Kamis, 12 Mei 2022

AQABAH 6. TAHAPAN CELAAN


 AQABAH 6. TAHAPAN CELAAN

Terjemahan kitab minhahul ambidin (imam gazhali)

 

Selanjutnya, setelah ibadah kita lurus, wajib membedakan mana yang lebih 

baik dan mana kurang baik, serta memelihara segala sesuatu yang sekiranya dapat 

merusak dan merugikan ibadah kita. 

Wajibnya itu dikarenakan dua sebab: 

Pertama: Sebab, jika kita ikhlas dan senantiasa mengingat karunia Allah, akan 

mendatangkan manfaat yang sangat besar, yakni segala amalan kita bakal diterima 

di sisi-Nya, serta mendapatkan pahala dari amalan itu. 

Jika tidak demikian, maka segala amalan kita tidak akan diterima. dan hilanglah 

segala pahala. 

Yang menjadi dasar adalah sabda Rasulullah SAW.: 

Sesungguhnya Allah telah berfirman: 

Sesungguhnya Allah SWT. Berfirman, "Aku ini tidak membutuhkan sertaan dari yang lain; siapa saja yang melakukan suatu 

perbuatan, dengan menyertakan yang lain selain Aku, maka bagian-Ku 

untuk yang lain itu. Karena, Aku tidak akan menerima (perbuatan 

seseorang) selain yang ikhlas hanya untuk-Ku". 

322 

Serta ada yang mengatakan, "Pada hari kiamat kelak, Allah akan menjawab 

setiap tagihan hamba-Nya yang telah beramal: 

Apakah tidak diperluas bagimu (kedudukan) di dalam majlis, 

apakah kamu tidak dijadikan sebagai pemimpin di dunia. apakah tidak 

ada keringanan harga untukmu; (dan) apakah kamu tidak mendapat 

penghormatan? 

Jika itu yang dimaksudkan orang-orang yang telah beramal, maka cukuplah itu 

sebagai pahalanya. 

Itulah bahaya dan madharatnya yang ditimbulkan akibat beribadah tanpa 

dilandasi ikhlas. 

Sedangkan dua noda yang dimaksudkan adalah: 

Menurut penyusun, riya mempunyai dua nuda dan musibah. Pertama: noda 

rahasia, yaitu didakwa oleh Allah di hadapan para malaikat. sehingga terbongkarlah 

semua rahasiany




Seperti diriwayatkan, bahwa malaikat naik ke langit membawa segala amal 

manusia dengan riang gembira. 

Akan tetapi Allah berfirman: 

"Lemparkan amalnya ke neraka Sijjin, karena ia beramal tidak 

dengan lillaahi ta'ala. " 

Noda kedua: cemar namanya di hadapan seluruh makhluk, pada hari kiamat 

kelak. 

Rasulullah SAW. bersabda: 

Orang yang bersifat riya, kelak pada hari kiamat dipanggil 

dengan empat julukan: 

Kemarilab hai kafir, silakan kemari hai penjahat, kesini hai 

pengkhianat, dan kesinilah kau hai orang yang merugi. Amalmu adalah 

sesat, pahalamu batal, tiada bagian untukmu pada saat ini. 

Sekarang, mintalah pahala kepada orang yang membuatmu riya! 

Riwayat lain mengatakan, bahwa orang yang demikian, kelak pada hari kiamat 

akan diteriaki dengan keras, sehingga semua makhluk mendengarnya, "Mana orang 

yang suka menyembah manusia. Bangunlah kalian semua, ambillah pahala dari 

orang yang kau sembah. Sebab, Aku tidak akan menerima amal yang dicampuri 

dengan sesuatu." 

Sedangkan dua musibah: pertama; tidak mendapatkan tempat di surga. Yakni 

berlaku bagi orang-orang yang diriwayatkan oleh Rasulullah SAW. bersabda: 

Sesungguhnya surga itu berbicara. Katanya, "Aku ini haram bagi 

orang-orang kikir dan riya. " 

Hadits di atas mengandung dua makna: 

Pertama, yang dimaksud kikir di sini yaitu kikir ucapan. Yakni tidak mau 

mengucapkan sebaik-baik ucapan: La ilaha Illallah Muhammadur Rasulullah. 

Sedangkan maksud riya di sini adalah riya yang paling buruk, yakni riya munafik: 

orang yang riya. imannya dan riya tauhidnya. Dalam hal ini, terkandung harapan 

bahwa orang Mu'min tidaklah demikian. 

Makna kedua. jika mereka tidak berhenti dari sifat riya dan kikir. serta tidak 

menjaga diri. Maka. akan mendapatkan dua bahaya: 

1. Menanggung akibat sifat itu. sehingga jatuh kufur dan musnahlah surga 

baginya. 

2. Sifat kikir dan riya, lambat laun menghilangkan iman, sehingga yang 




mengalaminya akan kekal di dalam neraka. 

Musibah kedua dari sifat nya adalah masuk neraka. Dari Abu Hurairah, bahwa 

"Rasulullah SAW. bersabda: 

Yang pertama kali diseru pada hari kiamat adalah orang yang 

hafal al-Quran, orang yang mati syabid, dan orang kaya. 

Kepada orang-orang yang hafal al-Qur'an Allah berfirman: 

"Apakah Aku tidak mengajarimu membaca al-Qur'an yang Aku 

turunkan kepada Rasul-Ku?" 

Jawab mereka, "Tentu saja, ya Tuhanku. " 

Firman Allah selanjutnya, "Untuk apa ilmu yang engkau miliki 

itu?" 

Jawab mereka, "Saya amalkan, dan saya kaji siang-malam. " 

Firman Allah selanjutnya, "Engkau berdusta!" 

Juga, para malaikat berkata, "Kamu dusta!" 

Firman Allah, "Sebenarnya engkau ingin mendapatkan pujian dari 

orang banyak, bahwa engkau seorang Qari'. Maka pahalamu, cukuplah 

pujian orang-orang itu, itu bagianmu! " 

Sekarang giliran orang kaya dihadapkan kepada Allah: 

Firman Allah, "Apakah Aku tidak memberikan kekayaan 

kepadamu, bingga kau tidak membutuhkan siapa pun?" 

Jawabnya, "Tentu saja, ya Tuhan. Hamba telah mendapatkan 

kekayaan dari-Mu, " 

Selanjutnya Allah berfirman, "Kau gunakan untuk apa kekayaan 

yang Aku berikan itu?" 

Ia menjawab, "Saya pergunakan untuk bersilaturahmi dan 

bersedekah." 

Maka Allah berfirman, "Kau berdusta!" 

Firman Allah selanjutnya, "Sesungguhnya engkau ingin 

mendapatkan pujian sebagai seorang yang murah tangan Nah pujian 

itulah bagian untukmu. " 

Kini tiba giliran orang yang mati syahid di hadapkan kepada 

Tuhan' 

Allah berfirman, "Apa yang engkau lakukan selama di dunia?" 

Jawabnya, "Saya diperintahkan turut dalam perang sabil. 

Dan perintah itu saya turuti, hingga saya mati dalam 

peperangan itu." 

Firman Allah, "Dusta kamu!" 

Juga, para malaikat berkata, "Pendusta kamu!" 




Kemudian Allah berfirman, "Sebenarnya engkau hanya ingin 

dipuji sebagai seorang pemberani (pahlawan). Dan pujian itulah 

bagianmu!" 

Kemudian Rasulullah menepuk lututku sambil bersabda: 

Ya Abu Huratrah, mereka itulah yang pertama-tama merasakan 

panasnya api neraka. 

Berkata pula Sayyidina Abdullah bin Abbas, bahwasanya Rasulullah SAW. 

bersabda: 

Sesungguhnya neraka dan ahli neraka (penghuninya) menjeritjerit dalam menghadapi ahli-ahli riya. 

Sayyidina Abdullah bin Abbas bertanya, "Bagaimana jeritan neraka itu, ya 

Rasulullah?" 

Sabda Rasulullah, "Dari panasnya api yang dipakai untuk menyiksa para ahli 

riya." 

Para pembaca yang budiman, dalam masalah noda atau cela tersebut 

mengandung. pelajaran bagi orang-orang yang tajam mata hatinya. 

Ikhlas, menurut para ulama ada dua macam: 

1. Ikhlas dalam beramal. 

2. Ikhlas dalam memohon pahala Allah. 

Ikhlas dalam beramal adalah niat taqarrub kepada Allah SWT., dan niat 

mengagungkan perintah-Nya, serta niat melaksanakan seruan Tuhan. Yang 

mendorong semua itu adalah ijtihad dengan bersungguh-sungguh. 

Lawan dari ikhlas adalah munafik, yaitu taqarrub selain kepada Allah. 

Berkata guru kamu rabimabullab, "Nifaq (munafik) adalah niat yang salah. 

Yakni niatnya orang munafik kepada Allah." 

Sedangkan ikhlas dalam memohon pahala adalah bermaksud mencari 

kemanfaatan akhirat dengan amal baik. 

Guru kami mengatakan, "Ikhlas dalam memohon pahala, maksudnya dengan 

kebaikan seseorang menginginkan pahala akhirat. Dan ini tidak ditolak oleh Allah 

SWT. Tetapi, jika sekiranya tidak dapat mendapatkan kebaikan, kemudian dengan 

amalnya mengharap mendapatkan manfaat akhirat, maka syarat-syaratnya 

sebagaimana telah penyusun terangkan." 

Orang-orang Hawariyyun (murid-murid Nabi Isa) pernah bertanya kepada Nab




Isa as., "Bagaimana yang dimaksud dengan amal-amal yang ikhlas?" 

Jawab Nabi Isa as., "Yaitu yang disertai lillahi ta'ala, tanpa menginginkan pujian 

orang lain." 

Dalam hal ini, beliau memberikan didikan kepada anakdidiknya agar 

meninggalkan sifat riya. Mengapa Nabi Isa mengkhususkan untuk meninggalkan 

riya?! Sebab, riya merupakan perusak yang paling kuat, merusak ikhlasnya 

beribadah!! 

Imam Junaid berkata, "Ikhlas itu membersihkan segala amalan dari sesuatu 

yang bisa mengeruhkan amal. " 

Berkata pula Imam Fudail bin Iyadh, "Ikhlas itu membiasakan diri untuk bermuraqqabah kepada Allah SWT., serta melupakan segala kepentingan pribadinya." 

Dan menurut Imam Ghazali, itulah keterangan yang paling sempurna. 

Sehubungan dengan masalah ikhlas, Rasulullah SAW. bersabda: 

Ikhlas adalah tekad dalam hati semata-mata hanya kepada 

Allah. Kemudian istiqamah sebagaimana telah diperintahkan. 

Tidak menyembah nafsu dan tidak menyembah diri sendiri merupakan isyarat, 

bahwa selain kepada Allah harus dipisahkan dari jalan pikiran. Begitulah ikhlas yang 

sebenarnya. 

Sedangkan lawan ikhlas adalah riya, yaitu mengingmkan manfaat dunia dengan 

jalan menjalankan ibadah .. 

Dan riya itu ada dua macam: 

1. Riya khusus. 

2. Riya campuran. 

Riya khusus hanya menginginkan keuntungan dunia, tidak menginginkan 

keuntungan akhirat. 

Sedangkan riya akhirat menginginkan keduanya. Misalnya, seseorang 

melakukan shalat, di samping menginginkan pahala akhirat, ia juga mengharapkan 

pujian orang lain. 

Sesungguhnya, ikhlas dalam beramal adalah mengusahakan sepenuhnya bahwa 

amal itu untuk beribadah. Adapun ikhlas dalam memohon pahala adalah 

mengharapkan amalannya itu dikabulkan serta menginginkan pahala yang banyak. 

Adapun yang membatalkan pahala amal adalah nifaq. Karena amalan yang




disertai nifaq menghilangkan sifat qurbah. 

Dengan demikian, riya khusus itu tidak pernah ada pada orang-orang yang 

ma'rifat. Hal itu menurut pendapat sebagian ulama. Meskipun, kadang-kadang 

dapat membatalkan sebagian pahala. Dan riya campuran dapat seperempat bagian 

pahala. 

Menurut guru kami, riya khusus tidak akan terjadi pada orang ma 'ritat yang 

sadar akan akhirat. Dan terjadinya hanya ia dalam keadaan lengah. 

Kemudian, nadzar yang disertai nya dapat juga sebagai penyebab hilangnya 

sebagian pahala dan menghilangkan diterimanya amal. 

Penjelasan mengenai masalah tersebut memang memerlukan keterangan dan 

bahasan panjang lebar. Dan itu telah penyusun terangkan dalam kitab Ihya 

'Ulumuddin. 

Perlu diketahui, menurut sebagian ulama, amal itu ada tiga bagian: 

1. Bagian yang terdapat ikhlas secara bersamaan. Yakni, ikhlas beribadah 

kepada Allah dan ikhlas dalam memohon pahala akhirat, yaitu ibadah 

lahir. 

2. Bagian yang tidak terdapat sama sckali keduanya, yakni ibadah batin. 

Sebab, dalam hal ini hanya Allah yang mengetahui. Sehingga tidak 

terdapat sifat riya. 

3. Bagian yang hanya mengharapkan sebagian pahala akhirat. 

Yakni, mengikhlaskan amalan yang mubah, makan misalnya. Sehingga, jika 

menginginkan pahala dari amalan yang mubah ini adalah dengan jalan 

mengikhlaskan (berniat) bahwa makan hanyalah sebagai bekal guna berkhidmat 

kepada Allah. Sehingga, makannya itu akan mendapatkan pahala. 

Guru kami (Imam Ghazali) mengatakan, "Sesungguhnya setiap amal yang 

ihtimal dapat ditujukan kepada selain Allah dari ibadah-ibadah asli, yang di sana 

ikhlas amalannya. Jadi, ibarat batin sebagian besar terjadi dari ikhlasul 'amal. " 

Adapun ikhlas dalam memohon pahala, menurut guru Karamiyah tidak terjadi 

dalam ibadah batin ini. Sebab, dalam hal ini tidak bisa dicampuri riya, karena ibadah 

batin hanya Allah yang mengetahui. Sehingga, dalam hal ini mustahil ada sifat riya, 

sedangkan orang lain tidak bakal melihat dan mengetahuinya. Dengan demikian, 

dalam hal ini tidak perlu mengikhlaskan dalam memohon pahala. 

Dan guru kami rahimahullah sering mengatakan, "Apabila hamba yang bcr-




taqarrub kepada Allah, dan dengan adanya ibadah batin ia mengharapkan manfaat 

dunia, maka itu pun termasuk riya, sekalipun orang itu tidak bisa melihatnya. 

Misalnya, "Aku akan berbuat jujur, setia, dan ikhlas. Mudah-mudahan aku bisa 

hidup di dunia dan dikasihani orang lain sehingga mcndapatkan kedudukan tinggi." 

Nah, yang demikian itu termasuk perbuatan riya! Oleh karenanya, bukan hal 

yang aneh jika pada sebagian besar ibadah batin terjadi dua ikhlas itu. Demikian 

pula dalam ibadah sunat, harus ada dua ikhlas tersebut pada awal mengerjakannya. 

Sedangkan jenis amalan mubah yang diniatkan sebagai bekal, misalnya: 

- Aku makan sebagai bekal untuk beribadah. 

- Aku tidur agar badan sehat sebagai bekal beribadah. 

Dalam hal itu yang terjadi adalah ikhlas mengharapkan pahala Allah SWT. 

Sebab, seperti makan, minum, tidur dan sebagainya tidak bisa dijadikan- qurbah, 

melainkan sebagai bekal guna beribadah. 

Perlu pula diketahui bahwa ikhlas dalam beramal harus bersamaan dengan saat 

mengerjakannya. Dengan demikian, sejak awal hingga berakhirnya harus ikhlas. 

Akan tetapi, ikhlas dalam memohon pahala dari Allah bisa diniatkan pada akhir 

atau setelah selesai beramal. 

Sebagian ulama berpendapat, dalam memohon pahala Allah harus dilakukan 

(diniatkan) setelah selesainya beramal. Dan nilainya bergantung pada akhir 

pekerjaan itu. Jika ditutup dengan ikhlas, berarti termasuk amalan yang ikhlas. Dan 

jika diakhiri dengan riya, maka termasuk amalan riya. 

Tetapi menurut Ulama karamiyah lainnya, selama orang belum mendapatkan 

kemanfaatan dari sifat riya yang dimaksudkan, maka masih bisa dibelokkan pada 

ikhlas. 

Misalnya, seseorang mengerjakan shalat dengan maksud ingin mendapatkan 

pujian orang lain. Tetapi sebelum orang memujinya, la membelokkan atau 

mengubah niatnya menjadi niat yang ikhlas. Akan tetapi, jika telah mendapatkan 

manfaat dan niat pertamanya, yakni mendapat pujian orang, berarti amalannya siasia. Dan bagiannya hanyalah pujian itu. 

Sebagian ulama lain berpendapat, bahwa ibadah wajib dapat menegakkan sifat 

ikhlas hingga maut menjemputnya. misalnyaa seseorang merasa ketika mengerjakan 

shalat tidak disertai ikhlas, kemudian ia memohon, "Ya Allah, shalatku yang kemarin 

tidak aku kerjakan dengan ikhlas, oleh sebab aku aku bertaubat, dan shalatku hari ini 




hanyalah karena-Mu." 

Namun tidak demikian halnya dengan ibadah sunat. 

Apa perbedaan ibadah wajib dengan ibadah sunat? Allahlah yang 

memerintahkan menjalankan ibadah wajib. Sedangkan Ibadah sunat adalah 

keinginan si hamba. Sehingga, jika ia tidak ikhlas mengerjakannya, maka Allah akan 

menagih haknya kepada orang yang memaksakan diri mengerjakan ibadah sunat itu. 

Dalam hal ini, ada manfaatnya, yakni ibadah yang terlanjur dikerjakan dengan

sifat riya, bisa diperbaiki dengan memakai salah satu cara yang telah penyusun 

terangkan. 

Sesungguhnya, dalam hal ini para ulama saling berbeda pendapat. Ada yang 

berpendapat, bahwa dalam mengerjakan setiap ibadah, harus ikhlas. Ada pula yang 

berpendapat, bahwa Ikhlas hanya untuk sejumlah ibadah. Misalnya, ketika 

mengerjakan shalat, harus berniat lillahi ta'ala, sedang lainnya, seperti ruku, sujud 

dan lainnya, sudah terkurung dalam niat tadi. 

Selanjutnya, mengenai ibadah dan amalan yang mempunyaI rukun dan bersifat 

wajib, seperti shalat, wudhu', maka cukup hanya dengan satu ikhlas. Karena, 

semuanya saling berkait, tidak bisa dipisahkan. Sehingga jika salah satunya rusak, 

rusaklah semuanya, karena semua bagian merupakan satu kesatuan yang utuh. 

Bagaimana halnya dengan seseorang yang beribadah mengharapkan manfaat 

dunia kepada Allah, dan tidak sedikit pun mengharapkan pujian orang lain. Tetapi, 

semata-mata mengharapkan dari Allah. Hal itu justru perbuatan penuh riya!! 

Seorang ulama mengatakan, "Yang dianggap riya itu bergantung pada apa yang 

diinginkan, bukan bergantung kepada siapa ia memohon." 

Dengan demikian, beramal dengan mengharapkan manfaat dunia, meskipun 

memohonnya kepada Allah, itu termasuk riya. 

Allah 'Azza wa J alla berfirman: 

Barangsiapa yang menghendaki keuntungan di akhirat akan Kami 

tambah keuntungan itu baginya, dan barangsiapa yang menghendaki 

keuntungan di dunia, Kami berikan kepadanya sebagian dari 

keuntungan dunia dan tidak ada baginya suatu bagian pun di akhirat. 

(asy-Syura: 20). 

Riya berasal dari kata ru dan yah. Yang berarti, sebab-sebab perbuatan jahat. 

Dan kebanyakan perbuatan riya itu adalah ingin dilihat orang lain. 

Bagaimana seandainya yang dimaksud dengan manfaat dunia agar ta'affuf dan 




supaya tidak mengemis kepada orang lain serta bermaksud mencari bekal guna 

beribadah kepada Allah. 

Harus diketahui, ta'affuf bukan berarti seseorang harus kaya atau besar 

pengaruh. Sebab, ta'affu f berada pada kana'ah (cukup dengan apa adanya), dan 

yakin akan jaminan Allah Ta'ala. 

Adapun bermaksud sebagai bekal ibadah, itu tidaklah termasuk riya. Karena, 

hal itu bertalian dengan urusan akhirat. Sebab, segala perbuatan dengan niat seperti 

itu akan menjadi baik dan termasuk amal akhirat. 

Mengharapkan kebaikan bukanlah riya. Demikian juga mengharapkan 

penghormatan orang lain dan dikasihi para imam dengan tujuan untuk membela 

dan memperkuat madzhab ahlul haq (Ahli Sunnah wal Jamaah), atau untuk 

membantah syubhat ahli bid'ah, atau bertujuan untuk menyebarkan ilmu. Mungkin 

juga, jika mempunyai pengaruh, bisa memerintahkan orang untuk beribadah. Sebab, 

tanpa pengaruh, ajakannya tidak akan digubris orang. 

Sudah barang tentu semua itu terlepas dari keinginan memuliakan dan atau

maksud duniawi. Sehingga, merupakan iradat yang baik dan tepat, tujuan lurus, 

dikarenakan niatnya baik, tidak sedikit pun ada niat riya, karena bertujuan untuk 

akhirat. 

Ada sebagian wali yang mempunyai kebiasaan membaca surat al-.Waqi'ah di 

kala sulit mendapat rezeki. Maka, guru kami memberikan penjelasan tentang hal itu, 

"Yang dimaksud oleh para wali adalah agar Allah memberikan kana'ah kepadanya. 

Yakni, mengharapkan sekadar rezeki untuk bekal beribadah serta untuk kekuatan 

dalam menuntut ilmu. "

Berarti, semua itu termasuk niat baik, bukan semata-mata untuk kesenangan 

dunia. 

Dalam menghadapi kesulitan rezeki, membaca surat Kana 'ah sudah warid 

dalam hadits-hadits riwayat para sahabat dari Rasulullah SAW. Hingga, Sayyid 

Abdullah bin Mas'ud' tidak meninggalkan kekayaan sedikit pun untuk anaknya. Ia 

mengatakan, “Aku telah meninggalkan (mewariskan) kepadanya surat Waqi’ah.”

Berdasar sunat Rasulullah itulah, maka membaca surat Waqi’ah menjadi suatu 

kebiasaan. 

Demikianlah sejarah hidup para ulama kita. Jika saja tidak ada uarid dalam 

hadits, niscaya mereka tidak mempedulikan kesusahan urusan dunia. Miskin atau 




kaya, bagi mereka tidaklah menpdl soal. Tetapi, dikarenakan ada warid dalam hadits 

maka mereka mengamalkannya. Sebab, mereka beranggapan: miskin adalah suatu 

keuntungan, bahkan kesengsaraan dianggapnya sebagai karunia yang besar dari 

Allah Ta 'ala. 

Dalam keadaan kaya, justru mereka merasa khawatir adanya istidraj dan 

berbagai musibah (padahal, kekayaan oleh kebanyakan orang dianggap sebagai 

suatu kenikmatan). Apalagi, mereka adalah orang-orang yang suka mengembara dan 

melanglang buana. Dan para Imam itu sering mengatakan bahwa lapar adalah modal 

mereka. 

Demikianlah menurut madzhab Ahli-TaSAWuf (termasuk Imam Ghazali), juga 

madzhab yang dianut para guruku. 

Mengenai lengahnya orang-orang mutakhir, tidaklah bisa dijadikan contoh. 

Maksud penyusun menguraikan dan menjelaskan masalah ini adalah agar tidak ada 

atau jangan sampai ada orang mencemooh mereka yang" terbiasa membaca surat 

al-Waqi'ah. Karena, kita tidak mengetahui maksud dan tujuan beliau serta 

urusannya. Atau, jangan-jangan kita salah sangka terhadap mereka yang mubtadi 

(mendapat petunjuk), dikarenakan ilmunya masih dangkal, meski hatinya bersih. 

Orang-orang berilmu, ahli tajarrud, ahii zuhud. orang-orang sabar, dan 

sebagainya, juga memohon rezeki kepada Allah dengan membaca surat al-Waqi'ab. 

Mereka mengamalkannya karena merupakan sunah Nabi. Karena yang paling 

penting tatkala mengerjakannya adalah kana'at dalam hati dan sebagai bekal guna 

beribadah kepada Allah. Bukan untuk menuruti hawa nafsu dan syahwat. Dan bukan 

pula karena ketidakmampuannya menahan penderitaan dan kesengsaraan. 

Cela kedua: adalah sifat ‘ujub. 

Kewajiban menjauhi sifat ‘ujub dikarenakan dua sebab: 

Pertama, ‘ujub menghalangi taufik dan ta'yid dari Allah. 

Dan seseorang yang tidak mendapatkan taufik dan ta'yid dari Allah akan mudah 

celaka. 

Rasulullah SAW. bersabda: 

Ada tiga perkara yang menyebabkan celakanya seseorang: 

a. Sifat kikir. 

b. Menuruti hawa nafsu. 




c. Sifat ‘ujub. 

Kedua, ‘ujub dapat merusakkan amal saleh. 

Sehubungan dengan hal itu, Nabi Isa as. berkata, "Wahai para hawariy, banyak 

lampu padam karena angin, dan banyak pula ahli ibadah rusak karena ‘ujub. " 

Berarti, seseorang yang bermaksud mencari manfaat ibadah sedangkan ‘ujub

menyebabkan hilangnya manfaat ibadah: 

Maka, orang ‘ujub tidak akan berhasil mendapatkannya. Kalaupun toh ada 

kebaikan pada dirinya, sangatlah sedikit.

‘ujub, artinya mengagungkan diri, atau menganggap agung amal yang telah 

dilakukan. Misalnya dengan mengatakan, "Akulah orang paling saleh. Tidak ada 

orang yang melebihi kesalehanku. " 

Sedang menurut para ulama, ‘ujub adalah: seseorang beranggapan bahwa 

kemuliaan amal saleh disebabkan adanya suatu perkara atau sebab, bukan karena 

Allah SWT. Dan ‘ujub itu mempunyai tiga wujud, yakni: diri sendiri, makhluk, dan 

barang. 

Suatu saat, ‘ujub itu terdiri dari dua sujud. Misalnya, seseorang mengatakan,

"Jika aku tidak mempunyai uang, tentu tidak bisa menunaIkan ibadah haji." Berarti, 

‘ujubnya berwujud diri sendiri dan harta benda. Selain itu, bisa juga ‘ujub berwujud 

tunggal. 

Lawan ‘ujub adalah dzikrul minnah, artinya mengingat karunia Allah. Harus 

selalu diingat, bahwa amal saleh yang dapat dikerjakan Itu karena adanya taufik dari 

Allah. Sesungguhnya, Allah-lah yang memuliakan amalannya dan yang memperbanyak pahalanya. 

Sehingga, dzikrullah wajib hukumnya di saat ‘ujub hinggap pada diri seseorang. 

Dan sunat hukumnya pada saat ‘ujub tidak ada pada seseorang. 

Pengaruh ‘ujub terhadap amal, menurut sebagian ulama adalah, "Seseorang 

yang bersifat ‘ujub hanyalah menunggu ihbat (amal yang sia-sia/tidak ada 

pahalanya). Jika sebelum mati ia sempat bertaubat, selamatlah ia. Tetapi, jika tidak 

sempat bertaubat, maka sia-sialah amalannya dan tidak mendapatkan pahala 

barang sedikit pun. 

Menurut madzhab Ibnu Sabir, salah satu golongan Karamiyah, bahwa ihbat itu 

menghilangkan segala amal baik, sehingga meniadakan pahala dan pujian dari Allah 

SWT. 




Tetapi menurut ulama lain, ihbat itu menghilangkan berlipatgandanya pahala. 

Artinya bahwa mendapatkan satu pahala. 

Dalam masalah ‘ujub, manusia terbagi menjadi tiga golongan: 

‘ujub untuk selamanya. Sekalipun ia menyadari adanya karunia Allah, namun 

tetap saja ia bersifat ‘ujub. Yakni, golongan Mu 'tazilah dan Qadariyah, mereka 

tidak memandang Allah. Menurut pendapatnya, segala perbuatannya 

merupakan inisiatif dan ciptaan sendiri, bukan dari Allah. Begitulah aqidahnya, 

sehingga selamanya ia bersifat ‘ujub. Mereka mengingkari adanya taufik dan 

pertolongan Allah serta lathif-nya Allah. Hal itu dikarenakan adanya syubhat 

yang menguasai dirinya. 

2. Golongan ini, mengingat adanya karunia Allah, segala tindakannya dianggap 

sebagai karunia Allah. Sehingga, mereka tidak pernah bersifat ‘ujub atas 

amalan-amalannya. Hal itu dikarenakan mereka senantiasa berhati-hati, dan diberi kewaspadaan oleh Allah, serta dikhususkan dengan ta'yid dari Allah SWT. 

Dan inilah golongan yang lurus. 

3. Golongan campur aduk. Kadang-kadang ‘ujub, tetapi suatu saat tidak. Mereka 

adalah kebanyakan ahli sunnah. Terkadang, menyadari karunia Allah, terkadang 

ia lengah. Rasa "aku"-nya terkadang timbul secara mendadak. Hal itu 

dikarenakan lemahnya ijtihad dan kurang berhati-hati. 

Sehubungan dengan keberadaannya golongan Qadariyah dan Mu'tazilah itu, 

ada yang mengatakan sebagai kesalahan sendiri. Ada juga yang berpendapat bahwa 

pahalanya tidak akan hilang dikarenakan satu i'tikad, yang pada umunya mengenai 

firqah-firqah Islam, kecuali semua amalannya di- ‘ujub-kan. 

Selain ‘ujub dan riya, masih banyak lagi sifat-sifat yang dapat merusakkan amal. 

Tetapi, yang dua ini merupakan dasar atau sebab utama rusaknya amal. 

Sebagian guru mengatakan, bahwa manusia wajib memelihara amalnya dari 

sepuluh perkara: 

1. Munafik. 

2. Riya. 

3. Ikhlas, tetapi mengandung riya. 

4. Mengungkit-ungkit. 

5. Mengganggu orang lain. 




6. Berbuat sesuatu yang akan disesali. 

7. Memelihara diri dari sifat ‘ujub. 

8. Menjaga diri jangan sampai menyesali suatu perbuatan. 

9. Jangan lalai. 

10.Jangan takut mendapat celaan.

Adapun lawan dari yang sepuluh itu adalah: 

1. Ikhlas dalam beramal. 

2. Ikhlas dalam memohon pahala kepada Allah SWT. 

3. Penuh keikhlasan. 

4. Menyerahkan segala amalan kepada Allah SWT. 

5. Menjaga diri, jangan sampai menyakiti orang lain. 

6. Membulatkan tekad. 

7. Mengingat kebaikan dan jasa Allah. 

8. Mempergunakan waktu sebaik-baiknya untuk beramal. 

9. Mengagungkan taufik Allah. 

10.Semata-mata takut kepada Allah. 

Sifat munafik dapat menghilangkan pahala amal. Dan riya mengakibatkan 

amalan seseorang ditolak Allah SWT. 

Memberi sedekah, kemudian mengungkit-ungkit, mengakibatkan batalnya 

pahala yang berlipatganda, Adapun penyesalan dapat menyebabkan hilangnya 

pahala dari amal secara keseluruhan. Dan ‘ujub menghilangkan berlipatgandanya 

pahala bersedekah itu. 

Adapun lengah dan takut, mendapatkan celaan menjadikan ringan 

timbangannya pada mizan, kelak. 

Jadi, dikabulkan atau ditolaknya amal oleh Allah SWT. bergantung kepada 

sikapnya, mengagungkan atau menganggap remeh. Jika mengagungkan, maka akan 

dikabulkan. Tetapi, jika meremehkan, maka Allah akan menolak amalan itu. 

Ihbat, yaitu menghilangkan manfaat-manfaat amal. Sehingga, ihbat kadangkadang menghilangkan pahala atau menghilangkan berlipatgandanya pahala. 

Pahala merupakan kemanfaatan yang dapat dimengerti oleh akal, 'ain, qarinah




qarinah, dan keadaannya. Adapun selebihnya dari semua itu adalah tad'if 

Dan yang lebih berat lagi ialah razanah, yakni adanya qarinah-qarinah awal. 

Misalnya, memberi sedekah kepada orang baik. Timbangannya akan lebih berat 

dibanding memberi sedekah orang jahat. Lebih-lebih bersedekah kepada Nabi, maka 

timbangannya akan lebih berat lagi. 

Berarti, setiap amal tentu ada razanah-nya (nilai beratnya). 

Semoga kita dapat memahami makna-makna yang terkandung dalam masalah 

ini. Dan semoga -Allah melimpahkan taufikNya kepada kita. 

Sehubungan dengan sifat riya, Allah SWT, berfirman: 

Allah-lah Yang menciptakan tujuh langit dan seperti itu pula 

bumi. Perintah Allah berlaku padanya, agar kamu mengetahui 

bahwasanya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu, dan sesungguhnya 

Allah. ilmu-Nya benar-benar meliputi segala sesuatu. (atb-Thalaq :

12). 

Seolah-olah dengan ayat tersebut Allah berfirman: 

Sesungguhnya Aku telah menciptakan langit dan bumi dan apa 

yang ada antara keduanya, yang demikian itu adalah ciptaan-Nya dan 

keunikannya. (Hal itu) cukuplah untuk dilihat olehmu, agar kamu 

mengetahui bahwa Allah Maha Kuasa, Aku-lah Yang Maha 

Mengetahui. Sedang kalian melaksanakan shalat dua raka'at saja 

dibarengi dengan berbagai cela yang dilakukan secara serampangan. 

Karenanya, tidak layak bagimu untuk Aku lihat, tidak layak untuk Aku 

melihatmu, tidak layak Aku memujimu, tidak layak Aku mensyukuri. 

Kenapa kamu menghendaki pujian dari orang lain hanya lantaran 

shalatmu yang dua raka'at itu. Apakah keluar seperti itu berarti 

kesetiaan terhadap Aku? Apakah yang seperti itu merupakan 

pendirian yang diingini setiap orang? Celakalah kamu, dan apakah 

kamu tidak berpikir? 

Seorang pemilik permata mahal, indah lagi antik seharga satu juta dinar, 

misalnya, jika dijual dengan harga sepeser, bukanlah suatu kerugian besar, jika 

dibandingkan keridhaan Allah SWT. serta pahala-Nya. Karena keridhaan, pahala, dan 

rahmat Allah tidak sebanding dengan segala isi dunia. 

Sehingga merugilah orang yang tidak mendapatkan kemuliaan dan keridhaan 

Allah, yang hanya puas dengan pujian dan sanjungan orang. 

Kemudian, jika masih menghendaki bimmah, haruslah ditujukan untuk akhirat, 

Sehingga dunia pun akan mengikutinya. Atau yang lebih baik dan utama adalah 

dengan niat lillahi ta'ala. Maka dengan karunia-Nya, Insya Allah akan mendapatkan 

dunia akhirat. Sesungguhnya Allah-lah Penguasa dunia akhirat. 




Sebagaimana firman Allah Ta'ala: 

Barangsiapa yang menhendaki pahala di dunia saja (maka ia 

merugi), karena di sisi Allah ada pahala dunia dan akhirat.... (anNisa ". 134). 

Rasulullah SAW. bersabda: 

Sesungguhnya Allah suka memberi keduniaan dengan jalan amal 

akhirat. Tetapi jika amalannya dikhususkan untuk dunia, maka tidak 

akan mendapatkan akhirat. 

Dengan demikian, niat yang ikhlas, ditujukan untuk akhirat, maka akan 

menghasilkan dunia dan akhirat. Tetapi jika hanya ditujukan untuk dunia, maka 

akhiratnya akan hilang, dan hanya mcndapatkan dunia. Padahal, dunia tidak kekal, 

sehmgga keadaannya merugi dunia akhirat. 

Sesungguhnya, jika orang mengetahui bahwa amalan seseorang dikarenakan 

dan diperuntukkan baginya, bukan karena Allah, tentu orang itu akan membencinya. 

Saking bencinya ia akan menghina dan meremehkan orang yang berbuat itu. 

Apabila beramal dan terdapat sifat riya, hendaknya riya itu ditujukan kepada 

Allah. Sehingga Allah meridhai, mencintai dan mencukupi segala kebutuhannya.

Untuk menghindarkan diri agar tidak mencari keridhaan makhluk, jalan 

keluarnya sebagai berikut: 

Mengkhususkan iradat, yakni mengerjakan sesuatu karena Allah semata. Sebab 

hati dan ubun-ubun manusia ada pada kekuasaan Allah. Dia-lah yang menguasai hati 

manusia. 

Sehingga, untuk memperoleh sesuatu tidak bisa hanya mengandalkan usaha 

sendiri dan menyandarkan pada tujuan semata. Maka jika seseorang bermaksud 

mendapatkan keridhaan orang lain, bukan keridhaan Allah, maka Allah akan membelokkan hatinya, Sehingga orang lain membenci dan menjauhinya. 

Bukan hanya orang lain yang membencimu, tetapi Allah pun akan 

membencimu, betapa ia merugi ... 

Imam Hasan Bashri mengisahkan, bahwasanya ada seseorang berkata dalam 

hatinya, "Demi Allah, aku akan beribadah kepada Allah dengan sungguh-sungguh, 

Sehingga aku menjadi terkenal, dan ibadahku dilihat orang lain."

Setiap ke masjid, ia datang paling awal, dan paling akhir keluarnya. Semua itu 

dimaksudkan agar orang lain melihatnya. Sehingga, kesannya seolah-olah ia orang 

yang rajin shalat, puasa, senantiasa hadir dalam majlis ta'lim, dan sebagainya. 




Perbuatan seperti itu berlangsung selama tujuh bulan. Tetapi, apa hasilnya, 

setiap ia melewati orang banyak, bukan pujian yang didapat, tetapi umpatan dan 

cercaan. "Mudah-mudahan Allah mencelakakannya, karena ia riya." Ada juga orang 

mengatakan, "Itu dia, ahli riya sedang lewat!" 

Maka, akhirnya ia insyaf dan sadar. Ia tetap pergi ke masjid dan menghadiri 

majlis Ta'lim, tetapi niatnya telah dirubah, yakni lillahi ta'ala 

Setelah demikian, berkatalah orang-orang, "Mudah-mudahan Allah 

melimpahkan rahmat kepadanya, lantaran kebaikannya. “

Kemudian Imam Hasan Bashri membaca ayat: 

Sesungguhnya orang-orang yang beriman kepada Allah dan 

Yaumul akhir, serta beramal saleh, bakal mcndapatkan kecintaan 

Allah SWT. 

Selanjutnya, Imam Hasan Bashri mengatakan, "Allah akan mencintai dan 

mengasihinya, serta akan dicintai kaum Mu’minin. 

Sebuah sya'ir mengatakan: 

Hai orang-orang yang ingin mcndapatkan pujian orang lain, yang 

beramal untuk meminta pahala kepada sesama, sesungguhnya 

pengharapan itu mustahil, 

Allah tidak akan mengabulkan permohonan orang-orang riya, 

hanya kelelahan dan sia-sialah amal kalian. 

Barangsiapa bersungguh-sungguh mengharap keri.dhaan Allah 

pastilah amalannya pun akan dijalankan dengan Ikhlas, dengan rasa 

takut kepada Allah. Mas;lah kekal di neraka atau di surga adalah 

tergantung kehendak Allah. 

Jika riya, riyalah kepada Allah, sehingga Dia akan memberikan 

pahala. Sesungguhnya, manusia tidak mempunyai daya dan kekuasaan. 

Mengapa harus riya kepada sesama manusia? Sesat sekah orangorang yang demikian! 

Kini, marilah kita bahas masalah 'uqub: 

Pokok pertama: 

Nilai amal seseorang ditentukan oleh keridhaan Allah. Sehingga, jika amal 

seseorang tidak diridhai dan ditolak oleh Allah berarti amalannya tidak bernilai 

(berharga). Dan amalan yang diterima dan diridhai Allah, nilainya tidak terbilang, 

bahkan isi dunia pun tidak cukup untuk menghitungnya. 

Allah Ta'ala berfirman: 

......Sesungguhnya hanya orang-orang yang bersabarlah yang 




dicukupkan pahala mereka tanpa batas. (az-Zumar : 10). 

Dan Nabi Muhammad SAW. bersabda: 

Allah telah menyediakan bagi hamba-hamba-Nya yang suka 

berpuasa, pahala yang belum pernah terlihat mata, pernah terdengar 

telinga, dan belum pernah tergores dala hati manusia. 

Dengan demikian, tenaga yang kita keluarkan untuk manusia dihargai hanya 

dengan beberapa dirham saja. Sedangkan jika dipergunakan untuk beribadah, maka 

harganya tidak ternilai. Sedangkan puasa Itu tidaklah seberapa beratnya, hanya 

sekedar menukar waktu makan; makan siang dipindahkan waktunya menjad makan 

malam. 

Apabila seseorang "melek" semalam untuk mengerjakan shalat, dan ikhlas 

semata-mata karena Alla, maka pahalanya tidak ternilai, kemuliaan dan harganya 

sungguh tak terbilang.

Allah Azza wa Jalla berfirman: 

Seorang pun tidak mengetahui apa yang disembunyikan untuk 

mereka, yaitu (bermacam-macam nikmat) yang menyedapkan 

pandangan mata sebagai balasan terhadap apa yang telah mereka

kerjakan. (as-Sajdah : 17). 

Sesungguhnya dengan waktu yang amat sedikit dengan tenaga yang ringan, 

jika dipergunakan untuk beribadah kepada Allah akan mendatangkan kemuliaan dan 

pahala yang tidak ternilai. Bahkan hanya dengan sekali nafas untuk mengucapkan 

lailaha illalla’ pahalanya sudah sangat besar.

Allah Ta'ala berfirman: 

... Dan barangsiapa mengerjakan amal yang saleh, baik laki-laki 

maupun perempuan sedang ia dalam keadaan beriman, maka mereka 

akan masuk surga, mereka diberi rezeki di dalamnya tanpa hisab. 

(al-Mu'min : 40). 

Memang, menurut ahli dunia, sekali napas amatlah murah. Juga, menurut kita, 

sekali napas tidaklah berarti apa-apa. Kalau kita kaji, berapa banyak napas yang kita 

sia-siakan untuk perkara yang tidak berguna sama sekali. Berapa zaman telah berlalu 

dengan begitu saja. Sedangkan bila dipergunakan untuk lillahi ta'ala, nilainya sangat 

tinggi. Sebab, hal itu menjadi pangkal dan sebab diterimanya amalan oleh Allah 

SWT. 

Dengan demikian, seseorang yang berpendirian kuat haruslah beranggapan 

bahwa amalan diri yang telah dilakukan adalah hina. Sebab pada kenyataannya, 

amalan seseorang di mata orang lain sangatlah hina, tidak sesuai dengan keadaan 




sesungguhnya. Selain itu, janganlah memandang kepada selain Allah. Karena amalan 

yang dimuliakan Allah, Sehingga mendatangkan pahala besar, hal itu semata-mata 

karena karunia Allah jua. 

Selain itu, hendaknya kita pandai memilih, amalan mana yang pantas 

diperuntukkan bagi Allah, dan mana kiranya yang diridhai Allah SWT . 

Pokok kedua: 

Sebab, kita dilarang bersifat ‘ujub karena Allah telah menetapkan pahala bagi 

hamba-ham ba-Nya. Karena, Tuhan-lah yang mengatur dan menjadikan kita. 

Sehingga Allah Maha Mengetahui apa-apa yang ada pada diri kita dan Mengetahui 

kebutuhan kita. 

Firman Allah Ta'ala: 

Dan jika kamu menghitung-hitung nikmat Allah, niscaya kamu 

tak dapat menentukan jumlahnya .... (an-Nahl : 18). 

Sebagaimana dijanjikan Allah, kelak di akhirat akan diberi pahala 'yang baik dan 

berbagai kehormatan. 

Pokok ketiga: 

Salah satu sebab lagi, kita dilarang bersifat ‘ujub. Allah adalah Tuhan yang wajib 

dan berhak dipuji dan disucikan. Langit, bumi dan segenap isinya, wajib bersyukur 

kepada-Nya, wajib bersujud ke hadirat-Nya. 

Di antaranya, yang menjadi khadam adalah Malaikat Jibril, Mikail, Israfil, dan 

Izrail, serta malaikat-malaikat yang memangku 'Arasy, malaikat Karubiyyun, 

malaikat Rahaniyyun, dan banyak lagi malaikat yang hanya diketahui Allah. Para 

malaikat begitu tinggi derajatnya, begitu suci, dan begitu sempurna ibadahnya. 

Selain mereka, yang berbakti kepada Allah adalah Nabi Adam, Nuh, Ibrahim, 

Musa, Isa, Muhammad, dan seluruh Nabi serta para Mursalin shalawatullah

wasalamuhu 'alaihim ajma'in. Mereka mendapatkan manakib dan martabat 

demikian tinggi, begitu mulia, serta maqam-maqamnya begitu mulia, dan ibadahnya 

sangat agung dan mulia. 

Setelah para Nabi, yang berbakti kepada Allah adalah para Imam dan ulama, 

dan para ahli zuhud yang mempunyai martabat agung dan mulia. Dengan jasmani 

yang bersih dan suci, mereka memperbanyak ibadah dengan ikhlas dan saling membantu. 

Adapun yang paling hina di antara para khadam di hadapan Allah adalah para 




raja zhalim. Meskipun mereka bersujud kepada Allah, namun tetap saja hina. 

Mereka mengibas-ngibaskan mukanya ke tanah dan patuh kepada Allah. Di kala 

menghadapi kesulitan, mereka bermohon kepada Allah sambil menjerit, menangis, 

merendahkan diri, dan menghambakan diri kepada Allah. Mereka menyadari 

kekurangannya, bersujud dan merasa hina. Dan Allah hanya sekali melihat mereka, 

kemudian Allah memenuhi kebutuhan mereka atau memaafkan dosa-dosanya. 

Demikianlah Keagungan dan luasnya Kekuasaan Allah, begitu sempurna dan 

tinggi. Kelak Allah akan mengizinkan kita, meskipun kita bukanlah malaikat, Nabi, 

wali, ataupun raja. Bahkan meskipun kita banyak aib dan kotor. 

Sehingga, dengan izin Allah itu, kita bisa menyembah dan memuji-Nya. Bahkan 

terkadang kita berani meminta sesuatu kepada-Nya. 

Kepada Allah-lah kita memohon perlindungan dan pertolongan. Dan hanya 

kepada-Nya kita mengadukan kebodohan diri. 

Jika kita mengerjakan shalat malam, menyembah kepada-Nya dengan dua 

rakaat. Setelah selesai kita harus berfikir, berapa banyak orang mengerjakan shalat 

pada malam itu, seluruh hamba Allah yang tersebar di seluruh penjuru dunia, baik di 

darat, laut, gunung, dan di kota-kota. Bermacam ragam orang beristiqamah, para 

siddiqien, orang-orang yang taqwa, yang rindu, dan yang bersungguh-sungguh

tadharru. Berapa banyak pula pada saat itu orang hadir di pintu gerbang, Allah SWT

dengan ibadahnya yang suci dan Ikhlas serta khusu, dan juga dengan dzikir 

melafalkan kalimat suci diiringi tetesan air mata, hati yang tulus dan bersih, serta 

taqwa. 

Sedangkan shalat kita, rneskipun dengan sungguh-sungguh, dikerjakan dengan 

sebaik-baiknya dan sebenar-benarnya, tetap tidak layak dipersembahkan kepada 

Allah Yang Maha agung, sama sekali tidak akan terlihat jika dibandingkan dengan

Ibadah lain yang dipersembahkan di sana. 

Apalagi jika shalat yang dua rakaat itu dilaksanakan dengan asalan-asalan, 

dicampuri dengan keaiban dan kekotoran, serta diucapkan oleh lisan kotor dan 

dibumbui perbuatan maksiat. Bagaimana ishlahnya shalat yang demikian 

dipersembahkan kehadirat Allah Yang Maha Suci?! 

Guru kami mengatakan, "Pikirkan olehmu hai orang yang berpikir sehat. 

Pernahkah kamu mempersembahkan shalat ke langit seperti kamu 

mempersembahkan makanan ke gedung-gedung megah?" 

Syaikh Abu Bakar al-Waraq berkata, "Setiap selesai shalat, saya selalu merasa 




malu mempersembahkan shalat yang baru aku lakukan itu. Lebih malu dari seorang 

perempuan yang telah melakukan zina." 

Allah Maha Pemurah. Hanya dengan Kemurahan dan Kemuliaan-Nya Allah 

memperbanyak pahala dan menerima shalat dua rakaat itu. Allah juga menjanjikan 

pahala besar bagi hamba-Nya. Kita mampu mengerjakan shalat itu pun karena 

taufiq-nya. Allah memudahkannya, namun, mengapa kita bersifat ‘ujub? 

Mengingkari karunia-Nya. Sungguh suatu keanehan yang nyata ... ! 

Hal semacam itu sebenarnya tidak perlu terjadi, kecuali terhadap orang jahil 

yang pendek pikir dan orang yang buta mata hatinya. 

Marilah kita tempuh tahapan dan tanjakan ini. Sebab apabila kita tidak segera 

menyadari, maka akan merugi. Karena tanjakan ini yang paling sulit dan berat, 

paling pahit, dan paling besar bahayanya. 

Orang yang berhasil melampaui tahapan ini akan mendapatkan keuntungan. 

Tetapi jika sebaliknya, maka usaha kita akan sia-sia. 

Yang paling penting dalam tanjakanltahapan ini adalah tiga perkara: 

1. Urusan ini sangat luas. 

2. Bahaya ruginya sangat hebat. 

3. Bahaya celakanya sangat besar. 

Sedangkan kehalusan masalah mi: Karena jalan menuju riya dan ‘ujub dalam 

amalan ini sangat halus, sehingga kita hampir tidak menyadari, kecuali orang-orang 

bijaksana dalam masalah agama dan yang benar-benar waspada, orang yang hatinya 

terbuka. Sehingga kita senantiasa harus mengingat dan berhati-hati. 

Sebagian ulama kita mengatakan, "Almarhum Sayyidina Atha' as-Sulami pada 

suatu saat menenun dan dihiasi menurut seleranya. Setelah selesai tenunan itu 

dibawanya ke pasar untuk dijajakan. Tetapi seorang pedagang kain menawar rendah 

sekali. Kemudian pedagang itu berkata, 'Tenunanmu ini banyak cacatnya, ini dan 

itu.' 

Maka, tenunan itu dibawanya pulang. Sampai di rumah beliau menangis 

tersedu-sedu. Hingga pedagang kain tadi menyesal dan meminta maaf kepada Atha' 

as-Sulami. Kemudian pedagang kain itu menawar dengan harga tinggi sesuai dengan 

penawaran Atha'. Maka berkatalah Sayyidina Atha', 'Bukan masalah itu yang 

menyebabkan aku menangis. Aku hanyalah buruh tenun. Aku bersungguh-sungguh 

dalam menenunnya. Menurut aku tenunan ini tidak ada celanya, tetapi setelah 




kuperlihatkan kepada ahlinya, baru aku mengetahui cacat dan aibnya yang semula 

tidak aku ketahui." 

Demikian juga amalan yang kita persembahkan. kepada Allah. Betapa banyak 

aib dan cacatnya, sedangkan kita tidak mengetahuinya. 

Sebagian shalihin mengatakan, "Pada suatu malam di kala makan sahur, aku 

berada di loteng yang menghadap ke Jalan. Pada saat itu aku membaca Al-Qur'an, 

surat Thaha. Setelah selesai aku tertidur dan bermimpi ada seseorang turun dari 

langit 'dengan membawa catatan. Kemudian catatan itu dibuka di hadapanku, dan 

aku lihat di dalamnya terdapat surat Thaha yang baru saja aku baca. 

Di bawah tiap-tiap kalimat Surat Thaha itu tercantum pahala sepuluh kali lipat. 

Hanya ada satu kalimat yang di bawahnya tidak tercantum pahalanya. Sehingga aku 

bertanya kepada si pembawa itu, 'Kalimat ini telah saya baca. Terapi mengapa tidak 

tertulis pahalanya?' 

Jawab si pembawa catatan, 'Benar! Engkau memang telah membaca kalimat 

itu, dan kami pun telah menuliskan pahalanya. Akan tetapi kami mendengar ada 

panggilan dari 'Arasy, 'Hapuskan kalimat itu dan hapuskan pula pahalanya!' Oleh sebab itu aku menghapus pahalanya." 

Selanjutnya dalam mimpi itu aku menangis dan menanyakan kepada si 

pembawa itu, "Mengapa bisa demikian?' 

Jawabnya, 'Ketika engkau membaca kalimat itu, ada orang lewat di jalan. 

Kemudian engkau memperkeras bacaan agar terdengar olehnya. Hal itulah yang 

menyebabkan hilangnya pahala." 

Begitulah akibat riya. Sungguh merugi! 

‘ujub dan riya adalah bahaya yang paling besar. Sekejap saja seseorang 

dihinggapi sifat itu dapat merusakkan ibadah tujuh puluh tahun. 

Diriwayatkan, seseorang menjamu Imam Sufyan ats-Tsauri dan para

sahabatnya. Kemudian berkatalah orang itu kepada istrinya, Ambil piringnya dan 

bawa kemari. Bukan piring yang kita beli pada waktu naik haji pertama, tetapi piring 

yang kita beli ketika naik haji yang kedua kali (maksudnya agar orang mengetahui 

bahwa ia telah dua kali menunaikan ibadah haji). 

Maka bergumamlah Imam Sufyan, "Kasihan dia, dua kali menunaikan haji 

tetapi dirusak." 

Ada alasan lain yang menjadi sebab agar jangan bersifat ‘ujub dan riya. Taat 




yang hanya sedikit jika terbebas dari ‘ujub, maka pahalanya sangatlah luas dan 

besar, ptiada batas. Tetapi, meskipun banyak taat namun riya dan ‘ujub, sama sekah 

tidak berharga, kecuali jika mendapatkan rahmat Allah SWT. 

Sebagaimana dikatakan Sayyidina Ali, "Sangatlah tinggi harga amal yang 

dikabulkan oleh Allah." 

Pada suatu hari adaorang bertanya kepada Imam Nakha'i, "Bagaimana pahala 

amal anu dan anu?" 

Jawabnya, "Sekiranya diterima oleh Allah, maka pahalanya tidak terhitung 

karena banyaknya." 

Wahab mengatakan, "Dahulu kala, ada seorang ahli ibadah berpuasa selama 

tujuh puluh tahun. Hanya seminggu sekali ia tidak berpuasa. Kemudian ia berdoa 

memohon dikabulkan kebutuhannya. Namun ternyata permohonannya itu tidak 

dikabullkan oleh Allah SWT. Selanjutnya ia menyalahkan dirinya sendiri, dan berkata, 

'Semua itu salahku sendiri. Sekiranya aku termasuk orang baik, tentu permohonanku 

dikabulkan oleh Allah.' 

Maka Allah memerintahkan malaikat agar mengatakan kepada ahli ibadah itu. 

'Waktumu yang hanya sesaat itu, yakni menyalahkan dan mencaci diri sendiri adalah 

lebih baik dibanding ibadahmu yang tujuh puluh tahun." 

Pikirkanlah setelah mengetahui hal itu. Betapa ruginya beribadah selama tujuh

puluh tahun, sedangkan yang lain hanya ber-tafakkur sesaat tetapi keadaannya lebih 

afdhal di hadapan Allah SWT. 

Benar-benar kerugian besar jika tidak dapat memanfaatkan waktu yang hanya 

sesaat tetapi mendatangkan kebaikan melebihi ibadah selama tujuh puluh tahun. 

Sungguh kerugian amat besar. 

Dengan demikian, dalam ibadah itu bukan banyaknya yang menentukan 

kebaikan, tetapi niat dan- murninya tujuan ibadah itu. Jika diibaratkan, sebutir 

permata lebih baik dan berharga dibanding seribu butir kerikil. 

Orang yang masih dangkal ilmu serta pikirannya dalam masalah ini, tentu tidak 

akan mengerti apa maknanya. Juga akan melalaikan apa yang ada dalam hatinya, 

seperti adanya cacat dan aib. Maka akan menjadikannya berbelah-belah, ruku', 

bersujud dan berpuasa. 

Tertipu dengan memperbanyak ruku' dan puasa tanpa memperhatikan 

kebersihan dan tidak menyadari bahwa dirinya sedang menghadap Allah SWT




 Buat apa kenari yang banyak tetapi kosong. 

 Buat apa mendirikan rumah menjulang tetapi tanpa fondasi. 

Yang mengetahui masalah ini hanyalah orang-orang berilmu, yang dikasyaf, 

yang ma'nfat kepada Allah. Semoga Allah melimpahkan Rahmat, Hidayah. dan 

karunia-Nya. 

Dalam tanjakanltahapan pencela ‘ujub dan nya ini, bahayanya terdapat dari 

berbagai jalan. 

Sedangkan Tuhan yang patut dan berhak kita sembah adalah Allah Swt. 

Keagungan-Nya tiada berujung, Kebesaran-Nya tiada berpenghabisan. Ia telah 

memberikan berbagai kenikmatan yang tak terhitung banyak dan besarnya kepada 

kita. Sedangkan diri kita penuh dengan keaiban terselubung, dihinggapi sifat-sifat 

hina dan merusakkan, yang dikuatirkan akan menjerumuskan, karena nafsu sangat 

mudah terperosok. 

Jika demikian, maka kita wajib beramal dengan baik dan bersih, sehat dan 

bebas dari cela serta aib. Sehingga ibadah kita pantas dipersembahkan kepada Allah 

Yang Mahaagung, Mahabesar, Mahamurah. 

Dengan semua itu, berharap ibadah kita diterima. Sebab jika ditolak sia-sialah 

ibadah kita, tidak mendapatkan pahala: 

Ada malaikat CIptaan Allah yang tugasnya hanya berdiri, ada pula yang hanya 

ruku', sujud, bertasbih, dan ada juga yang hanya bertahlil. Tiada pemah berhenti 

mereka menjalankan tugas Allah itu. Bahkan, mereka memperkeras bacaan hingga 

kiamat datang. 

Setelah selesai berbakti - bakti yang sangat besar - mereka secara bersamaan 

menjerit, "Ya Tuhan, kami merasa tidak bersungguh-sungguh dalam beribadah 

kepada-Mu." 

Rasulullah SAW., sebaik-baik manusia, yang paling mengetahui di antara 

makhluk, paling utama, bersabda: 

Aku tidak .. bisa memuji-Mu, lantaran sangat banyak yang harus dipuji. 

Demikianlah keadaan-Mu, sebagaimana Engkau memuji Diri Sendiri. 

Maksud sabda tersebut, "Aku tidak dapat memuji-Mu dengan layak, apalagi 

benbadah. Sedangkan memuji dengan pujian yang layak pun tidak bisa." 

Selanjutnya beliau bersabda: 




Tiada seorang pun masuk surga karena amalannya. 

Tanya para sahabat, "Juga engkaukah, ya Rasulullah?" Jawab Rasulullah, 

"Ya! Aku pun demikian. Kecuali jika Allah menyelimutiku dengan rahmatNya." . 

Mengenai nikmat-nikmat Allah yang diberikan kepada kita Allah berfirman:

Dan jika kamu menghitung-hitung nikmat Allah, niscaya kamu 

tak dapat menentukan jumlahnya .... (an-NahI: 18). 

Dan sebagaimana diriwayatkan, dikumpulkannya semua makhluk di padang 

mahsyar adalah untuk diperiksa tiga catatan: 

 Catatan kebaikan 

 Catatan keburukan, dan

 Catatan mengenai nikmat Allah 

Catatan-catatan itu kemudian diperbandingkan. Kebaikannya dengan nikmat 

Allah, setiap kebaikan akan mendatangkan nikmat Allah. Sehingga kebaikan itu 

tertutup oleh nikmat Allah, dan kini yang tinggal hanyalah keburukan dan dosa. 

Selanjutnya hal itu bergantung Allah, akan diampuni atau tidak, Kehendak Allah yang 

menentukan. 

Mengenai aib dan sifat-sifat buruk, telah penyusun jelaskan. Tetapi yang paling 

dikuatirkan adalah kosongnya nilai ibadah. Sebab ada orang beribadah bertahuntahun, bahkan puluhan tahun tetapi lengah atas aib dan sifat buruk yang ada pada 

dirinya. Sehingga tidak satu ibadah pun yang diridhai dan dikabulkan Allah. 

Atau kadang-kadang ibadah yang sangat lama dirusakkan dalam waktu satu 

jam. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui, sedang ia tidak menyadarinya, 

sehingga ia bersifat riya. Ditinjau dari lahiriahnya seolah-olah beribadah untuk Allah, 

tetapi hati dan niatnya tidak demikian. Maka Allah mengusirnya, dan tidak akan 

diseru lagi. 

Ada seorang memimpikan Imam Hasan Bashri yang telah wafat. Kemudian 

orang itu menanyakan bagaimana keadaan Imam Hasan Bashri, maka jawabnya, 

"Allah memerintahkan aku agar berdiri di hadapan-Nya, dan Allah berfirman: 

'Hai Hasan Bashri, ingatkah engkau ketika pada suatu hari shalat di masjid. 

Kamu diperhatikan banyak orang, lantas engkau memperbaiki shalatmu. Maka 

seandainya pada awal shalat itu engkau tidak bersih untuk-Ku, Aku usir engkau dari 

pintuKu! 




Tetapi beruntunglah ia, karena pada waktu itu ber-takbiratu 'l-ihram dengan 

niat lillahi ta'ala. 

Memang urusan ini sangat halus, rumit dan pelik. Bagi yang tajam mata hatinya 

tentu akan memperhatikan dan memikirkan. Mereka kuatir kepada diri sendiri, 

sehingga banyak yang tidak memperhatikan amalannya yang dilihat orang lain. 

Diriwayatkan, Siti Rabi'ah, seorang wali perempuan, mengatakan, "Amalku 

yang dilihat orang lain tidak aku anggap." 

Ulama lain mengatakan, "Sembunyikan kebaikanmu, sebagaimana engkau 

menyembunyikan keburukan." 

Yang lainnya mengatakan," "Apabila engkau bisa menyimpan kebaikan yang 

tidak terlihat orang lain, maka lakukanlah!" 

Dikisahkan, ada seseorang bertanya kepada Siti Rabi'ah, "Apakah yang paling 

sering dan paling besar harapanmu?" 

Jawab Siti Rabi'ah, "Yang menjadi harapanku adalah putusnya harapan dari 

sebagian besar amalku, mudah-mudahan Allah mengampuni. " 

Ada kisah lain, dua orang shaleh dan 'alim bertemu, yakni Muhammad bin 

Wasi' dan Malik bin Dinar. 

Kata Malik bin Dinar, "Tidak ada pilihan bagi kita, kecuali taat kepada Allah atau 

neraka." 

Jawab Muhammad bin Wasi', "Tidak ada lagi, kecuali rahmat Allah atau 

neraka." 

Malik bin Dinar menyahut, "Aduh, perlu sekali kiranya berguru kepada orang 

seperti Tuan." 

Abu Yazid Bustami mengatakan, "Selama tiga puluh tahun aku beribadah 

dengan sungguh-sungguh. Aku bermimpi ada yang berkata, 'Hai Abu Yazid, gudang 

Allah telah penuh dengan ibadah. Jika menginginkan sampai kepada-Nya jangan 

hanya dengan ibadah, tetapi harus dengan tawadhu' dan merasa butuh kepadaNya'." 

Ustadz Abu Hasan menceritakan diri Abu Fadhal. Beliau berkata, "Aku tahu, 

taat yang aku kerjakan ini tidak diterima Allah Swt." 

Seseorang bertanya, "Bagaimana tahu, bahwa amalan-amalan mu tidak 

diterima Allah?" 




Jawab Abu Fadhal, "Sebab aku tahu bagaimana harus taat, sehingga 

dikabulkan. Dan aku menyadari bahwa aku tidak memenuhi syarat-syarat untuk 

terkabulnya, sehingga aku tahu amalan ku tidak diterima." 

Tanya orang itu, "Jika demikian, mengapa kamu taat?" 

Jawabnya, "Semoga pada suatu hari Allah memperbaiki diriku. Dengan 

demikian aku sudah terbiasa taat, sehingga tidak perlu lagi membiasakan diri dari 

awal.' 

Demikianlah keadaan tokoh-tokoh besar kita yang bermujabadab. 

Sebuah sya'ir mengatakan: 

Carilah orang lain selain dia, yang sudah putus dan habis amal 

pengharapannya. Jauh sekali hanya dengan sifat sembrono bisa 

mengejar mereka yang demikian serius dan mendapatkan iqbal Allah 

SWT. 

Ibnu Mubarak menceritakan bahwa Khalid bin Ma'dan berkata kepada Mu'adz, 

"Mohon diceritakan hadits Rasulullah yang engkau hafal dan yang engkau anggap 

paling berkesan. Hadits manakah menurut Tuan?" 

Jawab Mu'adz, "Baiklah, akan aku ceritakan." 

Selanjutnya, sebelum bercerita, beliau menangis. Kemudian, kata beliau,"Ehm, 

rindu sekali aku dengan Rasulullah, rasarasanya ingin segera bertemu." 

Kata beliau selanjutnya, "Tatkala aku menghadap Rasulullah, beliau. 

menunggang unta dan menyuruhku agar naik di belakang beliau. Kemudian 

berangkatlah kami dengan berkendaraan unta itu. Selanjutnya beliau menengadah 

ke langit dan bersabda: 

Puji syukur kehadirat Allah Yang berkehendak atas makhluk-Nya, ya 

Muadz! 

Jawabku, "Ya Sayyidina Mursalin." 

Kata beliau selanjutnya, "Sekarang aku akan mengisahkan satu cerita 

kepadamu. Apabila engkau menghafalnya, akan sangat berguna bagimu. 

Tetapi jika kau anggap remeh, maka kelak di hadapan Allah engkau tidak 

mempunyai hujjah. 

Hai Mu'adz! Sebelum menciptakan langit dan bumi Allah telah 

menciptakan tujuh malaikat. Pada setiap langit terdapat seorang malaikat 

penjaga pintu, dan setiap pintu langit dijaga oleh seorang malaikat, 




menurut derajat pintu dan keagungannya. 

Dengan demikian, malaikat-lah yang memelihara arnal si hamba. 

Kemudian sang pencatat membawa amalan si hamba ke langit dengan 

kemilau cahaya bak matahari. Sesampainya pada langit tingkat pertarna, 

malaikat Hafadzah memuji amalan-amalan itu. Tetapi setibanya pada 

gintu langit pertarna, malaikat penjaga pintu berkata kepada malaikat 

Hafadzah: 

"Tamparkan amal ini ke muka pemiliknya. Aku adalah penjaga orang-orang 

yang suka mengumpat. Aku diperintahkan agar menolak amalan orang 

yang suka mengumpat. Untuk mencapai langit berikutnya aku tidak 

mengizinkan ia melewatiku." 

Keesokan harinya, kembali malaikat Hafadzah naik ke langit membawa 

amal shaleh yang berkilau, yang menurut malaikat Hafadzah sangat 

banyak dan terpuji. Sesampai ke langit kedua (ia lolos dari langit pertama, 

sebab pemiliknya bukan pengumpat), penjaga langit kedua berkata, 

"Berhenti, dan tamparkan amalan itu ke muka pemiliknya. Sebab ia beramal dengan mengharap dunia. Allah memerintahkan aku agar amalan ini 

tidak sampai ke langit berikutnya." 

Maka para malaikat melaknat orang itu . 

Hari berikutnya, kembali malaikat Hafadzah naik ke langit membawa 

amalan seorang hamba yang sangat memuaskan, penuh sedekah, puasa, 

dan berbagai kebaikan, yang oleh malaikat Hafadzah dianggap sangat 

mulia dan terpuji. Sesampainya di langit ketiga, malaikat penjaga berkata: 

"Berhenti! tamparkan amal itu ke wajah pemiliknya. Aku malaikat menjaga 

kibr (sombong). Allah mernerintahkanku agar amalan semacam ini tidak 

melewati pintuku dan tidak sampai pada langit berikutnya. Itu karena 

salahnya sendiri, ia takabbur di dalam majlis." 

Singkatnya, malaikat Hafadzah naik ke langit membawa amal hamba 

lainnya. Amalan itu bersifat bak bintang kejora, mengeluarkan suara 

gemuruh, penuh dengan tasbih, puasa, shalat, ibadah haji, dan umrah. 

Sesampainya pada langit keempat malaikat penjaga langit berkata: 

"Berhenti! popokkan arnal itu ke wajah pemiliknya. Aku adalah malaikat 

penjaga ‘ujub. Allah memerintahkanku agar amal ini tidak melewatiku. 

Sebab amalnya selalu disertai ‘ujub. 




Kembali malaikat Hafadzah naik ke langit membawa amal hamba yang 

lain. Amalan itu sangat baik dan mulia, jihad, ibadah haji, ibadah umrah, 

sehingga berkilauan bak matahari. Sesampainya pada langit kelima, 

malaikat penjaga mengatakan: 

"Aku malaikat penjaga sifat hasud. Meskipun amalannya bagus, tetapi ia 

suka hasud kepada orang lain yang mendapatkan kenikmatan Allah SWT. 

Berarti ia membenci yang meridhai, yakni Allah. Aku diperintahkan Allah 

agar amalan semacam ini tidak melewati pintuku. " 

Lagi, malaikat Hafadzah naik ke langit membawa amal seorang hamba. Ia 

membawa amalan berupa wudhu' yang sempurna, shalat yang banyak, 

puasa, haji, dan umrah. Sesampai di langit keenam, malaikat penjaga 

berkata: 

"Aku malaikat penjaga rahmat. Amal yang kelihatan bagus ini tamparkan 

ke mukanya. Selama hidup ia tidak pernah mengasihani orang lain, bahkan 

apabila ada orang ditimpa musibah ia merasa senang. Aku diperintahkan 

Allah agar amal ini tidak melewatiku, dan agar tidak sampai ke langit 

berikutnya." 

Kembali malaikat Hafadzah naik ke langit. Dan kali ini adalah langit ke 

tujuh. Ia membawa amalan yang tak kalah baik dari yang lalu. Seperti 

sedekah, puasa, shalat, jihad, dan wara', Suaranya pun menggeledek 

bagaikan petir menyambar-nyambar, cahayanya bak kilat. Tetapi sesampai 

pada langit ketujuh, malaikat penjaga berkata: 

"Aku malaikat penjaga sum'at (sifat ingin terkenal). Sesungguhnya pemilik 

amal ini menginginkan ketenaran dalam setiap perkumpulan, 

menginginkan derajat tinggi dikala berkumpul dengan kawan sebaya, ingin 

mendapatkan pengaruh dari para pemimpin. Aku diperintahkan Allah agar 

amal ini tidak melewatiku dan sampai kepada yang lain. 

Sebab ibadah yang tidak karena Allah adalah riya. Allah tidak menerima 

ibadah orang-orang riya." 

Kemudian malaikat Hafadzah naik lagi ke langit membawa amal dan 

ibadah seorang hamba berupa shalat, puasa, haji, umrah, akhlak mulia, 

pendiam, suka berdzikir kepada Allah. Dengan diiringi para malaikat, 

malaikat Hafadzah sampai ke langit ketujuh hingga menembus hijab-hijab 

dan sampailah di hadapan Allah. Para malaikat itu berdiri di depan Allah. 




Semua malaikat menyaksikan amal ibadah itu shahih, dan diikhlaskan 

karena Allah. 

Kemudian Allah berfirman: 

Hai Hafadzah, malaikat pencatat amal hamba-Ku, Aku-lah Yang 

Mengetahui isi hatinya. Ia beramal bukan untuk Aku, tetapi diperuntukkan 

bagi selain Aku, bukan diniatkan dan diikhlaskan untuk-Ku. Aku lebih 

mengetahui daripada kalian. Aku laknat mereka yang telah menipu orang 

lain dan juga menipu kalian (para malaikat Hafadzah). Tetapi aku tidak 

tertipu olehnya. Aku-lah Yang Maha Mengetahui hal-hal gaib. Aku 

Mengetahui segala isi hatinya, dan yang samar tidaklah samar bagi-Ku. 

Setiap yang tersembunyi tidak tersembunyi bagi-Ku. Pengetahuan-Ku atas 

segala yang telah terjadi sama dengan pengetahuan-Ku atas sesuatu yang 

belum terjadi. Pengetahuan-Ku atas segala yang telah lewat sama dengan 

yang akan datang. Pengetahuan-Ku atas orang-orang terdahulu sama 

dengan Pengetahuan-Ku atas orang-orang kemudian. 

Aku lebih mengetahui atas sesuatu yang samar dan rahasia. Bagaimana 

bisa hamba-Ku menipu dengan amalnya. Bisa mereka menipu sesama 

makhluk, tetapi Aku Yang Mengetahui hal-hal yang gaib. Aku tetap 

melaknatnya ... ! 

Tujuh malaikat di antara tiga ribu malaikat berkata, "Ya Tuhan, dengan 

demikian tetaplah laknat-Mu dan laknat kami atas mereka." 

Kemudian semua yang berada di langit mengucapkan, "Tetaplah laknat 

Allah kepadanya, dan laknatnya orang-orang yang melaknat." 

Sayyidina Mu'adz (yang meriwayatkan Hadits ini) kemudian menangis 

tersedu-sedu. Selanjutnya berkata, "Ya Rasulullah, bagaimana aku bisa 

selamat dari semua yang baru engkau ceritakan itu?" 

Jawab Rasulullah, "Hai Mu'adz, ikutilah Nabimu dalam masalah 

keyakinan." 

Tanyaku (Mu'adz), "Engkau adalah Rasulullah, sedang aku hanyalah 

Mu'adz bin jabal, Bagaimana aku bisa selamat dan terlepas dari bahaya 

tersebut?" 

Berkatalah Rasulullah, "Memang begitulah, bila ada kelengahan dalam 

amal ibadahmu, maka jagalah mulutmu jangan sampai menjelekkan orang 




lain, terutama kepada sesama ulama. Ingatlah diri sendiri tatkala hendak 

menjelekkan orang lain, sehingga sadar bahwa dirimu pun penuh aib. 

Jangan menutupi kekurangan dan kesalahanmu dengan menjelekkan 

orang lain. Janganlah mengorbitkan diri dengan menekan dan men 

jatuhkan orang lain. Jangan riya dalam beramal, dan jangan 

mementingkan dunia dengan mengabaikan akhirat. Jangan bersikap kasar 

di dalam majlis agar orang takut dengan keburukan akhlakmu, Jangan suka 

mengungkit-ungkit kebaikan, dan jangan menghancurkan pribadi orang 

lain, kelak engkau akan dirobek-robek dan dihancurkan oleh anjing 

jahannam, sebagaimana firman Allah: 

“dan (Malaikat-malaikat) yang mencabut (nyawa) dengan lemah 

lembut .... (an-Nazi'at :2). 

Tanyaku selanjutnya, "Ya Rasulullah, siapa yang bakal kuat menanggung 

penderitaan berat itu?" 

Jawab Rasulullah SAW., "Mu'adz yang aku ceritakan tadi akan mudah bagi 

mereka yang dimudahkan oleh Allah. Engkau harus mencintai orang lain 

sebagaimana engkau menyayangi dirimu. Dan bencilah terhadap apa yang kau 

benci. Jika demikian engkau akan selamat." 

Khalid bin Ma'dan rneriwayatkan, "Sayyidina Mu'adz sering membaca hadits ini 

seperti' seringnya membaca AI-Qur'an, dan mempelajari hadits ini sebagaimana 

mempelajari Al-Qur'an di dalam majlis." 

Hanya kepada Allah kita memohon pertolongan dan perlindungan. Mudahmudahan kita tidak termasuk orang celaka. 

Pendek kata. pujian dari Allah adalah jauh lebih baik dibanding pujian dari 

makhluk, yang mana pada dasarnya manusia itu lemah dan bodoh, dan tidak 

mengetahui hakikat yang tersembunyi. 

Seorang penyair mengatakan: 

Tidak tidurnya seseorang semalam suntuk jika tidak karena Allah adalah 

sia-sia. 

Dan menangisi sesuatu selain menangis karena putus hubungan dengan 

Allah adalah percuma. 

Setelah melaksanakan perintah Allah, Nabi Ibrahim mendirikan Baitu 'I-Lah. 

Beliau memohon kepada Allah agar mengabulkan permohonannya. Beliau bersabda: 

Ya Allah, kabulkanlah amal ibadah kami. Engkau-lah Yang Maha




Mendengar dan Maha Mengetahui. 

Selanjutnya beliau bersabda:

Ya Allah, kabulkanlah doa kami. 

Berarti, Allah memberikan karunia kepada hamba-Nya dengan menerima 

ibadah dan amal dari hamba-Nya. Sedangkan ibadah itu di hadapan Allah tidaklah 

berharga. Namun demikian Allah memberikan kenikmatan, karunia, dan 

kebahagiaan yang sempurna. Begitulah kemuliaan, dan keagungan yang disediakan 

bagi hamba-Nya. 

Tetapi jika ibadah dan amal seseorang ditolak Allah lantaran buruk, maka 

merugilah ia. Betapa tidak, tenaga dan waktu terbuang sia-sia, tidak mendatangkan 

hasil samasekali. 

Maka, apabila kita menghitung diri, membolak-balik hati sambil memohon 

pertolongan Allah, kelak akan menghindarkan hati kita dari sifat ketergantungan 

kepada orang lain. Kemudian mawas diri, sehingga tidak riya dan ‘ujub, yang mana 

mengarahkan kita kepada sifat ikhlas, taat, dan senantiasa berdzikir kapada Allah 

SWT. 

Dengan demikian berhasillah taat yang kita laksanakan, bersih tanpa cacat dan 

aib, serta mendatangkan kebaikan dan keuntungan besar. Sebab, taat yang hanya 

sedikit tetapi dikabulkan oleh Allah, akan bermakna luas, kadarnya sangat agung, 

mendatangkan banyak manfaat dan keuntungan. 

Sesungguhnya hanya kepada Allah kita memohon perlindungan serta belas 

kasihan. Dan semoga kita tidak termasuk orang yang termakan tipudaya. 

Demikianlah uraian mengenai tanjakanltahapan pencela ini. Mudah-mudahan 

Allah memasukkan kita ke dalam golongan orang mukhlis, ikhlas lillahi ta'ala, 

sehingga kita mendapatkan kendhaan Allah. Sesungguhnya Allah Maha Memelihara 

lagi Maha Pemurah. 




Tidak ada komentar:

Posting Komentar