjang hidupnya. Tetapi, ia tidak
dapat mencapai seperti yang dicapai raja atau saudagar. Sebab, ia hanya
mengmgmkan keuntungan sekadarnya. Itulah yang ia ketahui, dan
kepadanya ia menggantungkan hidupnya. . . Begitulah macam-macam
orang yang menggantungkan dirinya pada lahirnya saja, tanpa mau
tawakkal kepada Allah Ta'ala.
Pikirannya selalu bimbang dan guncang. Kesibukannya selalu
dipengaruhi dari segala penjuru yang mengakibatkan tidak dapat beribadah
kepada Allah. Sang Pencipta Alam yang selalu melimpahkan kenikmatan
kepadanya.
Adapun orang yang tawakkal selalu menggantungkan diri dan
menyerahkan diri sepenuhnya kepada Allah SWT. Mereka mengabdikan diri
kepada Allah, tidak terpengaruh oleh bermacam- macam pikiran. Sehingga,
seakan-akan lapang dada dan jauh dari pikiran-pikiran ruwet, dan terbuka
kesempatan lebar untuk beribadah kepada Allah, Tuhan yang memberi
segala-galanya.
Ia hidup tenteram, dan tidak tergoyahkan oleh perubahan zaman.
Mereka adalah kaum yang kuat dan bebas. Seakanakan mereka menjadi
raja dunia, leluasa ke mana saja mereka mau guna menyelesaikan segala
urusan ibadah dan ilmu, tanpa mendapatkan halangan dan godaan. Karena,
bagi mereka, di mana saja dan kapan saja adalah sama. Sebab, mereka
tawakkal kepada Allah 'Azza wa Jalla.
Rasulullah SAW. bersabda:
Barangsiapa ingin menjadi orang terkuat, hendaknya bertawakkal
kepada Allah.
Hadits di atas memberikan pengertian kepada kita, bahwa tawakkal bukan
berarti berpangkutangan, berdiam diri menanti datangnya rezeki tanpa
berusaha. Tetapi, tawakkal berarti berusaha sungguh-sungguh dan pasrah
kepada Allah SWT., serta percaya akan pertolongan Allah.
Tetapi orang yang tidak tawakkal, dalam berusaha akan merasa lelah dan
selalu mengalami kegagalan. Sebab, ia merasa mampu tanpa pertolongan Allah,
dan menyandarkan diri kepada harta dan orang lain. Padahal, semuanya itu
hanya memiliki kemampuan dan kekuasaan yang sangat terbatas.
Rasulullah SAW. bersabda:
Barangsiapa menginginkan dirinya menjadi orang paling mulia,
hendaknya bertakwa kepada Allah.
Sebab, orang-orang yang bertakwa kepada Allah akan diberi kemuliaan oleh
Allah. Dan kemuliaan yang datang dan Allah tidak akan dapat dihilangkan dan
dimusnahkan oleh siapa pun.
Rasulullah SAW. bersabda:
Barangsiapa menginginkan menjadi orang paling kaya, hendaknya
lebih mempercayai kekuasaan Allah daripada kekuasaan dirinya.
Syaikh Sulaiman al-Khawas berkata, "Orang yang bertawakkal kepada Allah
dengan niat benar dan tulus akan memegang tampuk kekuasaan. Dan
bawahannya akan sangat membutuhkan. Sedang ia tidak membutuhkan orang
lam, karena telah mempunyai harapan lindungan dari Allah SWT., Tuhan Yang
Mahakaya dan berhak dipuji."
Berkata pula Ibrahim al-Khawas, "Di padang Sahara aku bertemu dengan
seorang budak yang tidak membawa perbekalan. Kemudian aku bertanya
kepadanya, Hai Ghulam, hendak ke mana engkau?'. Jawabnya, 'Aku hendak ke
Makkah.' Tanyaku, 'Mengapa menempuh perjalanan sesulit ini engkau tidak
membawa bekal?' Budak itu menjawab, ''Wahai Tuan, alangkah lemah
keyakinan Tuan ini. Percayalah bahwa Yang Mahakuasa menciptakan langit dan
bumi. Dia Kuasa pula mengantarkan (menyampaikan) aku ke Makkah tanpa
bekal dan kendaraan."
Kemudian, ketika aku datang ke Makkah, aku lihat ia sedang ber-thawwaf di
Baitullah sambil berkata, "Hai nafsu, jalan terus dan jangan kamu mencintai
selain Allah, Tuhan Yang Mahaagung, Tuhan tempat meminta." Selanjutnya,
ketika melihatku ia berkata, "Ya Syaikh, apakah Tuan masih tetap lemah
keyakinannya?"
Di atas, adalah riwayat seorang yang tebal sekali keyakinannya. Tetapi hal
itu tidaklah berlaku mutlak. Sebab, para anbiya yang sudah tebal keyakinannya
pun Jika bepergian masih membawa bekal. Tetapi, tidak berarti la
menggantungkan kepada bekal itu. Ia sepenuhnya tetap tawakkal kepada Allah.
Abu Mu'thi al-Bakhi bertanya kepada Hatim al-Asam, "Saya dengar Anda
mengarungi padang Sahara yang sukar itu tanpa membawa bekal apa pun."
Jawab Hatim, "Mungkin orang mengatakan begitu. Tetapi sesungguhnya
saya membawa empat macam bekal:
a. Keyakinan, bahwa dunia beserta isinya dan akhirat, Allahlah yang menguasai.
b. Keyakinan saya bahwa seluruh makhluk adalah hamba Allah.
c. Saya percaya bahwa urusan rezeki dan persoalannya ada pada kekuasaan
Allah.
d. Saya percaya bahwa segala yang dikehendaki Allah pasti akan terjadi. Sebab
Allah-lah penguasa dan pemilik alam ini
Benar sekali kata sya'ir berikut ini:
Aku melihat orang-orang ber-zuhud. Mereka selalu dalam
keadaan senang dan tenang, hati mereka jauh dari pengaruhpengaruh dunia yang selalu mengecewakan.
Jika kita perhatikan mereka, seolah-olah kita melihat raja dunia yang segala
persoalannya mudah dan ringan, tanpa suatu kesulitan.
2. Firman Allah SWT.:
... kemudian memberimu rezeki .... (ar-Rum: 40).
Jadi, kita harus yakin bahwa Allah menciptakan makhluk ke dunia dengan
rezekinya. Sehingga sangat berbahaya, Jika seseorang, menggantungkan diri kepada
selain Allah.
Firman Allah yang lain:
Sesungguhnya Allah, Dia-lah Maha Pemberi rezeki .... (adzDzariyat: 58).
Allah bukan hanya memberitahu dan menjanjikan, tetapi juga menjamin.
Firman Allah Ta'ala:
Dan tidak ada suatu binatang melata pun dibumi melainkan
Allah-lah yang memberi rezekinya..... (Hud : 6)
Firman-Nya pula:
Maka demi Tuhan langit dan bumi, sesungguhnya yang dijanjikan
itu adalah benar-benar (akan terjadi) seperti perkataan yang kamu
ucapkan. (adz-Dzariyat : 23).
Berarti, 'setiap orang hanya dapat berbicara dengan lidahnya sendiri, tidak
mungkin berbicara dengan lidah orang lain. Demikian pula rezeki, setiap individu
akan memakan rezeki yang diperuntukkan Allah baginya. Yazid bin Mar'ad
mengatakan, "Ada seorang laki-laki sedang kelaparan duduk di suatu tempat yang
tidak ada sesuatu pun untuk dimakan. Kemudian ia berkata, "Ya Allah, berikan
kepadaku rezeki yang telah Engkau janjikan itu." Seketika itu juga perutnya merasa
kenyang dan hilang rasa dahaganya.
Allah SWT. berfirman:
Dan bertawakkallah kepada Allah Yang Hidup (Kekal) Yang tidak
mati .... (al-Furqan : 58).
Dan firman-Nya pula:
... Dan hanya kepada Allah hendaknya kamu bertaioakkal, jika
kamu benar-benar orang yang beriman. (al-Maidah: 23).
Maka, barangsiapa tidak menghiraukan firman Allah, bahwa rezeki datang dari
Allah, tidak menganggap sebagai janji Allah, merasa tidak tenteram dengan jaminan
Allah, tidak merasa senang dengan ketetapan Allah, menganggap sepi perintah dan
pahala serta ancaman Allah, maka ia akan merasakan sendiri akibat
perbuatannya itu.
Sungguh suatu petaka besar bagi orang yang tidak mempercayai jaminan
Allah. Dan kita, tentunya tidak menginginkannya.
Abdullah bin Umar mengatakan, "Bagaimana jika engkau panjang umur dan
hidup di tengah-tengah orang yang suka menimbun harta untuk bertahun-tahun
dikarenakan lemah keyakinannya?"
Imam Hasan Bashri mengatakan, "Allah melaknat orangorang yang tidak
mempercayai jaminan-Nya dalam urusan rezeki. "
Ketika turun ayat itu, para malaikat berkata, "Celakalah anak-cucu Adam. Ia
membuat marah Tuhan, sehingga Allah menjamin rezeki mereka."
Imam Uwes Qarni ra. mengatakan, "Meski engkau beribadah sebanyak
penghuni langit dan bumi, tidak diterima ibadahmu sebelum engkau
mempercayai jaminan-Nya."
Seseorang bertanya, "Bagaimana orang yang percaya adanya jaminan Allah
itu?"
Jawabnya, "Yaitu; hendaklah merasa tenteram dan aman atas jaminan
Allah, yakni masalah rezeki. Sehingga, engkau merasa mendapat kesempatan
untuk beribadah kepada Allah SWT.
Imam Haram bin Hayyam bertanya kepada Imam Uwes, "Tuan hendak
menyuruhku berdiam di mana?"
Jawab Imam Uwes, "Ya Haram bin Hayyam, engkau boleh tinggal di negeri
Syam."
Haram bin Hayyam bertanya, "Bagaimana kehidupan di sana?".
Marahlah Imam Uwes Qarni sambil berkata, "Celakalah orang berhati
lemah seperti kau. Nasihat tidak akan bermanfaat bagi orang yang meragukan
jaminan Allah."
Imam Ghazali mengatakan, "Aku mendengar ada seorang Nabbas (pencuri
kain kafan di kuburan) bertaubat di hadapan Imam Abu Yazid al-Busthami.
Maka Abu Yazid bertanya kepadanya, "Syukurlah engkau bertaubat. Tetapi
apa sebab engkau bertaubat?"
Orang itu menjawab, "Aku pernah menggali kubur kurang lebih seribu kali.
Kebanyakan mayat di dalam kubur itu berpaling dari kiblat. Hanya ada dua
mayat yang tetap menghadap kiblat."
Berkatalah Imam Abu Yazid, "Kasihan mereka! Keragu-raguan tentang
rezeki telah memalingkan mereka dari kiblat."
Berkata pula Imam Ghazali, "Di antara muridku ada yang menyampaikan'
berita bahwa dalam mimpinya ia melihat seorang saleh. Kemudian muridku
bertanya kepadanya, 'Apakah engkau selamat karena imanmu?"
Jawabnya. 'Iman bisa selamat dan sempurna hanya pada orang-orang yang
bertawakkal kepada Allah SWT."
Marilah kita bermohon kepada Allah, semoga Allah memperbaiki kita.
Sesungguhnya Allah Maha Pengasih.
Berikut ini, ikutilah penjelasan tentang hakikat tawakkal, hukum-hukumnya,
dan kewajiban-kewajiban seseorang dalam hubungannya dengan rezeki.
Dan masalah itu akan kami sajikan dalam empat pasal, 'yaitu:
Pasal pertama
: Arti kata "tawakkal."
Pasal kedua
: Saat-saat bertawakkal.
Pasal ketiga
: Batasan dan hakikat tawakkal.
Pasal keempat
: Benteng tawakkal.
Pasal pertama: Arti kata "tawakkal".
Tawakkal wazan-nya tafa'ul, dari asal kata Wikalah, artinya perwakilan.'
Jadi, orang yang bertawakkal kepada seseorang, berarti menganggapnya
sebagai wakil dalam segala urusan dan menjamin memperbaiki dirinya. Karena
sudah ada wakil, maka muwakkil (yang mewakilkan) tidak perlu turut
mengerjakan, tidak bimbang dan tidak ada takalluf
Jadi, tawakkal berarti mempercayakan (mewakilkan/menyerahkan) atau
menyandarkan sesuatu kepada Allah.
Pasal kedua: Saat-saat bertawakkal.
1. Tawakkal mengenai qismah (nasib).
Yakni percaya kepada Allah. Sebab apa-apa yang telah ditentukan oleh
Allah buat kita tidak akan salah, dan pasti akan kita terima, karena keputusan
Allah tidak berubah. Maka, bertawakkal kepada-Nya adalah wajib, karena yang
sudah digariskan Allah dalam Lauhul mahfudz buat kita pasti benar.
2. Tawakkal dalam hal pertolongan Allah.
Misalnya, kita sedang berperang, dan Allah telah menjanjikan pertolongan
bagi kita. Maka hal itu pasti terjadi dan benar.
Jadi, dalam berperang (berjuang), kita harus percaya adanya pertolongan
Allah. Atau dengan kata lain, jika kita berjuang benar-benar untuk Allah, maka
pasti Allah akan menolong kita.
Hal itu sesuai dengan janji Allah:
Kemudian, apabila kamu telah membulatkan tekad, maka
bertawakkallah kepada Allah .... (Ali Imran: 159 J.
Jadi bila kita beriman dan berjuang untuk Allah, tidak perlu ragu-ragu, Allah
pasti akan menolong kita.
3. Tawakkal dalam hal rezeki.
Sebab, Allah Swt. telah menjamin umatnya dengan bekal yang mencukupi
guna beribadah kepada Allah SWT. Dan berkat jaminan ini, pasti kita dapat
menjalankan ibadah.
Allah Ta'ala berfirman:
..... Dan barangsiapa yang bertawakkal kepada Allah, niscaya
Allah akan mencukupkan (keperiuanmya .... (ath-Thalaq. 3).
Dan sabda Rasulullah SAW.:
Apabila kalian bertawakkal kepada Allah dengan sebenarbenarnya, niscaya Allah memberikan rezeki kepadamu, seperti Dia
memberikan rezeki kepada burung. Pada waktu fajar burung-burung
keluar dari sarangnya dengan perut lapar. Senja hari ketika mereka
kembali ke sarangnya dengan perut penuh (kenyang) .
Dengan adanya bukti-bukti tersebut, yakni pikiran sehat dan agama, maka
wajib bagi setiap hamba Allah bertawakkal kepada-Nya.
Dan tawakkal yang paling penting adalah dalam urusan rezeki yang dijamin
oleh Allah Ta'ala.
Rezeki terdiri dari empat bagian: rezeki yang dijamin, rezeki yang dibagi,
rezeki yang dimiliki, dan rezeki yang dijanjikan Allah.
Mengenai rezeki yang dijamin oleh Allah, adalah tenaga dan kekuatan yang
ada dalam tubuh kita hingga kita mampu beribadah. Hal itu semata-mata karena
Allah, bukan karena hal-hal lain.
Sebab, adakalanya orang yang banyak makan namun tidak mendapatkan
jaminan kekuatan ini. Seperti misalnya, salah seorang Yahudi kaya di Amerika. Ia
banyak membuat makanan untuk orang lain, akan. tetapi dirinya hanya memakan
beberapa cuil biscuits dikarenakan larangan dokter.
Jadi, Allah menjamin kekuatan tubuh kita untuk beribadah dapat melalui
makanan, atau apa saja.
Sekali lagi kita wajib bertawakkal dalam masalah ini.
Karena, Allah telah menjanjikan rezeki kita, dengan bukti-bukti Agama, alQur'an, hadits, dan pikiran sehat manusia.
Hal itu dikarenakan Allah memerintahkan kita berkhidmat dan taat kepada-Nya
secara keseluruhan, jiwa dan raga.
Dengan demikian, Allah penjamin' segala sesuatu yang menyebabkan kita
mampu menjalankannya, dan tidak mewajibkan kepada orang-orang yang tidak
mampu.
Menjamin rezeki seluruh hamba Allah merupakan kebijaksanaan Allah, yang
disebabkan oleh tiga hal:
1. Allah ibarat majikan, dan kita (hamba Allah) sebagai buruh.
Majikan wajib memberikan upah kepada buruhnya agar mampu bekerja. Dan
sebahknya buruh wajib berkhidmat kepada majikannya.
2. Menurut logika, manusia hidup membutuhkan rezeki. Dan Allah sebagai
Pencipta pasti akan memberinya.
Memang, tidak ada jalan tetap guna mencari rezeki. Sebab manusia tidak
tahu jalan rezekinya, melainkan hanya dapat berusaha. Manusia juga tidak
tahu bentuk rezeki bagi dirinya, meskipun la berladang atau berniaga.
Sehingga, kapan dan di mana saja manusia wajib mencari rezeki.
.
3. Sebab Allah memerintahkan hambanya agar berkhidmat. sedangkan mencari
rezeki kadang-kadang menghalangi manusia untuk berkhidmat. Sehingga,
Allah menjamin manusia agar tetap mempunyai kesempatan berkhidmat
kepada-Nya.
Ada orang mengatakan, bahwa pemberian rezeki Allah itu lemah sekali, dan
tidak ada yang wajib bagi Allah, karena Allah Mahakuasa. Sehingga, janji
Allah itu bukanlah suatu kewajiban atas-Nya.·
Jelas sekali, pendapat di atas diucapkan oleh orang yang tidak mengetahui
rahasia ketuhanan.
Selain itu, rezeki yang dijanjikan Allah mempunyai takaran tertentu tidak akan
bertambah dan berkurang, serta pada saat rertentu. Tidak akan terlambat dan tidak
mungkin datang sebelum saatnya.
Rasulullah SAW. bersabda:
Rezeki yang telah ditetapkan sudah dibagikan sebelum manusia
dilahirkan.
Seorang jahat tidak akan pemah merubah kelakuannya. Dan seorang yang
bertakwa tidak akan pemah merubah keputusannya.
Demikian halnya dengan rezeki seseorang, Allah tidak akan merubahnya.
Meskipun menurut manusia, semuanya adalah hasil jerih payahnya .
Allah Ta'ala berfirman:
Dan belanjakanlah sebagian dari apa yang telah Kami berikan
kepadamu: ... (al-Munafiqun : 10).
Dan rezeki yang dijanjikan Allah kepada hamba-Nya yang bertakwa akan datang
meskipun ia tidak bersusah payah mencarinya.
Barangsiapa yang bertakwa kepada Allah, niscaya Dia akan
mengadakan baginya' jalan keluar; dan membertn ya rezeki dari arah
yang tiada disangka-sangkanya.... (ath-Thalaq : 2-3 )
Pasal ketiga: Batasan dan hakikat tawakkal.
Seorang ulama mencatakan, "Percayalah kepada Allah, dan hanya kepada-NyaIah kita mengharapkan segala sesuatu."
Jadi, kita mengharapkan segala sesuatu hanyalah kepada Allah, bukan kepada
SIapa pun. Dan itulah yang dimaksud dengan tawakkal.
Ulama lain mengatakan, "Memelihara hati hanya ditujukan kepada Allah.
Menentukan mana yang baik dan mana yang buruk hendaknya menggantungkan
kepada Allah."
Abu Umar berkata, "Tawakkal adalah meninggalkan sifat ketergantungan selain
kepada Allah. "
Berkata pula guruku, "Tawakkal dan ta 'alluq adalah dua sifat hati."
Berarti tawakkal adalah lawan dari ta'alluq. Tawakkal berarti kesadaran hati
bahwa hidup dan kuatnya badan hanyalah karena Allah. Sedangkan ta'alluq
sebaliknya, datangnya segala sesuatu bukan dari Allah.
Oleh karenanya, istilah percaya diri tidak dapat diartikan tawakkal. Sebab,
istilah tawakkal hanya diperuntukkan kepada Allah SWT.
Mendengungkan tawakkal kepada diri sendiri mendatangkan madharat sangat
besar, dan sangat membahayakan mental. Sebab, JIka ternyata gagal, kemungkinan
ia akan melakukan bunuh diri, dikarenakan tidak mempercayai dirinya lagi.
Untuk itu, dalam mendidik jiwa, janganlah kita bersandar pada pemikiran Barat
yang mengandalkan rasio semata. Sebab, kita telah mempunyaI dasar sendiri.
Imam Ghazali mengatakan, "Semua pendapat itu menurut hematku kembah
pada satu pokok, yaitu bahwa segala kekuatan dan kebutuhan bagi kita semua
datang dari Allah 'Azza wa Jalla, bukan dari selain Allah. Karena, Allah Maha
Berkehendak. Jika Allah menghendaki melalui satu sebab, maka Allah akan
menjadikan sebab itu. Tetapi, jika tidak menghendaki melalui sebab, maka cukup
dengan kudrat-Nya. "
Jika seseorang telah menyadari hal itu, menyandarkan segalanya hanya kepada
Allah, serta memutuskan harapannya kepada orang lain, berarti ia telah benar-benar
bertawakkal kepada Allah.
Itulah batasan dan hakikat tawakkal.
Pasal keempat: benteng tawakkal.
Adapun benteng tawakkal adalah yang mendorong seseorang bertawakkal
karena ingat akan jaminan Allah Ta'ala. Jika seseorang ingat jaminan Allah, niscaya ia
akan tawakkal.
Sedangkan benteng dari bentengnya tawakkal adalah ingat akan keagungan
Allah, kesempurnaan ilmu-Nya, dan KudratNya, serta percaya bahwa Allah tidak
mungkin mengingkari janji.
Dengan demikian, jika seseorang senantiasa ingat hal-hal tersebut niscaya akan
terdorong bertawakkal kepada Allah dalam urusan rezeki.
Rezeki manusia yang berupa makanan dan penghidupan tidak mungkin kita
cari. Sebab, itu semata-mata pemberian Allah, seperti halnya kehidupan dan
kematian, manusia tidak mampu dan kuasa mengadakan atau menolaknya.
Adapun yang dimaksud dengan rezeki maksum adalah rezeki yang telah selesai
dibagikan, dan datangnya dari hasil usaha seseorang, misalnya dari berladang atau
berniaga.
Sehingga sebenarnya kita tidak perlu memikirkan dan mencari rezeki yang
demikian, karena telah dibagikan di Lauhul mahfudz. Lagi pula yang dibutuhkan
hamba Allah adalah yang dijamin. Dan rezeki itu datangnya langsung dan dijamin
oleh Allah. Hal itu tidak layak kita ragukan.
Allah Ta'ala berfirman:
.....dan carilah karunia Allah .... (al-jumu'ah : 10).
Mencari karunia di atas, maksudnya adalah mencari ilmu dan pahala.
Ada pendapat (lemah) mengatakan, "Itu hanyalah kelonggaran, dan kami
diperbolehkan mencari rezeki. Jadi, bukan wajib, melainkan boleh. Sebab,
perintah itu datang setelah adanya larangan. Jika terdapat perintah di dalam alQur'an datangnya setelah adanya larangan, artinya hanya diperbolehkan, bukan
diwajibkan.
Misalnya: Sebelum turun ayat
,
terlebih duluturun ayat
Apabila telah ditunaikan shalat, maka bertebaranlah kamu di
muka bumi; dan carilah karunia Allah .... (al-jumu 'ah: 10).
Berarti bukan suatu kewajiban. Sebab datangnya perintah setelah datangnya
larangan. Jadi, diperbolehkan.
Allah Ta'ala juga berfirman:
..... dan apabila kamu telah menyelesaikan ibadah haji, maka
bolehlah berburu ..... (al-Maidah: 3).
Ayat tersebut mengisyaratkan bahwa pergi berburu tidaklah wajib, tetapi Juga
tidak dilarang; hanya diperbolehkan.
Rezeki bagi kita dijamin oleh AlIah, dan untuk mendapatkannya, apakah kita -
perlu men cari sebab-sebab itu guna mendapatkannya? Tidak perlu! Sebab Allah
akan mendatangkan rezeki itu, baik dengan sebab maupun tanpa sebab.
Allah 'Azza wa Jalla berfirman:
Dan tidak ada suatu binatang melata pun di muka bumi .
melainkan Allah-lah yang memberinya rezeki .... (Hud : 6).
Masuk akal, bagaimana mungkin Allah memerintahkan hambanya mencari
apa-apa yang tidak diketahuinya. Sebab, kita tidak tahu di mana terdapat rezeki
yang madhmun itu, sedangkan rezeki madhmun adalah perbuatan Tuhan.
Tetapi, kita hanya sekadar berusaha sebelum ada kepastian, rezeki kita
berada di pasar atau di sawah. Sehingga, di antara manusia tidak ada yang
mengetahui benar sebab-sebabnya. Manusia hanya dapat meraba-raba dan
menduga dari mana datangnya rezeki itu. Dan Allah tidak memerintahkan
mencari apa-apa yang manusia tidak mengetahuinya, meskipun tanpa sebab.
Kita pun telah cukup mendapatkan bukti, bahwa para Nabi shalawatullah
'alaibim dan para anbiya' yang bertawakkal kepada Allah, pada umumnya tidak
mencari rezeki.
Rasulullah SAW., sebelum diangkat menjadi seorang Nabi juga mencari
rezeki. Tetapi, setelah menjadi Nabi, tidak lagi mencarinya. Demikianlah
umumnya para Nabi. Mereka senantiasa beribadah kepada Allah. Juga para
Wali.
Memang ada juga Nabi atau wali yang berkasab, tetapi tidak berarti
tawakkal kepada kasab. Mereka tetap tawakkal kepada Allah 'Azza wa Jalla .
Jika berusaha merupakan suatu kewajiban, maka berarti para Nabi itu
berdosa. Sebab, mereka tidak pergi ke pasar, misalnya. Ini suatu pertanda
bahwa berusaha tidaklah suatu kewajiban, tetapi dibolehkan oleh Allah, Sebab,
berusaha pun jika disertai niat baik juga merupakan ibadah.
Apakah dengan berusaha, rezeki seseorang dapat bertambah, dan
sebaliknya, apakah bisa berkurang jika tidak berusaha? Pada dasarnya, rezeki
seseorang telah tertulis dalam Lauhul mahfudz, dan telah ditetapkan jumlah
maupun waktunya. Allah tidak pernah merubah keputusannya, menurut
pendapat para ulama shalihin.
Pendapat tersebut ditentang oleh murid-muridnya. Di antaranya adalah
Hatim dan Syaqiq. Mereka berpendapat. "Rezeki tidak akan bertambah dan
berkurang karena perbuatan seseorang. Tetapi harta benda bisa bertambah dan
berkurang (maksudnya, harta benda yang maksum)."
Pendapat itu salah, sebab dalil mengenai dua hal itu hanya satu, yakni
sudah dibagikan, baik rezeki yang madhmun, maupun yang maksum telah
dituliskan. Seperti misalnya, "Si anu bakal kaya, dan Si anu bakal miskin. "
Allah mengisyaratkan mengenai hal itu:
(Kami jelaskan yang demikian itu) supaya kamu jangan berduka
cita terhadap apa yang luput dari kamu, dan supaya kamu jangan
terlalu gembira terhadap apa yang diberikan- Nya kepadamu .... (alHadid . 23)
Sebab, kalau harta datangnya harus dicari, berarti bisa bertambah, dan
berkurang jika tidak dicari. Sehingga, ada alasan merasa gembira atau bersedih,
karena kemungkinan ia lalai dan berangan-angan sampai tidak mendapatkan
kekayaan. Seperti misalnya, "Aku sangat menyesal tidak bersungguh-sungguh
dalam mencari rezeki, sehingga aku melarat."
Oleh karenanya, Allah memperingatkan kita agar tidak bersedih jika tidak
mendapatkan sesuatu pun, dan jangan bergembira jika mendapatkan rezeki.
Sebab, semua itu bukan hasil usaha dan jerih payah kita, melainkan ketetapan
Allah yang dituliskan pada lauhul mahfudz.
Kepada seorang pengemis, Rasulullah SAW. bersabda:
Ambillah yang kau minta. Sebab, walaupun engkau tidak datang
ke sini, ia (barang) akan datang kepadamu. Karena, hal itu telah
ditulis pada Lauhui mahfudz. Mengapa engkau mesti meminta-minta,
hanya membikin malu sendiri. Tidak kau minta pun ia akan datang
kepadamu.
Lain halnya dalam urusan pahala. Wajib bagi kita mencari pahala Allah,
seperti yang diperintahkan Allah. Tetapi Allah tidak memerintahkan kita mencari
rezeki. Sehingga jika kita meninggalkan perintah itu (perintah mencari pahala)
akan berdosa. Dan Allah tidak menjamin pahala, seperti halnya menjamin
rezeki. Dengan demikian, banyak-sedikitnya pahala dan siksa Allah, bergantung
pada perbuatan kita.
Perbedaan kedua hal tersebut, seperti dikatakan sebagian ulama, "Apa
yang dituliskan pada Lauhuf mahfudz ada dua bagian: Yang satu dituliskan
secara mutlak tanpa syarat dan tidak bergantung pada perbuatan seseorang,
yakm masalah rezeki dan ajal.
Allah Ta'ala berfirman:
Dan tidak ada suatu binatang melata pun di bumi melainkan
Allah-lah yang memberi rezekinya .... (Hud : 6).
Dan firman Allah Ta'ala tentang ajal:
... maka apabila telah datang ajalnya, mereka tidak dapat
mengundurkannya barang sesaat pun dan tidak dapat (pula)
memajukannya ... , (al-A 'ra] . 34).
Dan Sabda Rasulullah SAW.:
Terdapat empat perkara yang menjadi ketetapan Allah:
Pertama: Allah menciptakan langit, bumi, dan lainnya telah ada ketetapanNya pada Lauhul mahfudz:
Kedua, mengenai tabiat seseorang. Hal itu juga telah tertulis pada Lauhul
mahfudZ. Sedangkan pendidikan hanya sebagai pemerhalus. Sebab, ada manusia
yang bertabiat pemarah dan ada yang sabar.
Seorang ahli pendidik tidak akan mampu menghilangkan sifat pemarahnya.
Karena memang sudah menjadi tabiatnya, hanya sifat itu bisa dinetralisir dan
disalurkan kepada halhal yang bermanfaat.
Ketiga, mengenai rezeki. Mencari rezeki, hendaknya berniat seperti jihad fi
sabilillah. Jadi, mencari rezeki halal sama dengan beribadah. Sedangkan datangnya
rezeki bukan urusan kita.
Keempat, mengenai ajal. Orang yang melakukan bunuh diri, bukan berarti ia
mempercepat kematiannya, melainkan hal Itu telah menjadi ketetapan Allah, bahwa
ia akan mati dengan jalan itu.
Dan sebagian. Jagi dituliskan dalam Lauhul mahfudz dengan syarat yang
digantungkan, yaitu diisyaratkan pada perbuatan seseorang. Misalnya, si Anu bakal
masuk surga dengan syarat la harus taat, atau, si Anu bakal masuk neraka jika
melakukan maksiat.
Allah Ta'ala berfirman:
Dan sekiranya Ahli Kitab beriman dan bertakwa tentulah Kami
tutup (hapus) kesalahan-kesalahan mereka dan tentulah Kami
masukkan mereka ke dalam surga-surga yang penuh kenikmatan. (alMaidah: 65).
Tetapi mereka dapat masuk surga, dengan syarat beriman kepada Nabi
Muhammad SAW, dan menolak kekufuran.
Banyak kita jumpai, seseorang bekerja keras. membanting tulang siang malam,
tetapi tetap fakir. Namun, ada juga orang-orang tidak pergI ke SAWah atau ke pasar
justru hartanya berlimpah. Hal ItU adalah karena takdir Allah!
Seringkali kita dengar orang berkata. "Bersungguh-sungguhlah dalam berusaha
agar menjadi kaya raya."
Maksud perkataan itu barangkali baik. Tetapi, ucapan itu hanya sebagai
didikan, agar tidak malas. Karena, rezeki telah ditetapkan oleh Allah Swt. .
Abu Bakar Muhammad bin Sabiq al-Wa'idz, seorang ulama besar, penyair
ulung, dan penasihat, menggubah sebuah sya'ir.
Berapa banyak orang kuat, bahkan kuat sekali dan pintar,
tetapi tidak kaya.
Dan ada orang yang lemah, bahkan lemah sckali, tetapi seakanakan rezekinya tinggal memungut saja dari laut.
Itu suatu pertanda dan bukti bahwa Allah mempunyai rahasia
yang samar terhadap makhluknya, tidak terbuka bagi manusia.
Ini bukan berarti suatu anjuran agar kita tidak belajar dan menuntut ilmu. Kita
harus tetap belajar dan berusaha. Tetapi, jangan menjadikan kita tawakkal kepada
ilmu.
Seorang yang teguh hatinya, percaya kepada Allan dan benar-benar bersandar
pada janji-Nya, Insya Allah mampu mengarungi padangpasir tanpa bekal apa pun.
Tetapi, orang yang tidak teguh hatinya, seperti halnya kebanyakan orang,
hendaknya jangan memberanikan diri dan mencoba-coba seperti yang dilakukan
orang-orang yang teguh hatinya. Bahkan, bagi orang yang lemah hatinya, berbuat
seperti itu hukumnya haram.
Aku dengar Imam Aba Ma'ali berkata, "Orang yang sudah terbiasa dengan
Allah, menurut kebiasaan banyak orang, maka Allah juga menjalankan apa-apa
terhadapnya menurut kebiasaan orang banyak pula. Memberinya biaya hidup,
menurut kebiasaan di mana Allah memberinya rezeki, seperti dari SAWah atau dari
perniagaan, maka diberinya pula dari sana."
Dalam kitab Hikam disebutkan:
Kita lihat, bagaimana kebiasaan Allah terhadap kita Jika kita mendapatkan
rezeki dari SAWah dengan mudahnya, berarti Allah telah menetapkan demikian.
Maka, janganlah beralih dari sana, karena biasanya justru akan hancur. Demikian
pula jika Allah telah menetapkan bahwa rezekinya dari hasil perniagaan dan
sebagainya,
Jadi, kita harus menurut apa yang telah menjadi ketetapan Allah Ta'ala.
Demikian juga bagi orang yang tajarrud. Ia sibuk dengan urusannya, yakni
beribadah kepada Allah. Sehingga, tidak mampu mengusahakan suatu apa pun.
Akan tetapi, rezekinya datang dengan mudah. Maka, janganlah sekali-kali berniat
menghentikan jihad fi sabilillah. Melainkan harus tetap menyenangi dan kerasan
dalam hal yang sudah menjadi ketetapan Allah.
Allah Ta'ala berfirman:
.....Berbekallah, dan sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah
takwa..... (al-Baqarah: 197).
Terdapat dua pendapat dari. tafsiran ayat di atas:
Pertama, yang dimaksud dalam ayat itu adalah bekal untuk akhirat, sehingga
Allah berfirman bahwa bekal yang paling baik adalah takwa. Hal itu menyangkut
urusan batin dan maknawi dan tidak berarti bekal itu harta dunia dan sebabsebabnya:
Pendapat kedua, mengenal suatu kaum yang tidak menyenangi membawa
bekal di kala menunaikan ibadah haji, melainkan hanya mengandalkan orang lain.
Dalam perjalanan, mereka suka mernmta-rmnta, demikian juga setibanya di
Makkah. Bahkan, mereka suka memaksa dan mengganggu. Hingga akhirnya datang
penngatan agar membawa bekal dari harta sendiri. Karena hal ltu lebih baik
daripada meminta-minta dan mengandalkan orang lain.
Kami cenderung menyetujui pendapat kedua.
Jadi, kita wajib menggantungkan diri kepada Allah, bertawakkal kepada-Nya,
dan mengakui dalam hati bahwa rezeki bagi setiap manusia telah ditetapkan oleh
Allah.
Sebab, Allah kuasa menghidupkan seseorang dengan bekal ataupun tanpa
bekal.
Seandainya ada seorang yang tawakkal membawa perbekalan dalam
bepergian. kadang-kadang diniatkan untuk membantu sesama Muslim dalam
perjalanan.
Sebab, dalam hal ini yang penting bukan membawa atau tidak membawa bekal,
melainkan soal hati, kepada siapa hatinya digantungkan.
Janganlah menggantungkan diri kepada selain janji dan jaminan Allah. Banyak
orang yang membawa bekal dalam bepergian, tetapi hatinya tetap bersandar
kepada Allah semata, bukan kepada bekal. Demikian juga sebaliknya, banyak orang
tidak membawa perbekalan dalam perjalanan, tetapi hatinya tetap saja menoleh
kepada bekal, bukan kepada Allah.
Tetapi dalam suatu perjalanan, mengapa para Nabi dan sahabat-sahabatnya,
serta orang-orang terdahulu membawa perbekalan? Perlu kita ketahui, membawa
perbekalan tidak diharamkan, bahkan diperbolehkan. Tetapi yang diharamkan
adalah bersandar atau menggantungkan diri kepada perbekalan itu, bukan kepada
Allah!
Allah Ta'ala berfirman:
Dan bertawakkallah kepada Allah Yang Hidup (Kekal) Yang tidak
mati .... (al-Furqan : 58).
Dengan perbekalannya itu, bukan berarti Rasulullah SAW. menentang firman
Allah. Rasulullah juga tidak menggantungkm diri (hatinya) kepada perbekalan yang
dibawanya. melainkan tetap kepada Allah Ta'ala. Sedangkan Rasulullah SAW.
enggan diserahi kunci pembuka seluruh bumi guna membuka gudangnya.
Jadi, yang menjadi masalah di sini adalah niat dalam membawa perbekalan itu.
Jika ada pertanyaan, bagaimana sebaiknya membawa bekal atau tidak? Hal itu
adalah bergantung keadaannya. Jika ia seorang pemimpin yang mempunyai banyak
pengikut dan berniat memberikan contoh kepada pengikutnya, bahwa membawa
perbekalan dibolehkan, atau dengan niat untuk menolong orang miskin di tengah
perjalanan, dan sebagainya, maka membawa perbekalan diperbolehkan.
Tetapi, jika ia seorang yang kuat hatinya dan bepergian seorang diri, serta
percaya kepada Allah dan beranggapan bahwa perbekalan hanya akan
membimbangkan hati, maka sebaiknya ia tidak membawa perbekalan dan tidak
membawa kawan.
Awarid kedua, yaitu bahaya-bahaya sampingan dari bahayabahaya utama.
Untuk mengatasi hal ini tidak lain hanyalah berserah diri kepada Allah.
Menyerahkan diri kepada Allah ini dikarenakan dua sebab:
1. Agar hati menjadi tenteram dan tidak gelisah. Sebab, sesuatu yang samar
akan membingungkan, mana yang baik dan mana yang buruk. Tetapi, jika
berserah diri kepada Allah dan berkeyakinan akan jatuh pada kebaikan,
maka ia akan merasa aman dan tidak khawatir akan bahaya dan musibah
serta kesalahan.
Guru kami mengatakan, "Serahkan segalanya kepada Allah yang
menciptakan dirimu, niscaya engkau menjadi senang."
Dan beliau senang sekali membaca sya'ir berikut ini:
Sesungguhnya orang tidak mengetahui, apakah itu. bermanfaat,
disukai, atau disegani.
Sudah seharusnya orang yang demikian menyerahkan segala yang
ia tidak mampu kepada Allah, yang dengan nama-Nya akan
membereskannya.
Sesungguhnya Kasih Sayang Allah terhadapnya melebihi kasih
sayang ibu-bapaknya.
2. Untuk itu, ia harus menyerahkan segala sesuatunya kepada Allah, yang
dikemudian hari akan mendatangkan maslahat dan kebaikan.
Sebab, segala sesuatu jika diamat-amati akan samar. Banyak
keburukannya, tetapi sebenarnya baik. Banyak yang menguntungkan,
sedangkan pada kenyataannya merugikan. Banyak yang berupa racun
tetapi tampak seperti madu. Sedangkan manusia tidak mengetahui segala
akibat dan rahasianya.
Sehingga seseorang yang berpura-pura mengetahui segala urusan, berani
memastikan ini dan itu untuk masa depannya, menentukan pilihannya
tanpa berserah diri kepada Allah. Maka, dengan cepat ia akan menemui
kecelakaan, meskipun ia tidak menyadarinya. Sehingga, la baru akan
menyadari setelah jatuh terperosok.
Terdapat satu riwayat, ada seorang ahli ibadah namun bodoh. Kemudian,
ia berdoa ingin melihat iblis. Lantas, seseorang memperingatkan agar tidak
berdoa seperti itu, dan memohonlah keselamatan dari Allah. Akan tetapi,
orang itu tetap bersikeras pada keinginannya.
Maka, Allah memperlihatkan kepadanya sebentuk iblis. Begitu melihat, ia
hendak menamparnya (iblis).
Maka berkatalah iblis kepadanya, "Jika saja aku tidak mengetahui
umurmu masih seratus tahun lagi, niscaya engkau aku bunuh dan aku
hukum!"
Ia sadar bahwa umurnya masih seratus tahun lagi. Dalam hati ia berkata,
umurku masih panjang. Dengan demikian, tidak perlu aku beribadah
sekarang, besok saja jika sudah dekat dengan kematian. Saat itu, aku baru
saja bertaubat dan beribadah. Buat apa saat ini aku harus bersusah payah.
Aku akan berbuat semauku, melakukan maksiat. Kelak, menjelang seratus
tahun umurku, baru aku akan bertaubat.
Dan benar, ia melakukan perbuatan maksiat dengan seenaknya dan
meninggalkan ibadah. Tetapi ternyata, sebelum umurnya mencapai
seratus tahun, ajal menjemputnya. Begitulah orang yang berlagak
mengetahui.
Riwayat. di atas cukup jelas bagi kita. Sehingga, cukup menjadi
peringatan agar tidak berpura-pura tahu, dan tidak bersikeras jika
menginginkan sesuatu. Dalam riwayat di atas Juga terkandung peringatan
agar kita tidak merasa tidak akan mati (thulul 'amal). Sebab thulul 'amal itu
suatu musibah yang teramat dahsyat.
Simaklah sya'ir di baw'ah ini:
"Janganlah engkau merasa umurmu akan panjang, karena
lamunan seperti itu banyak membawa ajal."
Lain halnya dengan orang yang senantiasa menyerahkan segala
urusannya kepada Allah SWT., dan memohon kepadaNya segala kebaikan
bagi dirinya. Pada hari kemudian, ia akan menemukan kebaikan dan
kemaslahatan.
Allah Ta'ala berfirman tentang seorang hamba baik yang berada di
kerajaan Fir'aun. Hamba itu menasihati Firaun agar beriman kepada Nabi
Musa as. Mendengar' nasihat Itu, Raja Fir aun menjadi marah dan hendak
membunuhnya. Maka, berkatalah hamba baik itu, "Aku menyerahkan
segala urusanku kepada Allah. Karena, Allah mengetehui keadaan hambahamba-Nya". Maka, Allah rnernehhara dan melindunginya dari tindakan
jahat Fir'aun. Bahkan, Fir'aun dan pengikutnya ditimpa bencana yang
sangat dahsyat, yakni tenggelam ke dalam lautan. Sedangkan ia (hamba
yang baik) selamat dari bencana itu, demikian juga Nabi Musa as. Beliau
selamat sampai ke seberang lautan.
Pembaca yang budiman, begitulah, karena ia berserah diri kepada
Allah, maka Allah pun memeliharanya dari keburukan dan kecelakaan. Ia
mendapatkan kemenangan dari musuh (Fir'aun dan pengikutnya), dan ia
sampai pada tujuan.
Dengan demikian, seseorang yang berserah diri kepada Allah bakal
mendapatkan jaminan pada hari kemudian, Bagaimana pun kejadiannya,
pasti akan baik baginya.
Untuk menjelaskan apa arti taFibid dan hukumnya, diperlukan dua pasal
guna menjelaskannya:
Pasal pertama
: Tempat menyerahkan segala sesuatu kepada Allah
beserta hukumnya.
Pasal kedua : Arti berserah diri kepada Allah dan ta'rif nya, serta lawannya.
Pasal pertama, tempat untuk berserah diri kepada Allah ada tiga bagian.
Pertama: suatu keinginan, jika diketahui hal itu tidak baik dan jahat, berarti
jelas bahwa hal itu suatu keburukan, seperti neraka dan siksa. Perbuatan itu
adalah kufur, bid'ah, dan maksiat,
Jangan sekali-kali mempunyai pendirian, "aku serahkan segalanya kepada
Allah, masuk neraka ataupun masuk surga." Hal itu bukan cara menyerahkan diri
kepada Allah.
Kedua: segala keinginan yang diyakini baik, juga harus diserahkan
sepenuhnya kepada Allah SWT.
Demikian juga dalam hal keinginan tetap beriman dan tetap termasuk
golongan Ahli Sunnah wal Jama'ah. Dalam hal ini, seseorang boleh merasa pasti,
karena hal itu bukan berarti taSAWuf. J adi, dalam hal ini tidak mendatangkan
bahaya, bahkan baik dan menjadikan rnaslahat.
Ketiga: tempat seseorang berkeinginan untuk tafwid (menyerahkan diri
kepada Allah).
Segala keinginan yang belum diketahui baik-buruknya, harus diserahkan
kepada Allah SWT. Seperti misalnya shalat sunat, puasa sunat, dan sebagainya.
Memang, mengerjakan ibadah sunat merupakan suatu kebaikan. Tetapi
adakalanya semuanya itu justru mendatangkan maksiat. Misalnya dalam
mengerjakannya terdapat sifat riya, atau tidak semata-mata karena Allah.
Dalam hal ini, kita mesti berserah diri kepada Allah. Dan kita tidak berhak
memastikan keinginan itu, melainkan harus disertai istisna ' dengan
mengucapkan Insya Allah.
Dengan mengucapkan Insya Allah, berarti kita serahkan kepada kehendak
Allah. Harapan yang tidak disertai istisna ' adalah tercela dan haram hukumnya.
Dengan demikian, tempat tafwid adalah keinginan-keinginan yang
mengandung bahaya, yaitu ragu-ragu adanya maslahat di dalam keinginan itu.
Pasal kedua: makna tafwid.
Salah seorang guru kami mengatakan, "Dalam memilih mana yang baik dari
hal-hal yang belum pasti, hendaklah diserahkan kepada yang berhak, yakni Allah
Ta'ala, Tuhan sekalian alam."
Syaikh Abu Muhammad as-Sajari mengatakan, "Pilihan yang mengandung
bahaya hendaklah kamu serahkan kepada Pemilih Agung, agar Dia memilihkan
yang baik bagimu."
Berkata pula Syaikh Abu Umar, "Tinggalkan sifat tamak (harapan yang tidak
baik). "
Tamak, artinya menghendaki sesuatu yang mengandung bahaya (paksaan).
Dan kami ingin memberikan sedikit keterangan tambahan: Menyerahkan
kepada Allah berarti memohon kepada Allah agar Dia memelihara kita apa yang
baik dalam hal-hal yang mengandung bahaya.
Lawan dari tafwid adalah tamak. Dan tamak itu pada umumnya mempunyai
dua arti:
Pertama: berarti sama dengan raja' - ada harapan baik.
Dengan demikian, bisa berarti harapan baik. Misalnya, menghendaki
sesuatu yang tidak mengandung bahaya, atau menghendaki sesuatu yang
mengandung bahaya, tetapi dengan istisna '(dengan mengucapkan Insya Allah).
Allah Ta'ala berfirman:
dan yang amat kuinginkan akan mengampuni kesalahanku pada.
hari kiamat: : (asy-.Syu'ara': 82).
Kedua: tamak mazmum (tercela). Dan tamak jenis inilah yang dimaksud
lawan dari tafwid.
Rasulullah SAW. bersabda:
Janganlah kalian tamak, sebab tamak adalah kefakiran yang
abadi.
Fakir di sini berarti fakir hatinya, bukan fakir harta.
Ada pula yang mengatakan, "Celaka dan rusaknya agama adalah karena
tamak, sedangkan pemelihara agama adalah wara’. “
Guru kami menjelaskan bahwa tamak yang tercela ada dua macam:
a. Hati merasa tenteram terhadap manfaat yang diragukan (tenteramnya
hati terhadap sesuatu yang diragukan).
b. Menginginkan sesuatu yang mengandung bahaya dengan memastikan.
Keinginan seperti itu berarti tidak menyerahkan kepada Allah SWT.
Benteng tafwid adalah mengingat bahaya akibat sesuatu hal: sadar' bahwa
segala sesuatunya kemungkinan rusak dan celaka.
Adapun benteng dari benteng ini adalah ingat akan kemampuan sendiri yang
sangat terbatas. Tidak sanggup menjaga diri dari bermacam-macam bahaya,
dikarenakan sifat manusia yang cenderung lalai, tidak tahu, dan lemah.
Hendaknya kita senantiasa mengingat kedua peringatan di atas, agar kita
terdorong untuk menyerahkan segala urusan kepada Allah SWT. Juga untuk menjaga
diri dari sifat sok tahu yang mendorong berbuat semaunya. Kecuali, jika hal itu baik
dan mengandung maslahat.
Terdapat dua bahaya yang mengharuskan kita menyerahkan segala sesuatu
kepada Allah:
1. Bahaya yang timbul dari sifat ragu-ragu ketika menginginkan sesuatu.
Sehingga, dalam melaksanakannya perlu mengucapkan Insya Allah.
Meskipun, yang demikian itu tidak termasuk tafwid, melainkan menyangkut
niat dan amalan.
2. Bahaya merusak. Yaitu suatu perbuatan yang tidak diyakini adanya maslahat.
Dalam masalah seperti itulah kita wajib menyerahkan kepada Allah Ta'ala.
Namun, dalam menerangkan bahaya-bahaya itu, para imam memberikan
penjelasan yang berbeda-beda. Ada yang berpendapat bahwa bahaya perbuatan
tersebut adalah adanya keselamatan di luarnya (jadi harus meninggalkan perbuatan
tersebut), karena kemungkinan perbuatan yang dilakukannya mengandung dosa.
Jika demikian, iman tidak mengandung bahaya. Kita diperbolehkan
menghendaki iman dengan pasti. Cukup dengan berkata 'aku hendak beriman',
tanpa disertai ucapan Insya Allah. Juga tidak dengan mengatakan 'jika maslahat',
karena iman telah nyata-nyata maslahat.
Seperti halnya berniat hendak istiqamah, tidak perlu disertai qayyid. Disertai
qayyid, maksudnya dengan disertai ucapan 'jika baik hasilnya bagiku'.
Demikian juga berniat hendak tetap dalam golongan Ahli Sunnah wal Jama'ah,
tidak perlu disertai qayyid. Karena, sama sekali tidak mengandung bahaya.
Berarti, dalam hal ini bukan saatnya untuk tafwid. Sebab, tanpa iman seseorang
tidak akan selamat. Sedangkan istiqamah .tidak mengandung dosa. Dan, orang yang
tetap dalam Ahli Sunnah wal Jama'ah, tidak akan mengandung bid'ah. Dengan
demikian, seseorang diperbolehkan berkehendak untuk iman dan istiqamah dengan
pasti.
Berkata guruku, "Bahaya dari suatu perbuatan adalah yang kemungkinan
datang secara tiba-tiba tatkala melakukannya. Dan yang lebih penting diperhatikan
adalah ketika melanjutkan perbuatan itu. Hal itu dapat terjadi, baik dalam
perbuatan mubah, sunnah, maupun fardhu. "
Misalnya; kita sedang menjalankan ibadah wajib, kemudian secara tiba-tiba
datang sesuatu yang lebih penting. Maka, yang utama harus didahulukan dengan
meninggalkan shalatnya.
Contoh: Seseorang hendak mengerjakan shalat zhuhur, sedangkan waktu shalat
Zhuhur tinggal beberapa menit lagi. Tetapi, ketika baru memulainya, tiba-tiba terjadi
kebakaran atau melihat anak tenggelam dan ia mampu menyelamatkannya. Dalam
keadaan seperti itu, ia harus mendahulukan yang utama, yakni menolong anak yang
tenggelam! Sedangkan shalatnya bisa di-qadha. "
Dengan demikian, kita tidak boleh menginginkan dengan pasti perbuatan
mubah, sunnat, maupun fardhu.
Guru kami mengatakan, "Sesungguhnya Allah tidak akan memerintahkan
seseorang berbuat sesuatu, kecuali ada kebaikan bagi dirinya, dengan tidak disertai
niat baru.
Demikian pula, Allah tidak akan menyempitkan seseorang dalam menjalankan
kewajiban. Tetapi, suatu saat Allah akan membuat alasan agar seseorang
meninggalkannya. Sehingga, meninggalkan itu lebih baik, dikarenakan ada
kewajiban baru yang lebih penting."
Dalam keadaan seperti itu orang tersebut dimaafkan, bahkan mendapatkan
pahala. Tetapi bukan pahala karena meninggalkan kewajiban yang pertama,
melainkan karena mengerjakan kewajiban yang lebih penting tersebut.
AI-Imam rahimahullah mengatakan, "Segala yang diwajibkan Allah kepada
hamba-Nya, seperti shalat, puasa, menunaikan haji, dan sebagainya, tentu
mengandung maslahat, dan diperbolehkan menghendakinya dengan pasti. Tetapi,
jika terdapat kewajiban yang datangnya mendadak, urusannya sudah menjadi lain. "
Selanjutnya beliau mengatakan, "Kita telah sepakat demikian, kini tinggal yang
mubah dan sunnah. Jika yang wajib boleh diinginkan dengan pasti, tetapi yang mu
bah dan sunnah harus di-tafwid-kan."
Antara pendapat ini dengan pendapat terdahulu ada sedikit perbedaan.
Pendapat pertama, meskipun fardhu, tetap tidak diperkenankan menghendakinya
dengan pasti, dengan asumsi kalau-kalau datang kewajiban baru yang lebih penting.
Sedangkan menurut al-Imam, halitu dibolehkan, tetapi jika datangfardhu lain
yang lebih utama, maka yang utama itu harus didahulukan.
Pada hakikatnya, kedua pendapat tersebut tidak ada perbedaan. Hanya
redaksinya saja yang berbeda. Dan menurut penyusun sendiri kedua pendapat
tersebut tidak bertentangan.
Pada umumnya, orang yang menyerahkan diri kepada Allah tidak akan ditafwid-kan oleh Allah. Kecuali yang baik-baik saja. Tetapi, kalau toh ia di-tafwid-kan
yang tidak baik, hal itu bukan karena Allah, melainkan karena kesalahannya sendiri.
Di tengah-tengah tafwid datang khizlan, sehingga taufiknya hilang dari dirinya.
Sehingga, hatinya pun berubah dan jatuhlah ia dari derajat tafwid. Padahal, tidak
ada lagi kebaikan bagi manusia jika telah jatuh dari derajat tafwid. Demikian
pendapat Syaikh Abu Umar rahimahullah.
Ada juga orang yang berpendapat, "Orang yang menyerahkan diri kepada Allah,
tidak akan diberi oleh Allah kecuali kebaikan. "
Sedangkan kbizlan dan jatuh dari manzilah tafwid termasuk hal-hal yang tidak
boleh diserahkan kepada Allah. Dan hendaknya la tetap berdoa, "Ya Allah,
berikanlah aku' taufik (dengan pasti), dan tetapkanlah aku dalam maqam tajund."
Dalam tafwid, segala sesuatunya masih samar (ragu-ragu). Dalam keadaan
seperti itu (ragu-ragu), kita ber-tafwid kepada Allah SWT.
Menurut pendapat guru kami, kedua pendapat tersebut yang terbaik. Sebab,
jika tidak demikian tidak akan ada dorongan kuat untuk berserah diri kepada Allah
Ta'ala.
Karena, hal itu dapat menjadi dorongan kuat bagi kita untuk menyerahkan
segala sesuatunya kepada Allah. Dan Allah hanya akan memberikan yang baik.
Sehingga rnenjadi kuat keinginan kita terhadap Allah 'Azza wa Jalla.
Jika seseorang menyerahkan segala sesuatunya kepada Allah, wajibkah bagi
Allah memilihkan yang utama bagmya? Tidak! Sebab, tidak ada kewajiban bagi Allah
terhadap hambaNya. Memang suatu saat Allah akan memberikan yang paling baik
kepada hamba-Nya, tetapi bukan yang utama.
Dalam suatu peristiwa. Allah mentakdirkan Rasulullah SAW. dan para
sahabatnya tidur dalam perjalanan. Sehingga, mereka tidak sempat mengerjakan
shalat tabajjud. Bahkan, tidak dapat mengerjakan shalat subuh tepat pada.
waktu.nya. Padahal seperti kita ketahui, shalat lebih utama danpada tidur. Akan
tetapi, pada saat itu, bagi Rasulullah dan sahabatnya, tidur lebih.maslahat. Yang
ternyata, tidur mereka mengandung hikmah, yakni selamat dari serangan musuh.
Adakalanya Allah mentakdirkan seseorang kaya raya dan hidup bahagia.
Padahal, hidup fakir lebih utama baginya, karena di akhirat kelak ia akan
mendapatkan pahala yang lebih banyak. Tetapi Allah justru memberikan kekayaan
kepadanya.
Jika sebelumnya ia telah ber-tafwid kepada Allah, maka keadaan seperti itu
baik sekali. Sebab, jika ia menjadi fakir, mungkin akan mencuri, atau merampok.
Dengan demikian, keadaan kaya lebih baik baginya.
Kadangkala, Allah mentakdirkan seseorang mempunya1 banyak anak. Padahal,
jika ia tidak banyak anak akan lebih mudah beribadah. Tetapi jika ia sudah bertafwid kepada Allah: keadaan seperti itu pun baik. Sebab, jika ia tidak mempunyai
banyak anak, bukannya ia akan beribadah, melainkan akan mengerjakan yang
lainnya. Sesungguhnya Allah Maha Melihat dan Maha Mengetahui.
Misalnya; seorang dokter ahli memberikan kepada pasiennya air sa'ir (sa'ir
adalah biji-bijian makanan keledai yang tidak enak rasanya). Sedangkan air gula lebih
enak baginya. Tetapi mengapa dokter, memberinya air sa'ir? Sebab dokter tahu,
bahwa air sa'ir lebih baik baginya!
Karena pada saat seperti itu, keselamatan baginya lebih penting. Sedang
keutamaan dan kemuliaan bisa dinomorduakan. Sebab, tidak ada gunanya
keutamaan dan kemuliaan yang disertai penderitaan.
Di samping itu, menurut pendapat para ulama, orang yang menyerahkan segala
sesuatunya kepada Allah diperbolehkan memilih, dan hal itu tidak merusak tafwidnya. Memilih di sini maksudnya memilih di antara dua kebaikan.
Tetapi, jika Allah memilihkan yang kurang baik baginya, dIkarenakan yang
kurang baik itu justru lebih baik baginya, maka la harus ikhlas menerimanya.
Mengapa orang diperbolehkan memilih yang afdhal, tetapi tidak boleh memilih
yang maslahart Hal itu disebabkan adanya perbedan. Hamba Allah dapat
mengetahui yang lebih afdhal, tetapi tindak dapat mengetahui yang lebih mashalat.
Misalnya, manusia. Mengetahui bahwa kaya lebih afdhal daripada miskin. Tetapi la
tidak mengetahui mana yang lebih maslahat bagi dirinya.
Sehingga, kita berdoa kepada Allah, agar yang afdhal bagi kita dijadikan
maslahat pula. Dipilihkan dan ditakdirkan bagi kita.
Bukan berarti kita merasa paling tahu. Tetapi, minta dipilihkan, jika hendak
dipilihkan. Dan pilihan itu hendaknya yang paling afdhal dan paling mengandung
maslahat. Jadi, sekali lagi, bukan berarti kita memastikan dan merasa lebih tahu dari
Allah Ta'ala.
Awarid yang ketiga adalah takdir Allah SWT., dan macam-macam takdir.
Kita, sebagai hamba Allah harus ikhlas menerima takdirNya, bagaimana pun
keadaannya. Hal itu dikarenakan dua sebab:
Pertama: Agar kita dapat memusatkan segala perhatian untuk beribadah.
Sebab, seseorang yang tidak ikhlas (rela) menerima takdir Allah, hatinya selalu
diliputi kesedihan. Sehingga, ia senantiasa berkeluh-kesah dan mengeluh, mengapa
jadi begini? Dikarenakan perasaannya selalu resah itu ia tidak berkonsentrasi untuk
beribadah kepada Allah SWT. Ia tidak sempat lagi berdzikir kepada Allah, dan tidak
ada waktu lagi memikirkan akhirat.
Al-Imam Syaqiq mengatakan," "Memikirkan' masalahmasalah yang telah
berlalu, dan mengatur urusan-urusan yang akan datang, dapat menghilangkan sifat
taat yang seharusnya ia kerjakan saat ini.
Kedua, ikhlas menerima takdir Allah.
Dalam suatu riwayat diceritakan, bahwasanya seorang Nabi mengadukan
penderitaannya kepada Allah SWT. Maka, Allah menjawab pengaduan itu dengan
firman-Nya. "Engkau mengadukan Aku? Aku tidak layak dicela, dan Aku tidak layak
menjadi tempat pengaduan. Sebab, ilmu gaib-Ku yang akan menilai urusanmu.
Mengapa engkau tidak ikhlas menerima takdir-Ku? Apakah engkau
menghendaki Aku merubah seluruh dunia untukmu? Ataukah Aku harus mengganti
semua catatan pada Lauhul mahfudz?
Dengan demikian, aku harus mentakdirkan menurut keinginanmu, bukan
kehendak-Ku? Menurut yang engkau sukai, bukan yang Aku sukai?
Demi kemuliaan dan Kebesaran-Ku, Aku sumpahi engkau. Jika pikiran seperti
itu terlintas kembali dalam benakmu, akan Aku tanggalkan Kenabianmu. -Akan Aku
masukkan ke dalam neraka engkau."
Begitulah Allah mendidik Nabi-Nya.
Imam Ghazali mengatakan, "Orang yang berpikir' sehat hendaknya
memperhatikan petunjuk Allah dalam mendidik Nabi-Nya. Sedangkan terhadap
Nabi-Nya, terhadap orang pilihan-Nya Allah begitu tegasnya, apalagi terhadap
manusia biasa."
Orang yang ragu-ragu, dan tidak ikhlas menerima takdir Allah, mengadu ke
sana kemari, berarti mengadukan Tuhan Yang Mahamulia. Seperti halnya orangorang jahiliyah terdahulu. Bila ada orang mati, orang-orang dikumpulkan agar
menangis bersama demi mendapatkan upah.
Kita berlindung kepada Allah SWT. dari kejahatan dan kesalahan diri. Kita memohon kepada-Nya, semoga Allah mengampuni
kesalahan dan kelancangan kita. Semoga Allah memperbaiki kita.
Sesungguhnya Allah Maha Pengasih.
Ulama mengatakan, bahwa ikhlas (rela) menerima takdir artinya tidak
mengeluh menerima takdir. .
Bukankah kejahatan dan maksiat juga karena takdir Allah? Bagaimana kita
ikhlas menerima kejahatan dan maksiat?
Perlu kita ketahui, yang harus kita relakan adalah kepastiannya. Jadi, takdir
Allah yang harus kita terima dengan ikhlas, bukan maksiamya. Allah mentakdirkan
suatu keburukan, bukan berarti takdir-Nya buruk, tetapi yang buruk adalah yang
ditakdirkan-Nya.
Dengan demikian, kita ikhlas dan rela kepada takdir-Nya, bukan ikhlas terhadap
keburukannya. Seseorang yang ikhlas dengan keburukan takdir itu akan terjerumus
ke dalam perbuatan maksiat. Ya Allah, aku rela menerima takdir-Mu, dan aku
bertaubat dari perbuatan maksiat. Ya Allah, tolonglah kami, janganlah kami
ditakdirkan melakukan perbuatan maksiat.
Sekali lagi, kita harus ikhlas menerima takdir-Nya. Dan hendaknya maksiat kita
ambil hikmahnya untuk pendorong guna bertaubat kepada Allah.
Menurut para ulama, takdir Allah ada empat macam, yaitu kenikmatan,
kesusahan, kebaikan, dan keburukan.
Kenikmatan berarti ikhlas (rela) menerima takdir dan yang ditakdirkan. Karena
itu, suatu kenikmatan wajib kita syukuri,
Misalnya kita banyak mendapatkan rezeki, hendaknya kita bersyukur dengan
jalan banyak bersedekah. Di samping itu menampakkan roman muka yang ceria,
sebagai rasa syukur.
Kesusahan (kesukaran) juga merupakan takdir Allah. Kita pun harus ikhlas
menerimanya. Ikhlas terhadap Allah yang mentakdirkan kita susah, dan rela
menerima yang ditakdirkan-Nya.
Kemudian, kewajiban kita adalah bersabar, bukan bersyukur. Karena
kesusahan, jika dihadapi dengan sabar mengandung banyak hikmah.
Dan jika yang ditakdirkan Allah berupa kebaikan, misalnya dikaruniai anak yang
saleh, mendapatkan harta halal, diberi ilmu yang bermanfaat - hendaknya kita
mensyukuri takdir-Nya dan yang ditakdirkan-Nya. Di samping itu, kita harus
menyadari kebaikan yang diberikan Allah. Karena, kebaikan itu sematamata datang
dari Allah, bukan karena usaha kita.
Sebab, jika seseorang tidak mau mengakui jasa-jasa Allah, ia akan menjadi
‘ujub. Karena, merasa bahwa kebaikannya bukan datang dari Allah, melainkan
karena dirinya.
jika yang ditakdirkan berupa kejahatan - misalnya terjerumus dalam perbuatan
maksiat - kita pun harus rela (ikhlas) menerima takdir-Nya. Juga ikhlas menerima
yang ditakdirkanNya, karena yang mentakdirkan adalah Allah, bukan ikhlas terhadap
kejahatannya.
Seseorang yang telah mendapatkan kenikmatan dan kebaikan dari Allah,
diperkenankan memohon agar kenikmatan dan kebaikan itu diperbanyak. Dengan
syarat perbanyakan itu mengandung maslahat. Tetapi, jika minta diperbanyak
sematamata tanpa memperhatikan ada atau tidaknya maslahat, berarti kita tidak
mensyukuri nikmat yang telah diberikan Allah. Lain halnya dengan memohon
diperbanyak yang disertai maslahat. Itu berarti tetap mensyukuri nikmat dan takdir
Allah. Bahkan menunjukkan rasa syukur yang lebih mendalam. Itu lebih utama.
Terdapat satu riwayat. Ada seorang Baduwi bodoh. Pada suatu malam, ia
berdoa kepada Allah agar diberi uang sejumlah seratus dinar. Kebetulan, di loteng
rumahnya ada seorang kaya raya. Mendengar permohonan si Baduwi tersebut,
orang kaya tadi merasa kasihan. Maka, ia pun memberikan sejumlah yang diminta
orang Baduwi tersebut.
Kejadian di atas merupakan takdir Allah pula. Sebab, Allah menggerakkan hati
si kaya tadi.
Selanjutnya, orang Baduwi itu menghitung uang yang baru diterimanya. Dan
ternyata, jumlah uang itu kurang satu dinar dari jumlah yang dimintanya. Maka, ia
pun meminta tambahan satu dinar kepada Allah.
Sementara itu, orang kaya yang berada di loteng tertawa mendengar doa si
Baduwi yang bodoh itu. Kemudian, ia pun memberikan tambahan sesuai yang
diminta orang Baduwi.
Rasulullah, pada saat mendapatkan rezeki berupa susu selalu membaca doa'
berikut ini:
Ya Allah, berkatilah rezekiku ini dan tambahilah jumlahnya.
Riwayat lain menceritakan, jika rezeki yang beliau dapat bukan berupa susu,
maka doanya sebagai berikut:
Ya Allah, aku ikhlas dan bersyukur atas rezeki yang Engkau
berikan. Dan kami mohon ditambah dengan yang lebih baik.
Dari kedua hadits di atas, kita mengetahui bahwa Rasulullah ikhlas dan rela
menerima takdir Allah. Akan tetapi, beliau mengharapkan yang lebih baik.
Sedangkan dalam meminta tambahan, kata-kata "jika tambahan itu baik
bagiku" atau "jika tambahan itu mengandung maslahat" cukup diucapkan dalam
hati. Sebab, Allah
Mengetahui dan Mendengar apa yang terucap dari hati seseorang.
Demikian pula Rasulullah, SAW., dalam hati tentu berkata demikian. Karena,
lisan hanyalah meneruskan apa yang terkandung dalam hati.
Awarid keempat: kesulitan dan musibah.
Awarid ini khusus untuk menghadapi berbagai kesusahan (kesukaran). Dan
untuk menghadapinya diperlukan kesabaran, seperti apa pun keadaan itu.
Terjadinya hal itu dikarenakan dua sebab:
Pertama: Agar dapat sampai ke tujuan ibadah. Sebab, dasar dari ibadah adalah
bersabar dan sanggup menanggung penderitaan serta kesulitan.
Orang yang tidak bersabar, tidak tahan uji, tidak akan sampai ke tujuan. Sebab,
seseorang yang sudah berniat hendak beribadah pasti akan menghadapi berbagai
ujian dan kesukaran dari berbagai segi.
Segi pertama; ibadah itu sendiri sudah merupakan kesukaran. Seseorang harus
mengerjakan shalat, puasa, bersedekah, dan sebagainya. Semuanya itu merupakan
kesukaran. Sehingga, Allah menjanjikan kebahagiaan dan kemuliaan
Beribadahlah kamu. Kelak' Aku berikan pahala dan Aku masukkan ke dalam
surga. "
Hal itu karena beribadah memang suatu pekerjaan sulit.
Seseorang tidak akan dapat mengerjakannya tanpa terlebih dulu mengalahkan
hawa nafsu. Sedangkan nafsu itu sendiri selalu berusaha menghalanginya.
Mengalahkan hawa nafsu dan menundukkan diri merupakan salah satu pekerjaan
yang palmg sulit. Bagi manusia, lebih mudah mengalahkan seribu musuh daripada
menundukkan hawa nafsu.
Segi kedua: Setelah mengerjakan kebaikan dengan bersusah payah, seseorang
harus berhati-hati memeliharanya agar tidak rusak. Sebab, memelihara dan menjaga
amal lebih sukar daripada mengerjakan.
Misalnya: kita berbuat baik terhadap masyarakat. Hal itu cukup sukar, karena
seringkali timbul penyakit, yakni ‘ujub. Dan menghalangi serta menghilangkan sifat
‘ujub ini lebih sukar daripada berbuat baik terhadap masyarakat itu.
Segi ketiga: Dunia ini merupakan tempat ujian bagi manuSIa. Sehingga setiap
manusia pasti mengalami berbagai cobaan dan musibah. Salah satu bentuk cobaan
itu, misalnya, meninggalnya salah satu anggota keluarga.
Sedangkan cobaan yang menimpa diri sendiri misalnya, kita terkena fitnah,
sehingga nama kita dicemarkan.
Terdapat juga musibah yang berkenaan dengan harta benda. Misalnya, rumah
kemasukan pencuri, atau kita tertipu, sehingga menderita kerugian harta benda.
Dalam menghadapi semua cobaan itu, kita harus bersabar dan tahan uji. Sebab,
jika berlarut-larut dalam kesedihan bisa menghalangi diri untuk beribadah kepada
Allah Ta'ala.
Segi keempat: Orang yang memikirkan dan memperhatikan akhirat akan lebih
keras lagi cobanya, dan lebih banyak mendapatkan ujian.
Jika selama di dunia ini lebih dekat kepada Allah, maka akan semakin banyak
cobaan dan ujiannya. Sebab, Allah senantiasa menguji hamba yang dicintai-Nya.
Seperti yang disabdakan Rasulullah SAW.:
Orang yang mendapatkan ujian paling keras adalah Nabi.
Kemudian para ulama. Dan seterusnya, sesuai dengan bagaimana
seseorang dekat kepada Allah.
Berarti, seseorang yang berjalan menuju kebaikan dan emusatkan perhatiannya
untuk akhirat, pasti mengalami ujian-ujian Itu. Jika tidak sabar menghadapi, ia akan
putus di Jalan, hatinya menjadi bimbang dan tidak sempat lagi beribadah. Sehingga,
la tidak akan sampai ke tujuan beribadah.
Allah telah memberitahu hamba-Nya agar bersabar dalam menghadapi segala
macam ujian. Dan keterangan ini adalah pasti.
Allah berfirman:
Kamu sungguh-sungguh akan diuji terhadap hartamu dan dirimu.
Dan (juga) kamu sungguh-sungguh akan mendengar dari orang-orang
yang diberi kitab sebelum kamu dan dari orang-orang yang
mempersekutukan Allah, gangguan yang banyak yang menyakitkan hati
.... (Ali Imran: 186).
Dan firman-Nya pula:
... Jika kamu bersabar dan bertakwa, maka sesungguhnya yang
demikian itu termasuk urusan yang patut diutamakan. (Ali Imran:
186).
Sebuah ungkapan mengatakan:
Kuatkanlah kemauanmu, (karena) sudah tentu kalian akan
berhadapan dengan berbagai cobaan. Namun, jika kalian berlaku
sabar, maka kalian adalah pahlawan, dan keinginanmu adalah
keinginan seorang pahlawan.
Untuk itu, seseorang yang sudah membulatkan tekad untuk beribadah kepada
Allah, pertama-tama harus membulatkan tekad guna bersabar menghadapi segala
cobaan yang teramat sukar dan berat hingga akhir hayatnya.
Jika tidak demikian, menuju ibadah tanpa menggunakan alatnya, akan sampai
ke tujuan tanpa melalui jalan yang semestinya.
Imam al-Fudhail berkata, "Barangsiapa tidak membulatkan tekad untuk
menempuh jalan menuju akhirat, maka ia akan menghadapi empat macam
kematian:
a.Mengalami mati putih, yakni kelaparan.
b.Menghadapi mati merah, yaitu melawan setan.
c.Mengalami mati hitam, yakni dicela, diejek, dan dihina orang.
d.Menghadapi mati hijau, yaitu terkena musibah secara beruntun.
Kedua: Karena bersabar, akan membawa keberuntungan, baik selama di dunia
maupun di akhirat. Di antaranya adalah keselamatan dan berhasil mencapai tujuan.
Allah Ta'ala berfirman:
Keuntungan lain bagi orang yang bersabar adalah rerkabulnya apa yang
menjadi cita-citanya (tuJuannya).
Barangsiapa yang bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan
mengadakan baginya jalan keluar; dan memberinya rezeki dari arah
yang tiada disangka-sangkanya.... (atbThalaq: 2-3).
Artinya, barangsiapa bertakwa kepada Allah dengan penuh kesabaran, pasti
Allah mencarikan jalan keluar bagi segala kesukaran yang dihadapinya. Dan salah
satu keuntungan bersabar adalah mengalahkan musuh.
Firman Allah ·Azza wa Jalla:
Maka bersabarlah; sesungguhnya kesudahan yang baik adalah
bagi orang-orang yang bertakwa. (Hud : 49).
Keuntungan lain bagi orang yang bersabar adalah terkaulnya apa yang menjadi
cita-citanya
Allah SWT. berfirman:
.....Dan telah sempurnalah perkataan Tuhanmu yang baik (baik)
untuk Bani Israil disebabkan kesabaran mereka .... (al-A'raf : 137).
Tersiar kabar bahwa Nabi Yusuf menulis surat Jawaban untuk Nabi Ya'qub,
yang isinya:
Mendiang ayah Ayahanda (kakek) adalah seorang yang benarbenar bersabar, sehingga mereka mendapatkan kemenangan. Kini
nanda mohon agar Ayahanda bersabar sebagaimana bersabarnya
leluhur kita, niscaya Ayahanda juga akan memperoleh kemenangan.
.
Dari makna di atas terdapat sya'ir yang berbunyi:
Jananlah engkau berputus asa, meskipun harus lama berjuang, asalkan engkau
bersabar dan tidak berputus asa, pasti engkau
menemukan kebebasan. .
Banyak sekali orang yang bersabar, akhirnya mencapai apa yang diinginkan, kini
terus menerus, seperti layaknya seorang yang mengetu pintu lama kelamaan ia
akan masuk rumah.
Dan keistimewaan orang yang bersabar adalah terus maju dan selalu
memegang pucuk pimpinan.
Allah Ta'ala berfirman:
Dan Kami jadikan di antara mereka itu pemimpin-pemimpin yang
memberi petunjuk dengan perintah Kami ketika mereka sabar ....
(as-Sajdah : 24).
Pujian dari Allah adalah salah satu keuntungan orang yang bersabar.
Firman-Nya pula:
... Sesungguhnya kami dapati dia (Ayyub) seorang yang sabar.
Dialah sebaik-baik hamba. Sesungguhnya dia amat taat (kepada
Tuhannya). (Shad : 44).
Keuntungan lainnya bagi orang yang bersabar adalah memperoleh berita
gembira dan rahmat Allah.
Allah SWT. juga berfirman:
... Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang
sabar. (al-Baqarah: 155).
Firman Allah selanjutnya:
Mereka itulah yang mendapat keberkatan yang sempurna dan
rahmat .... (al-Baqarah: 157).
Dan di antara keuntungan orang yang bersabar adalah dicintai Allah Ta'ala. .
Firman Allah yang lain:
Allah menyukai orang-orang yang sabar. (Ali Imran: 146).
Keuntungan lain bagi mereka (orang-orang yang bersabar) adalah derajat yang
tinggi di dalam surga.
Juga: firman-Nya:
Mereka itulah orang-orang yang dibalasi dengan martabat yang
tinggi (dalam surga) karena kesabaran mereka.... (al- Furqan : 75).
Selain itu, orang sabar akan mendapatkan karamah dari Allah 'Azza wa Jalla.
Allah Ta'ala berfirman pula:
..... keselamatan atasmu berkat kesabaranmu...... (ar-Ra'd:
24).
Selain itu orang yang bersabar bakal mendapatkan pahala tanpa batas, di luar
dugaan manusia dan di luar bilangan hitungan manusia.
Allah juga berfirman:
Sesungguhnya hanya orang-orang yang bersabarlah yang
dicukupkan pahala mereka tanpa batas. (az-Zumar : 10).
Orang yang bersabar akan mendapatkan penghormatan dari Allah SWT. Baik
selama di dunia maupun di akhirat kelak. Sesungguhnya Allah Mahasuci,
Mahamulia, dan Maha Pemurah.
Kini menjadi lebih jelas, bahwa kebaikan dunia dan akhirat terdapat dalam sifat
sabar, yakni tahan uji dan bermental kuat.
Rasulullah SAW. bersabda:
Tidak ada pemberian Tuhan yang lebih luas dan lebih baik
seperti yang diberikan kepada orang-orang yang bersabar.
Sayyidina Umar mengatakan, “ Semua kebaikan orang Mu’min tersimpan
dalam sabar yang hanya sesaat itu.”
Benar Syair yang mengatakan:
Sikap sabar adalah kunci keberhasilan, karena setiap kebaikan
akan berhasil dengan bersabar,
bersabarlah engkau walau waktunya lama.
Tunggangan (kuda) yang ngambek pun lama-kelamaan akan
sembuh karena bersabar.
Bahkan yang dianggap mustahil pun bisa terjadi lantaran bersabar.
Penyair lain mengatakan:
Aku bersabar, karena sabar sudah menjadi tabiatku,
Allah memuji orang yang bersabar, hingga akhirnya Allah
memisahkan kemudahan atau kesusahan bagi kita.
Dengan demikian, kita harus berusaha dan berlaku sabar sehingga masuk
golongan orang-orang yang beruntung.
Dan bersabarlah kamu bersama-sama dengan orang-orang yang
menyeru Tuhannya .... (al-Kahfi: 28).
Maksudnya, senanglah dan jangan bosan kita bergaul dengan orang-orang yang
bersabar.
Allah adalah Yang Mahasabar. Artinya, Allah menangguhkan siksa bagi orangorang yang berbuat jahat. Dengan harapan, orang yang berbuat jahat itu segera
bertaubat.
Sedangkan bersabar dalam hati adalah menahan diri dan tidak berkeluh kesah.
Karena, mengeluh dan gelisah, menurut para ulama, dikarenakan hati goyah dalam
menghadapi kesulitan. Ada juga yang berpendapat, gelisah dan mengeluh
dikarenakan menginginkan penderitaan dan kesusahan itu cepat berakhir, serta
tidak menyerahkan kepada Allah Ta'ala. Dan bersabar dalam hal ini adalah
meninggalkan (tidak berkeluh kesah).
Adapun benteng agar seseorang Bersabar adalah senantiasa mengingat bahwa
kesusahan dan kesulitan itu datangnya dari Allah, dan telah menjadi ketentuan Allah
'Azza wa Jalla.
Bersabar atau tidak, tidak mempengaruhi ketentuan Allah yang telah tertulis
pada Lauhul mahfudz. Sehingga, berkeluh kesah tidak bermanfaat sama sekali,
bahkan sangat membahayakan.
Adapun benteng dari benteng bersabar adalah selalu ingat bahwa dengan
bersabar, kita akan mendapatkan pahala dari Allah, akan mendapatkan ganti yang
teramat besar dari sisi-Nya.
Berarti, kita harus menempuh tahapan yang berat ini dengan menolak berbagai
awarid (godaan) yang telah penyusun uraikan di atas, sekaligus menghilangkan
penyakitnya. Sebab, jika rintangan (godaan) yang empat itu belum bisa diatasi, maka
tidak sempat beribadah. Apalagi sampai ke tujuan ibadah!
Karena satu dari empat rintangan itu sudah cukup membimbangkan hati, maka
harus ditolak. Dan di antara empat rintangan (godaan) itu, yang paling sukar adalah
urusan rezeki dan mengendalikan diri untuk mendapatkannya.
Godaan (rintangan) dalam urusan rezeki membuat orang kepayahan,
mengakibatkan kesalahan dan dosa, menyimpangkan dari pintu Allah dan
berkhidmat kepada-Nya. Sehingga, akhirnya mereka hanya berkhidmat kepada
dunia dan orang lain.
Menjadikan kehidupan mereka selalu lalai, gelap, lelah, hina, rendah. Sehingga,
menghadap Tuhan dalam keadaan papa, tidak berbekal apa pun.
Jika tidak mendapatkan rahmat Allah, mereka akan dihisab dan disiksa. Kecuali,
mereka mendapatkan rahmat Allah, mereka akan diampuni.
Renungkan kembali beberapa ayat Allah mengenai rezeki dan janji serta
jaminan Allah.
Para Nabi dan ulama tidak bosan-bosannya menasihatkan dan menerangkan
jalannya serta mengarang kitab. Selain itu, juga membuat perumpamaanperumpamaan agar manusia takut 'kepada Allah. Tetapi, manusia masih saja raguragu, khawatir tidak makan, dan sebagainya. Hal itu karena mereka tidak
menghayati dengan benar-benar ayat-ayat Allah dan sabda Rasulullah, serta ucapan
para shalihin. Tetapi mereka selalu mendengar bisikan setan yang mengakibatkan
hati mereka lemah. Sebab, setan telah menguasai hatinya.
Adapun orang baik adalah yang mempunyai mata hati dan mau melihat jalan
datangnya rezeki. Mereka berpegang pada tali Allah dan tidak memperdulikan
kejadian-kejadian di muka bumi. Mereka menganggap sepi hubungan dengan orang
lain, karena telah yakin dalam hatinya akan ayat-ayat Allah. Sehingga, mereka tidak
goyah dengan adanya godaan setan, orang lain, serta nafsu.
Terdapat satu riwayat: Syaikh Ibrahim bin Adham (salah seorang Wali besar)
ketika hendak mengarungi padang pasir, ditakut-takuti oleh setan, "Ini padang pasir,
engkau bisa mati karena tidak membawa bekal." Tetapi Syaikh Ibrahim tetap
bertekad akan mengarungi padang pasir itu tanpa perbekalan di tangan. Kemudian,
untuk mengalahkan setan, beliau melakukan shalat sebanyak seribu raka'at tiap-tiap
satu mil.
Beliau membuktikan tekadnya itu dengan baik, berhasil mengarungi padang
pasir dalam waktu dua belas tahun! !
Sehingga tatkala Harun al-Rasyid menunaikan haji (seperti telah diriwayatkan,
bahwa beliau bernadzar hendak naik haji dengan berjalan kaki), beliau bertemu
dengan Syaikh Ibrahim yang sedang mengitari padang pasir selama satu tahun.
Kemudian, Harun al-Rasyid melihat Syaikh Ibrahim sedang mengerjakan shalat
di bawah tiang mail (papan penunjuk Jalan). Lantas Harun al-Rasyid mendekatmya
dan berkata dengan ramah: "Bagaimana keadaan Tuan saat ini?"
Syaikh Ibrahim menjawab pertanyaan itu dengan sya'ir:
Secara terus-menerus kita menambal dunia ini. Tetapi, selalu
pula merobek-robek agama kita, akhirnya agama hancur, dan dunia
pun tidak bisa lagi dibela.
.
Beruntunglah orang yang memilih Allah sebagai Tuhannya, dan
rela meninggalkan dunia demi mengharapkan dari Tuhannya.
Mendengar jawaban itu, Raja Harun al-Rasyid menangis tersedu-sedu.
Ada lagi satu riwayat: adalah seorang saleh tengah berjalan
di tengah-tengah padang pasir. Kemudian, datang setan meeggodanya. "Di
padang pasir ini t.iada kesuburan dan orang lain. Engkau bisa mati di sini karena
ndak membawa bekal.
Tetapi beliau tidak bergeming sedikit pun mendengar godaan setan itu.
Bahkan, beliau men.gambtl Jalan yang ndak biasa dilalui orang. Dengan maksud,
tidak mengambil apa-apa dari orang lain dan tidak makan apa pun. Dalam hati
beliau berkata "Aku tidak makan apa-apa. Kecuah ada orang memasukkan ke
mulutku Samin dan madu." Dan beliau terus menyimpang dari jalan yang
semestinya, dan tetap berjalan seorang diri.
Kemudian beliau mengatakan, "Lama sekah aku berjalan. Sekonyong-konyong
aku melihat seorang kafilah. Ia tersesat dari jalan yang semestinya. Maka, agar la ud
ak mehhatku, aku merebahkan diri ke tanah.
Tetapi, rupanya Allah mentakdirkan lain. Kafilah itu berjalan ke arahku.
Sehingga, ia menemukan aku dalam keadaan berbaring. Lantas aku memejamkan
mata, tetapi ia mendekatiku dan berkata, 'Kasihan, rupanya orang ini putus di
perjalanan. Ia pingsan karena kelaparan dan kehausan. Biar aku masukkan ke dalam
mulutnya samin dan madu. Sebab, kalau makanan keras mungkin akan
membahayakannya. Dengan madu dan samin mudah-mudahan ia siuman dari
pingsannya. '
Kemudian, orang itu pun berusaha memasukkan ke dalam mulutku samin dan
madu. Aku menutup mulut rapat-rapat. Ternyata, orang itu tidak kehabisan akal, ia
membuka paksa mulut dengan pisau. Maka aku tertawa ...
Menyaksikan hal itu, ia bertanya kepadaku, 'Gilakah engkau .. Tadi aku lihat
engkau tergolek pingsan, tetapi kini kau tertawa, gilakah engkau?'
Aku jawab, "Tidak! Aku tidak gila ... Alhamdulillah.' kemudian aku ceritakan
kepadanya hal ihwal kejadiannya.
Dan permulaan (ketika aku digoda setan), hingga ia menemukan aku. Mereka
terperangah dan keheranan mendengarkan ceritaku." .
Demikianlah, orang yang bertawakkal kepada Allah. Mendapatkan rezeki dari
jalan yang tidak diduga. Semua itu sematamata Allah yang mengatur.
Salah seorang guru kami mengatakan, "Tatkala aku menjadi santri, aku pergi ke
sebuah masjid terpencil Aku pergi tidak membawa bekal, seperti kebiasaan para
wali. Dalam perjalanan aku digoda setan, 'masjid yang akan engkau tuju jauh dari
keramaian. Alihkan tujuanmu ke masjid yang berada di tengah-tengah desa, niscaya
engkau akan mendapatkan makanan.'
Dalam hati aku berkata, "Tidak, aku akan tidur di masjid terpencil itu. Aku
bersumpah tidak akan makan kecuali halwa (makanan yang manis). Dan aku tidak
akan makan kecuali disuapi sesuap demi sesuap."
"Lantas aku sembahyang Isya". Setelah itu aku mengunci pintu masjid, Tengah
malamnya, ada seseorang mengetuk pintu sambil membawa obor.
Lama orang itu mengetuk pintu. Setelah aku buka, aku lihat seorang nenek
disertai seorang pemuda berdiri di depan pintu. Lantas mereka masuk dan
meletakkan sebuah piring berisikan kue di hadapanku. Kemudian, nenek itu berkata
kepadaku, 'Pemuda ini anakku, dan aku membuat kue ini untuknya. Karena adanya
perselisihan antara aku dan dia, maka ia bersumpah tidak akan memakannya,
kecuali disertai seorang pembantu yang berada di masjid.'
Lantas sambil mempersilakan, ia menyuapiku. Secara. bergantian ia
menyuapiku dan menyuapi anaknya. Demikian seterusnya sampai kami merasa
kenyang.
Setelah itu mereka pulang. Dan aku tutup kembali pintu masjid dengan
perasaan heran yang belum hilang."
Begitulah Allah mengatur rezeki seseorang. Dan ini merupakan sedikit dari
sekian banyak contoh mengenal orang-orang yang kuat hatinya melawan godaangodaan setan.
Semua itu merupakan contoh perjuangan para shalihin melawan setan dan
hawa nafsu. Dari sini, ada tiga manfaat yang bisa kita peroleh:
1.Kita harus yakin bahwa rezeki tidak akan lewat. Ia akan datang kepada
kita sesuai dengan ketentuan Allah.
2.Kita harus tahu bahwa masalah rezeki dan tawakkal adalah sangat
penting. Sementara setan selalu menggoda, se.hingga iman-iman ahli zubud
terdahulu pun tidak luput dan godaannya. Tetapi, setan tidak berputus asa
atas kegagalannya menggoda anak-cucu Adam.
Memang, meskipun seseorang telah berjuang melawan setan
dan hawa nafsu dalam waktu tahunan, bahkan puluhan tahun, tetap saja
belum aman dari godaan setan dan hawa nafsu. Ia harus berjuang terus
hingga datang ajal.
Bahkan, orang yang berpikir sehat tidak segan-segan melatih diri agar
jangan sampai setan dan hawa nafsu mengalahkannya. Karena, jika sampai
terjadi yang demikian, la akan celaka. Seperti celakanya orang-orang yang lalai
dan tertipu.
3.Harus kita ketahui bahwa persoalan itu tidak akan beres, kecuali
dengan usaha yang sungguh-sungguh dan terus menerus.
Keadaan mereka (para shalihin, auliya) sama dengan kita. Bahkan, di
antara mereka ada yang lebih kurus dari kita. Seperti halnya Imam Ghazali,
sehingga pernah ada orang mengejeknya dengan menyebut "ulama
kerempeng". Biasanya, para ahli mujahadah justru berbadan kurus, dan
fisiknya lebih lemah. Tetapi, mereka memiliki ilmu tinggi dan memiliki
keyakinan kuat serta bimmah dalam urusan agama. Sehingga, mereka mampu
menjalani perjuangan yang sangat berat. Semoga Allah memberikan rahmat
kepada kita. Semoga kita mampu mengalahkan setan dan mengendalikan
hawa nafsu.
Seperti telah kita ketahui, bahwa Allah telah menjamin rezeki kita, seperti yang
difirmankan di dalam al-Qur'an. Dengan- demikian, tidak perlu berpusing-pusing
memikirkan rezeki, karena Allah telah mengaturnya.
Sya'ir berikut ini digubah oleh Sayyidina Ali:
Apakah engkau meminta rezeki kepada orang lain, dan merasa aman
menanggung akibatnya yang berbahaya.
Dan apakah engkau merasa lega (ikhlas) terhadap jaminan orang lain, meskipun
ia orang musyrik dan tidak ikhlas menerima jaminan dari Allah?
Seakan-akan engkau belum pernah membaca al-Qur'an, sehingga keyakinanmu
tidak sebagaimana mestinya.
Sehingga seringkali masalah ini membawa kepada sikap ragu-ragu dan syubhat.
Orang seperti ini dikhawatirkan akan kehilangan ma'rifat dan agamanya, dan mati
dalam keadaan suul khatimah.
Sehubungan dengan hal itu, Allah Ta'ala berfirman:
Dan hanya kepada Allah hendaknya kamu bertawakkal, jika kamu
benar-benar orang yang beriman. (al-Maidah: 23).
... dan hanya kepada Allah saajalah orang-orangMu 'min itu
harus bertawakkal. (al-Maidah: 11).
Bagi orang Mu'min, firman Allah itu cukup menjadi peringatan.
Masalah kedua yang tidak kalah penting dan harus kita ketahui ialah bahwa
rezeki telah dibagikan oleh Allah sebelum kita diciptakan Tuhan, sebelum kita lahir
di bumi. Hal itu sesuai dengan firman Allah di dalam al-Qur'an, Hadits Rasulullah
yang shahih dan mutawatir.
Selain itu, perlu kita ketahui pula bahwa keterangan (pembagian) dari Allah
tersebut tidak akan berubah dan tertukar. Dan jika ada seseorang yang
mengharapkan perubahan. atas ketetapannya, berarti ia mengetuk pintu kufur!
Na'udzu billah..
Setelah kita mengetahui, bahwa pembagian rezeki dart Tuhan tidak mungkin
berubah, maka tidak ada gunanya kita kasak-ku suk mencari ke sana-sini. Hasilnya
hanya kehinaan di dunia dan penderitaan di akhirat.
Sehubungan dengan itu Rasulullah SAW. bersabda:
Telah dituliskan pada punggung ikan di laut dan pada punggung
banteng di hutan tentang rezeki seseorang. Bagi yang ragu-ragu,
tidak akan bertambah kecuali kepayahan.
Sehubungan dengan itu pula, berkatalah guru kami, "Apa yang' sudah
ditakdirkan Allah untuk dikunyah gigimu, tidak akan dikunyah orang lain." Makanlah
rezekimu dengan senang hati, jangan dengan perasaan rendah hati.
Masalah ketiga adalah yang pernah aku dengar dari guruku, al-Imam
rahimahullah, yang suka berkata, "Yang memuaskan diriku, menenteramkan hatiku
dalarn rnasalah rezeki adalah senantiasa mengingat bahwa rezeki hanya untuk yang
hidup. Karena, orang yang sudah mati tidak mendapatkan bagian. Hidupnya hamba
Allah ada di tangan Allah jua, demikian pula rezeki. Allah memberi atau tidak, itu hak
(terserah) Allah. Allah mengatur dengan Kehendak-Nya. Hal ini adalah suatu titik
yang sangat halus, dan yang memuaskan para ahli tahqiq".
Sedangkan yang keempat yaitu, bahwa Allah menjamin rezeki hamba-Nya. Dan
rezeki ini berfungsi sebagai penguat tubuh serta bekal hidup kita, dengan jalan apa
pun datangnya.
Sehingga, bagi hamba Allah yang benar-benar hendak beribadah, adakalanya
jalannya ditutup. Misalnya, hendak berladang khawatir kekeringan. Hendak
berdagang tetapi pasar sepi. Untuk itu, janganlah terlalu peduli dengan semua itu.
Sebab, harus yakin bahwa kebutuhan untuk menguatkan badan adalah dari Allah
SWT.
Bukan makan, dan bukan pula minum. Tetapi yang penting adalah mampu
berdiri guna beribadah dan beramal saleh. Dan Allah pasti mernberikan kekuatan
agar ia mampu beribadah dan berkhidmat kepada-Nya selarna hidup di dunia.
Allah Mahakuasa, dengan makan dan minum Allah menguatkan hamba-Nya.
Tetapi, jika Allah menghendaki, dengan tanah basah, tanah kering, atau tahlil
(seperti para Malaikat), kita pun dapat kenyang. Dengan demikian, kita sebagai
hamba yang diciptakan dan diatur, hidupnya tidak perlu mempertanyakan sebab
musababnya.
Oleh karena itu, para ahli zuhud kelihatan kuat dan sanggup menempuh
perjalanan jauh dengan tidak lupa setiap malam beribadah. Di antara mereka ada
yang kuat tidak makan selarna sepuluh hari. Bahkan, orang non-Muslim pun ada
yang kuat tidak makan selama empatpuluh hari. Yang lainnya ada yang kuat selama
satu bulan, dua bulan. Tetapi fisik mereka tetap "kuat.
Malahan, di antara mereka ada yang memasukkan pasir ke dalam mulutnya.
Dan Allah menjadikan pasir itu sebagai makanan, seperti diceritakan oleh Sufyan atsTsauri: ada seseorang kehabisan bekal di Makkah. Ia mengunyah pasir selarna limabelas hari. Hal itu mengherankan bagi yang melihatnya, juga (barangkali) bagi kita
yang mendengarkan cerita ini. Tetapi Imam Ghazali telah melihatnya 'sendiri, dan
mengalaminya.
Abu Muawiyah al-Aswad. berkata, "Aku pernah melihat, Ibrahim bin Adham
makan tanah basah selama duapuluh hari.
Berkata pula al-A'mas, '''Ibrahim berkata kepadaku, 'Sudah satu bulan aku tidak
makan.' Tanyaku, 'Sudah satu bulan? Ia menjawab, 'Sebenarnya sudah dua bulan,
Tetapi selama satu bulan aku makan anggur, karena ada seseorang meemaksaku
agar aku makan anggur sebanyak satu tangkal. Sehingga aku sakit perut'."
Imam Ghazali berkata, "Janganlah engkau heran terhadap hal-hal demikian,
karena Allah Mahakuasa. Misalnya, orang sakit yang tidak makan selarna satu bulan.
Tereyata, ia masih bertahan hidup. Padahal, keadaan orang sakit lebih lemah.
dibandingkan orang-orang sehat.
Adapun orang yang mati kelaparan, pada dasarnya karena memang ajalnya
telah saatnya tiba. Tetapi, lebih banyak orang yang mati karena kebanyakan makan.
Abu Sa'id al-Kharraz berkata, "Biasanya aku dapat makan dari Allah tiga kali
sehari. Dalarn perjalanan di padang pasir selama tiga hari ini aku belum makan. Pada
hari keempat, badanku terasa lemah, dan aku terduduk. Tiba-tiba aku mendengar
suara, 'Ya Abu Sa'id, mana lebih engkau sukai, makanan atau tenaga (kekuatan)?'.
Jawabku, 'Tidak, aku tidak akan makan, aku lebih suka tenaga (kekuatan)!'.
Seketika itu juga badanku menjadi kuat. Aku pun berdiri. kakiku kuat menopang
badanku. Akhirnya aku tidak makan selama duabelas hari. Dan aku tidak menderita
suatu penyakit apa pun."
Jika seseorang tersesat dalam suatu perjalanan, tetapi ia bertawakkal kepada
Allah, percaya bahwa Allah akan memberikan tenaga, maka ia tidak akan menyesal.
Bahkan, ia akan bersyukur dengan sebenar-benar syukur.
Karena, Allah memberikan karunia dan bersikap lathif terhadap hamba-Nya.
Allah menghilangkan kelelahan dan memberikan kekuatan. Sehingga, kita berhasil
mencapai tujuan, terhindar dari kesulitan dan ketergantungan kepada sebab.
Ada sebuah sya'ir mengatakan:
Mereka (para ulama dan imam) selama hidupnya selalu ta 'affuf
(menahan diri). Mereka tidak bisa melepaskan kecintaannya terhadap
Allah SWT.
Mereka adalah orang-orang utama, benar ibadahnya, ahli ke
walian (aulia'). Tujuan mereka hanya Allah SWT.
Orang yang bersabar tidak akan pernah kehilangan kesabarannya. Karena tali sabar mereka belum pernah pudar, sehingga selalu
bersabar.
Pada zaman dahulu, seakan-akan raja yang berkuasa lupa.
Tetapi, kini kita kehilangan kekuasaan itu. Dahulu, kita pahlawan
berkuda, kini berjalan kaki. Namun begitu, mudahmudahan kita tidak
putus di tengah jalan.
Dalam menghadapi musibah, Allah jualah yang kita minta perhndungannya. Dan kepada Allah jualah kita memohon.
Sesungguhnya Allah Maha Pemurah, Mahamulia, dan Maha Pengasih.
Sedangkan mengenai tafwid (menyerahkan segala sesuatu kepada Allah),
terdapat dua pokok yang harus kita renungkan:
Pertama, "telah kita ketahui bahwa pilihan tidak mungkin dilakukan, kecuali
oleh orang yang benar-benar tahu segala sesuatunya secara lahir batin, kini dan
nanti.
Jika tidak demikian, ia tidak akan merasa aman. Bahkan, mungkin akan memilih
yang celaka, bukan memilih keselarnatan.
Misalnya begini: seorang Baduwi, Karawi (orang desa), atau penggembala
kambing kita minta menguji sekeping uang, asli atau palsu. Tentu mereka tidak tahu.
Demikian juga pedagang di pasar, tentu tidak tahu. Sebab, mereka memang bukan
ahlinya. Dan kita baru benar-benar merasa aman setelah menyerahkan persoalan itu
kepada ahlinya.
Pengetahuan itu meliputi segala sesuatu dari segala upaya dan segi. Dan hanya
Allah yang mengetahui, Allah pula Yang memilih dan mengaturnya.
Allah Ta'ala berfirman:
Dan Tuhanmu menciptakan apa yang Dia kehendaki dan memilihNya. Sekali-kali tidak ada pilihan borgi mereka .... (al-Qashash:
68).
Dan firman-Nya juga:
Dan Tuhanmu mengetahui apa yang disembunyikan (dalam) dada
mereka dan apa yang mereka nyatakan. (al-Qashash: 69)
Jadi, Allah Mengetahuinya dari segala segi dan bentuknya secara lahir batin.
Oleh karenanya, kita, serahkan segala urusan kepada Allah SWT.
Kalau toh kita harus memilih, memilih sekadar saja. Tetapi, dalam hati kita
serahkan kepada Allah. Dengan demikian, pada hakikatnya kita menyerahkan segala
urusan kepada Allah Ta'ala. Sebab, Allah Maha Mengetahui. Sehingga dalam urusan
yang penting, hendaknya kita istikharah, yaitu minta dipilihkan kepada Allah, mana
yang baik bagi diri kita.
Ada kisah, seorang saleh mendapatkan ilham dari Allah. Ilham itu datang
melalui suara, "Apa saja yang engkau minta pasti terkabul. Sebutkan apa yang
engkau kehendaki!"
Tetapi, ia rupanya orang saleh yang mendapatkan taufik Allah. Maka, ia pun
menjawab, "Seseorang yang mengetahui segala sesuatunya akan berkata kepada
orang yang tidak mengetahui, Mintalah, niscaya aku beri. Aku mengetahui apa yang
baik buat diriku. Dan pilihlah untuk dirimu sendiri."
Kedua, Kita harus menyerahkan segala. sesuatu (segala urusan) kepada Allah.
Sedangkan kepada orang yang dianggap pandai, cakap, takwa, bijaksana, arif, dan
sebagainya, kadang-kadang kita rela menyerahkan segala sesuatunya (urusan)
kepadanya. Tetapi mengapa tidak menyerahkan kepada Yang Kuasa?
Sesungguhnya Allah jualah yang mengatur segala urusan di langit dan bumi.
Allah Maha Mengetahui, Mahakuasa, Maha Pengasih, dan Mahakaya.
Dengan ilmu dan peraturan-Nya, Allah akan memilihkan buat. kita. Memilihkan
apa-apa yang pikiran kita tidak mampu menjangkaunya.
Setelah kita serahkan kepada Allah, kita diperbolehkan mengerjakan apa-apa
yang merupakan tugas kita dengan segala akibatnya. Apabila pilihan Tuhan itu
belum kita ketahui rahasianya, kita harus tetap ikhlas menerimanya. Sehingga, kita
merasa tenteram. Sebab, itulah yang terbaik dan mengandung maslahat.
Adapun ikhlas menerima takdir Allah, terdapat dua pokok penting. Antara satu
dan lainnya saling menguatkan:
Pertama, Manfaat dari ikhlas (rela). Baik untuk sekarang maupun untuk
kemudian hari. Manfaat untuk sekarang yaitu hati menjadi mantap, tidak bimbang.
Jika sudah ikhlas, kesusahan yang tidak bermanfaat berkurang.
Seseorang mengatakan, "Jika memang qadar Itu pasti, kesusahan dan rasa
bingung menjadi percuma. Buat apa bimbang?"
Perkataan di atas mempunyai dasar, yakni hadits Nabi.
Beliau bersabda kepada Abdullah bin Mas'ud:
Janganlah engkau banyak susah. apa yang ditakdirkan Allah
pasti terjadi. Dan apa yang tidak -ditakdirkan Allah pasti tidak akan
datang kepadamu.
Ucapan Nabi tersebut, meski hanya sedikit, tetapi mempunyai arti yang sangat
luas.
Sedangkan manfaat rela (ikhlas) di kemudian hari yaitu
pahala dan keridhaan Allah Ta'ala.
Allah berfirman:
... Allah ridha terhadap mereka, dan mereka pun ridha terhadap-Nya .... (al-Maidah ; 119).
Jika kita tidak ikhlas (rela) dan selalu mengeluh, maka akan kebingungan,
bersedih, kesal, berdosa, dan mendapatkan Siksa. Karena takdir akan terus
berlangsung (berjalan). Keluh kesah, dan kesedihan tidak akan menghindarkan
takdir.
Seorang penyair mengatakan:
Apa yang sudah ditakdirkan Allah, terimalah dengan bersabar.
Karena engkau aman dari apa-apa yang tidak dItakdirkan.
Yakinlah engkau bahwa segala yang ditakdirkan pasti datang,
suka atau tidak suka, bersabar ataupun tidak bersabar.
Kedua, kita harus rela menerima takdir Allah. Yaitu besarnya kerugian dan
bahaya dari berkeluh kesah. Bahkan, menjadi kufur, dan akhirnya munafik. Kecuali
mendapatkan rahmat Allah.
Allah Ta'ala berfirman:
Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakikatnya) tidak
beriman, hingga mereka menjadikan kamu hakim terhadap perkara
yang mereka perselisiblean kemudian mereka tidak merasa dalam
hati mereka sesuatu keberatan terhadap putusan yang kamu
berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya. (an-Nisa' :
65).
Hal itu ditujukan kepada orang-orang yang tidak menerima putusan Rasulullah
SAW. Seperti difirmankan Allah, bahwa orang yang berkeluh kesah dan tidak
menerima putusan Rasulullah termasuk orang yang tidak beriman.
Allah berfirman dalarn hadits qudsi
Siapa saja yang tidak rela terhadap ketetapan-Ku, dan tidak
berlaku sabar terhadap cobaan-Ku, dan tidak bersyukur terhadap
nikmat-nik mat-Ku, maka carilah (olehmu) Tuhan selain Aku.
Firman di atas mengandung ancaman keras bagi orang-orang yang tidak mau
menerima takdir Allah.
Salah seorang leluhur kita menerangkan arti "kehambaan" dan "ketuhanan";
"Tuhan memutuskan, dan hamba menenmanya. Apabila Tuhan telah memutuskan,
tetapi hamba tidak menerimanya, berarti tidak ada kehambaan dan ketuhanan.
Seakan-akan ia yang menjadi Tuhan."
Sedang sabar adalah obat yang sangat manjur dan banyak
manfaatnya. Mendatangkan segala kemanfaatan dan menolak segala madharat.
Sikap sabar mendatangkan empat manfaat.
a) Bersabar menjalankan ketaatan .
b) Sabar menahan diri dari perbuatan maksiat .
c) Bersabar menahan diri dari godaan dunia.
d) Bersabar menghadapi cobaan dan musibah.
Seseorang yang telah kuat dan bisa bersabar dari yang empat macam ini berarti
ia telah benar-benar taat. Ia bakal mendapat pahala, terhindar dari perbuatan
maksiat, dan. terjauh dari bahaya-bahaya dunia, serta tuntutan-tuntutan akhirat.
Selain itu, Allah tidak mengujinya dengan SIfat tamak terhadap dunia, pada
saat dirinya diliputi keragu-raguan.
Seseorang yang lemah, tidak bisa bersabar, tidak akan mendapatkan manfaatmanfaat sikap bersabar. Ia akan terkena madharat, dikarenakan tidak kuat
menanggung kesulitan-kesulitan yang timbul dari sikap taat.
Ia hanya menginginkan manfaat, sedang bersikap sabar, ia tidak sanggup.
Memeliharanya, ia tidak mampu, berarti merusak. Sehingga, ia tidak akan sampai ke
manzilahyang mulia, yakni derajat istiqamah.
Sayyidina Ali pernah mengatakan, "JIka engkau bersabar, maka takdir akan
berjalan atasmu dengan mendapatkan pahala . Tetapi, jika tidak bersabar, takdir
pun akan tetap berjalan atasmu dan engkau berdosa."
Imam Ghazali mengatakan, "Pendeknya, memutuskan hubungan dengan yang
lainnya selain dengan Allah, mencegah hawa nafsu, meninggalkan tadbir dalam
segala hal disertai tawakkal, dan menyerahkan segalanya kepada Allah SWT.
memang merupakan perbuatan yang tidak mengenakkan.
Tetapi, sesungguhnya itulah jalan paling lurus, jalan yang paling tepat yang
akan membawa pada kebaikan dan kebahagiaan."
Misalnya, ada seorang kaya raya. la melarang anak yang disayanginya
memakan buah apel dan kurma dikarenakan sedang mengidap suatu penyakit.
Larangan sang ayah bukan berarti ia kikir dan membenci anaknya. Melainkan, sang
ayah ingin membahagiakan anaknya dengan cara memberikan yang terbaik bagi
anaknya.
Demikian juga Allah. Ia akan memilihkan yang terbaik bagi hamba-hamba-Nya.
Jika toh Allah menunda sesuatu bagi umatNya, itu karena Allah menginginkan
kemaslahatan bagi kita. 'Sesungguhnya, Allah Mahakuasa menyampaikan segala
sesuatu. Dia Maha Pemurah dan Maha Mengetahui. Tidak ada yang samar dan
tersembunyi bagi-Nya. Maha Suci Allah ... Allah Maha Mengetahui, Mahakaya,
Mahakuasa, Maha Mengetahui, dan Maha Pemurah.
Allah Ta'ala berfirman:
(Dia-lah Allah) yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk
kamu .... (al-Baqarah: 29)
Rasulullah SAW. bersabda:
Aku mencegah kekasih-kekasihku dan wali-waliku dari
kenikmatan dunia.
Apabila Allah menguji kita dengan kesukaran (kesusahan), perlu kita ketahui,
sesungguhnya Allah tidak perlu menguji. Karena Allah Mengetahui keadaan kita,
Allah Melihat kelemahan kita, dan Allah Maha Pengasih.
Rasulullah SAW. bersabda:
Kasih Sayang Allah terhadap orang Mu 'min lebih besar
dibandingkan kasih sayang seorang ibu terhadap anaknya.
Dengan demikian, pemberian Allah yang tidak kita sukai semata-mata karena
kemaslahatan yang tidak kita ketahui. Sedang Allah Mengetahui semua itu.
Seperti kita ketahui, para wali, orang-orangp pilihan yang merupakan hambahamba yang paling disayangi, Justru paling banyak mendapatkan ujian dari Allah
Ta'ala.
Sehingga Rasulullah SAW. bersabda:
Apabila Allah Mengasihi suatu kaum, maka Allah akan menguji
dan memberikan cobaan kepada mereka.
Sabda Rasulullah SAW. pula:
Yang paling banyak mendapatkan ujian dari Allah adalah para
Nabi, kemudian orang-orang yang syahid, dan seterus-nya ...
Jika kita beranggapan, bahwa Allah menjauhkan dunia dari kita, atau sering
memberikan cobaan dan kesulitan, yakinlah bahwa kita sesungguhnya berada di sisiNya.
Allah ' Azza wa Jalla berfirman:
Dan bersabarlah dalam menunggu ketetapan Tuhanmu, maka
sesungguhnya kamu berada dalam penglihatan Kami .... (atb-Thur :
48).
Pemeliharaan dan kemaslahatan merupakan kebaikankebaikan Allah untuk
kita. Dengan memperbanyak pahala dan balasan yang baik, serta menempatkan kita
pada golongan orang-orang yang dicintai-Nya. Dan telah kita ketahui, karunia dan
pemberian-pemberian-Nya adalah mulia.
Sekali lagi, Allah menjamin rezeki kita guna kehidupan dan beribadah. Sebab,
Allah Mahakuasa dan Maha Berkehendak. Apa saja yang dikehendaki, dan
bagaimanapun caranya, hanya Allah Yang Mengetahui. Sebab, Allah Mengetahui
kebutuhan kita, dalam setiap hal dan setiap saat.
Mengetahui semua itu, sudah seharusnya kita bertawakkal kepada-Nya,
percaya kepada jaminan-Nya dan janji-Nya yang tulus dan benar. Sehingga, hati
menjadi tenteram, dan meninggalkan ketergantungan kepada suatu hubungan dan
sebab. Persoalannya, tanpa pemberian Allah, hubungan dan sebab itu tidak akan
mampu mencukupkan kebutuhan kita.
Hanya kepada-Nya-lah kita tawakkal. Dan kita harus meninggalkan tadbir.
Kemudian, menyerahkan kepada Allah Yang Mengatur langit dan bumi. Setelah itu,
berhenti memikirkan hal-hal yang tidak terjangkau oleh pikiran kita. Karena, memi-
kirkan hal-hal seperti itu membuat hati ragu-ragu, dan membuang-buang waktu.
Seorang zabid mengubah sebuah sya'ir:
Takdir Allah telah putus, dan putusan Allah sudah terjadi,
istirahatkan hatimu dari kata-kata "barangkali" dan "kalau".
Yang lain berkata pula:
Apa-apa yang telah ditakdirkan pasti. akan terjadi pada
saatnya, Orang-orang bodoh hanya akan kepayahan dan bersedih.
Mungkin, apa-apa yang engkau khawatirkan akan terjadi, dan apaapa yang engkau harapkan mungkin tidak akan terjadi.
Sehingga, orang yang sudah mengetahui semua itu, tentu akan berkata dalam
hati, Wahai hati, tidak akan datang kepada kita kecuali yang telah ditakdirkan Allah.
Dia adalah sebaikbaik Pelindung, sebab Dia Kuasa tanpa batas, Bijaksana, Pengasih.
Hanya kepada-Nya kita pantas memohon perlindungan dan menyerahkan segala
urusan.
Demikian pula setelah kita tawakkal. Harus yakin bahwa takdir Allah pasti akan
terjadi. Sikap seperti itulah yang paling maslahat bagi kita, meskipun ilmu kita tidak
menjangkau isi dan rahasianya. Jadi, tidak ada gunanya membenci dan bersedih
menerima takdir-Nya. Tidak ada alasan menolak takdir-Nya. Bukankah kita telah
mengatakan,. "Aku rela Allah sebagai Tuhanku." Otomatis, kita harus rela (Ikhlas)
menertma takdir-Nya, karena takdir adalah urusan atau hak Tuhan.
Juga dalam menghadapi suatu musibah, hendaknya tetap bersabar, jangan
mengadu kepada yang lam, dan teguhkan hatI. Apalagi musibah yang pertama
kalinya, memang terasa berat. Sebab, menghadapi musibah untuk kedua atau ketiga
kalinya, lama kelamaan menjadi terbiasa. Dan yang pennng, Jangan menyesali
musibah yang menimpanya. Karena bagaimanapun, itu adalah kehendak dan takdir
Allah.
Musibah tidak akan berlangsung lama, bak awan yang berarak di langit. Sedikit
demi sedikit akan hilang . . . Bersabarlah barang sejenak, kelak kebahagiaan yang
lebih lama akan kita temui, dan pahala melimpah akan kita dapatkan.
Lagi pula, jika musibah dihadapi dengan lapang dada, Ikhlas dan tenang,
seakan-akan musibah itu tidak pernah ada. Hal ini merupakan satu kebaikan dalam
baju musibah, Lahiriyahnya merasakan sebagai musibah, tetapi batinnya merasakan
sebagai kenikmatan. Maka, ucapkanlah: Kita kepunyaan Allah, dan kepada-Nya-lab
kita akan kembali.
Allah menjanjikan pahala dan balasan bagi orang-orang yang berkeyakinan
seperti itu.
Marilah kita ingat kembali, betapa sabar para Nabi Ulul ‘Azmi (yang 25)
menghadapi musibah-musibah yang sangat berat. Padahal, mereka adalah para Nabi
yang dikasihi Allah Ta'ala.
Sedangkan anjing hina dan orang kafir pun Allah beri rezeki. Padahal, mereka
memusuhi Allah. Apalagi hamba Allah yang ma'rifat dan bertauhid, mustahil Allah
tidak menghargai. Karena, sesungguhnya kesengsaraan itu, bagi kita akan
mendatangkan kebahagiaan.
Seorang penyair mengatakan:
Harapkan dan tunggu saja perbuatan Allah, Allah akan
memberikan apa-apa yang engkau inginkan, yakni terhindar dari
kesusahan dalam waktu dekat.
Dan engkau jangan berputus asa jika mendapatkan musibah,
karena dalam alam gaib banyak kejadian yang membuat kita kagum.
Penyair lain mengatakan:
Hai orang yang banyak memikirkan kesusahan, jika musibahmu
telah memuncak, bacalah surat alam nasyrah.
Kesengsaraan di antara dua kesenangan, berarti satu
kesengsaraan berbanding dua kesenangan. Jika engkau mengingat
surat alam nasyrah, pasti gembira.
Dengan demikian, berarti kita berdzikir, dan secara berkesinambungan melatih
diri. Hal ini akan memudahkan kita, kalau memang mempunyai kemauan keras dan
bersungguhsungguh. . .
Dengan demikian, berarti kita telah berhasil melewati rintangan yang empat,
dan selesai sudah urusan kita. Kini, kita tinggal menunggu pahala akhirat dan derajat
mulia serta menjadi hamba yang dikasihi Rabbul 'Alamin.
Maka, terkumpul kepada kita kebaikan dunia dan akhirat, dan ibadah kita tidak
lagi ada halangannya. Berarti, telah berhasil melampaui tahapan yang teramat berat
ini dengan baik dan selamat.
Semoga Allah Melindungi dan memberi petunjuk kepada kita. Sesungguhnya
Allah Maha Penga"'sih dan Mapa Penyayang .
Tidak ada komentar:
Posting Komentar